Saya punya dugaan yang sepertinya
benar: rata-rata pria di Indonesia adalah perokok. Kawan-kawan cowok saya
hampir semua seorang perokok. Famili saya—yang pria—juga nyaris semua perokok. Dalam
riset Atlas Tobacco, Indonesia menyumbang jumlah terbanyak pria perokok, pada
tingkat ASEAN. Oh, sekarang dugaan saya terlalu benar.
Saya sendiri tidak merokok. Dalam
hal ini saya minoritas. Dan, sebagaimana minoritas pada umumnya, saya
seringkali mendapat perlakuan yang kurang “mengenakkan”. Pertama, ketika kumpul
bareng kawan-kawan perokok, bisa dipastikan saya akan dikepung asap-asap.
Kedua, beberapa kawan gemar sekali meledek saya yang menurutnya tidak berani
merokok.
Tentang dikepung asap, kadang saya
biasa saja, dan kadang tidak. Kapan saya biasa saja adalah ketika berada di
tempat terbuka, atau dalam ruangan yang sirkulasi udaranya bagus, sehingga asap
tidak terlalu mengganggu. Jujur saja, saya kadang ingin sekali masa bodoh
tentang asap rokok. Tetapi sering tidak mampu. Para perokok mungkin berpikir,
lha wong cuma asap rokok, apa masalahnya?
Sebenarnya asap rokok tidak akan
bermasalah—saya percaya—pada orang yang sudah terbiasa dengan asap rokok. Sialnya
saya termasuk orang yang tidak nyaman dengan asap rokok. Bergaul dengan
asap-asap lain saya masih bisa, misalnya, asap kayu di dapur, asap obat nyamuk,
asap knalpot motor dua tak—meski kata kawan lebih berbahaya. Anda tahu, ini
hanya soal cocok tidak cocok.
Saya pernah menyatakan itu pada
kawan karib yang perokok, katanya: “Karena itu, Dab, merokok sajalah. Kau tidak
merokok dan sering menghirup asap perokok, itu namanya perokok pasif.”
Menurutnya perokok pasif lebih berisiko terserang penyakit dari pada perokok
aktif. Saya gemas pada kawan ini, jika ia memang meyakini bahwa saya lebih
berisiko karena asap rokok, dan ia sengaja merokok di tempat saya, itu apa namanya?
Pelan-pelan mengirim penyakit? “Kampret,” responnya ketika saya menyatakan itu,
“serba salah ngomong sama kamu.”
Sekali lagi, asap rokok hanya soal
cocok tidak cocok, terlepas dari itu bahaya atau tidak. Kawan perempuan saya,
yang juga tidak perokok, masih nyaman-nyaman saja dengan asap rokok, tetapi
tidak tahan dengan asap obat nyamuk. Karena itu, kadang saya takjub campur heran
melihat beberapa para perokok mampu menikmati asap dengan khidmat. Saya
membayangkan mereka juga heran mendapati saya sensitif pada asap rokok.
Jika asap rokok adalah persoalan
pertama, persoalan kedua, adalah tentang ledekan saya tidak berani merokok. Oh,
saya tidak mempermasalahkan orang mau merokok atau tidak, entah itu cowok atau
cewek, ia perokok atau bukan, bisa dibilang saya tidak peduli. Yang saya heran,
beberapa orang kenalan saya, dari dulu hingga sekarang tidak kehilangan
semangat memprovokasi saya untuk merokok. Anda tahu, mereka seperti gelisah
jika melihat laki-laki tidak merokok seperti saya, dan mereka merasa saya orang
tersesat yang perlu mendapat pencerahan.
“Pria harus merokok, lah...”
katanya, dengan nada sinis dan sesekali menunjukkan senyum bercanda. Dalam
beberapa kesempatan ketika nongkrong kadang mereka rela menyulutkan rokok untuk
saya. Saya masih menolak. Belakangan, saya jarang kumpul bareng kawan-kawan
ini. Saya lebih sering kumpul bareng kawan kampus yang jarang mengusik saya
tentang rokok. Mereka kawan-kawan yang enjoy dan masa bodoh soal saya merokok
atau tidak.
