Kamis, 30 Desember 2021

Catatan "Merah" di Blog ini Sepanjang 2021

Pada akhir tahun 2020, saya menulis catatan tentang tulisan yang paling berkesan di blog ini. Berkesan bagi saya. Tahun ini saya kembali ingin me-review tulisan-tulisan sepanjang 2021. Namun, saya akan memilih tulisan-tulisan yang tidak saya sukai—untuk tidak mengatakan benci.


Sebagai penulis catatan-catatan itu, memang semua terasa sudah lumayan bagus. Meski harus saya akui beberapa terasa kurang padu setelah saya baca ulang. Mungkin lain kali saya harus mengendapkan tulisan lebih lama sebelum dipost agar mendapat gambaran yang jernih. Meski di mata saya tulisan-tulisan di sini tampak lumayan, tetapi saya harus menulis catatan ini, tentang tulisan yang saya benci, sebab saya merasa terlalu menyakiti pihak lain—anda akan paham nanti.


Selain itu, tahun ini ada penurunan produktivitas menulis, dengan alasan yang sudah saya tulis pada catatan-catatan terdahulu. Hal ini menjadi poin tersendiri bagi saya. Sejujurnya, ada kekhawatiran tidak akan banyak catatan lagi di tahun depan. Tetapi saya kira itu tidak masalah. Grafik pengunjung blog ini sudah menurun. Dulu ada sekitar 300 pengunjung tiap bulan, sekarang angka itu turun hingga separuh.


Baiklah, berikut beberapa catatan-catatan 2021 yang saya tidak menyukainya.


 Cinta Menurut Filsafat


Dalam catatan ini saya menulis berbagai pendangan para filsuf tentang cinta. Tetapi jika dilihat kembali, berbagai pandangan itu tidak bisa saya rangkai sedemikian rupa hingga menuju satu kesimpulan utuh, atau bahkan kesimpulan yang pelik sama sekali. Yang saya lakukan seperti menulis mentah-mentah pernyataan para filsuf tanpa ada pemaknaan reflektif untuk menjawab apa itu cinta menurut filsafat.


Saya gagal menghadirkan tulisan yang patut.


Lebih dari itu, seharusnya catatan ini berjudul “Cinta Menurut Filsuf”, karena memang demikian cerminan yang pas. Dan persoalan penting lain adalah tulisan itu terasa plagiat. Oh, well, sebenarnya itu plagiat sepenuhnya. Saya hanya menyalin begitu saja dari apa yang saya baca di berbagai sumber. Kita tahu, menulis bukan menyalin. Saya merasa harus mengatakan ini karena... anda akan tahu di akhir tulisan ini.


       Catatan Tidak Sistematis Tentang Ingatan Pilu


Secara garis besar, saya menulis catatan ini karena ada orang yang menganggap bahwa tidak tahu nama makanan yang sudah populer adalah kesalahan. Padahal di dunia ini banyak yang memang tidak sempat kita ketahui, eh? Betapapun populernya sesuatu, ada kemungkinan bagi beberapa orang untuk luput mengetahuinya, dengan berbagai alasan.


Karena itu, saya merasa perlu menulis catatan ini, dengan harapan kita menjadi lebih arif menyikapi ketidaktahuan orang lain. Dan yang paling penting supaya saya mengingat untuk tidak melalukan penghakiman semacam itu. Akhir-akhir ini kita diperlihatkan berbagai orang yang “kepeleset” melakukan kesalahan, ialah menelan ludah sendiri. Dan menjadi bulan-bulanan netizen.


Nah, di luar tujuan itu, saya banyak menyajikan uneg-uneg lain, sehingga tulisan itu saya tulis dengan model acak, tetapi saya usahakan tetap padu. Uneg-uneg itu adalah pandangan sorang kawan yang menganggu pikiran saya ketika itu: Bahwa saya “ceroboh” tidak melanjutkan studi di prodi yang sama. Dan itulah mengapa saya membenci catatan ini.


Akar kebencian itu karena fakta mengatakan bahwa di Indonesia, linieritas menjadi kunci dalam karir, terutama jika anda ingin mengambil pekerjaan sebagai akademisi atau peneliti. Di luar itu, prodi Filsafat Islam yang saya ambil benar-benar memberatkan karena mendapat tugas dobel. Detail tentang ini sudah saya tulis juga di post terdahulu.


Intinya, nasihat teman saya waktu itu saya anggap sebagai kekeliruan. Dan pada kenyataannya mungkin saya terlalu berlebihan, hingga gagal melihat gambar besarnya.


Yeah, saya tidak ingin mengatakan bahwa pindah prodi itu buruk. Tidak. Sebagai idealisme, pindah prodi bagi saya malah mungkin lebih baik, sebab mampu menjadikan orang berpandangan lebih luas. Tetapi pindah prodi toh bukan satu-satunya jalan untuk memiliki paradigma melebar. Kuncinya tentu banyak belajar. Percuma pindah prodi kalau malas.


Saya ingin berdamai dengan diri sendiri, mengakui bahwa untuk kesejajaran prodi penting untuk karir. Dan saya berharap keterpelesetan ini memiliki obat nanti.


       Batas Peduli Pada Teman


Secara umum saya menyukai tulisan ini, tetapi ia mengandung unsur plagiat, terutama di bagian awal. Klasifikasi tentang perbedaan berpikir dan khawatir itu saya nukil dari pernyataan Kang Hasan. Seharusnya saya mengubah-nya. Tetapi saya pikir klarifikasi di sini juga akan membuat saya lebih hati-hati untuk tulisan-tulisan berikutnya.


Lebih dari itu, sisa dari catatan ini—yang porsinya lebih besar—bebas dari masalah plagiasi. Tentu sebenarnya saya bisa merubahnya, hingga lebih beres. Saya akan merevisinya. Tetapi setelah kawan-kawan yang biasa mampir di blog membaca catatan ini.


Sejujurnya, saya menyukai catatan Batas Peduli Pada Teman.


       Tulisan Saya Diplagiat


Mungkin ini catatan yang telah melukai beberapa pihak. Kawan yang pernah mengutip makalah kelas, akhirnya menghubungi saya dan meminta maaf, tetapi setelah itu kami lost kontak sama sekali. Kawan saya lain—yang sekarang lebih aktif menulis—juga meminta maaf, tetapi kami juga ada jarak.


