Pada akhir tahun 2020, saya menulis catatan tentang tulisan yang paling berkesan di blog ini. Berkesan bagi saya. Tahun ini saya kembali ingin me-review tulisan-tulisan sepanjang 2021. Namun, saya akan memilih tulisan-tulisan yang tidak saya sukai—untuk tidak mengatakan benci.
Sebagai penulis
catatan-catatan itu, memang semua terasa sudah lumayan bagus. Meski harus saya
akui beberapa terasa kurang padu setelah saya baca ulang. Mungkin lain kali
saya harus mengendapkan tulisan lebih lama sebelum dipost agar mendapat
gambaran yang jernih. Meski di mata saya tulisan-tulisan di sini tampak
lumayan, tetapi saya harus menulis catatan ini, tentang tulisan yang saya
benci, sebab saya merasa terlalu menyakiti pihak lain—anda akan paham nanti.
Selain itu,
tahun ini ada penurunan produktivitas menulis, dengan alasan yang sudah saya
tulis pada catatan-catatan terdahulu. Hal ini menjadi poin tersendiri bagi
saya. Sejujurnya, ada kekhawatiran tidak akan banyak catatan lagi di tahun
depan. Tetapi saya kira itu tidak masalah. Grafik pengunjung blog ini sudah
menurun. Dulu ada sekitar 300 pengunjung tiap bulan, sekarang angka itu turun
hingga separuh.
Baiklah,
berikut beberapa catatan-catatan 2021 yang saya tidak menyukainya.
Dalam catatan
ini saya menulis berbagai pendangan para filsuf tentang cinta. Tetapi jika
dilihat kembali, berbagai pandangan itu tidak bisa saya rangkai sedemikian rupa
hingga menuju satu kesimpulan utuh, atau bahkan kesimpulan yang pelik sama
sekali. Yang saya lakukan seperti menulis mentah-mentah pernyataan para filsuf
tanpa ada pemaknaan reflektif untuk menjawab apa itu cinta menurut filsafat.
Saya gagal
menghadirkan tulisan yang patut.
Lebih dari itu,
seharusnya catatan ini berjudul “Cinta Menurut Filsuf”, karena memang demikian
cerminan yang pas. Dan persoalan penting lain adalah tulisan itu terasa
plagiat. Oh, well, sebenarnya itu plagiat sepenuhnya. Saya hanya menyalin
begitu saja dari apa yang saya baca di berbagai sumber. Kita tahu, menulis
bukan menyalin. Saya merasa harus mengatakan ini karena... anda akan tahu
di akhir tulisan ini.
Catatan Tidak Sistematis Tentang Ingatan Pilu
Secara garis
besar, saya menulis catatan ini karena ada orang yang menganggap bahwa tidak
tahu nama makanan yang sudah populer adalah kesalahan. Padahal di dunia ini
banyak yang memang tidak sempat kita ketahui, eh? Betapapun populernya sesuatu,
ada kemungkinan bagi beberapa orang untuk luput mengetahuinya, dengan berbagai
alasan.
Karena itu,
saya merasa perlu menulis catatan ini, dengan harapan kita menjadi lebih arif
menyikapi ketidaktahuan orang lain. Dan yang paling penting supaya saya
mengingat untuk tidak melalukan penghakiman semacam itu. Akhir-akhir ini kita
diperlihatkan berbagai orang yang “kepeleset” melakukan kesalahan, ialah
menelan ludah sendiri. Dan menjadi bulan-bulanan netizen.
Nah, di luar
tujuan itu, saya banyak menyajikan uneg-uneg lain, sehingga tulisan itu saya
tulis dengan model acak, tetapi saya usahakan tetap padu. Uneg-uneg itu adalah
pandangan sorang kawan yang menganggu pikiran saya ketika itu: Bahwa saya “ceroboh”
tidak melanjutkan studi di prodi yang sama. Dan itulah mengapa saya membenci
catatan ini.
Akar kebencian
itu karena fakta mengatakan bahwa di Indonesia, linieritas menjadi kunci dalam
karir, terutama jika anda ingin mengambil pekerjaan sebagai akademisi atau
peneliti. Di luar itu, prodi Filsafat Islam yang saya ambil benar-benar
memberatkan karena mendapat tugas dobel. Detail tentang ini sudah saya tulis
juga di post terdahulu.
Intinya,
nasihat teman saya waktu itu saya anggap sebagai kekeliruan. Dan pada
kenyataannya mungkin saya terlalu berlebihan, hingga gagal melihat gambar
besarnya.
Yeah, saya
tidak ingin mengatakan bahwa pindah prodi itu buruk. Tidak. Sebagai idealisme,
pindah prodi bagi saya malah mungkin lebih baik, sebab mampu menjadikan orang
berpandangan lebih luas. Tetapi pindah prodi toh bukan satu-satunya jalan untuk
memiliki paradigma melebar. Kuncinya tentu banyak belajar. Percuma pindah prodi
kalau malas.
