Seperti memiliki kehendak otonom, ingatan datang dan pergi sesuka hati. Sebagian dari ingatan sama sekali tidak bisa dihapus. Sialnya, beberapa ingatan hanya memutar adegan buruk yang menimbulkan nyeri pikiran.
Di kepala saya, ada kejadian sepele yang selalu saya ingat, sebegitu sepele sebenarnya, hingga terasa berlebihan ketika ia melulu menimbulkan pilu: “Makanan ini apa namanya?” tanya saya pada kawan-kawan. Mereka kompak menunjukkan ekspresi terkejut campur heran, beberapa dari mereka mungkin merasa mendengar ironi.
“Ya Tuhaaan, Cak. Kamu nggak tahu?”
Saya tersenyum kecut.
____
Kami berenam kumpul setelah menghadiri sebuah acara. Sebagaimana umumnya orang lama tak berjumpa, saya senang mendapati momen bertemu mereka: kawan-kawan dekat. Saya langsung mengatakan setuju ketika mereka menawari makan di sebuah tempat sambil ngobrol ringan-ringan.
“Harusnya kamu nggak ngambil program studi Filsafat,” kata salah satu kawan saya. “Kalau linier kan lebih enak. Heran deh sama pilihan kamu.
“Toh aku nggak bayar,” jawab saya singkat.
Sebenarnya saya menahan nafsu untuk menjawab panjang lebar kenapa saya memilih filsafat sebagai prodi untuk jenjang magister. Dari sebab tidak tertarik bertemu mata kuliah yang sama jika saya mengambil prodi linier, hingga ketertarikan untuk mendalami keilmuan baru dengan serius. Linier hanya memiskinkan literatur, kata dosen. Saya mengangguk setuju.
Saya ingat betul, pada masa awal belajar di kampus, saya “berutang budi” pada filsafat. Tetapi ia bukan prodi yang bisa saya masuki ketika itu, karena terhalang restu orang-orang tertentu. Untungnya, ada dosen baik hati yang dengan suka rela mau membimbing saya belajar filsafat. Suatu hari, Pak Dosen memberi saya buku pengantar filsafat sembari menitip pesan. Bacalah, nanti malam akan aku lihat sejauh mana pemahamanmu.
Saya gemetar. Dibimbing oleh ahlinya memang menyenangkan, tetapi karena di hari itu banyak jam kuliah dan deadline tugas, saya hanya sempat membaca beberapa lembar saja buku pengantar filsafat itu. Saya makin gemetar. Malam hari, saya menghindari untuk bertemu Pak Dosen.
Saya berpikiran bahwa Pak Dosen jelas kecewa pada saya. Ia orang sibuk yang telah dengan sukarela memberi bimbingan, dan saya melewatkannya. Saya merasa bersalah. Lalu saya memelihara dendam untuk membaca buku itu, juga buku-buku pendukung lain, dengan membabi buta. Dari bacaan-bacaan itu, yang sebenarnya sekarang sudah saya lupakan poinnya, banyak hal baru yang membuka pikiran untuk melihat dunia keilmuan.
Dari bacaan itu juga, saya lebih baik dalam melakukan analisis dan bertanya tentang berbagai hal yang saya dengar dan baca. Di kelas, saya lebih berani mengajukan pendapat dan bertanya tentang poin-poin yang dipresentasikan kawan-kawan.
Itu semua, antara lain, dipicu buku pengantar filfasat itu tadi, hingga saya memiliki semangat untuk belajar.
Saya kehilangan selera untuk menceritakan itu semua pada kawan saya. Meski sebenarnya ia kawan cukup dekat, cara dia menyatakan pendapat lebih dekat pada bentuk penghakiman pada pilihan saya, alih-alih bertanya apa alasan saya, alih-alih mendukung saya.
___
Cafe itu cukup ramai. Suara-suara knalpot di jalan dan suara orang bercakap campur suara pekerja membuat tempat itu berdengung serupa tawon. Untunglah, tempat di pojok cukup tenang dan meja kayu jati lebar itu membuat kesan klasik makin kuat.
Saya baru pertama datang ke tempat itu. Saya pesan sebuah menu yang juga dipesan kawan, dan ia kawan yang cukup mengerti gelagat kikuk saya, ia juga memesankan minuman hangat untuk saya karena mengerti badan saya kurang sehat.
Karena umur kami yang sudah melewati masa remaja, maka topik di atas meja itu tidak lepas dari tema pernikahan. Mereka berharap bisa bertemu pasangan hidupnya, mendapat pekerjaan yang baik, dan menuju pelaminan dengan perasaan bahagia.
Kawan saya yang datang dari jauh bercerita bahwa ia terpaksa mengaku berusia 18 tahun kepada familinya yang sudah berusia tua. “Duh... cepatlah nikah, jangan sampai menunggu usia 20,” kata familinya. Kami tertawa bersama sebab kawan ini sudah berusia 25 tahun.
Sambil menikmati makanan yang terlalu asin di lidah saya itu, obrolan kami masih berlanjut dan makin melantur kemana-mana, hingga makanan kami sama-sama habis.
“Makanan ini apa namanya?” tanya saya pada kawan-kawan. Saya hendak membayar dan melihat bill, dan ada banyak nama makanan di sana sebab bill kami disatukan.
“Ya Tuhaaan, Cak. Kamu nggak tahu?”
Saya tersenyuk kecut.
“Eh, dia nggak tahu makanan ini, tapi kalo ditanya soal sejarah Islam, kita mah nggak ada apa-apanya,” kata kawan saya.
“Ya, tapi ini bukan kelas kuliah. Di kehidupan sehari-hari kita tidak membahas itu,” sanggah kawan saya yang lain. Sedang saya masih diam dan tak menjawab.
“Rambutan udang,” kata kawan yang lain.
Baru saya menyadari, mereka tidak mengenal saya, sebagaimana saya juga tak mengenal dekat mereka. Saya duduk dan merasakan kehilangan semangat mendengar percakapan tadi, terbanyang perjuangan belajar ketika kuliah.
___
Orang memilih apa-apa yang ingin mereka ketahui. Dengan itu, ia secara tidak langsung juga memilih apa-apa yang ia tak ingin ketahui. Hal ini, jelas saja, dilatari oleh kebutuhan masing-masing, juga terkait apa yang penting dan apa yang tidak penting di kehidupan orang bersangkutan.
Entah karena saya yang telalu cengeng atau apa... mengingat percakapan kawan di atas, saya berkaca-kaca, sedih, murung.
___
Di kehidupan zaman ini yang menurut Harari tidak bisa diprediski lagi seperti apa bentuk masa depan, ada orang-orang yang sibuk menyelami pengetahuan-pengetahuan. Bergelut dengan banyak diskusi demi menjawab berbagai kegelisahan. Bagi orang sejenis ini, pengetahuan dapat mengantarkan pada keasyikan, dan kedalaman, dan kebijaksanaan, dan kerendahhatian. Sejumlah perasaan yang membuat orang itu merasa dirinya kecil di hadapan dunia. Bagi orang ini menyelami pengetahuan adalah hal paling penting.
Di sisi lain, ada orang-orang yang sibuk bergelut dengan hal-hal yang entah apa.
Saya berkaca-kaca menulis ini. Dan menggigil sedih.