Kamis, 30 Desember 2021

Catatan "Merah" di Blog ini Sepanjang 2021

Pada akhir tahun 2020, saya menulis catatan tentang tulisan yang paling berkesan di blog ini. Berkesan bagi saya. Tahun ini saya kembali ingin me-review tulisan-tulisan sepanjang 2021. Namun, saya akan memilih tulisan-tulisan yang tidak saya sukai—untuk tidak mengatakan benci.


Sebagai penulis catatan-catatan itu, memang semua terasa sudah lumayan bagus. Meski harus saya akui beberapa terasa kurang padu setelah saya baca ulang. Mungkin lain kali saya harus mengendapkan tulisan lebih lama sebelum dipost agar mendapat gambaran yang jernih. Meski di mata saya tulisan-tulisan di sini tampak lumayan, tetapi saya harus menulis catatan ini, tentang tulisan yang saya benci, sebab saya merasa terlalu menyakiti pihak lain—anda akan paham nanti.


Selain itu, tahun ini ada penurunan produktivitas menulis, dengan alasan yang sudah saya tulis pada catatan-catatan terdahulu. Hal ini menjadi poin tersendiri bagi saya. Sejujurnya, ada kekhawatiran tidak akan banyak catatan lagi di tahun depan. Tetapi saya kira itu tidak masalah. Grafik pengunjung blog ini sudah menurun. Dulu ada sekitar 300 pengunjung tiap bulan, sekarang angka itu turun hingga separuh.


Baiklah, berikut beberapa catatan-catatan 2021 yang saya tidak menyukainya.


 Cinta Menurut Filsafat


Dalam catatan ini saya menulis berbagai pendangan para filsuf tentang cinta. Tetapi jika dilihat kembali, berbagai pandangan itu tidak bisa saya rangkai sedemikian rupa hingga menuju satu kesimpulan utuh, atau bahkan kesimpulan yang pelik sama sekali. Yang saya lakukan seperti menulis mentah-mentah pernyataan para filsuf tanpa ada pemaknaan reflektif untuk menjawab apa itu cinta menurut filsafat.


Saya gagal menghadirkan tulisan yang patut.


Lebih dari itu, seharusnya catatan ini berjudul “Cinta Menurut Filsuf”, karena memang demikian cerminan yang pas. Dan persoalan penting lain adalah tulisan itu terasa plagiat. Oh, well, sebenarnya itu plagiat sepenuhnya. Saya hanya menyalin begitu saja dari apa yang saya baca di berbagai sumber. Kita tahu, menulis bukan menyalin. Saya merasa harus mengatakan ini karena... anda akan tahu di akhir tulisan ini.


       Catatan Tidak Sistematis Tentang Ingatan Pilu


Secara garis besar, saya menulis catatan ini karena ada orang yang menganggap bahwa tidak tahu nama makanan yang sudah populer adalah kesalahan. Padahal di dunia ini banyak yang memang tidak sempat kita ketahui, eh? Betapapun populernya sesuatu, ada kemungkinan bagi beberapa orang untuk luput mengetahuinya, dengan berbagai alasan.


Karena itu, saya merasa perlu menulis catatan ini, dengan harapan kita menjadi lebih arif menyikapi ketidaktahuan orang lain. Dan yang paling penting supaya saya mengingat untuk tidak melalukan penghakiman semacam itu. Akhir-akhir ini kita diperlihatkan berbagai orang yang “kepeleset” melakukan kesalahan, ialah menelan ludah sendiri. Dan menjadi bulan-bulanan netizen.


Nah, di luar tujuan itu, saya banyak menyajikan uneg-uneg lain, sehingga tulisan itu saya tulis dengan model acak, tetapi saya usahakan tetap padu. Uneg-uneg itu adalah pandangan sorang kawan yang menganggu pikiran saya ketika itu: Bahwa saya “ceroboh” tidak melanjutkan studi di prodi yang sama. Dan itulah mengapa saya membenci catatan ini.


Akar kebencian itu karena fakta mengatakan bahwa di Indonesia, linieritas menjadi kunci dalam karir, terutama jika anda ingin mengambil pekerjaan sebagai akademisi atau peneliti. Di luar itu, prodi Filsafat Islam yang saya ambil benar-benar memberatkan karena mendapat tugas dobel. Detail tentang ini sudah saya tulis juga di post terdahulu.


Intinya, nasihat teman saya waktu itu saya anggap sebagai kekeliruan. Dan pada kenyataannya mungkin saya terlalu berlebihan, hingga gagal melihat gambar besarnya.


Yeah, saya tidak ingin mengatakan bahwa pindah prodi itu buruk. Tidak. Sebagai idealisme, pindah prodi bagi saya malah mungkin lebih baik, sebab mampu menjadikan orang berpandangan lebih luas. Tetapi pindah prodi toh bukan satu-satunya jalan untuk memiliki paradigma melebar. Kuncinya tentu banyak belajar. Percuma pindah prodi kalau malas.


