Mencari teman belajar yang baik bisa serumit mencari pasangan hidup.
Mungkin saya lebai,
tetapi setidaknya itulah yang saya rasakan. Ada banyak teman yang sedang
menempuh kuliah; ada teman yang gemar belajar; ada teman yang cerdas, namun
mereka tidak mudah menjadi kombinasi mapan. Artinya, kadang teman kuliah saya tidak
gemar belajar, jadi mereka tidak mudah diajak diskusi atau minimal ngobrol soal
materi kuliah. Ada teman yang gemar belajar, dan tidak punya waktu untuk
meladeni saya. Dan seterusnya.
Dalam angan
sehari-hari, selalu mucul pikiran bahwa mungkin menyenangkan dikelilingi oleh
orang-orang hebat, dikelilingi dalam arti ada kawan yang mendorong untuk saling
berbagi bersama atas apa yang mereka ketahui dalam satu forum tertentu. Sukur kalau
teman itu memiliki disiplin keilmuan yang berbeda, mereka bisa mengayakan
perspektif kita.
Terlepas dari
persoalan di atas, ada beberapa forum yang bisa menunjang keilmuan. Pertama,
kelas kuliah. Kita tinggal hadir menyimak perkuliahan dan mendiskusikan topik
tertentu sesuai jadwal. Biasanya, di Indonesia, mahasiswa ditugaskan untuk
menulis makalah sebagai bahan presentasi. Jadi yang saya sebut sebagai kelas
kuliah adalah kelas yang diisi oleh presentasi mahasiswa. Kadang, kelas seperti
ini kurang efektif, mengacu pada pengalaman saya.
Tidak semua mahasiwa
memiliki kompetensi bagus untuk memberi materi yang berkualitas. Saya adalah
contoh paling bagus. Ada setumpuk topik yang diberikan kepada saya,
topik-topik yang sama sekali asing. Biasanya saya menyediakan waktu seminggu atau
dua minggu sekali. Setelah menguras tenaga untuk belajar,
tidak jarang makalah harus saya tulis ala kadarnya.
Dengan kualitas
pembelajaran rendah itu, apa yang bisa kawan saya dapatkan dari presentasi
saya? Barangkali tidak ada. Terlebih lagi jika kami diampu oleh dosen yang
tidak membidangi mata kuliah tersebut, maka kelas tidak lebih menjadi debat
kusir yang tidak produktif, dan kita sama tidak tahu pendapat mana yang patut
dijadikan pijakan untuk mendekati kesimpulan. Kapanpun saya gagal menyajikan
materi dengan baik, saya merasa bersalah pada kawan-kawan.
Mungkin perasaan
bersalah itu berlebihan. Kawan-kawan bisa menoleransi kegagalan saya. Namun tetap saja mereka mendapat perkuliahan yang tidak menarik dan, anda
tahu, perkuliahan seperti itu hanya efektif dalam memunculkan kantuk. Dengan demikian
kelas kuliah tidak melulu menjadi sarana menyenangkan. Sekali lagi, tidak
selalu. Beberapa kelas dihuni oleh mahasiswa hebat, dan dosen cemerlang. Kombinasi
yang mematikan.
Forum kedua adalah
konferensi ilmiah. Tidak jauh berbeda dengan kelas kuliah, forum ini membahas
satu pokok tema tertentu yang telah disepakati sebelumnya. Para panitia biasa
membuka kesempatan untuk para peserta mengirim paper mereka untuk kemudian
diseleksi. Peserta dari forum ini biasanya adalah orang-orang yang memang ingin
bertemu akademisi lain, menguji ide mereka, atau untuk mengasah mental mereka. Ada
berbagai motivasi.
Masalahnya adalah,
forum ini biasanya hanya menjadi ajang pemenuhan egoisme para orang-orang
pintar. Mereka merasa paling hebat dan harus mempertahankan pandangan
orang-orang bahwa mereka hebat. Ketika forum dimulai, tidak jarang malah menjadi
forum untuk unjuk kepintaran masing-masing—bukan dalam arti produktif: Bisa melalui menghancurkan kerangka pemahaman orang lain, dengan menggunakan alat ukur yang sama
sekali berbeda.
