Mari asumsikan
bahwa pendapat umum ini terbukti benar: Sekolah kita ditujukan untuk mendapat
pekerjaan baik di masa depan. Dan mari asumsikan pendapat kedua ini sama
benarnya: Dunia kerja kita tidak menuntut kecerdasan intelektual, uang pelicin
tebal atau orang dalam menjadi syarat utama, atau yang paling patut, skill yang
mumpuni—hal yang pada titik tertentu berbeda dengan kecerdasan intelektual.
Poin di atas
bagi saya memunculkan paradoks besar: Sekolah dan kampus di Indonesia
kebanyakan berkutat pada urusan intelektual. Dengan kata lain, pelajaran di
sekolah jarang memiliki korelasi dengan dunia kerja, kecuali siswa yang lanjut
kuliah di bidang yang spesifik, pariwisata, misalnya. Di jurusan ini mahasiswa benar-benar
memiliki pengetahuan di bidang itu, katakanlah, untuk menjadi pemandu
pariwisata tingkat nasional maupun internasional. Apa yang mereka pelajari
relevan dengan dunia kerja kelak.
Di beberapa
negara Eropa, seperti Spanyol dan Bulgaria, pengamen harus memiliki ijazah
diploma musik. Pemerintah setempat ingin memastikan kualitas para musisi benar-benar
mampu menghibur warga sekitar maupun wisatawan dari berbagai negara. Beberapa orang
bahkan mengambil kuliah ini demi bisa menjadi “pengamen” berkualitas. Kampus-kampus pun memberi fasilitas perkuliahan.
Kuliah musik
mungkin tidak “terikat” langsung dengan kegiatan intelektual. Tentu saja, musik
adalah kegiatan kognitif juga, mereka memerlukan kecerdasan di atas rata-rata
untuk menyusun nada menjadi musik yang dapat dinikmati. Tetapi, maksud saya,
kuliah musik benar-benar berbeda dengan kuliah yang “terikat” langsung dengan
kegiatan intelektual, terutama dalam konteks “terikat” harus banyak baca.
Sebagai contoh,
di zaman S1 saya mengambil prodi teologi, jurusan yang benar-benar murni
berurusan dengan teks. Untuk mendapat hasil yang maksimal, saya harus banyak
berkutat dengan teks-teks teologi. Kebanyakan, tugas akhir mahasiswa teologi
juga berkutat pada riset teks, sehingga membutuhkan banyak membaca. Tanpa ingin
membedakan dengan perkuliahan musik, apa yang kami pelajari cukup identik
dengan kegiatan “intelektual” (dengan tanda kutip).
Prodi sastra
barangkali memiliki karakteristik cukup sama, yakni bidang yang bergelut dengan
teks. Mahasiswanya dituntut banyak membaca karya sastra. Dan tugas akhir
mereka kemungkinan besar berada dalam konteks riset teks sastra. Tidak menutup
kemungkinan bidang ini melakukan riset lapangan, sebagaimana juga prodi saya,
tetapi kebanyakan dua prodi ini berkutat pada teks.
Kembali pada
asumsi yang telah saya tulis di paragraf pertama, jika memang sekolah ditujukan
untuk mendapat pekerjaan baik, maka orang-orang di jurusan saya akan menghadapi
kesulitan. Sebab kami tidak pernah mendapat pengetahuan atau skill spesifik
apapun tentang dunia kerja. Kami hanya sibuk berkutat dengan teks-teks. Dulu saya
masuk jurusan ini semata-mata karena suka. Benar-benar ingin membidangi. Maka saya
rajin belajar. Rajin mengerjakan tugas.
Saya bukan tipe orang yang mudah menangkap materi atau gagasan yang ada dalam perkuliahan atau buku, karenanya saya membutuhkan tenaga ekstra untuk belajar. Bisa dikatakan, saya belajar dua kali lipat lebih keras. Begitupun ketika menulis tugas makalah-makalah, saya benar-benar serius, hingga sering terlarut dalam banyak data. Benar-benar serius yang saya maksud adalah penghalusan dari mati-matian, tertatih-tatih. Sebegitu mati-matian saya menulis tugas, hingga tidak peduli terhadap isu-isu yang tejadi di luar sana.
