Sabtu, 27 November 2021

Belajar dari Story WhatsApp

 Cukup lama saya mempertahankan pandangan bahwa melihat story orang-orang di media sosial adalah tindakan mubazir. Sebenarnya media sosial—maksud saya nyaris seluruh media sosial—memang berisi hal-hal mubazir: di sana penuh posting yang sulit kita temukan di mana letak pentingnya: Dari kegiatan makan sate di warteg hingga aktivitas mengiris cabai, bahkan foto pasangan ketika tidur, ada di media sosial. Hal-hal biasa tersebut kadang diumumkan dengan ekspresi seolah menyangkut kemaslahatan umat manusia.


Tetapi saya keliru, atau setidaknya bias.


Apa yang penting dan tidak penting berbeda-beda tiap orang. Belajar, bagi seseorang, bisa jadi adalah kegiatan penting, yang bagi orang lain barangkali sama sekali buang-buang waktu. Gaya rambut, bagi sebagian orang, bisa jadi harga diri, sedang untuk sebagian lain, tidak demikian. Karena itu, penilaian saya bahwa media sosial berisi hal-hal tidak penting jelas berangkat dari ketertarikan saya pada satu hal; bertolak dari minat saya pada aspek tertentu; bermula dari selera pribadi saya atas sesuatu.


Karena saya berada dalam proses kuliah, saya senang jika mendapat informasi yang menunjang pengetahuan supaya kuliah menjadi lebih lancar. Untuk itu, kadang ada harapan kecil media sosial akan membantu proses pembelajaran. Facebook dan Twitter cukup membantu. IG dan WhatsApp tidak. Facebook mungkin sudah banyak ditinggalkan, tetapi orang-orang hebat masih betah di sana, sebab mereka leluasa untuk menulis sesuatu tanpa dibatasi jumlah karakter.


Pak Goenawan Mohamad, misalnya, masih aktif berbagi tulisan di FB, dan, seperti biasa, tulisannya patut dipelajari. Terlepas dari wacana yang ia bawa perlu disetujui atau tidak, kebanyakan orang sulit untuk tidak mengakui bahwa cara menulisnya sulit ditandingi. Para cendikiawan hebat sering menanggapi tulisan Goenawan Mohamad, terutama Pak Lukas Luwarsoyang gencar menyerang tulisan-tulisan anti-sains. Selain nama di atas, masih banyak orang hebat yang menarik diikuti, tetapi daftar nama mereka cerita lain nanti.


Facebook dihuni tulisan-tulisan menarik yang barangkali tidak akan kita temui di buku, majalah, jurnal... sebut lainnya. Well, sungguh kemewahan.


Twitter juga tempat menyenangkan sebab banyak ocehan-ocehan pendek atau utas yang bersifat edukatif. Orang-orang hebat juga banyak menggunakan Twitter untuk berbagi pengetahuan mereka. Karena terbatas ruang, Twitter sering menjadi tantangan untuk meringkas gagasan dalam cara yang sangat padat. Tidak jarang karena keterbatasan itu, ocehan-ocehan satir menjadi opsi kuat. Cuitan-cuitan pendek dengan selera humor tinggi mudah kita jumpai. Dan hal ini sulit kita temui di FB.


Instagram berbeda sama sekali. Ia memang menjadi tempat beberapa orang hebat berbagi hal-hal hebat. Beberapa akun bersifat edukatif. Tetapi, di sana, menurut saya seperti tempat yang diciptakan bagi kita untuk berlomba-lomba tampak hebat dan berlomba-lomba membuat orang lain terkesan. Karakter IG lebih kental berisi hal-hal yang memanjakan mata: foto. Karena itu, porsi pembelajaran di IG tidak sebanyak di FB atau Twitter, setidaknya sependek yang saya tahu; sependek minat bidang kajian saya.


IG mungkin adalah akar dari tempat manusia berebut atensi. Joseph Gordon pernah mengatakan, Instagram berkepentingan agar kita mendapatkan atensi sebesar mungkin. Mengapa demikian? Ketika kita upload di IG, kita akan mendapat atensi, sedikit maupun banyak. Semakin banyak atensi yang kita dapat, makin besar atensi yang IG jual. IG melatih kita untuk mendambakan dan menginginkan atensi, dan merasa frustasi jika kurang mendapatkannya.


Sebenarnya, media sosial adalah perpanjangan dari hasrat purba dari psikologi manusia: antensi. Artinya, media sosial memudahkan kita untuk mendapat atensi sebagai kebutuhan manusia, tetapi atensi itu kemudian mewujud dalam bentuk kuantifikasi-publik: Kita semua bisa menyaksikan berapa jumlah like, jumlah pengikut, jumlah komentar, dan seterusnya. Atensi tidak hanya memenuhi kebutuhan psikologi, tetapi menjadi tanda baru bagi kelas masyarakat.


Semakin banyak jumlah like, semakin banyak jumlah pengikut, semakin banyak jumlah komentar, menjadi parameter tentang kualias personal si pemilik akun. Padahal, yang disebut kualitas tersebut tidak jarang bersifat semu. Dengan kata lain, penilaian kita pada seseorang seringkali bias karena bersandar pada hal yang rapuh. Apakah jumlah follower benar-benar menentukan kualitas si pemilik akun? Entah. Apakah konten-konten prank yang mendapat banyak like menentukan kualitas di pemilik akun? Entah juga.


Atensi dan kelas sosial itulah yang membuat orang-orang berlomba-lomba dalam menggaet perhatian di media sosial. Ia bisa menjadi pemuas kebutuhan atensi, sekaligus menjadi parameter semu tentang kualitas seseorang, yang, sialnya, betapapun semu toh seolah menjadi lumrah.


lanjut di sini.