Rabu, 15 September 2021

Cinta Menurut Filsafat

Satu orang kawan tertawa, satu lainnya memilih diam, ketika saya mengajukan pertanyaan yang mungkin mereka anggap konyol tetapi benar-benar saya cari tahu jawabannya: Apakah manusia bisa tidak jatuh cinta?


Sepanjang sejarah manusia, cinta berpotensi menjadi hal yang paling menyita perhatian. Yang saya maksud di sini tentu cinta romantis, anda tahu, hubungan spesial antar lawan jenis. Pertanyaan di atas saya ajukan karena, well, saya malas jatuh cinta. Tetapi sebagai manusia normal, tentu saja saya jatuh cinta. Cinta mengganggu aktivitas, dan menyita banyak pikiran. Pengalaman dengan wanita juga  menyedihkan.


Sebegitu menyedihkan, hingga saya berpikir untuk tidak jatuh cinta.


Lalu dengan sedikit usaha di sela-sela waktu luang, saya berusaha mencari jawaban dari pertanyaan yang mungkin naif itu. Saya menganggapnya sebagai rute pembelajaran tersendiri, karena begitu banyak perspektif yang saya dapat, meski saya belum menemukan apakah seseorang benar-benar bisa tidak jatuh cinta. Saya gatal menulis bagian-bagian penting dari apa yang telah saya pelajari. Karena itu, mungkin ini akan menjadi catatan berseri, seiring dengan data-data baru yang saya temukan.


Sebagai pencarian jawaban pasti, pintu masuk yang paling memuaskan tentu saja adalah perspektif sains. Apa yang sains katakan tentang cinta? Banyak. Saya masih harus mengumpulkan data lebih banyak lagi untuk mengetahui keping demi keping hingga menjadi sesuatu yang lebih utuh.


Sementara, saya akan menulis tentang apa yang dikatakan filsafat, dan para filosof, tentang cinta. Pendapat dalam rumpun keilmuan ini tidak kalah menarik.


Membuat seorang melayang gembira sekaligus meremuk-redamkan pikiran, itulah cinta. Para filosof tidak memiliki perbedaan pendapat soal ini. Sebagaimana khas para pemikir, pertanyaan soal cinta bertolak dari kegelisahan menarik. Apakah cinta membuat kehidupan lebih bermakna atau hanya pelarian dari kesendirian? Apakah cinta hanya kedok dari hasrat seksual manusia, atau jebakan biologis untuk membuat manusia berkembang biak? Apakah manusia benar-benar membutuhkan cinta?


Menurut Plato, manusia mencintai untuk menjadi sempurna. Plato banyak menerima kisah Aristofanes, penulis drama komedi. Suatu malam mereka bertemu dan si tukang cerita bertutur pada Pak Filsuf tentang kisah cinta. Mula-mula, manusia bertangan empat, berkaki empat, dan berkepala dua. Lalu makhluk ini membuat Zeus murka dan ia membelah makhluk ini menjadi dua bagian—manusia dengan wujudnya sekarang.


Manusia berubah bertangan dua, dua kaki, satu kepala. Sejak itu, manusia kehilangan separuh dirinya. Dalam karya-karyanya, Plato memang sering mengartikulasikan filsafatnya dengan bentuk tokoh-tokoh yang bercakap-cakap, atau dengan kisah-kisah. Ia memang tidak mengatakan dengan eksplisit bahwa kisah yang ia dengar dari Aristofanes itu fiksi atau tidak. Tetapi banyak para penafsir Plato yang berpendapat, dari kisah di atas, Plato ingin mengatakan bahwa cinta adalah obsesi manusia untuk mencari belahan jiwa yang bisa membuat seseorang utuh kembali.


