Minggu, 19 Desember 2021

Mencari Teman Belajar Itu Sulit!

 Mencari teman belajar yang baik bisa serumit mencari pasangan hidup.


Mungkin saya lebai, tetapi setidaknya itulah yang saya rasakan. Ada banyak teman yang sedang menempuh kuliah; ada teman yang gemar belajar; ada teman yang cerdas, namun mereka tidak mudah menjadi kombinasi mapan. Artinya, kadang teman kuliah saya tidak gemar belajar, jadi mereka tidak mudah diajak diskusi atau minimal ngobrol soal materi kuliah. Ada teman yang gemar belajar, dan tidak punya waktu untuk meladeni saya. Dan seterusnya.


Dalam angan sehari-hari, selalu mucul pikiran bahwa mungkin menyenangkan dikelilingi oleh orang-orang hebat, dikelilingi dalam arti ada kawan yang mendorong untuk saling berbagi bersama atas apa yang mereka ketahui dalam satu forum tertentu. Sukur kalau teman itu memiliki disiplin keilmuan yang berbeda, mereka bisa mengayakan perspektif kita.


Terlepas dari persoalan di atas, ada beberapa forum yang bisa menunjang keilmuan. Pertama, kelas kuliah. Kita tinggal hadir menyimak perkuliahan dan mendiskusikan topik tertentu sesuai jadwal. Biasanya, di Indonesia, mahasiswa ditugaskan untuk menulis makalah sebagai bahan presentasi. Jadi yang saya sebut sebagai kelas kuliah adalah kelas yang diisi oleh presentasi mahasiswa. Kadang, kelas seperti ini kurang efektif, mengacu pada pengalaman saya.


Tidak semua mahasiwa memiliki kompetensi bagus untuk memberi materi yang berkualitas. Saya adalah contoh paling bagus. Ada setumpuk topik yang diberikan kepada saya, topik-topik yang sama sekali asing. Biasanya saya menyediakan waktu seminggu atau dua minggu sekali. Setelah menguras tenaga untuk belajar, tidak jarang makalah harus saya tulis ala kadarnya.


Dengan kualitas pembelajaran rendah itu, apa yang bisa kawan saya dapatkan dari presentasi saya? Barangkali tidak ada. Terlebih lagi jika kami diampu oleh dosen yang tidak membidangi mata kuliah tersebut, maka kelas tidak lebih menjadi debat kusir yang tidak produktif, dan kita sama tidak tahu pendapat mana yang patut dijadikan pijakan untuk mendekati kesimpulan. Kapanpun saya gagal menyajikan materi dengan baik, saya merasa bersalah pada kawan-kawan.


Mungkin perasaan bersalah itu berlebihan. Kawan-kawan bisa menoleransi kegagalan saya. Namun tetap saja mereka mendapat perkuliahan yang tidak menarik dan, anda tahu, perkuliahan seperti itu hanya efektif dalam memunculkan kantuk. Dengan demikian kelas kuliah tidak melulu menjadi sarana menyenangkan. Sekali lagi, tidak selalu. Beberapa kelas dihuni oleh mahasiswa hebat, dan dosen cemerlang. Kombinasi yang mematikan.


Forum kedua adalah konferensi ilmiah. Tidak jauh berbeda dengan kelas kuliah, forum ini membahas satu pokok tema tertentu yang telah disepakati sebelumnya. Para panitia biasa membuka kesempatan untuk para peserta mengirim paper mereka untuk kemudian diseleksi. Peserta dari forum ini biasanya adalah orang-orang yang memang ingin bertemu akademisi lain, menguji ide mereka, atau untuk mengasah mental mereka. Ada berbagai motivasi.


Masalahnya adalah, forum ini biasanya hanya menjadi ajang pemenuhan egoisme para orang-orang pintar. Mereka merasa paling hebat dan harus mempertahankan pandangan orang-orang bahwa mereka hebat. Ketika forum dimulai, tidak jarang malah menjadi forum untuk unjuk kepintaran masing-masing—bukan dalam arti produktif: Bisa melalui menghancurkan kerangka pemahaman orang lain, dengan menggunakan alat ukur yang sama sekali berbeda.


