Sabtu, 27 November 2021

Belajar dari Story WhatsApp 2

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Untuk mendapat gambaran utuh, akan lebih baik jika anda membaca bagian pertama di sini.


***


WhatsApp barangkali makhluk yang sama sekali berbeda, sebab ia media komunikasi, meski begitu ia masih bisa kita katakan media sosial. Banyak basis grub yang bertempat di WhatsApp, dari grup sekolah, kuliah, komunitas, keluarga, pekerjaan. Jarang sekali orang yang tidak menggunakan WA, saya bukan termasuk golongan jarang itu. Sifat WhatsApp yang personal, membuat saya nyaman berbagi cerita di WA. Teman-teman saya juga sering berbagi cerita di situ.  


Konten-konten WhatsApp, sialnya, jarang berisi hal-hal penting, setidaknya penting menurut saya. Dalam waktu lama saya kehilangan selera untuk melihat story WhatsApp. Kadang, satu story yang sama diupload di tiga media sosial sekaligus: WA, FB, IG. Terasa mubazir? Saya sering bertanya-tanya, apa masih ada orang yang punya waktu untuk melihat story-story? Mengingat story itu jarang memiliki manfaat untuk kita.


Setiap akan bikin story, saya selalu memegang pikiran: apa pentingnya story ini untuk orang lain? Dan seringkali jawabannya adalah tidak ada. Tidak penting sama sekali. Dalam cara pandang yang sangat kasar dan merendahkan, saya juga sering menganggap bahwa story orang lain tidak penting, atau jarang yang penting. Dan akhirnya saya insaf. Bukankah seluruh hal-hal remeh akan tampak penting jika ia terjadi pada orang-orang terdekat kita.


Jika ada orang di belahan bumi lain yang tidak saya kenal sedang sakit gigi, tidak ada artinya untuk saya. Jika kerabat tersandung dan mengeluh di story, mungkin akan sedikit tampak penting, meski tersandung dan mengeluh blas ra penting. Yeah, memang masih tampak sangat buang-buang waktu mengurusi keluhan tidak penting seperti itu. Sebab saya berharap bertemu hal-hal yang cukup menarik. Dan sepertinya itu harapan yang melangit.


Story kadang memang tempat haha-hihi saja. Kenapa soal story saja saya mensyaratkan banyak hal ndakik-ndakik? Karena kecenderungan pribadi, tentu saja.


Akhirnya, karena tidak banyak hal menarik di story WhatsApp, maka saya harus membuatnya menarik. Saya menjadikan strory sebagai arena pembelajaran bagi saya sendiri, dengan dua cara. Pertama, membahagiai apa yang saya lihat di sana, tentang kegiatan orang, tentang pencapaian orang, tenang prestasi orang. Itu bisa menjadi ladang bersyukur: Melihat kawan-kawan dan orang-orang sudah melesat mencapai banyak hal.


Sebagian memiliki pendidikan yang bagus, sebagian memiliki pekerjaan bagus, sebagian memiliki aktivitas sosial. Semuanya membahagiakan: Wah, saya dikelilingi orang hebat. Beberapa kawan juga sering berbagi semua hal tentang dirinya, hingga saya bisa tahu perjalanan demi perjalanan yang ia tapaki. Nyaris secara harfiah, saya melihat bagaimana perkembangan orang-orang.


Jujur saja, pada awalnya, membahagiai pencapaian orang lain bukan perkara mudah. Bisa saja ada sifat iri yang bersemayam dalam diri saya, bisa saja ada sifat dengki yang bisa keluar kapan saja. Dua sifat ini hanya perlu dipantik sedikit saja untuk keluar dari sarangnya. Terutama melihat story atau posting kawan-kawan di media sosial. Bisa jadi prestasi orang lain adalah derita saya, seolah orang lain melalui prestasinya telah mencurangi saya.


Sebenarnya, pencapaian yang dulu sering saya iri adalah jika ada kawan yang lebih rajin belajar dari pada saya. Ia adalah sumber penderitaan tak terkira. Seharusnya saya paling rajin, dan, sebagai konsekuensinya, seharusnya saya paling pandai. Lihat, betapa mental pecundang ini pernah mendekam—sejak kecil, hingga ia tidak mudah dikeluarkan. Sekarang, jika ada kawan pandai, saya senang, sebab saya bisa belajar kepadanya.


