Saat kira-kira berusia 13 tahun, saya membaca dua buku hebat—hingga hari ini padangan saya atas dua buku tersebut tidak berubah—karya David J. Schwartz dan Dale Carnegie. Dalam bahasa Indonesia, buku Schwartz terbit dengan judul Berpikir dan Berjiwa Besar, sementara buku Carnegie terbit dengan judul Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain. Para pembelajar biasanya menempatkan dua buku ini sebagai buku paling berpengaruh untuk genre motivasi.
Di masa tersebut,
saya nyaris hidup dengan perasaan rendah diri karena memilih untuk putus
sekolah, sedangkan kawan-kawan, tetangga, famili, semua sibuk dengan
pendidikan. Bahkan salah satu famili berhasil menadapat beasiswa kuliah ke
Yaman. Menurut pikiran saya ketika itu, beasiswa ke luar negeri adalah puncak
prestasi paling membanggakan, tidak peduli ke Yaman atau Burundi, kata-kata
luar negeri selalu membuat telinga terintimidasi.
Dalam kondisi itulah,
dua buku di atas menyelamatkan saya. Keduanya memberi “nyawa” baru pada pikiran.
Seharusnya semua orang membaca buku hebat ini, pikir saya. Hormon kebahagiaan
dalam tubuh seperti membuncah; segala sesuatu terlihat mendukung saya; segala
musuh tidak perlu dihiraukan. Bahkan rasanya saya menjadi sosok yang sama
sekali baru dan siap memberikan khotbah motivasi kepada setiap orang yang putus
asa. Satu sikap menggelikan, sebenarnya.
Masalahnya adalah,
saya tidak memiliki lanskap kehidupan lebih luas, hingga berpikir bahwa seluruh
keterpurukan hidup hanya bisa diatasi dengan motivasi. Padahal realitas hidup
adalah satu hal, sedangkan motivasi adalah hal lain. Yang pertama adalah fakta,
yang kedua adalah cara menyikapi fakta. Karena motivasi bersifat maknawi,
menurut saya, ia harus didasari sikap perhitungan cermat—atau nalar hipotesis. Tanpa
perhitungan jelas, motivasi atau optimisme tidak jarang hanya perpanjangan dari
sikap naif belaka.
Motivasi atau
optimisme buta, sialnya, telah banyak mengantarkan seseorang pada keterpurukan.
Ada ilustrasi tentang poin ini.
Fahrur, kawan baik
saya, pernah menyatakan terang-terangan dengan ekspresi serius bahwa motivasi
buta telah merusak usahanya. Ia memiliki usaha sablon, yang makin hari makin
besar. Ia rajin memperluas jaringan pertemanan, melalui komunitas-komunitas. Dari
storynya, saya tahu ia sangat sibuk, dan makin banyak menerima orderan. Ketika saya
dolan ke rumahnya, ia bisa dipastikan sedang menggarap banyak pesanan. Bisa dikatakan,
ia telah memiliki pasar.
Lalu, suatu ketika,
ia mengaku usaha sablon yang ia bangun telah jatuh. Pernyataan itu benar-benar
di luar dugaan saya, “Masak!?” tanya saya tegas. Saya mengulik apa sebabnya dan
ia menjelaskan panjang lebar. Sebagaimana pelaku usaha lain, ia terdampak
pandemi. Tetapi menurutnya pandemi hanya salah satu faktor, dengan rendah hati
ia mengaku fondasi manajemen yang ia bangun kurang kuat, terutama masalah
keuangan dan organisasi.
Dengan pengetahuan
terbatas, saya benar-benar tidak dapat memahami apa yang ia maksud, padahal
makin hari ia makin banyak menerima pelanggan. “Banyak pelanggan bukan berarti
banyak rezeki,” katanya. Jika kita siap menerima order, maka kita harus siap
mengerjakan dengan kualitas tinggi, dan deadline tepat waktu. Kapanpun kita
gagal memenuhi dua standar itu, maka nama kita hancur. Itulah kira-kira
penjelasan Fahrur. Demi tuhan, ia benar.
