Cukup lama saya mempertahankan pandangan bahwa melihat story orang-orang di media sosial adalah tindakan mubazir. Sebenarnya media sosial—maksud saya nyaris seluruh media sosial—memang berisi hal-hal mubazir: di sana penuh posting yang sulit kita temukan di mana letak pentingnya: Dari kegiatan makan sate di warteg hingga aktivitas mengiris cabai, bahkan foto pasangan ketika tidur, ada di media sosial. Hal-hal biasa tersebut kadang diumumkan dengan ekspresi seolah menyangkut kemaslahatan umat manusia.
Tetapi saya
keliru, atau setidaknya bias.
Apa yang
penting dan tidak penting berbeda-beda tiap orang. Belajar, bagi seseorang, bisa
jadi adalah kegiatan penting, yang bagi orang lain barangkali sama sekali
buang-buang waktu. Gaya rambut, bagi sebagian orang, bisa jadi harga diri,
sedang untuk sebagian lain, tidak demikian. Karena itu, penilaian saya bahwa
media sosial berisi hal-hal tidak penting jelas berangkat dari ketertarikan
saya pada satu hal; bertolak dari minat saya pada aspek tertentu; bermula dari selera
pribadi saya atas sesuatu.
Karena saya
berada dalam proses kuliah, saya senang jika mendapat informasi yang menunjang
pengetahuan supaya kuliah menjadi lebih lancar. Untuk itu, kadang ada harapan
kecil media sosial akan membantu proses pembelajaran. Facebook dan Twitter
cukup membantu. IG dan WhatsApp tidak. Facebook mungkin sudah banyak
ditinggalkan, tetapi orang-orang hebat masih betah di sana, sebab mereka
leluasa untuk menulis sesuatu tanpa dibatasi jumlah karakter.
Pak Goenawan Mohamad, misalnya, masih aktif berbagi tulisan di FB, dan, seperti biasa, tulisannya patut dipelajari. Terlepas dari wacana yang ia bawa perlu disetujui atau tidak, kebanyakan orang sulit untuk tidak mengakui bahwa cara menulisnya sulit ditandingi. Para cendikiawan hebat sering menanggapi tulisan Goenawan Mohamad, terutama Pak Lukas Luwarso—yang gencar menyerang tulisan-tulisan anti-sains. Selain nama di atas, masih banyak orang hebat yang menarik diikuti, tetapi daftar nama mereka cerita lain nanti.
Facebook dihuni
tulisan-tulisan menarik yang barangkali tidak akan kita temui di buku, majalah,
jurnal... sebut lainnya. Well, sungguh kemewahan.
Twitter juga
tempat menyenangkan sebab banyak ocehan-ocehan pendek atau utas yang bersifat edukatif.
Orang-orang hebat juga banyak menggunakan Twitter untuk berbagi pengetahuan
mereka. Karena terbatas ruang, Twitter sering menjadi tantangan untuk meringkas
gagasan dalam cara yang sangat padat. Tidak jarang karena keterbatasan itu,
ocehan-ocehan satir menjadi opsi kuat. Cuitan-cuitan pendek dengan selera humor
tinggi mudah kita jumpai. Dan hal ini sulit kita temui di FB.
Instagram
berbeda sama sekali. Ia memang menjadi tempat beberapa orang hebat berbagi
hal-hal hebat. Beberapa akun bersifat edukatif. Tetapi, di sana, menurut saya
seperti tempat yang diciptakan bagi kita untuk berlomba-lomba tampak hebat dan
berlomba-lomba membuat orang lain terkesan. Karakter IG lebih kental berisi
hal-hal yang memanjakan mata: foto. Karena itu, porsi pembelajaran di IG tidak
sebanyak di FB atau Twitter, setidaknya sependek yang saya tahu; sependek minat
bidang kajian saya.
IG mungkin
adalah akar dari tempat manusia berebut atensi. Joseph Gordon pernah mengatakan,
Instagram berkepentingan agar kita mendapatkan atensi sebesar mungkin. Mengapa
demikian? Ketika kita upload di IG, kita akan mendapat atensi, sedikit maupun
banyak. Semakin banyak atensi yang kita dapat, makin besar atensi yang IG jual.
IG melatih kita untuk mendambakan dan menginginkan atensi, dan merasa frustasi
jika kurang mendapatkannya.
Sebenarnya,
media sosial adalah perpanjangan dari hasrat purba dari psikologi manusia: antensi.
Artinya, media sosial memudahkan kita untuk mendapat atensi sebagai kebutuhan
manusia, tetapi atensi itu kemudian mewujud dalam bentuk kuantifikasi-publik: Kita
semua bisa menyaksikan berapa jumlah like, jumlah pengikut, jumlah komentar,
dan seterusnya. Atensi tidak hanya memenuhi kebutuhan psikologi, tetapi menjadi
tanda baru bagi kelas masyarakat.
Semakin banyak
jumlah like, semakin banyak jumlah pengikut, semakin banyak jumlah komentar,
menjadi parameter tentang kualias personal si pemilik akun. Padahal, yang
disebut kualitas tersebut tidak jarang bersifat semu. Dengan kata lain,
penilaian kita pada seseorang seringkali bias karena bersandar pada hal yang
rapuh. Apakah jumlah follower benar-benar menentukan kualitas si pemilik akun?
Entah. Apakah konten-konten prank yang mendapat banyak like menentukan kualitas
di pemilik akun? Entah juga.
Atensi dan
kelas sosial itulah yang membuat orang-orang berlomba-lomba dalam menggaet
perhatian di media sosial. Ia bisa menjadi pemuas kebutuhan atensi, sekaligus
menjadi parameter semu tentang kualitas seseorang, yang, sialnya, betapapun
semu toh seolah menjadi lumrah.
lanjut di sini.