Bahkan, saya
jarang memiliki waktu untuk bersenang-senang. Saya sering
takjub pada mahasiswa lain, sementara saya ngos-ngosan belajar dan menulis tugas,
mereka seolah memiliki banyak waktu untuk jalan-jalan, nonton, nongkrong, dan yang
benar-benar fantastis, pacaran. Apakah yang mereka lakukan buang-buang waktu? Tidak juga, sepertinya. Toh banyak dari mereka yang sekarang hidupnya enak-enak saja. Melihat
realitas, kadang, rajin kuliah tidak berkorelasi langsung dengan kesuksesan, terutama kesuksesan finansial.
Banyak dari
kawan-kawan yang nyatanya jauh lebih baik dari pada saya hari ini, dalam
konteks pekerjaan. Mereka yang dulu “tidak terlalu mengikuti kuliah”, hari
ini memiliki kondisi yang lebih baik. Tetapi, jika saya perhatikan, mereka
dapat tumbuh seperti sekarang karena skill yang mereka asah, atau mungkin
sedikit koneksi. Dua modal penting, memang. Beberapa memang beruntung memiliki
orangtua berada. Beberapa mungkin benar-benar beruntung sehingga mendapat "jalan".
Saya bukan
kombinasi dari semuanya.
Ketika kuliah,
saya hanya membangun skill di bidang intelektual—kalau boleh saya sebut demikian.
Saya sedikit rajin membaca buku, mencari guru menulis, dan
berupaya terlibat kelas riset. Khas kegiatan “intelektual” (sekali lagi,
dalam tanda kutip). Tetapi, hingga hari ini, ketiganya tidak benar-benar saya
kuasai, sehingga hanya menjadi kelas medioker. Ajaibnya, saya menjadi lulusan
terbaik fakultas dan mendapat beasiswa lanjutan.
Dan sekarang,
dengan intensitas yang jauh menanjak ketimbang S1, saya kembali berkutat dengan tugas-tugas,
sebab studi yang diambil sama sekali berbeda. Dan sialnya, ia juga bukan prodi
yang membangun kemampuan spesifik di dunia kerja—saya mengambil prodi Filsafat
Islam. Melihat pola kehidupan yang benar-benar aneh, misalnya orang-orang yang
kuliah biasa-biasa saja tetapi memiliki kehidupan lebih baik, telah menampar
saya.
Sementara saya
berkutat berusaha mengikuti ritme belajar yang ketat, deadline tugas makin berat, saya terduduk diam... untuk apa sebenarnya segala kepusingan ini?
Masa depan yang baik? Sepertinya tidak, atau setidaknya belum. Paling banter,
mungkin saya bisa menjadi pengajar. Artinya, saya berkutat pada pendidikan yang
menghasilkan kerja pendidikan.
Karena
pertanyaan-pertanyaan ini, saya juga memikirkan apa yang terjadi dalam kultur
sekolah. Umumnya siswa-siswa juga tidak diajari kemampuan spesifik untuk dapat
bertahan hidup dengan layak menghadapi dunia kerja. Kebanyakan mereka sibuk
diberikan pelajaran-pelajaran standar yang mereka juga bosan menghadapinya.
Kalau boleh saya simpulkan, berdasarkan opini-opini para guru saya, sebenarnya
sekolah kita tidak punya rumusan yang jelas tentang model pendidikan; akan dibekali apa para murid untuk menghadapi masa depan.
Umumnya sekolah
sibuk dengan jargon-jargon abstrak: Ingin menciptakan generasi agamis atau
berakhlak mulia, yang jangan-jangan juga gagal. Sebab, apa parameter untuk
mengukur tujuan mulia ini? pernahkah sekolah melalukan evaluasi terhadap apa
yang mereka rumuskan. Jika iya, bagaimana hasilnya? Jika tidak, apa sebenarnya
fungsi rumusan abstrak itu?
Well, jika
pelajaran di sekolah atau kuliah tidak memiliki korelasi positif dengan dunia
kerja, lalu untuk apa siswa belajar mati-matian menghadapi ujian? Apa untungnya
mahasiswa yang rajin kuliah dan mengerjakan tugas? Apa gunanya sekolah
tinggi-tinggi? Shadguru Jaggi Pasudev, seorang bijak dan mistikus terkemuka
dari India, pernah mengatakan: Seseorang pernah berpendapat bahwa pendidikan
adalah kejahatan yang diperlukan. Dan Shadguru menyimpulkan bahwa pendidikan yang
keliru adalah bentuk kekejaman lain sebab mengandung bahan bakar kemanusiaan.
Jangan-jangan itu benar.