Sebenarnya, saya tidak masalah menjadi objek prasangka buruk dari pihak lain. Apalagi dalam tulisan itu saya memakai beberapa kata-kata kasar, seperti “sialan”. Hal ini tentu akan membuat orang-orang itu membenci saya. Kita tahu, kata itu cukup netral digunakan untuk mengumpati kondisi tertentu, tetapi tidak elok jika digunakan berpolemik dengan seseorang. Apalagi polemik yang tidak terlalu penting.


Sekali lagi, saya tidak masalah memiliki musuh atau orang yang tidak menyukai saya. Namun, saya merasa telah melalukan sesuatu yang tidak pantas. Bagaimanapun efek tulisan itu tidak bisa saya tarik kembali. Ia sudah membekas dalam benak mereka bahkan hingga kelak mereka meninggal. Dan saya harus meminta maaf kepada mereka melalui tulisan ini karena saya telah bersikap tidak adil: Saya juga melakukan plagiasi.


Daftar tulisan-tulisan saya yang termasuk plagiat sudah saya cantumkan di atas. Dan lebih dari itu, saya mengira ada selipan-selipan plagiasi di tulisan-tulisan yang lain, terutama di tahun 2019-2020.


Yang paling memalukan adalah, tulisan yang saya anggap diplagiat itu adalah tulisan-tulisan sederhana yang tidak penting bagi kemaslahatan umat manusia. Dengan kata lain, sentimen saya dalam catatan itu tidak lain adalah jelmaan egoisme saya. Itulah yang paling memalukan. Saya seperti menelan ludah sendiri, pun ludah yang “tidak penting”.


Membaca tulisan itu tampak seperti melihat diri saya yang haus akan pengakuan. Haus akan anggapan bahwa saya hebat. Padahal ya apa gunanya? Saya hanya tampak seperti bocah yang membusungkan dada menantang orang lain berkelahi, hanya karena ia baru belajar ilmu bela diri.


Anda tidak bisa menilai apakah tulisan saya benar-benar diplagiat, karena semua sampel telah hilang: makalah yang dicatut sudah entah kemana; tulisan di blog kawan juga sudah ia hapus, persis setelah ia minta maaf. Dan sekarang saya juga harus meminta maaf, meski saya yakin ia tidak pernah datang ke blog ini, saya masih berharap, entah bagaimana caranya, kawan kuliah dan kawan pesantren saya itu membaca tulisan ini.


Dan saya juga tidak terlalu berharap mereka memaafkan saya, sebab tidak mudah, memang. Tetapi saya berharap kita semua terbebas dari plagiator, sebab betapapun sederhana, kadang tulisan yang diplagiat menimbulkan perasaan buruk.


Sebagai bahan perbandingan, anda bisa membaca tulisan respon dari seseorang atas catatan saya. Tulisan itu berjudul Plagiat, Resah, dan Belajar Menulis, anda bisa membacanya di sini.


Sedangkan untuk kawan kuliah, ia tidak menulis respon apa-apa. Ia tidak ngeblog. Karena itu anda tidak memiliki perbandingan perspektif. Untuk itu semoga anda memaafkan saya.

 

***


Terlepas dari tulisan yang saya benci di atas, mereka tetap seperti anak-anak saya. Mereka tidak bisa saya benci sepenuhnya. Mereka adalah jejak ketidak-adilan saya, yang bisa dilihat oleh banyak orang. Dan seluruh tulisan di blog ini mungkin gambaran utuh tentang ketidak-utuhan pikiran saya. Tetapi saya masih senang ngeblog.


Sampai jumpa.


Salam hangat. Semoga sehat selalu.

 

Balas

 Orang-orang hari ini sepertinya tidak terlalu suka membalas pesan, ya?


Atau ini hanya terjadi di ponsel saya?


Yah... mungkin saya harus tahu diri untuk tidak mengirim pesan kepada mereka yang tidak membalas. Mungkin saya terlalu mengganggu.

Minggu, 19 Desember 2021

Mencari Teman Belajar Itu Sulit!

 Mencari teman belajar yang baik bisa serumit mencari pasangan hidup.


Mungkin saya lebai, tetapi setidaknya itulah yang saya rasakan. Ada banyak teman yang sedang menempuh kuliah; ada teman yang gemar belajar; ada teman yang cerdas, namun mereka tidak mudah menjadi kombinasi mapan. Artinya, kadang teman kuliah saya tidak gemar belajar, jadi mereka tidak mudah diajak diskusi atau minimal ngobrol soal materi kuliah. Ada teman yang gemar belajar, dan tidak punya waktu untuk meladeni saya. Dan seterusnya.


Dalam angan sehari-hari, selalu mucul pikiran bahwa mungkin menyenangkan dikelilingi oleh orang-orang hebat, dikelilingi dalam arti ada kawan yang mendorong untuk saling berbagi bersama atas apa yang mereka ketahui dalam satu forum tertentu. Sukur kalau teman itu memiliki disiplin keilmuan yang berbeda, mereka bisa mengayakan perspektif kita.


Terlepas dari persoalan di atas, ada beberapa forum yang bisa menunjang keilmuan. Pertama, kelas kuliah. Kita tinggal hadir menyimak perkuliahan dan mendiskusikan topik tertentu sesuai jadwal. Biasanya, di Indonesia, mahasiswa ditugaskan untuk menulis makalah sebagai bahan presentasi. Jadi yang saya sebut sebagai kelas kuliah adalah kelas yang diisi oleh presentasi mahasiswa. Kadang, kelas seperti ini kurang efektif, mengacu pada pengalaman saya.


Tidak semua mahasiwa memiliki kompetensi bagus untuk memberi materi yang berkualitas. Saya adalah contoh paling bagus. Ada setumpuk topik yang diberikan kepada saya, topik-topik yang sama sekali asing. Biasanya saya menyediakan waktu seminggu atau dua minggu sekali. Setelah menguras tenaga untuk belajar, tidak jarang makalah harus saya tulis ala kadarnya.


Dengan kualitas pembelajaran rendah itu, apa yang bisa kawan saya dapatkan dari presentasi saya? Barangkali tidak ada. Terlebih lagi jika kami diampu oleh dosen yang tidak membidangi mata kuliah tersebut, maka kelas tidak lebih menjadi debat kusir yang tidak produktif, dan kita sama tidak tahu pendapat mana yang patut dijadikan pijakan untuk mendekati kesimpulan. Kapanpun saya gagal menyajikan materi dengan baik, saya merasa bersalah pada kawan-kawan.