Saya ingin berdamai dengan diri sendiri, mengakui bahwa untuk kesejajaran prodi penting untuk karir. Dan saya berharap keterpelesetan ini memiliki obat nanti.


       Batas Peduli Pada Teman


Secara umum saya menyukai tulisan ini, tetapi ia mengandung unsur plagiat, terutama di bagian awal. Klasifikasi tentang perbedaan berpikir dan khawatir itu saya nukil dari pernyataan Kang Hasan. Seharusnya saya mengubah-nya. Tetapi saya pikir klarifikasi di sini juga akan membuat saya lebih hati-hati untuk tulisan-tulisan berikutnya.


Lebih dari itu, sisa dari catatan ini—yang porsinya lebih besar—bebas dari masalah plagiasi. Tentu sebenarnya saya bisa merubahnya, hingga lebih beres. Saya akan merevisinya. Tetapi setelah kawan-kawan yang biasa mampir di blog membaca catatan ini.


Sejujurnya, saya menyukai catatan Batas Peduli Pada Teman.


       Tulisan Saya Diplagiat


Mungkin ini catatan yang telah melukai beberapa pihak. Kawan yang pernah mengutip makalah kelas, akhirnya menghubungi saya dan meminta maaf, tetapi setelah itu kami lost kontak sama sekali. Kawan saya lain—yang sekarang lebih aktif menulis—juga meminta maaf, tetapi kami juga ada jarak.


Sebenarnya, saya tidak masalah menjadi objek prasangka buruk dari pihak lain. Apalagi dalam tulisan itu saya memakai beberapa kata-kata kasar, seperti “sialan”. Hal ini tentu akan membuat orang-orang itu membenci saya. Kita tahu, kata itu cukup netral digunakan untuk mengumpati kondisi tertentu, tetapi tidak elok jika digunakan berpolemik dengan seseorang. Apalagi polemik yang tidak terlalu penting.


Sekali lagi, saya tidak masalah memiliki musuh atau orang yang tidak menyukai saya. Namun, saya merasa telah melalukan sesuatu yang tidak pantas. Bagaimanapun efek tulisan itu tidak bisa saya tarik kembali. Ia sudah membekas dalam benak mereka bahkan hingga kelak mereka meninggal. Dan saya harus meminta maaf kepada mereka melalui tulisan ini karena saya telah bersikap tidak adil: Saya juga melakukan plagiasi.


Daftar tulisan-tulisan saya yang termasuk plagiat sudah saya cantumkan di atas. Dan lebih dari itu, saya mengira ada selipan-selipan plagiasi di tulisan-tulisan yang lain, terutama di tahun 2019-2020.


Yang paling memalukan adalah, tulisan yang saya anggap diplagiat itu adalah tulisan-tulisan sederhana yang tidak penting bagi kemaslahatan umat manusia. Dengan kata lain, sentimen saya dalam catatan itu tidak lain adalah jelmaan egoisme saya. Itulah yang paling memalukan. Saya seperti menelan ludah sendiri, pun ludah yang “tidak penting”.


Membaca tulisan itu tampak seperti melihat diri saya yang haus akan pengakuan. Haus akan anggapan bahwa saya hebat. Padahal ya apa gunanya? Saya hanya tampak seperti bocah yang membusungkan dada menantang orang lain berkelahi, hanya karena ia baru belajar ilmu bela diri.


Anda tidak bisa menilai apakah tulisan saya benar-benar diplagiat, karena semua sampel telah hilang: makalah yang dicatut sudah entah kemana; tulisan di blog kawan juga sudah ia hapus, persis setelah ia minta maaf. Dan sekarang saya juga harus meminta maaf, meski saya yakin ia tidak pernah datang ke blog ini, saya masih berharap, entah bagaimana caranya, kawan kuliah dan kawan pesantren saya itu membaca tulisan ini.


Dan saya juga tidak terlalu berharap mereka memaafkan saya, sebab tidak mudah, memang. Tetapi saya berharap kita semua terbebas dari plagiator, sebab betapapun sederhana, kadang tulisan yang diplagiat menimbulkan perasaan buruk.


Sebagai bahan perbandingan, anda bisa membaca tulisan respon dari seseorang atas catatan saya. Tulisan itu berjudul Plagiat, Resah, dan Belajar Menulis, anda bisa membacanya di sini.


Sedangkan untuk kawan kuliah, ia tidak menulis respon apa-apa. Ia tidak ngeblog. Karena itu anda tidak memiliki perbandingan perspektif. Untuk itu semoga anda memaafkan saya.

 

***


Terlepas dari tulisan yang saya benci di atas, mereka tetap seperti anak-anak saya. Mereka tidak bisa saya benci sepenuhnya. Mereka adalah jejak ketidak-adilan saya, yang bisa dilihat oleh banyak orang. Dan seluruh tulisan di blog ini mungkin gambaran utuh tentang ketidak-utuhan pikiran saya. Tetapi saya masih senang ngeblog.


Sampai jumpa.


Salam hangat. Semoga sehat selalu.