Banyak forum konferensi “tidak berkualitas”. Sama dengan jurnal-jurnal yang menjamur di Indonesia, forum itu biasanya hanya bertujuan untuk... uang. Sebab para pendaftar harus membayar. Untuk menulis di jurnal, saya cukup selektif. Biasanya saya memilih untuk menyiksa diri membidik jurnal bagus, yang biasanya mengharuskan kualitas tulisan yang sama bagusnya. Saya melatih diri untuk menulis di jurnal bagus, dan mengikuti konferensi yang juga bagus.


Di luar sana terlalu banyak ajang konferensi tidak bagus, dan, seperti banyak guru-guru, saya tidak tertarik.


Baik kelas kuliah dan konferensi, setidaknya menurut saya, kadang tidak menyediakan diskusi yang intim. Hal yang bisa dimaklumi, sebab diskusi intim bisa terjadi antar orang-orang dekat. Diskusi yang benar-benar terjadi tanpa sekat, tanpa ada keraguan untuk melontarkan pandangan, tanpa ada takut melakukan kesalahan, tanpa ragu tabu-tabu dogma.


Karena itu, saya berpikir akan menyenangkan jika memiliki teman-teman geng yang berkumpul untuk berdiskusi ala konferensi atau kuliah. Tanpa ada sekat, tanpa ada gengsi. Tanpa publikasi. Hanya diskusi demi belajar bersama. Demi belajar yang khusuk, dan menyenangkan. Itu hanya mungkin terjadi antar orang-orang yang memiliki kedekatan sedemikian rupa.


Nah, kebetulan saya juga punya teman-teman yang berpotensi melakukan pembelajaran bersama itu. Saya seperti melihat lubang emas setelah agak kecewa dengan kelas kuliah yang monoton dan kelas konferensi abal-abal. Mereka adalah kawan-kawan yang biasanya berdiskusi soal tugas kuliah mereka, meski via chating. Dalam banyak kesempatan, saya memberi satu atau dua usulan atas tugas-tugas mereka. Dan biasanya mereka setuju.


Tetapi hanya sebatas itu, saya tidak pernah tahu bagaimana kelanjutan kerangka diskusi awal itu ketika berhadapan dengan kelas perkuliahan mereka. Mungkin akan menarik jika saya mendapat informasi bagaimana diskusi kelas berlangsung: Apakah ada pertanyaan menarik, apakah ada masukan dari professor. Dan seterusnya. Maka saya bisa mendapat ilmu yang lebih bagus; mendapat timbal balik yang setimpal.


Anda tahu, kadang melelahkan juga diskusi masalah akademik seseorang. Kadang mereka datang tanpa ampun menyerbu WhatsApp. Maka melalui ide di atas saya merasa memiliki kesempatan untuk mendapat timbal baik; memiliki kesempatan untuk belajar bersama kawan-kawan; ada kesempatan berdiskusi secara intim. Karena itu, saya mengajukan usulan tersebut kepada kawan-kawan. Dan sesuai harapan saya, mereka merespon dengan baik. Meski hingga hari ini ternyata tidak ada kejelasan.


Saya mencoba mengusulkan hal yang sama pada senior-senior yang saling mengenal satu sama lain, tetapi, mereka tidak menunjukkan sikap berminat. Beberapa kawan saya sudah antusias, meski berujung menjadi wacana. Saya memahami, mereka kesulitan mencari waktu setelah dikejar berbagai kesibukan. Hal yang harus saya maklumi. Karena itu, seperti biasa, buku menjadi tempat pelarian, pelarian yang paling nyaman.


Pada titik ini saya takjub dan menyadari, tidak mudah mencari kawan belajar. Entah kenapa, kenyataan ini membuat saya murung.