Mungkin perasaan bersalah itu berlebihan. Kawan-kawan bisa menoleransi kegagalan saya. Namun tetap saja mereka mendapat perkuliahan yang tidak menarik dan, anda tahu, perkuliahan seperti itu hanya efektif dalam memunculkan kantuk. Dengan demikian kelas kuliah tidak melulu menjadi sarana menyenangkan. Sekali lagi, tidak selalu. Beberapa kelas dihuni oleh mahasiswa hebat, dan dosen cemerlang. Kombinasi yang mematikan.


Forum kedua adalah konferensi ilmiah. Tidak jauh berbeda dengan kelas kuliah, forum ini membahas satu pokok tema tertentu yang telah disepakati sebelumnya. Para panitia biasa membuka kesempatan untuk para peserta mengirim paper mereka untuk kemudian diseleksi. Peserta dari forum ini biasanya adalah orang-orang yang memang ingin bertemu akademisi lain, menguji ide mereka, atau untuk mengasah mental mereka. Ada berbagai motivasi.


Masalahnya adalah, forum ini biasanya hanya menjadi ajang pemenuhan egoisme para orang-orang pintar. Mereka merasa paling hebat dan harus mempertahankan pandangan orang-orang bahwa mereka hebat. Ketika forum dimulai, tidak jarang malah menjadi forum untuk unjuk kepintaran masing-masing—bukan dalam arti produktif: Bisa melalui menghancurkan kerangka pemahaman orang lain, dengan menggunakan alat ukur yang sama sekali berbeda.


Banyak forum konferensi “tidak berkualitas”. Sama dengan jurnal-jurnal yang menjamur di Indonesia, forum itu biasanya hanya bertujuan untuk... uang. Sebab para pendaftar harus membayar. Untuk menulis di jurnal, saya cukup selektif. Biasanya saya memilih untuk menyiksa diri membidik jurnal bagus, yang biasanya mengharuskan kualitas tulisan yang sama bagusnya. Saya melatih diri untuk menulis di jurnal bagus, dan mengikuti konferensi yang juga bagus.


Di luar sana terlalu banyak ajang konferensi tidak bagus, dan, seperti banyak guru-guru, saya tidak tertarik.


Baik kelas kuliah dan konferensi, setidaknya menurut saya, kadang tidak menyediakan diskusi yang intim. Hal yang bisa dimaklumi, sebab diskusi intim bisa terjadi antar orang-orang dekat. Diskusi yang benar-benar terjadi tanpa sekat, tanpa ada keraguan untuk melontarkan pandangan, tanpa ada takut melakukan kesalahan, tanpa ragu tabu-tabu dogma.


Karena itu, saya berpikir akan menyenangkan jika memiliki teman-teman geng yang berkumpul untuk berdiskusi ala konferensi atau kuliah. Tanpa ada sekat, tanpa ada gengsi. Tanpa publikasi. Hanya diskusi demi belajar bersama. Demi belajar yang khusuk, dan menyenangkan. Itu hanya mungkin terjadi antar orang-orang yang memiliki kedekatan sedemikian rupa.


Nah, kebetulan saya juga punya teman-teman yang berpotensi melakukan pembelajaran bersama itu. Saya seperti melihat lubang emas setelah agak kecewa dengan kelas kuliah yang monoton dan kelas konferensi abal-abal. Mereka adalah kawan-kawan yang biasanya berdiskusi soal tugas kuliah mereka, meski via chating. Dalam banyak kesempatan, saya memberi satu atau dua usulan atas tugas-tugas mereka. Dan biasanya mereka setuju.


Tetapi hanya sebatas itu, saya tidak pernah tahu bagaimana kelanjutan kerangka diskusi awal itu ketika berhadapan dengan kelas perkuliahan mereka. Mungkin akan menarik jika saya mendapat informasi bagaimana diskusi kelas berlangsung: Apakah ada pertanyaan menarik, apakah ada masukan dari professor. Dan seterusnya. Maka saya bisa mendapat ilmu yang lebih bagus; mendapat timbal balik yang setimpal.


Anda tahu, kadang melelahkan juga diskusi masalah akademik seseorang. Kadang mereka datang tanpa ampun menyerbu WhatsApp. Maka melalui ide di atas saya merasa memiliki kesempatan untuk mendapat timbal baik; memiliki kesempatan untuk belajar bersama kawan-kawan; ada kesempatan berdiskusi secara intim. Karena itu, saya mengajukan usulan tersebut kepada kawan-kawan. Dan sesuai harapan saya, mereka merespon dengan baik. Meski hingga hari ini ternyata tidak ada kejelasan.


Saya mencoba mengusulkan hal yang sama pada senior-senior yang saling mengenal satu sama lain, tetapi, mereka tidak menunjukkan sikap berminat. Beberapa kawan saya sudah antusias, meski berujung menjadi wacana. Saya memahami, mereka kesulitan mencari waktu setelah dikejar berbagai kesibukan. Hal yang harus saya maklumi. Karena itu, seperti biasa, buku menjadi tempat pelarian, pelarian yang paling nyaman.


Pada titik ini saya takjub dan menyadari, tidak mudah mencari kawan belajar. Entah kenapa, kenyataan ini membuat saya murung.

Sabtu, 18 Desember 2021

Berarti

Hidup ini tidak berarti, tetapi layak untuk dijalani, asalkan anda menyadari bahwa itu tidak berarti.

—Albert Camus


Camus selalu membuat merenung.

Sabtu, 27 November 2021

Belajar dari Story WhatsApp 2

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Untuk mendapat gambaran utuh, akan lebih baik jika anda membaca bagian pertama di sini.


***


WhatsApp barangkali makhluk yang sama sekali berbeda, sebab ia media komunikasi, meski begitu ia masih bisa kita katakan media sosial. Banyak basis grub yang bertempat di WhatsApp, dari grup sekolah, kuliah, komunitas, keluarga, pekerjaan. Jarang sekali orang yang tidak menggunakan WA, saya bukan termasuk golongan jarang itu. Sifat WhatsApp yang personal, membuat saya nyaman berbagi cerita di WA. Teman-teman saya juga sering berbagi cerita di situ.  


