Minggu, 07 November 2021

Menyadari Motivasi dan Optimisme Naif

Saat kira-kira berusia 13 tahun, saya membaca dua buku hebat—hingga hari ini padangan saya atas dua buku tersebut tidak berubah—karya David J. Schwartz dan Dale Carnegie. Dalam bahasa Indonesia, buku Schwartz terbit dengan judul Berpikir dan Berjiwa Besar, sementara buku Carnegie terbit dengan judul Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain. Para pembelajar biasanya menempatkan dua buku ini sebagai buku paling berpengaruh untuk genre motivasi.


Di masa tersebut, saya nyaris hidup dengan perasaan rendah diri karena memilih untuk putus sekolah, sedangkan kawan-kawan, tetangga, famili, semua sibuk dengan pendidikan. Bahkan salah satu famili berhasil menadapat beasiswa kuliah ke Yaman. Menurut pikiran saya ketika itu, beasiswa ke luar negeri adalah puncak prestasi paling membanggakan, tidak peduli ke Yaman atau Burundi, kata-kata luar negeri selalu membuat telinga terintimidasi.


Dalam kondisi itulah, dua buku di atas menyelamatkan saya. Keduanya memberi “nyawa” baru pada pikiran. Seharusnya semua orang membaca buku hebat ini, pikir saya. Hormon kebahagiaan dalam tubuh seperti membuncah; segala sesuatu terlihat mendukung saya; segala musuh tidak perlu dihiraukan. Bahkan rasanya saya menjadi sosok yang sama sekali baru dan siap memberikan khotbah motivasi kepada setiap orang yang putus asa. Satu sikap menggelikan, sebenarnya.


Masalahnya adalah, saya tidak memiliki lanskap kehidupan lebih luas, hingga berpikir bahwa seluruh keterpurukan hidup hanya bisa diatasi dengan motivasi. Padahal realitas hidup adalah satu hal, sedangkan motivasi adalah hal lain. Yang pertama adalah fakta, yang kedua adalah cara menyikapi fakta. Karena motivasi bersifat maknawi, menurut saya, ia harus didasari sikap perhitungan cermat—atau nalar hipotesis. Tanpa perhitungan jelas, motivasi atau optimisme tidak jarang hanya perpanjangan dari sikap naif belaka.


Motivasi atau optimisme buta, sialnya, telah banyak mengantarkan seseorang pada keterpurukan. Ada ilustrasi tentang poin ini.


Fahrur, kawan baik saya, pernah menyatakan terang-terangan dengan ekspresi serius bahwa motivasi buta telah merusak usahanya. Ia memiliki usaha sablon, yang makin hari makin besar. Ia rajin memperluas jaringan pertemanan, melalui komunitas-komunitas. Dari storynya, saya tahu ia sangat sibuk, dan makin banyak menerima orderan. Ketika saya dolan ke rumahnya, ia bisa dipastikan sedang menggarap banyak pesanan. Bisa dikatakan, ia telah memiliki pasar.


Lalu, suatu ketika, ia mengaku usaha sablon yang ia bangun telah jatuh. Pernyataan itu benar-benar di luar dugaan saya, “Masak!?” tanya saya tegas. Saya mengulik apa sebabnya dan ia menjelaskan panjang lebar. Sebagaimana pelaku usaha lain, ia terdampak pandemi. Tetapi menurutnya pandemi hanya salah satu faktor, dengan rendah hati ia mengaku fondasi manajemen yang ia bangun kurang kuat, terutama masalah keuangan dan organisasi.


Dengan pengetahuan terbatas, saya benar-benar tidak dapat memahami apa yang ia maksud, padahal makin hari ia makin banyak menerima pelanggan. “Banyak pelanggan bukan berarti banyak rezeki,” katanya. Jika kita siap menerima order, maka kita harus siap mengerjakan dengan kualitas tinggi, dan deadline tepat waktu. Kapanpun kita gagal memenuhi dua standar itu, maka nama kita hancur. Itulah kira-kira penjelasan Fahrur. Demi tuhan, ia benar.