Banyak forum konferensi “tidak berkualitas”. Sama dengan jurnal-jurnal
yang menjamur di Indonesia, forum itu biasanya hanya bertujuan untuk... uang. Sebab
para pendaftar harus membayar. Untuk menulis di jurnal, saya cukup selektif. Biasanya
saya memilih untuk menyiksa diri membidik jurnal bagus, yang biasanya
mengharuskan kualitas tulisan yang sama bagusnya. Saya melatih diri untuk
menulis di jurnal bagus, dan mengikuti konferensi yang juga bagus.
Di luar sana terlalu
banyak ajang konferensi tidak bagus, dan, seperti banyak guru-guru, saya tidak tertarik.
Baik kelas kuliah dan
konferensi, setidaknya menurut saya, kadang tidak menyediakan diskusi yang
intim. Hal yang bisa dimaklumi, sebab diskusi intim bisa terjadi antar
orang-orang dekat. Diskusi yang benar-benar terjadi tanpa sekat, tanpa ada
keraguan untuk melontarkan pandangan, tanpa ada takut melakukan kesalahan,
tanpa ragu tabu-tabu dogma.
Karena itu, saya
berpikir akan menyenangkan jika memiliki teman-teman geng yang berkumpul untuk
berdiskusi ala konferensi atau kuliah. Tanpa ada sekat, tanpa ada gengsi. Tanpa
publikasi. Hanya diskusi demi belajar bersama. Demi belajar yang khusuk, dan
menyenangkan. Itu hanya mungkin terjadi antar orang-orang yang memiliki kedekatan
sedemikian rupa.
Nah, kebetulan saya juga punya teman-teman yang berpotensi melakukan pembelajaran bersama itu. Saya seperti melihat lubang emas setelah agak kecewa dengan kelas kuliah yang monoton dan kelas konferensi abal-abal. Mereka adalah kawan-kawan yang biasanya berdiskusi soal tugas kuliah mereka, meski via chating. Dalam banyak kesempatan, saya memberi satu atau dua usulan atas tugas-tugas mereka. Dan biasanya mereka setuju.
Tetapi hanya sebatas
itu, saya tidak pernah tahu bagaimana kelanjutan kerangka diskusi awal itu ketika
berhadapan dengan kelas perkuliahan mereka. Mungkin akan menarik jika saya
mendapat informasi bagaimana diskusi kelas berlangsung: Apakah ada pertanyaan
menarik, apakah ada masukan dari professor. Dan seterusnya. Maka saya bisa
mendapat ilmu yang lebih bagus; mendapat timbal balik yang setimpal.
Anda tahu, kadang
melelahkan juga diskusi masalah akademik seseorang. Kadang mereka datang tanpa
ampun menyerbu WhatsApp. Maka melalui ide di atas saya merasa memiliki kesempatan untuk mendapat
timbal baik; memiliki kesempatan untuk belajar bersama kawan-kawan; ada kesempatan
berdiskusi secara intim. Karena itu, saya mengajukan usulan tersebut kepada
kawan-kawan. Dan sesuai harapan saya, mereka merespon dengan baik. Meski hingga
hari ini ternyata tidak ada kejelasan.
Saya mencoba
mengusulkan hal yang sama pada senior-senior yang saling mengenal satu
sama lain, tetapi, mereka tidak menunjukkan sikap berminat. Beberapa kawan saya
sudah antusias, meski berujung menjadi wacana. Saya memahami, mereka kesulitan
mencari waktu setelah dikejar berbagai kesibukan. Hal yang harus saya maklumi. Karena
itu, seperti biasa, buku menjadi tempat pelarian, pelarian yang paling nyaman.
Pada titik ini saya takjub dan menyadari, tidak mudah mencari kawan belajar. Entah kenapa, kenyataan ini membuat saya murung.