Konten-konten WhatsApp, sialnya, jarang berisi hal-hal penting, setidaknya penting menurut saya. Dalam waktu lama saya kehilangan selera untuk melihat story WhatsApp. Kadang, satu story yang sama diupload di tiga media sosial sekaligus: WA, FB, IG. Terasa mubazir? Saya sering bertanya-tanya, apa masih ada orang yang punya waktu untuk melihat story-story? Mengingat story itu jarang memiliki manfaat untuk kita.


Setiap akan bikin story, saya selalu memegang pikiran: apa pentingnya story ini untuk orang lain? Dan seringkali jawabannya adalah tidak ada. Tidak penting sama sekali. Dalam cara pandang yang sangat kasar dan merendahkan, saya juga sering menganggap bahwa story orang lain tidak penting, atau jarang yang penting. Dan akhirnya saya insaf. Bukankah seluruh hal-hal remeh akan tampak penting jika ia terjadi pada orang-orang terdekat kita.


Jika ada orang di belahan bumi lain yang tidak saya kenal sedang sakit gigi, tidak ada artinya untuk saya. Jika kerabat tersandung dan mengeluh di story, mungkin akan sedikit tampak penting, meski tersandung dan mengeluh blas ra penting. Yeah, memang masih tampak sangat buang-buang waktu mengurusi keluhan tidak penting seperti itu. Sebab saya berharap bertemu hal-hal yang cukup menarik. Dan sepertinya itu harapan yang melangit.


Story kadang memang tempat haha-hihi saja. Kenapa soal story saja saya mensyaratkan banyak hal ndakik-ndakik? Karena kecenderungan pribadi, tentu saja.


Akhirnya, karena tidak banyak hal menarik di story WhatsApp, maka saya harus membuatnya menarik. Saya menjadikan strory sebagai arena pembelajaran bagi saya sendiri, dengan dua cara. Pertama, membahagiai apa yang saya lihat di sana, tentang kegiatan orang, tentang pencapaian orang, tenang prestasi orang. Itu bisa menjadi ladang bersyukur: Melihat kawan-kawan dan orang-orang sudah melesat mencapai banyak hal.


Sebagian memiliki pendidikan yang bagus, sebagian memiliki pekerjaan bagus, sebagian memiliki aktivitas sosial. Semuanya membahagiakan: Wah, saya dikelilingi orang hebat. Beberapa kawan juga sering berbagi semua hal tentang dirinya, hingga saya bisa tahu perjalanan demi perjalanan yang ia tapaki. Nyaris secara harfiah, saya melihat bagaimana perkembangan orang-orang.


Jujur saja, pada awalnya, membahagiai pencapaian orang lain bukan perkara mudah. Bisa saja ada sifat iri yang bersemayam dalam diri saya, bisa saja ada sifat dengki yang bisa keluar kapan saja. Dua sifat ini hanya perlu dipantik sedikit saja untuk keluar dari sarangnya. Terutama melihat story atau posting kawan-kawan di media sosial. Bisa jadi prestasi orang lain adalah derita saya, seolah orang lain melalui prestasinya telah mencurangi saya.


Sebenarnya, pencapaian yang dulu sering saya iri adalah jika ada kawan yang lebih rajin belajar dari pada saya. Ia adalah sumber penderitaan tak terkira. Seharusnya saya paling rajin, dan, sebagai konsekuensinya, seharusnya saya paling pandai. Lihat, betapa mental pecundang ini pernah mendekam—sejak kecil, hingga ia tidak mudah dikeluarkan. Sekarang, jika ada kawan pandai, saya senang, sebab saya bisa belajar kepadanya.


Memiliki kawan pandai bukan persoalan mudah, eh. Seharusnya saya senang. Baiklah, tentu ada jenis story yang tidak mudah disifati bahagia, ialah story sombong. Jujur saja, hingga sekarang saya masih berjuang berdamai dengan posting semacam ini. Yang saya sebut sombong bukan sikap jumawa an sich, tetapi pamer pencapaian tanpa sikap elegan sambil merendahkan orang lain.


Pamer pencapaian itu bagi saya hal lumrah. Tetapi jika disampaikan sambil merendahkan orang lain, sepertinya cukup layak dimaki.


Kedua, dan ini yang paling saya suka: Belajar memahami orang lebih dekat, melalui story mereka. Memang tidak patut menjadikan story orang lain sebagai pintu untuk memahami mereka, sebagian kawan saya berpendapat bahwa jangan menilai orang dari storynya, mengetahui karakter seseorang tidak bisa hanya melalui story. Memang benar, tetapi bagi saya hal tersebut tidak benar-benar amat. Kita sedikit bisa memahami orang lain dari story mereka.


Apa yang orang bagikan di story, adalah sesuatu yang mereka anggap penting. Misalnya, jika seseorang menyukai musik, kemungkinan ia akan membagikan aktivitasnya terkait musik. Kawan saya sering bikin story tenang semua alat musik. Ingat premis di bagian awal tulisan ini? apa yang dibagikan orang adalah apa yang mereka anggap penting. Dan dari sana kita memiliki satu puzzle tentang orang itu. Jika ia sering meributkan satu isu tertentu, maka kita bisa tahu kecenderungan orang tersebut.


Ia sering berbagi isu feminis, misalnya, maka kita bisa menebak, bahwa ia mungkin sedang mengusung ide-ide feminis. Jika ia sering membagikan tulisan, barangkali ia seorang yang suka dengan literasi. Ia sering berbagai ceramah ustaz, barangkali ia orang yang berusaha menebar kebenaran agama yang paling benar menurutnya. Ia sering berbagai bacaan Alquran, barangkali ia seorang yang menaruh respek tinggi terhadap kitab sucinya. Ia sering berbagai foto makanan, barangkali ia memang menaruh perhatian terhadap kuliner.


Ia sering berbagai hal-hal yang tidak penting? Barangkali ia memang menaruh perhatian pada hal-hal tidak penting. Seseorang pernah berkata, jika kita ingin tahu apakah sesuatu penting atau tidak, lihat siapa yang meributkan, jika orang biasa, barangkali ia memang isu murahan yang dibesar-besarkan. Yah, jika seseorang sering berbagi hal tidak penting, barangkali itulah yang ia anggap penting, ialah sesuatu yang tidak penting.