Memiliki kawan pandai bukan persoalan mudah, eh. Seharusnya saya senang. Baiklah, tentu ada jenis story yang tidak mudah disifati bahagia, ialah story sombong. Jujur saja, hingga sekarang saya masih berjuang berdamai dengan posting semacam ini. Yang saya sebut sombong bukan sikap jumawa an sich, tetapi pamer pencapaian tanpa sikap elegan sambil merendahkan orang lain.


Pamer pencapaian itu bagi saya hal lumrah. Tetapi jika disampaikan sambil merendahkan orang lain, sepertinya cukup layak dimaki.


Kedua, dan ini yang paling saya suka: Belajar memahami orang lebih dekat, melalui story mereka. Memang tidak patut menjadikan story orang lain sebagai pintu untuk memahami mereka, sebagian kawan saya berpendapat bahwa jangan menilai orang dari storynya, mengetahui karakter seseorang tidak bisa hanya melalui story. Memang benar, tetapi bagi saya hal tersebut tidak benar-benar amat. Kita sedikit bisa memahami orang lain dari story mereka.


Apa yang orang bagikan di story, adalah sesuatu yang mereka anggap penting. Misalnya, jika seseorang menyukai musik, kemungkinan ia akan membagikan aktivitasnya terkait musik. Kawan saya sering bikin story tenang semua alat musik. Ingat premis di bagian awal tulisan ini? apa yang dibagikan orang adalah apa yang mereka anggap penting. Dan dari sana kita memiliki satu puzzle tentang orang itu. Jika ia sering meributkan satu isu tertentu, maka kita bisa tahu kecenderungan orang tersebut.


Ia sering berbagi isu feminis, misalnya, maka kita bisa menebak, bahwa ia mungkin sedang mengusung ide-ide feminis. Jika ia sering membagikan tulisan, barangkali ia seorang yang suka dengan literasi. Ia sering berbagai ceramah ustaz, barangkali ia orang yang berusaha menebar kebenaran agama yang paling benar menurutnya. Ia sering berbagai bacaan Alquran, barangkali ia seorang yang menaruh respek tinggi terhadap kitab sucinya. Ia sering berbagai foto makanan, barangkali ia memang menaruh perhatian terhadap kuliner.


Ia sering berbagai hal-hal yang tidak penting? Barangkali ia memang menaruh perhatian pada hal-hal tidak penting. Seseorang pernah berkata, jika kita ingin tahu apakah sesuatu penting atau tidak, lihat siapa yang meributkan, jika orang biasa, barangkali ia memang isu murahan yang dibesar-besarkan. Yah, jika seseorang sering berbagi hal tidak penting, barangkali itulah yang ia anggap penting, ialah sesuatu yang tidak penting.


Tetapi hal ini sedikit triki juga, kadang kawan yang sangat pintar sering berbagi hal-hal remeh, sebab ia tidak ingin tampak serius. Kadang belajar mengenal orang dari story memang susah.


Terlepas dari itu, saya percaya, sesuatu yang dibagikan orang selalu berjangkar pada kepentingan pribadinya. Jika seseorang bercerita bahwa kawannya pindah ke tempat yang jauh dan orang tersebut merasa sedih, itu karena ia akan terpisah dengan kawan tersebut, itu karena ia tidak akan memiliki kawan dekat untuk main bareng; itu karena kepergian kawan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan pribadinya. Semua hal di dunia ini yang dibagikan orang adalah perpanjangan dari kepentingan pribadinya.


Saya mungkin tidak bisa dengan tepat memahami seseorang melalui story mereka, tetapi bagaimana jika kita berhadapan dengan orang yang memiliki alat analisis yang canggih. Misalnya, ia paham struktur bahasa sebagai alat ekspresi, ia paham psikologi, ia pahami mimik, dan ia sering melihat story kita, dan ia sering “bersentuhan kulit” dengan kita dalam kehidupan sehari-hari—setidaknya selama beberapa tahun. Tidakkah setiap story kita yang ia lihat akan menjadi keping-keping data untuk menilai kita?


Orang jenis ini mungkin tidak bisa memahami kita secara langsung. Tetapi bagaimana jika ia memperhatikan gerak story kita dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, ditambah interaksi langsung dengan kita? Ia bisa saja dengan enteng mengukur kadar sombong kita, kadar angkuh kita, kadar egois kita, kadar naif kita, dan kadar-kadar lain.