Seperti orang yang terbebas dari masalah duniawi, saya duduk sangat santai menikmati suasana malam di depan kamar. Lalu pesan pendek dari seorang teman masuk, ia minta rekomendasi buku bagus yang segar untuk dibaca. Saya memberikan opsi judul, dengan perasaan gembira. Entah kenapa, sejak belajar cara berpikir meditatif ala yoga, saya diserang perasaan gembira yang tidak jelas, dan ini baik karena sebelumnya saya selalu dihinggapi rasa sedih tidak jelas.
Melalui WhatsApp, saya masih terus bercakap dengan kawan ini, dan topik kami bergeser tentang pertemanan. Ia bertanya, menurut saya, apa bentuk batasan peduli pada teman. “Menarik. Pendapatku mungkin berada di wilayah umum. Cuman aku makan dulu, ya. Lapar,” tulis saya.
“Cewek-cewek yang makan sambil pegang hp nangis baca ini,” balasnya, lengkap dengan emot tertawa berpeluh di jidat.
Dan saya tertawa membaca balasan itu.
Saya mengajukan pendapat cukup panjang, sebab ia kawan dekat dan saya merasa nyaman ngoceh panjang lebar pada kawan dekat. Saya ingin menaruhnya di sini—setelah saya edit—sebagai bagian dari tulisan sederhana interaksi dengan teman.
***
Peduli dan teman, dua kata kunci pertanyaan sampean. Sori, kepala saya terbiasa berpikir rumit—atau berputar-putar, jadi untuk menjawab itu bisa agak panjang. Saya coba tulis lengkap dengan sebuah prinsip umum yang barangkali bisa berguna di banyak konteks.
Ada perbedaan mendasar antara berpikir dan khawatir. Berpikir, setidaknya dalam definisi umum, dapat dikatakan sebagai aktivitas mengolah data dengan penalaran yang sistematis dan benar, dan menuju pada kesimpulan tertentu, misalnya untuk mencari solusi masalah.
Khawatir jelas berbeda dengan berpikir, ialah perasaan cemas dan takut karena kondisi yang belum pasti, biasanya juga dihasilkan dari mengolah informasi yang tidak lengkap dan dinalar dengan keliru, sehingga seringkali menimbun tumpukan emosi sentimentil tidak jeas.
Beberapa orang—untuk tidak mengatakan banyak—berkata sedang banyak pikiran padahal ia cuma khawatir belaka. Mereka tidak berpikir. Mereka tidak mengolah data dan informasi dengan benar. Konsep ini masih berhubungan dengan peduli pada teman.
Perbedaan berpikir dan khawatir tadi, membawa beberapa implikasi. Kita, secara sederhana, dapat menerapkan berpikir pada wilayah mental yang tepat. Sekarang, kita bagi wilayah mental menjadi dua: lingkar pengaruh dan lingkar peduli.
Lingkar pengaruh adalah zona di mana kita memiliki sumber daya untuk memberikan kontribusi dalam memecahkan masalah; zona di mana kita memiliki tanggung jawab langsung; zona di mana kita memiliki pengaruh. Di luar batas ini, sudah termasuk zona lingkar peduli, wilayah di mana kita tidak punya sumber daya untuk melakukan perubahan maupun solusi memecahkan masalah, pun bukan tanggung jawab kita, dan kita tidak memiliki pengaruh.
Lingkar peduli adalah zona yang tepat untuk berpikir. Jadi kita secara sederhana telah memastikan itu memang wilayah di mana kita memiliki sumber daya meski terbatas, memiliki pengaruh langsung, dan memang termasuk tanggung jawab kita. Dengan kata lain, kita mengalokasikan semua proses berpikir untuk sesuatu yang jelas. Dari sudut inilah kita melihat objek-objek sekitar.
Misalnya, ada teroris di Malaysia. Tentu kejahatan teroris adalah masalah kemanusiaan. Tetapi apakah hal tersebut masuk wilayah lingkar pengaruh kita? Silakan identifikasi diri masing-masing dengan pertanyaan di atas: Apa saya punya sumber daya untuk mengatasi masalah ini? Apa saya punya pengaruh? Apa itu tanggung jawab saya?
Jika jawabannya adalah “iya”, maka silakan berpikir untuk memecahkan masalah teroris itu. Misalnya, anda seorang penulis yang memiliki ide sistematis untuk membasmi teroris di sana, silakan tulis ide itu dan publish. Tetapi jika jawabannya “tidak”, maka kita tidak perlu berpikir keras, sebab ini zona lingkar peduli, kita bisa menunjukkan rasa empati dengan pantas sebagai solidaritas kemanusiaan.
Sama seperti kepedulian kita kepada terorisme, di situlah letak kepedulian kita pada teman. Jika seorang teman menghadapi masalah, kita bisa menyusun pertanyaan yang sama seperti contoh di atas, selama itu berada di lingkar pengaruh, kita bisa melakukan sesuatu.
Dulu saya sering membantu penelitian teman, karena memiliki sedikit sumber daya, bahkan saya tidak peduli apakah itu kawan dekat atau bukan, sebab melihat banyak penelitian mereka termasuk mengasah skill penelitian saya. Ada poin timbal balik yang saya dapat.
Tetapi, agar tidak melewati batas, tentu kita perlu melihat apa dan siapa teman itu, bukan? Dalam hal ini saya berpatokan pada para mafia, mereka memiliki satu konsep pegangan: Omerta. Konsep tutup mulut karena kepercayaan. Misalnya, jika satu mafia tertangkap, mereka akan menjaga rahasia kawan mereka. Mereka saling percaya hingga para mafia bisa terus eksis hingga hari ini.
Tentara juga sering memiliki konsep kepercayaan yang sama.
Pada tanggal delapan September 2009, kapten William Swenson melakukan tindakan heroik. Ia memimpin pasukan Amerika, yang bekerja sama dengan Afghanistan, untuk bergerak membawa orang-orang penting pada lokasi rapat para pemimpin. Tetapi tiba-tiba mereka diserang dan dikepung dari tiga sisi.
Pak Swenson, berlari di tengah medan yang dihujani peluru untuk menyelamatkan para prajurit. Salah satu yang ia selamatkan dalah seorang sersan. Ia membopong sersan ini menuju helikopter evakuasi. Salah satu tim medis, kebetulan, memakai kamera Go-Pro di helmnya, lantas otomastis merekam aksi Pak Swenson, termasuk caranya membaringkan prajurit, lalu membungkuk dan mengecup kepalanya pelan-pelan, dan kembali lari di tengah peluru menyelamatkan lebih banyak orang. Tentara lain kemudian mengikuti aksi kapten ini.
Pak Swenson menerima penghargaan kehormatan dari kongres.
Belakangan, Simon Sinek mendapat kesempatan untuk mewawancarai para pahlawan itu, dan bertanya kenapa rela melakukan aksi dengan risiko besar. Para pahlawan memiliki jawaban yang sama, “Karena mereka akan melakukannya juga untuk saya.”
Ada rasa saling percaya yang kuat, mirip dengan konsep omerta.
Saya juga sering menyumbang bantuan pada teman, baik moril dan materil, dengan keyakinan yang sama: mereka akan melakukan hal yang sama untuk saya. Saya yakin anda juga pernah melakukan hal sama. Bahwa di kemudian hari mereka berkhianat, itu persoalan lain lagi. Mereka bukan lagi “lingkar omerta”. Oh, well, bahkan para bajingan memilih mati dari pada membuka mulut berkhianat pada teman.
Di mana batas peduli pada teman? Lingkar pengaruh, lingkar omerta.