Kontras dengan Plato, Arthur Schopenhauer mengatakan, cinta mengelabuhi manusia untuk beranak-pinak. Cinta yang didasarkan hasrat seksual adalah ilusi gairah, katanya. Kita mencintai tidak lebih karena hasrat memacu kita percaya bahwa orang tersebut akan membuat kita bahagia, dan tentu saja kita sangat keliru. Hukum alam telah menjebak para manusia untuk berkembang biak dan perpaduan cinta yang kita cari terwujud dalam anak. Ketika kebutuhan seksual kita selesai, kita dapat kembali terlempar dalam perasaan sengsara. Manusia telah berhasil meneruskan satu generasi lagi untuk meneruskan siklus hidup keras.


Pendapat Pak Schopenhauer mengandaikan bahwa kita kalah dengan hukum alam, cinta hanya kebutuhan seksual yang bersembunyi dibalik jubah cinta. Dan cinta, pada perspektif ini, terampau licik hingga mampu menutup keburukan pasangan, yang kelak akan disadari jauh setelah perasaan cinta menggebu menurun.


Jadi, apakah cinta hanya soal hasrat seksual? Well, bagi Bertrand Russell, aspek penting lain adalah wilayah psikologis. Pemenang hadiah nobel ini menyatakan manusia dirancang untuk berkembang biak, namun tanpa cinta yang bergairah—nuansa psikologis—seks sama sekali monoton. Pada dasarnya, manusia takut akan dunia yang dingin dan kejam, hingga perasaan ini mendesak bawah sadar untuk membangun kesenangan diri. Kesenangan cinta mampu membuat kita lupa tentang ketakutan dunia, lepas dari cangkang kesepian, dan lebih terlibat dalam kehidupan luas.


Mungkin kita mencintai memang karena kebutuhan hasrat mendasar, sebagaimana menrut Siddarta Gautama. Tetapi, kita tahu, bagi sang Buddha, hasrat adalah kekurangan, ketergantungan. Dan cinta romantis termasuk sumber utama penderitaan. Lalu kita mengenal konsep Buddha tentang jalan kebenaran terbebas dari ketergantungan, dan mencapai Nirwana, kondisi penuh ketenangan.


Saya pikir, kesimpulan dari pendapat Buddha adalah ketergantungan merupakan jangkar dari tragedi. Dan jangkar yang paling dalam serta menenggelamkan apapun yang ditariknya, adalah cinta.


Beberapa tokoh di atas, saya kira telah mengungkap bahwa cinta cukup berbahaya. Tetapi, sebagai pungkasan, menarik untuk melihat apa yang dikatakan Simon de Beauvior, pasangan Jean Paul Sartre. Beauvior mengatakan cinta adalah hasrat untuk bersatu dengan yang lain dan sarana masuk pada hidup yang lebih bermakna. 


Persoalan yang dijawab filsuf wanita ini adalah, bagaimana kita dapat mencintai dengan lebih baik? Baginya cinta telah menjebak banyak orang karena kita tergoda menjadikan cinta alasan tunggal eksistensi kita. Hal ini berbahaya karena ketika eksistensi digantungkan pada cinta, perasaan bosan nyaris merusak segalanya.


Karena itu, Beauvior menyarankan cinta apa adanya, mirip seperti persahabatan erat. Pasangan saling menopang dalam pencarian diri, dan memperkaya hidup bersama. Beauvior mungkin contoh paling pas dari cinta “liberal”: ia tidak mau membawa cintanya pada jenjang pernikahan dengan Sartre—kekasih yang sama-sama filsuf Prancis, bahkan keduanya telah sepakat boleh memiliki kekasih lain, selama keduanya saling jujur.


Tidak mudah menarik benang merah tentang apa yang dikatakan filsafat tentang cinta. Tetapi setidaknya, pendapat di atas telah mewakili banyak hal tentang cinta romantis: belahan jiwa, kebutuhan biologis, dan...ketergantungan, mungkin?


Filsafat memang tidak menjawab pertanyaan saya, dan saya masih pesimis manusia bisa terbebas dari cinta romantis. Namun motif-motif di atas telah membuat tilikan menarik. Selebihnya, cinta masih serupa meluncur dari plosotan tinggi wahana air: menakutkan, menyenangkan; membuat kita kehilangan diri, atau menemukan diri.