Tanpa penjelasan lebih lanjut, poin yang ia sampaikan seketika membuat saya memahami konteks kejatuhan yang ia alami. Saya pernah ada di posisi tersebut: terlalu banyak menerima tawaran riset hingga kalender saya penuh dengan deadline. Kapanpun saya kalah dengan deadline itu, maka nama saya akan mati semati-matinya. Sejak saat itu saya sedikit membenci tawaran yang datang: Ada bayaran menggoda, dan ada pekerjaan lain sedang menunggu. Dilema.


Saya membayangkan itulah konteks yang dihadapi Fahrur, dan ia menyetujui perkiraan saya. Setelah terdiam sejenak, ia berkata, “Aku baru menyadari bahwa manajemen keuangan, manajemen organisasi, dan perhitungan menerima orderan, adalah harga mati.” Dan akar dari semua ini, dalam kasus Fahrur, adalah motivasi. Ia pernah mengalami fase “mabuk motivasi”, hingga abai terhadap berbagai konteks yang ada dibalik realitas sehari-hari.


Di media sosial, mudah ditemui kisah-kisah hebat para sederet orang kaya yang memulai bisnisnya dari nol. Sebagaimana umumnya manusia, kita menyukai kisah heroik semacam itu, lalu merasa bahwa kita bisa sampai pada titik kesuksesan. Perasaan untuk bisa sukses tentu saja penting, bahkan sangat penting. Masalahnya, banyak dari konten motivasi itu terlalu diromantisasi sedemikian rupa, hingga banyak pelajaran penting terlewat.


Meminjam istilah Fahrur, melalui konten motivasi, orang-orang diajak menyederhanakan realitas. Misalnya, Bob Sadino terkenal orang yang tidak mementingkan pendidikan untuk bisa sukses dan kaya, lalu orang-orang ramai menjadikan sikap bodoh sebagai jargon baru. Well, Bob Sadino sering mengatakan bahwa bodoh bisa sukses, “Brengseknya, orang-orang tutup mata, bahwa Bob Sadino itu tidak bodoh,” kata Fahrur. Dalam menjalankan bisnisnya, Pak Bob pasti memiliki strategi.


Sekarang, Fahrur telah mengalami banyak pembelajaran. Ia memang bukan orang sembarangan, ia gemar membaca, ia gemar melihat tren bisnis, dan melalui itu semua sekarang ia menggeluti banyak bisnis sesuai dengan perhitungan sadar. Realitas mengajarkan kita untuk membangun struktur dasar, menguatkan lini tengah, lalu merangkak menuju puncak. Motivasi kadang hanya fokus pada puncak.


Well, saya tidak sedang memojokkan motivasi, sama sekali tidak. Saya tetap merekomendasikan anda untuk membaca karya Schwartz dan Carnegie, karya mereka akan mengubah banyak cara berpikir kita. Tetapi, letakkan motivasi sebagai spirit dan diwujudkan dengan perhitungan cermat—dalam berbagai konteks. Optimisme, menurut Gus Sabrang hanya ketidaklengkapan data sehingga orang harus berjalan meraba-raba. Jika orang memiliki data lengkap, ia memiliki ukuran, tanpa harus bersandar pada optimisme.


Bayangkan, kita harus turun berperang dengan 300 prajurit, sedangkan di pihak lawan ada 3000 prajurit. Jika kita bermodal motivasi atau optimisme tanpa perhitungan, kemungkinan kita akan mati. Tetapi jika kita punya data, misalnya: apa senjata pihak musuh, apa logistik yang mereka punya, bagaimana bentuk medan pertempuran, dan seterusnya, kita akan punya ukuran sekuat apa musuh kita. Lalu kita mengukur sekuat apa pasukan kita.


Jika hasil perhitungan menunjukkan pasukan kita lebih kuat, karena memiliki 200 jet tempur, sedang musuh hanya bermodal bambu runcing, maka kita bisa maju. Dan optimis bisa menang. Jika hasil perhitungan menunjukkan kita kalah telak, karena kita hanya punya 200 bambu runcing, sedang pihak musuh memiliki 1000 basoka dan 5000 AK47, sebaiknya kita mundur, sebab optimisme tidak ada gunanya. Yah... kecuali anda percaya bahwa malaikat-malaikat baik hati akan turun membantu.


Sekedar informasi, malaikat jarang turun akhir-akhir ini. Saya tidak tahu mengapa.