Tetapi hal ini sedikit triki juga, kadang kawan yang sangat pintar sering berbagi hal-hal remeh, sebab ia tidak ingin tampak serius. Kadang belajar mengenal orang dari story memang susah.


Terlepas dari itu, saya percaya, sesuatu yang dibagikan orang selalu berjangkar pada kepentingan pribadinya. Jika seseorang bercerita bahwa kawannya pindah ke tempat yang jauh dan orang tersebut merasa sedih, itu karena ia akan terpisah dengan kawan tersebut, itu karena ia tidak akan memiliki kawan dekat untuk main bareng; itu karena kepergian kawan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan pribadinya. Semua hal di dunia ini yang dibagikan orang adalah perpanjangan dari kepentingan pribadinya.


Saya mungkin tidak bisa dengan tepat memahami seseorang melalui story mereka, tetapi bagaimana jika kita berhadapan dengan orang yang memiliki alat analisis yang canggih. Misalnya, ia paham struktur bahasa sebagai alat ekspresi, ia paham psikologi, ia pahami mimik, dan ia sering melihat story kita, dan ia sering “bersentuhan kulit” dengan kita dalam kehidupan sehari-hari—setidaknya selama beberapa tahun. Tidakkah setiap story kita yang ia lihat akan menjadi keping-keping data untuk menilai kita?


Orang jenis ini mungkin tidak bisa memahami kita secara langsung. Tetapi bagaimana jika ia memperhatikan gerak story kita dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, ditambah interaksi langsung dengan kita? Ia bisa saja dengan enteng mengukur kadar sombong kita, kadar angkuh kita, kadar egois kita, kadar naif kita, dan kadar-kadar lain.

Takjub

Ibn Arabi pernah melihat iring-iringan jenazah Ibn Rusyd. Ibn Arabi menyadari bahwa ada buku-buku karya Ibn Rusyd dalam peti matinya. Ibn Arabi menyadari buku-buku itu ada di dalam peti mati sebagai penyeimbang supaya peti tidak berat sebelah di atas kendaraan.

 

Melihat pemandangan itu, Ibn Arabi takjub.

 

Membaca kisah lengkap cerita di atas, juga membuat saya takjub.

Belajar dari Story WhatsApp

 Cukup lama saya mempertahankan pandangan bahwa melihat story orang-orang di media sosial adalah tindakan mubazir. Sebenarnya media sosial—maksud saya nyaris seluruh media sosial—memang berisi hal-hal mubazir: di sana penuh posting yang sulit kita temukan di mana letak pentingnya: Dari kegiatan makan sate di warteg hingga aktivitas mengiris cabai, bahkan foto pasangan ketika tidur, ada di media sosial. Hal-hal biasa tersebut kadang diumumkan dengan ekspresi seolah menyangkut kemaslahatan umat manusia.


Tetapi saya keliru, atau setidaknya bias.


Apa yang penting dan tidak penting berbeda-beda tiap orang. Belajar, bagi seseorang, bisa jadi adalah kegiatan penting, yang bagi orang lain barangkali sama sekali buang-buang waktu. Gaya rambut, bagi sebagian orang, bisa jadi harga diri, sedang untuk sebagian lain, tidak demikian. Karena itu, penilaian saya bahwa media sosial berisi hal-hal tidak penting jelas berangkat dari ketertarikan saya pada satu hal; bertolak dari minat saya pada aspek tertentu; bermula dari selera pribadi saya atas sesuatu.


Karena saya berada dalam proses kuliah, saya senang jika mendapat informasi yang menunjang pengetahuan supaya kuliah menjadi lebih lancar. Untuk itu, kadang ada harapan kecil media sosial akan membantu proses pembelajaran. Facebook dan Twitter cukup membantu. IG dan WhatsApp tidak. Facebook mungkin sudah banyak ditinggalkan, tetapi orang-orang hebat masih betah di sana, sebab mereka leluasa untuk menulis sesuatu tanpa dibatasi jumlah karakter.


Pak Goenawan Mohamad, misalnya, masih aktif berbagi tulisan di FB, dan, seperti biasa, tulisannya patut dipelajari. Terlepas dari wacana yang ia bawa perlu disetujui atau tidak, kebanyakan orang sulit untuk tidak mengakui bahwa cara menulisnya sulit ditandingi. Para cendikiawan hebat sering menanggapi tulisan Goenawan Mohamad, terutama Pak Lukas Luwarsoyang gencar menyerang tulisan-tulisan anti-sains. Selain nama di atas, masih banyak orang hebat yang menarik diikuti, tetapi daftar nama mereka cerita lain nanti.


Facebook dihuni tulisan-tulisan menarik yang barangkali tidak akan kita temui di buku, majalah, jurnal... sebut lainnya. Well, sungguh kemewahan.


Twitter juga tempat menyenangkan sebab banyak ocehan-ocehan pendek atau utas yang bersifat edukatif. Orang-orang hebat juga banyak menggunakan Twitter untuk berbagi pengetahuan mereka. Karena terbatas ruang, Twitter sering menjadi tantangan untuk meringkas gagasan dalam cara yang sangat padat. Tidak jarang karena keterbatasan itu, ocehan-ocehan satir menjadi opsi kuat. Cuitan-cuitan pendek dengan selera humor tinggi mudah kita jumpai. Dan hal ini sulit kita temui di FB.


Instagram berbeda sama sekali. Ia memang menjadi tempat beberapa orang hebat berbagi hal-hal hebat. Beberapa akun bersifat edukatif. Tetapi, di sana, menurut saya seperti tempat yang diciptakan bagi kita untuk berlomba-lomba tampak hebat dan berlomba-lomba membuat orang lain terkesan. Karakter IG lebih kental berisi hal-hal yang memanjakan mata: foto. Karena itu, porsi pembelajaran di IG tidak sebanyak di FB atau Twitter, setidaknya sependek yang saya tahu; sependek minat bidang kajian saya.


IG mungkin adalah akar dari tempat manusia berebut atensi. Joseph Gordon pernah mengatakan, Instagram berkepentingan agar kita mendapatkan atensi sebesar mungkin. Mengapa demikian? Ketika kita upload di IG, kita akan mendapat atensi, sedikit maupun banyak. Semakin banyak atensi yang kita dapat, makin besar atensi yang IG jual. IG melatih kita untuk mendambakan dan menginginkan atensi, dan merasa frustasi jika kurang mendapatkannya.


