Sabtu, 18 Januari 2020

Teh Hangat dan Momen-momen

Sebuah kenangan yang masih basah: kami berkumpul “seperti keluarga” besar, di tempat berbentuk seperti sawah Bali, satu petak lahan lebih tinggi dari lahan yang lain, persis seperti anak tangga berukuran besar. Pinus-pinus menjulang tinggi, membikin asri dan meneduhkan. Sesekali tangkai pepohonan berayun dijentik angin dan melambai pada tubuh. Segumpal syahdu merekah. Pelan-pelan. 

Pagi itu kami dipecah oleh aktivitas berbeda, sekelompok main sepak takrau, sebagian menyanyi di petak lahan paling bawah, di tempat yang lebih atas tampak ada yang bercengkrama mengelilingi meja, sebagian yang lain melihat rumah-rumah dari sudut yang tinggi, sehingga semua tampak kecil, yang sayup-sayup bersinar memukau mata di malam hari. Kawanan terakhir menyiapkan sarapan. Dan yang paling terakhir mungkin tidur renyap di tenda. 

Sebenarnya, itu bukan “seperti keluarga”, kata “seperti” layaknya dienyahkan. Oh, sekurang-kurangnya, selama tiga hari itu kami adalah keluarga! Tentu saja semoga seterusnya.

Betapa tidak? Saya tahu betul susah payah kawan-kawan panitiayang menamai acara ini dengan “One Last Skuy” (saya tak tahu artinya): dari mencari tempat dengan tubuh menggigil kehujanan, menyiapkan konsep acara agar menghibur, hingga berburu properti yang dibutuhkan. Sedang kawan lain rela meninggalkan kesibukan demi menghadiri acara ini, pun yang harus menyiapkan uang sebagai bekal. 

Saya tidak sedang ber-melankolis, untuk melebih-lebihkan sesuatu yang sebenarnya biasa-biasa saja. Jika Anda berusaha mengumpulkan selama tiga hari, 50-an orang dengan beban kesibukan masing-masing untuk acara yang barangkali kurang penting (kurang penting menurut beberapa kepala), Anda akan kesusahan. 

Ujungnya saya dan kawan-kawan ini berkumpul. Tentu saya tak menahu apa motivasi masing-masing. Namun untuk sekedar menerka-nerka, barangkali ini yang mereka rasakan—juga yang saya rasakan: ada perasaan berdebar pada tiap suatu yang sebentar; ada kesadaran akan sesuatu yang tak lama lagi akan hilang. Dan pada sesuatu yang akan hilang itu, kami mencipta ikhtiar untuk abadikan dalam kenangan. 

Saya melihat genang air hujan di sana, dan terpikir sesuatu: saat ini, kawaan-kawan, kita sudah dapat melambai pada kelas perkuliahan yang menyatukan kita. Well, si brengsek Bani Israil yang selalu bertanya di kelas—yang mengacau presentasi kita—nanti sudah dapat disalami dan seraya diucapi, “Terima kasih, Pal. Sekarang kau boleh pergi ke neraka!” Makalah kita yang ambur-adul sudah bisa dialih-fungsikan jadi jimat. Jangan lupa berterimakasih pada kawan yang mengisi absen kosong. 

Yang terpenting, kita sudah wajib melunasi segenap hutang pada bapak penjaga kantin, tetangga, pun pada teman yang sudah sial kita pinjam uangnya.

Maka, pada setiap momen di sana, hujan, dingin, tawa, dan mungkin murung, saya menikmatinya. Pada momen ini, tim acara berusaha membuat kesan masal. Untuk upaya itu, saya ucapkan terima kasih. Kalian—tim acara—tahu betul momen menjelang lulus adalah momen blak-blakan, karenanya kalian menyuruh peserta untuk menulis dengan jujur soal kenangan cinta di kampus. 

Meski klise, cinta memang selalu menarik diulik. Mendengar curhat beberapa surat yang “melo”, saya berdoa mereka tidak akan menjadi bagian orang-orang Jerman yang pilu. Maksud saya, tiap tahun  di Jerman, ada 7000 orang bunuh diri karena cinta. Oh, ini serius. Di negeri Madzhab Frankfurt itu, yang katanya rasional, nyatanya tetap takluk pada cinta. 

Bagi yang sudah terlanjur patah hati, saya beri info, rasa frustasi karena patah hati itu disebabkan oleh otak yang tidak memproduksi zat endorfin, zat yang berfungsi memberikan rasa bahagia—seperti saat baru jadian dengan pacar. Nah, bocah-bocah di Amerika sudah membuat pil endorfin ini, yang dapat memproduksi rasa bahagia, tak peduli apapun kondisi kita. Jadi silakan berburu pil patah hati ini, dan bagilah pada saya!

Untuk yang sudah curhat cinta di depan umum saat itu, saya tersenyum menikmati.

Tawa juga menyelimuti saat drama dimainkan para cowok-cowok—yang harus berdandan menor. Harus saya akui, melihat konsep drama itu, saat ada orang bosan kaya sampai pergi ke dukun untuk miskin, sudah memperlihatkan bibit satire. Ide ini, meminjam istilah Ignas Kleden, “Memancing rasa geli karena melakukan distorsi terhadap logika dan common sense. Setiap humor yang cerdas mengingatkan kita bahwa common sense is not every common.”

Diam-diam saya berpikir, drama ini sudah mulai menjajaki Agus Noor, sang maestro monolog dan sastra satire di negeri ini. 

Keping demi keping momen sudah dijahit. Jarum detik universal tak kenal ampun terus bergerak menuju menit berikutnya. Di ujung malam Minggu itu, saya buru-buru berkemas. Ketika sudah sepi, dan sudah di atas motor siap pulang awal, saya menoleh pada tenda-tenda itu. Aku pamit, semoga semuanya bermakna.

Minggu pagi, dari ponsel saya memutar video yang di dalamnya kawan-kawan sedang melingkar. Bernyanyi dengan nada perpisahan yang sendu. Tiba-tiba dingin gunung seolah kembali merayap. Melihat lingkaran itu, saya bisa sedikit menggeleng pada apa yang dikatakan Jean-Paul Sartre, “Hell is other people.” Dan saya menutup handphone dengan senyum.

Korden panggung nampaknya sudah akan ditutup, pikir saya. Semua akan memiliki kehidupan masing-masing. Tapi tetap saya berharap, kita akan berdiri bersama, meski tak saling dekat. “Karena,” kata Kahlil Gibran, “tiang-tiang kuil pun berdiri terpisah dan pohon-pohon ek serta pohon sipres tidak tumbuh dalam bayangan yang sama.”

Di dalam bis saat menuju rumah itu, muncul satu fragmen, sehari sebelumnya saat hujan mengguyur dan membikin air merayap ke dalam tenda, saya melihat kawan-kawan meringkuk kedinginan. Mungkin merasakan ingin pulang atau semacamnya. Dengan usaha kecil. Saya buatkan mereka teh hangat. 

Berbalut jas hujan yang melindungi kulit dari basah, saya keliling tenda dan tempat camp membagikan teh itu pada mereka, meskipun beberapa wajah tak saya temukan. Tentu saja itu bukan teh Yellow Gold. Itu teh biasa yang saya harap cukup menghangatkan gigil mereka. 

Maka, suatu saat jika mereka melihat hujan, atau terjebak hujan dan merasakan kedinginan merayap pelan, mungkin mereka mengingat teh hangat dan kembali muncul keping momen kebersamaan yang barangkali tak akan pernah terulang kembali.

Untuk semua, saya ingin mengucap kata yang lebih bermakna dari terima kasih. Adakah?