Saya ingin berdamai dengan diri sendiri, mengakui bahwa untuk kesejajaran prodi penting untuk karir. Dan saya berharap keterpelesetan ini memiliki obat nanti.
Secara umum
saya menyukai tulisan ini, tetapi ia mengandung unsur plagiat, terutama di
bagian awal. Klasifikasi tentang perbedaan berpikir dan khawatir itu saya nukil
dari pernyataan Kang Hasan. Seharusnya saya mengubah-nya. Tetapi saya pikir klarifikasi
di sini juga akan membuat saya lebih hati-hati untuk tulisan-tulisan
berikutnya.
Lebih dari itu,
sisa dari catatan ini—yang porsinya lebih besar—bebas dari masalah plagiasi. Tentu
sebenarnya saya bisa merubahnya, hingga lebih beres. Saya akan merevisinya. Tetapi
setelah kawan-kawan yang biasa mampir di blog membaca catatan ini.
Sejujurnya,
saya menyukai catatan Batas Peduli Pada Teman.
Mungkin ini
catatan yang telah melukai beberapa pihak. Kawan yang pernah mengutip makalah kelas,
akhirnya menghubungi saya dan meminta maaf, tetapi setelah itu kami lost kontak
sama sekali. Kawan saya lain—yang sekarang lebih aktif menulis—juga meminta
maaf, tetapi kami juga ada jarak.
Sebenarnya,
saya tidak masalah menjadi objek prasangka buruk dari pihak lain. Apalagi dalam
tulisan itu saya memakai beberapa kata-kata kasar, seperti “sialan”. Hal ini
tentu akan membuat orang-orang itu membenci saya. Kita tahu, kata itu cukup
netral digunakan untuk mengumpati kondisi tertentu, tetapi tidak elok jika
digunakan berpolemik dengan seseorang. Apalagi polemik yang tidak terlalu
penting.
Sekali lagi,
saya tidak masalah memiliki musuh atau orang yang tidak menyukai saya. Namun,
saya merasa telah melalukan sesuatu yang tidak pantas. Bagaimanapun efek
tulisan itu tidak bisa saya tarik kembali. Ia sudah membekas dalam benak mereka
bahkan hingga kelak mereka meninggal. Dan saya harus meminta maaf kepada mereka
melalui tulisan ini karena saya telah bersikap tidak adil: Saya juga melakukan
plagiasi.
Daftar tulisan-tulisan
saya yang termasuk plagiat sudah saya cantumkan di atas. Dan lebih dari itu,
saya mengira ada selipan-selipan plagiasi di tulisan-tulisan yang lain,
terutama di tahun 2019-2020.
Yang paling
memalukan adalah, tulisan yang saya anggap diplagiat itu adalah tulisan-tulisan
sederhana yang tidak penting bagi kemaslahatan umat manusia. Dengan kata lain,
sentimen saya dalam catatan itu tidak lain adalah jelmaan egoisme saya. Itulah
yang paling memalukan. Saya seperti menelan ludah sendiri, pun ludah yang “tidak
penting”.
Membaca tulisan
itu tampak seperti melihat diri saya yang haus akan pengakuan. Haus akan
anggapan bahwa saya hebat. Padahal ya apa gunanya? Saya hanya tampak seperti
bocah yang membusungkan dada menantang orang lain berkelahi, hanya karena ia
baru belajar ilmu bela diri.
Anda
tidak bisa menilai apakah tulisan saya benar-benar diplagiat, karena semua
sampel telah hilang: makalah yang dicatut sudah entah kemana; tulisan di blog
kawan juga sudah ia hapus, persis setelah ia minta maaf. Dan sekarang saya juga
harus meminta maaf, meski saya yakin ia tidak pernah datang ke blog ini, saya
masih berharap, entah bagaimana caranya, kawan kuliah dan kawan pesantren saya
itu membaca tulisan ini.
Dan saya juga
tidak terlalu berharap mereka memaafkan saya, sebab tidak mudah, memang. Tetapi
saya berharap kita semua terbebas dari plagiator, sebab betapapun sederhana,
kadang tulisan yang diplagiat menimbulkan perasaan buruk.
Sebagai bahan
perbandingan, anda bisa membaca tulisan respon dari seseorang atas catatan
saya. Tulisan itu berjudul Plagiat, Resah, dan Belajar Menulis, anda bisa
membacanya di sini.
Sedangkan untuk
kawan kuliah, ia tidak menulis respon apa-apa. Ia tidak ngeblog. Karena itu
anda tidak memiliki perbandingan perspektif. Untuk itu semoga anda memaafkan
saya.
***
Terlepas dari
tulisan yang saya benci di atas, mereka tetap seperti anak-anak saya. Mereka
tidak bisa saya benci sepenuhnya. Mereka adalah jejak ketidak-adilan saya, yang
bisa dilihat oleh banyak orang. Dan seluruh tulisan di blog ini mungkin
gambaran utuh tentang ketidak-utuhan pikiran saya. Tetapi saya masih senang
ngeblog.
Sampai jumpa.
Salam hangat. Semoga
sehat selalu.