Sebenarnya, media sosial adalah perpanjangan dari hasrat purba dari psikologi manusia: antensi. Artinya, media sosial memudahkan kita untuk mendapat atensi sebagai kebutuhan manusia, tetapi atensi itu kemudian mewujud dalam bentuk kuantifikasi-publik: Kita semua bisa menyaksikan berapa jumlah like, jumlah pengikut, jumlah komentar, dan seterusnya. Atensi tidak hanya memenuhi kebutuhan psikologi, tetapi menjadi tanda baru bagi kelas masyarakat.


Semakin banyak jumlah like, semakin banyak jumlah pengikut, semakin banyak jumlah komentar, menjadi parameter tentang kualias personal si pemilik akun. Padahal, yang disebut kualitas tersebut tidak jarang bersifat semu. Dengan kata lain, penilaian kita pada seseorang seringkali bias karena bersandar pada hal yang rapuh. Apakah jumlah follower benar-benar menentukan kualitas si pemilik akun? Entah. Apakah konten-konten prank yang mendapat banyak like menentukan kualitas di pemilik akun? Entah juga.


Atensi dan kelas sosial itulah yang membuat orang-orang berlomba-lomba dalam menggaet perhatian di media sosial. Ia bisa menjadi pemuas kebutuhan atensi, sekaligus menjadi parameter semu tentang kualitas seseorang, yang, sialnya, betapapun semu toh seolah menjadi lumrah.


lanjut di sini.

Halu

 Membayangkan punya pasangan yang rendah hati dan pintar, ia mungkin seru diajak bergosip maupun diskusi hal-hal serius.

Minggu, 07 November 2021

Menyadari Motivasi dan Optimisme Naif

Saat kira-kira berusia 13 tahun, saya membaca dua buku hebat—hingga hari ini padangan saya atas dua buku tersebut tidak berubah—karya David J. Schwartz dan Dale Carnegie. Dalam bahasa Indonesia, buku Schwartz terbit dengan judul Berpikir dan Berjiwa Besar, sementara buku Carnegie terbit dengan judul Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain. Para pembelajar biasanya menempatkan dua buku ini sebagai buku paling berpengaruh untuk genre motivasi.


Di masa tersebut, saya nyaris hidup dengan perasaan rendah diri karena memilih untuk putus sekolah, sedangkan kawan-kawan, tetangga, famili, semua sibuk dengan pendidikan. Bahkan salah satu famili berhasil menadapat beasiswa kuliah ke Yaman. Menurut pikiran saya ketika itu, beasiswa ke luar negeri adalah puncak prestasi paling membanggakan, tidak peduli ke Yaman atau Burundi, kata-kata luar negeri selalu membuat telinga terintimidasi.


Dalam kondisi itulah, dua buku di atas menyelamatkan saya. Keduanya memberi “nyawa” baru pada pikiran. Seharusnya semua orang membaca buku hebat ini, pikir saya. Hormon kebahagiaan dalam tubuh seperti membuncah; segala sesuatu terlihat mendukung saya; segala musuh tidak perlu dihiraukan. Bahkan rasanya saya menjadi sosok yang sama sekali baru dan siap memberikan khotbah motivasi kepada setiap orang yang putus asa. Satu sikap menggelikan, sebenarnya.


Masalahnya adalah, saya tidak memiliki lanskap kehidupan lebih luas, hingga berpikir bahwa seluruh keterpurukan hidup hanya bisa diatasi dengan motivasi. Padahal realitas hidup adalah satu hal, sedangkan motivasi adalah hal lain. Yang pertama adalah fakta, yang kedua adalah cara menyikapi fakta. Karena motivasi bersifat maknawi, menurut saya, ia harus didasari sikap perhitungan cermat—atau nalar hipotesis. Tanpa perhitungan jelas, motivasi atau optimisme tidak jarang hanya perpanjangan dari sikap naif belaka.


Motivasi atau optimisme buta, sialnya, telah banyak mengantarkan seseorang pada keterpurukan. Ada ilustrasi tentang poin ini.


Fahrur, kawan baik saya, pernah menyatakan terang-terangan dengan ekspresi serius bahwa motivasi buta telah merusak usahanya. Ia memiliki usaha sablon, yang makin hari makin besar. Ia rajin memperluas jaringan pertemanan, melalui komunitas-komunitas. Dari storynya, saya tahu ia sangat sibuk, dan makin banyak menerima orderan. Ketika saya dolan ke rumahnya, ia bisa dipastikan sedang menggarap banyak pesanan. Bisa dikatakan, ia telah memiliki pasar.


Lalu, suatu ketika, ia mengaku usaha sablon yang ia bangun telah jatuh. Pernyataan itu benar-benar di luar dugaan saya, “Masak!?” tanya saya tegas. Saya mengulik apa sebabnya dan ia menjelaskan panjang lebar. Sebagaimana pelaku usaha lain, ia terdampak pandemi. Tetapi menurutnya pandemi hanya salah satu faktor, dengan rendah hati ia mengaku fondasi manajemen yang ia bangun kurang kuat, terutama masalah keuangan dan organisasi.


Dengan pengetahuan terbatas, saya benar-benar tidak dapat memahami apa yang ia maksud, padahal makin hari ia makin banyak menerima pelanggan. “Banyak pelanggan bukan berarti banyak rezeki,” katanya. Jika kita siap menerima order, maka kita harus siap mengerjakan dengan kualitas tinggi, dan deadline tepat waktu. Kapanpun kita gagal memenuhi dua standar itu, maka nama kita hancur. Itulah kira-kira penjelasan Fahrur. Demi tuhan, ia benar.


Tanpa penjelasan lebih lanjut, poin yang ia sampaikan seketika membuat saya memahami konteks kejatuhan yang ia alami. Saya pernah ada di posisi tersebut: terlalu banyak menerima tawaran riset hingga kalender saya penuh dengan deadline. Kapanpun saya kalah dengan deadline itu, maka nama saya akan mati semati-matinya. Sejak saat itu saya sedikit membenci tawaran yang datang: Ada bayaran menggoda, dan ada pekerjaan lain sedang menunggu. Dilema.