Tanpa penjelasan lebih
lanjut, poin yang ia sampaikan seketika membuat saya memahami konteks kejatuhan
yang ia alami. Saya pernah ada di posisi tersebut: terlalu banyak menerima
tawaran riset hingga kalender saya penuh dengan deadline. Kapanpun saya kalah
dengan deadline itu, maka nama saya akan mati semati-matinya. Sejak saat itu
saya sedikit membenci tawaran yang datang: Ada bayaran menggoda, dan ada
pekerjaan lain sedang menunggu. Dilema.
Saya membayangkan
itulah konteks yang dihadapi Fahrur, dan ia menyetujui perkiraan saya. Setelah
terdiam sejenak, ia berkata, “Aku baru menyadari bahwa manajemen keuangan,
manajemen organisasi, dan perhitungan menerima orderan, adalah harga mati.” Dan
akar dari semua ini, dalam kasus Fahrur, adalah motivasi. Ia pernah mengalami
fase “mabuk motivasi”, hingga abai terhadap berbagai konteks yang ada dibalik
realitas sehari-hari.
Di media sosial, mudah
ditemui kisah-kisah hebat para sederet orang kaya yang memulai bisnisnya dari
nol. Sebagaimana umumnya manusia, kita menyukai kisah heroik semacam itu, lalu
merasa bahwa kita bisa sampai pada titik kesuksesan. Perasaan untuk bisa sukses
tentu saja penting, bahkan sangat penting. Masalahnya, banyak dari konten
motivasi itu terlalu diromantisasi sedemikian rupa, hingga banyak pelajaran
penting terlewat.
Meminjam istilah
Fahrur, melalui konten motivasi, orang-orang diajak menyederhanakan realitas. Misalnya, Bob Sadino terkenal orang yang tidak mementingkan pendidikan untuk
bisa sukses dan kaya, lalu orang-orang ramai menjadikan sikap bodoh sebagai
jargon baru. Well, Bob Sadino sering mengatakan bahwa bodoh bisa sukses, “Brengseknya,
orang-orang tutup mata, bahwa Bob Sadino itu tidak bodoh,” kata Fahrur. Dalam menjalankan
bisnisnya, Pak Bob pasti memiliki strategi.
Sekarang, Fahrur
telah mengalami banyak pembelajaran. Ia memang bukan orang sembarangan, ia
gemar membaca, ia gemar melihat tren bisnis, dan melalui itu semua sekarang ia menggeluti
banyak bisnis sesuai dengan perhitungan sadar. Realitas mengajarkan kita untuk
membangun struktur dasar, menguatkan lini tengah, lalu merangkak menuju puncak.
Motivasi kadang hanya fokus pada puncak.
Well, saya tidak
sedang memojokkan motivasi, sama sekali tidak. Saya tetap merekomendasikan anda
untuk membaca karya Schwartz dan Carnegie, karya mereka akan mengubah banyak
cara berpikir kita. Tetapi, letakkan motivasi sebagai spirit dan diwujudkan
dengan perhitungan cermat—dalam berbagai konteks. Optimisme, menurut Gus
Sabrang hanya ketidaklengkapan data sehingga orang harus berjalan meraba-raba. Jika
orang memiliki data lengkap, ia memiliki ukuran, tanpa harus bersandar pada
optimisme.
Bayangkan, kita harus
turun berperang dengan 300 prajurit, sedangkan di pihak lawan ada 3000 prajurit.
Jika kita bermodal motivasi atau optimisme tanpa perhitungan, kemungkinan kita
akan mati. Tetapi jika kita punya data, misalnya: apa senjata pihak musuh, apa
logistik yang mereka punya, bagaimana bentuk medan pertempuran, dan seterusnya,
kita akan punya ukuran sekuat apa musuh kita. Lalu kita mengukur sekuat apa
pasukan kita.
Jika hasil
perhitungan menunjukkan pasukan kita lebih kuat, karena memiliki 200 jet
tempur, sedang musuh hanya bermodal bambu runcing, maka kita bisa maju. Dan optimis
bisa menang. Jika hasil perhitungan menunjukkan kita kalah telak, karena kita
hanya punya 200 bambu runcing, sedang pihak musuh memiliki 1000 basoka dan 5000
AK47, sebaiknya kita mundur, sebab optimisme tidak ada gunanya. Yah... kecuali anda
percaya bahwa malaikat-malaikat baik hati akan turun membantu.
Sekedar informasi, malaikat jarang turun akhir-akhir ini. Saya tidak tahu mengapa.