Dulu ketika SMP saya pernah merokok,
karena pergaulan, meski hanya beberapa saat—saya tidak ingat berapa lama
pastinya. Pada waktu itu saya masih dalam tahap coba-coba, dan tidak dapat
sepenuhnya menikmati rokok sebagaimana para pecandu. Selama merokok, jujur
saja, saya belum sempat merasakan di mana kenikmatan merokok. Alih-alih, saya
tidak nayaman mencicipi asap rokok.
Di zaman SMP, saya banyak bergaul
dengan kawan-kawan nakal. Setidaknya nakal menurut kaca mata umum. Kawan saya
sering bolos sekolah, mabuk, tawuran, dan maaf, sesekali memakai obat-obatan,
Saya tidak punya opsi pertemanan karena sekolah SMP saya jauh, sekitar 7-8 KM
dari rumah, dan saya butuh teman berangkat bersama. Lambat laun momen itu
memperdekat kami. Di sekolah saya tidak banyak bergaul dengan kawan lain.
Karena saya tidak ikut-ikutan merokok dan beberapa kebiasaan mereka, tentu saja
saya dibully.
Bertahan dari bullyan mereka bukan
perkara mudah. Akhirnya Saya tertarik untuk ikut merokok, dan segera berhenti
setelahnya. Di kemudian hari, saya pikir itu keputusan baik. Syukur saya tidak
kecemplung untuk ikut memakai obat-obatan, mabuk, dan tawuran. Untuk ikut bolos
sekolah saya masih sering.
Kembali pada soal alasan tidak
merokok. Ketika ditanya alasan tidak merokok, jawaban saya sederhana: tidak
nyaman, tidak terbiasa, atau alasan-alasan semacamnya. Bukan faktor takut,
bukan faktor berusaha hemat, bukan faktor kesehatan. Faktor kesehatan ini saya
pikir penting disebut, karena saya percaya, mengikuti beberapa penelitan
tentang rokok, bahwa merokok tidak seberbahaya itu. Bahkan menurut penelitian
tertentu rokok tidak berbahaya. Oh, sudah banyak jurnal atau buku yang
membahas, saya tidak perlu mengulangi di sini.
Karena itu, alasan saya tidak merokok
bukan faktor muluk-muluk, hanya sebatas tidak nyaman. Dan saya pikir itu wajar,
sebagaimana orang tidak perlu heran mendapati orang lain tidak nyaman,
misalnya, memakai sarung, sedangkan ia nyaman sekali menggunakan sarung.
Pada banyak kesempatan, paman-paman
di rumah memuji setiap kali ngobrol soal rokok, “Enak kalau kamu nggak merokok.
Bagus lah. Kadang aku juga ingin berhenti merokok.” Tidak hanya paman,
kawan-kawan saya sering mengeluhkan dirinya yang ingin berhenti merokok, namun
tidak mampu karena terlanjur kecanduan. Mendengar ucapan mereka, saya
senyum-senyum saja.
Sedangkan pada kawan lain, rokok
sudah serupa pelarian, yang dapat menenangkan ketika depresi, yang dapat
menjadi kawan kala sepi, dan menjadi pendamping menikmati kopi. Tidak masalah
wong ini soal kecenderungan masing-masing orang.
Sebagai minoritas, orang yang tidak
merokok menghadapi masalah yang sama:
tekanan mayoritas. Tidak peduli separah apa saya sensitif pada asap rokok, saya
tetap harus menghormati mayoritas; tidak peduli tidak nyaman pada asap, saya
tetap tergoda untuk berkumpul dengan kawan perokok. Dan saya tidak bisa
mempermasalahkan mereka, karena ya itu tadi, merokok atau tidak hanya soal
pilihan pribadi.
Sebagai minoritas, saya menghormati
dan menghargai perokok dengan cara mempersilahkan mereka merokok di tempat
saya, sesekali saya menyediakan tempat putung dan lain-lain di kamar, meski saya sangat terganggu dengan asapnya. Saya
tidak tahu apa yang perokok pikirkan, sebagai mayoritas, ketika merokok. Barangkali mereka tidak perlu memikirkan apa-apa. Toh hanya rokok.
Sekali lagi, hanya rokok.