Saya membayangkan itulah konteks yang dihadapi Fahrur, dan ia menyetujui perkiraan saya. Setelah terdiam sejenak, ia berkata, “Aku baru menyadari bahwa manajemen keuangan, manajemen organisasi, dan perhitungan menerima orderan, adalah harga mati.” Dan akar dari semua ini, dalam kasus Fahrur, adalah motivasi. Ia pernah mengalami fase “mabuk motivasi”, hingga abai terhadap berbagai konteks yang ada dibalik realitas sehari-hari.


Di media sosial, mudah ditemui kisah-kisah hebat para sederet orang kaya yang memulai bisnisnya dari nol. Sebagaimana umumnya manusia, kita menyukai kisah heroik semacam itu, lalu merasa bahwa kita bisa sampai pada titik kesuksesan. Perasaan untuk bisa sukses tentu saja penting, bahkan sangat penting. Masalahnya, banyak dari konten motivasi itu terlalu diromantisasi sedemikian rupa, hingga banyak pelajaran penting terlewat.


Meminjam istilah Fahrur, melalui konten motivasi, orang-orang diajak menyederhanakan realitas. Misalnya, Bob Sadino terkenal orang yang tidak mementingkan pendidikan untuk bisa sukses dan kaya, lalu orang-orang ramai menjadikan sikap bodoh sebagai jargon baru. Well, Bob Sadino sering mengatakan bahwa bodoh bisa sukses, “Brengseknya, orang-orang tutup mata, bahwa Bob Sadino itu tidak bodoh,” kata Fahrur. Dalam menjalankan bisnisnya, Pak Bob pasti memiliki strategi.


Sekarang, Fahrur telah mengalami banyak pembelajaran. Ia memang bukan orang sembarangan, ia gemar membaca, ia gemar melihat tren bisnis, dan melalui itu semua sekarang ia menggeluti banyak bisnis sesuai dengan perhitungan sadar. Realitas mengajarkan kita untuk membangun struktur dasar, menguatkan lini tengah, lalu merangkak menuju puncak. Motivasi kadang hanya fokus pada puncak.


Well, saya tidak sedang memojokkan motivasi, sama sekali tidak. Saya tetap merekomendasikan anda untuk membaca karya Schwartz dan Carnegie, karya mereka akan mengubah banyak cara berpikir kita. Tetapi, letakkan motivasi sebagai spirit dan diwujudkan dengan perhitungan cermat—dalam berbagai konteks. Optimisme, menurut Gus Sabrang hanya ketidaklengkapan data sehingga orang harus berjalan meraba-raba. Jika orang memiliki data lengkap, ia memiliki ukuran, tanpa harus bersandar pada optimisme.


Bayangkan, kita harus turun berperang dengan 300 prajurit, sedangkan di pihak lawan ada 3000 prajurit. Jika kita bermodal motivasi atau optimisme tanpa perhitungan, kemungkinan kita akan mati. Tetapi jika kita punya data, misalnya: apa senjata pihak musuh, apa logistik yang mereka punya, bagaimana bentuk medan pertempuran, dan seterusnya, kita akan punya ukuran sekuat apa musuh kita. Lalu kita mengukur sekuat apa pasukan kita.


Jika hasil perhitungan menunjukkan pasukan kita lebih kuat, karena memiliki 200 jet tempur, sedang musuh hanya bermodal bambu runcing, maka kita bisa maju. Dan optimis bisa menang. Jika hasil perhitungan menunjukkan kita kalah telak, karena kita hanya punya 200 bambu runcing, sedang pihak musuh memiliki 1000 basoka dan 5000 AK47, sebaiknya kita mundur, sebab optimisme tidak ada gunanya. Yah... kecuali anda percaya bahwa malaikat-malaikat baik hati akan turun membantu.


Sekedar informasi, malaikat jarang turun akhir-akhir ini. Saya tidak tahu mengapa.

Pesimis

 Orang yang tidak pernah pesimis adalah orang bodoh.

 

Butuh waktu lama untuk memahami kalimat Mark Twain di atas.

Minggu, 17 Oktober 2021

Apa Tujuan Pendidikan Kita?

Mari asumsikan bahwa pendapat umum ini terbukti benar: Sekolah kita ditujukan untuk mendapat pekerjaan baik di masa depan. Dan mari asumsikan pendapat kedua ini sama benarnya: Dunia kerja kita tidak menuntut kecerdasan intelektual, uang pelicin tebal atau orang dalam menjadi syarat utama, atau yang paling patut, skill yang mumpuni—hal yang pada titik tertentu berbeda dengan kecerdasan intelektual.


Poin di atas bagi saya memunculkan paradoks besar: Sekolah dan kampus di Indonesia kebanyakan berkutat pada urusan intelektual. Dengan kata lain, pelajaran di sekolah jarang memiliki korelasi dengan dunia kerja, kecuali siswa yang lanjut kuliah di bidang yang spesifik, pariwisata, misalnya. Di jurusan ini mahasiswa benar-benar memiliki pengetahuan di bidang itu, katakanlah, untuk menjadi pemandu pariwisata tingkat nasional maupun internasional. Apa yang mereka pelajari relevan dengan dunia kerja kelak.


Di beberapa negara Eropa, seperti Spanyol dan Bulgaria, pengamen harus memiliki ijazah diploma musik. Pemerintah setempat ingin memastikan kualitas para musisi benar-benar mampu menghibur warga sekitar maupun wisatawan dari berbagai negara. Beberapa orang bahkan mengambil kuliah ini demi bisa menjadi “pengamen” berkualitas. Kampus-kampus pun memberi fasilitas perkuliahan.


Kuliah musik mungkin tidak “terikat” langsung dengan kegiatan intelektual. Tentu saja, musik adalah kegiatan kognitif juga, mereka memerlukan kecerdasan di atas rata-rata untuk menyusun nada menjadi musik yang dapat dinikmati. Tetapi, maksud saya, kuliah musik benar-benar berbeda dengan kuliah yang “terikat” langsung dengan kegiatan intelektual, terutama dalam konteks “terikat” harus banyak baca.


Sebagai contoh, di zaman S1 saya mengambil prodi teologi, jurusan yang benar-benar murni berurusan dengan teks. Untuk mendapat hasil yang maksimal, saya harus banyak berkutat dengan teks-teks teologi. Kebanyakan, tugas akhir mahasiswa teologi juga berkutat pada riset teks, sehingga membutuhkan banyak membaca. Tanpa ingin membedakan dengan perkuliahan musik, apa yang kami pelajari cukup identik dengan kegiatan “intelektual” (dengan tanda kutip).


Prodi sastra barangkali memiliki karakteristik cukup sama, yakni bidang yang bergelut dengan teks. Mahasiswanya dituntut banyak membaca karya sastra. Dan tugas akhir mereka kemungkinan besar berada dalam konteks riset teks sastra. Tidak menutup kemungkinan bidang ini melakukan riset lapangan, sebagaimana juga prodi saya, tetapi kebanyakan dua prodi ini berkutat pada teks.


Kembali pada asumsi yang telah saya tulis di paragraf pertama, jika memang sekolah ditujukan untuk mendapat pekerjaan baik, maka orang-orang di jurusan saya akan menghadapi kesulitan. Sebab kami tidak pernah mendapat pengetahuan atau skill spesifik apapun tentang dunia kerja. Kami hanya sibuk berkutat dengan teks-teks. Dulu saya masuk jurusan ini semata-mata karena suka. Benar-benar ingin membidangi. Maka saya rajin belajar. Rajin mengerjakan tugas.


Saya bukan tipe orang yang mudah menangkap materi atau gagasan yang ada dalam perkuliahan atau buku, karenanya saya membutuhkan tenaga ekstra untuk belajar. Bisa dikatakan, saya belajar dua kali lipat lebih keras. Begitupun ketika menulis tugas makalah-makalah, saya benar-benar serius, hingga sering terlarut dalam banyak data. Benar-benar serius yang saya maksud adalah penghalusan dari mati-matian, tertatih-tatih. Sebegitu mati-matian saya menulis tugas, hingga tidak peduli terhadap isu-isu yang tejadi di luar sana.


Bahkan, saya jarang memiliki waktu untuk bersenang-senang. Saya sering takjub pada mahasiswa lain, sementara saya ngos-ngosan belajar dan menulis tugas, mereka seolah memiliki banyak waktu untuk jalan-jalan, nonton, nongkrong, dan yang benar-benar fantastis, pacaran. Apakah yang mereka lakukan buang-buang waktu? Tidak juga, sepertinya. Toh banyak dari mereka yang sekarang hidupnya enak-enak saja. Melihat realitas, kadang, rajin kuliah tidak berkorelasi langsung dengan kesuksesan, terutama kesuksesan finansial.


Banyak dari kawan-kawan yang nyatanya jauh lebih baik dari pada saya hari ini, dalam konteks pekerjaan. Mereka yang dulu “tidak terlalu mengikuti kuliah”, hari ini memiliki kondisi yang lebih baik. Tetapi, jika saya perhatikan, mereka dapat tumbuh seperti sekarang karena skill yang mereka asah, atau mungkin sedikit koneksi. Dua modal penting, memang. Beberapa memang beruntung memiliki orangtua berada. Beberapa mungkin benar-benar beruntung sehingga mendapat "jalan".


Saya bukan kombinasi dari semuanya.


Ketika kuliah, saya hanya membangun skill di bidang intelektual—kalau boleh saya sebut demikian. Saya sedikit rajin membaca buku, mencari guru menulis, dan berupaya terlibat kelas riset. Khas kegiatan “intelektual” (sekali lagi, dalam tanda kutip). Tetapi, hingga hari ini, ketiganya tidak benar-benar saya kuasai, sehingga hanya menjadi kelas medioker. Ajaibnya, saya menjadi lulusan terbaik fakultas dan mendapat beasiswa lanjutan.


Dan sekarang, dengan intensitas yang jauh menanjak ketimbang S1, saya kembali berkutat dengan tugas-tugas, sebab studi yang diambil sama sekali berbeda. Dan sialnya, ia juga bukan prodi yang membangun kemampuan spesifik di dunia kerja—saya mengambil prodi Filsafat Islam. Melihat pola kehidupan yang benar-benar aneh, misalnya orang-orang yang kuliah biasa-biasa saja tetapi memiliki kehidupan lebih baik, telah menampar saya.


Sementara saya berkutat berusaha mengikuti ritme belajar yang ketat, deadline tugas makin berat, saya terduduk diam... untuk apa sebenarnya segala kepusingan ini? Masa depan yang baik? Sepertinya tidak, atau setidaknya belum. Paling banter, mungkin saya bisa menjadi pengajar. Artinya, saya berkutat pada pendidikan yang menghasilkan kerja pendidikan.


Karena pertanyaan-pertanyaan ini, saya juga memikirkan apa yang terjadi dalam kultur sekolah. Umumnya siswa-siswa juga tidak diajari kemampuan spesifik untuk dapat bertahan hidup dengan layak menghadapi dunia kerja. Kebanyakan mereka sibuk diberikan pelajaran-pelajaran standar yang mereka juga bosan menghadapinya. Kalau boleh saya simpulkan, berdasarkan opini-opini para guru saya, sebenarnya sekolah kita tidak punya rumusan yang jelas tentang model pendidikan; akan dibekali apa para murid untuk menghadapi masa depan.


Umumnya sekolah sibuk dengan jargon-jargon abstrak: Ingin menciptakan generasi agamis atau berakhlak mulia, yang jangan-jangan juga gagal. Sebab, apa parameter untuk mengukur tujuan mulia ini? pernahkah sekolah melalukan evaluasi terhadap apa yang mereka rumuskan. Jika iya, bagaimana hasilnya? Jika tidak, apa sebenarnya fungsi rumusan abstrak itu?


Well, jika pelajaran di sekolah atau kuliah tidak memiliki korelasi positif dengan dunia kerja, lalu untuk apa siswa belajar mati-matian menghadapi ujian? Apa untungnya mahasiswa yang rajin kuliah dan mengerjakan tugas? Apa gunanya sekolah tinggi-tinggi? Shadguru Jaggi Pasudev, seorang bijak dan mistikus terkemuka dari India, pernah mengatakan: Seseorang pernah berpendapat bahwa pendidikan adalah kejahatan yang diperlukan. Dan Shadguru menyimpulkan bahwa pendidikan yang keliru adalah bentuk kekejaman lain sebab mengandung bahan bakar kemanusiaan.


Jangan-jangan itu benar.