Kamis, 30 November 2023

Cara Kerja Keberuntungan

Gus Fathi yang semoga selalu bahagia,

 

28 Juli 2020, sampean dateng ke Al-Jawi dan menggotong badanku ke warung Ayam Nelangsa. Kita ngobrol soal skripsi dan menikmati ayam bakar, tumis kangkung, jamur tepung, dan yang paling penting, teh syahdu. Teh paling cocok di lidah ketika itu.

 

Setelah diskusi skripsi beres, kita berbelok ngobrol soal jodoh. "Aku masih cari yang cocok," kata sampean. Belakangan aku paham, calon yang cocok itu merujuk pada keahlian qari'. Lalu sampean balik bertanya kenapa aku masih jomblo dan aku menjawab ingin lanjut kuliah dan merampungkan hal-hal lain.

 

Kita pulang dan merasa senang menikmati hal-hal yang telah kita bahas, sebelum akhirnya kena tilang di jembatan layang, karena putar balik sembarangan. Sampean sudah berusaha menghindar dari polisi tetapi Pak Polisi berhasil menyelinap di antara ratusan motor. Kita takjub kenapa polisi sebesar itu berhasil macak bertubuh kecil. Dan, seperti biasa, sampean memilih sabar, bahkan merasa beruntung cuma ditilang, dari pada celaka. Itulah mungkin yang ingin sampean tekanan di segala kondisi: Bejjo.

 

Lalu Bejjo jadi sebuah brand. Aku ketular bejo juga, sepertinya. Sebab dua kali dapet parfum bejo, gratis.

 

Ada buku bagus yang judulnya bikin geleng-geleng kepala. Buku tentang orang-orang Bejjo. Ditulis oleh Richard Wiseman berjudul The Luck Factor. Pak Richard neliti mengapa ada orang beruntung dan mengapa ada apes. Apakah ada faktor penyebabnya? Dan ia menjawab ada. Ia menggunakan metode ilmiah ketat, bukan berdasar afirmasi atau teori-teori motivasi semacamnya.

 

Bisa dikatakan, itu buku ilmiah pertama tentang orang-orang beruntung.

 

Jadi, apa faktor beruntung itu? Kalo sampean  penasaran dan ingin menambah faktor bejo, bisa berburu versi Indonesianya. Tetapi, menurutku sampean tidak terlalu butuh itu. Sebab, sebagaimana menurut akun Twitter, sampean sudah terlahir bejo.

 

Aku nggak paham bagaimana masa kecil sampean. Tetapi jika diurut dari kampus, sampean sudah sangat bejo. Jika telat daftar satu atau dua tahun, usia ijazah sampean sudah nggak bisa diterima. Kebejoan lain, sampean punya teman kelompok yang, meski nggak selalu pinter, tapi cukup solid. Setidaknya untuk menyelesaikan tugas makalah.

 

Kita tahu, tugas mahasiswa IAT itu berurusan dengan kitab-kitab tebal. Cukup mengerikan.

 

Lalu, soal skripsi... bukankah sampean juga bejo?

 

2020 kita lulus. Itu agak ajaib sebenarnya. Bukan hanya ajaib bagi sampean, tetapi juga aku. Dulu nggak pernah terbayangkan bisa kuliah. Apakah sampean pernah menyadari betapa ajaibnya kelulusan kita. Yah, mungkin itu kebejoan yang lain.

 

2020 telah berlalu dan sampean menemukan pasangan yang cocok. Waktu berlalu cepat dan pertemuan kita makin pendek dan renggang. Ketika di rumah, kadang aku merindukan saat-saat nelpon sampean untuk makan gulai kacang ijo, lalu lanjut ngopi.

 

Itu saat-saat terbaik. Ngobrol sama sampean bisa menjadi jeda dari tugas-tugas berat dan aku bisa mendapat cerita-cerita dengan karakter sampean yang sabar. Dan bejo. Jarak kita sudah terlampau jauh dan nasib baik kurang berpihak.

 

Bahkan, sudah tiga atau empat kali rencana datang ke rumah sampean selalu gagal. Pertama saat resepsi pernikahan. Itu saat di mana aku menancap di Jember. Kedua, ketiga, keempat, saat kuliah ke kampus. Tetapi gagal semua karena terburu waktu.

 

Sebenarnya, aku pengen menyalami sampean dan mengucapkan selamat dengan cara yang patut. Tetapi ternyata hingga hari ini hal itu belum bisa terjadi.

 

Terima kasih sudah menulari kebejoan, Gus. Setidaknya selama ngetrip bareng, selama aku berkunjung ke Ampel, sampean selalu menjadi penopang yang tangguh. Juga suka traktir kawan-kawan. Sekarang sampean harus traktir istri seumur hidup.

 

Kita masih punya rencana umroh backpacker. Tetapi mari kita endapkan sejenak. Siapa tahu ia mewujud dalam bentuk yang lain. Jadi, selamat mentraktir istri. Ingat, hati-hati saat putar balik, ya. Pak Polisi bisa disemprot parfum Bejo tetapi ia pasti tetap menilang.

 

Salam.


--Surabaya, 26 Desember 2022

Bangsa

“Kok mikir negara dan bangsa, mikir hidup sendiri saja belum selesai,” kata bocah pertama. 


Bocah kedua tampak tidak setuju, dan menyesap kopi panas sebelum akhirnya menimpali, “Tapi kadang karena mikir negara dan bangsa inilah, masalah kita jadi tampak kecil dan bisa selesai.”


Percakapan dua bocah yang serba mbuh.

Anak-anak yang Bahagia dan Orang Dewasa yang Memilih Bahagia

—Untuk Rika 


Panggilan barusan sebenarnya hanya untuk melihat bagaimana ekspresi sampean ketika menerima ucapan ulang tahun dan untuk mengingatkan bahwa sampean pernah mengirim doa baik untuk hari baikku--tetapi menyempal 20 hari, ialah 3 Juli 2021. Sebenarnya tidak masalah juga jika 3 Juli dianggap sama dengan 13 Juni.


Sekarang mari kita berpura-pura bahwa 1 Desember sama dengan 11 November. Tidakkah kita impas? Itu telat sekitar 20 hari juga, atau 19. Beda tipis dan mari kita anggap sama juga.

 

Well, ini bukan soal balas dendam. Percayalah. Aku ingin membuat satu kelakar kecil bahwa kadang hal-hal konyol seperti ini perlu diperhitungkan sedemikian rupa--seolah kita makhluk yang tidak memiliki kesibukan lain sehingga detail kecil soal keterlambatan harus diperhitungkan juga.

 

***

 

Rik, kita sudah bahas ini di waktu lalu: bahwa kadang orang dewasa yang iri pada kebahagiaan anak-anak itu konyol. Menurutku memang anak-anak kecil-kecil imut-imut itu bahagia, tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka bahagia. Ah, bahkan mereka juga tidak sebahagia itu.

 

Mari kita ingat masa lalu kita. Sampean pernah tumbuh sebagai anak-anak dan, seperti anak-anak lain di seluruh dunia, sampean pernah menangis untuk hal-hal sepele. Misalnya, ada penjual es lewat dan sampean gagal mem-begal Pak Es dengan pertukaran rupiah.

 

Sampean merasa hal itu sebagai masalah yang perlu dilihat oleh seluruh orang dewasa di seluruh dunia. Betapa persoalan es bagi anak kecil menyembul keluar membentuk neraka.

 

Maksudku, bahkan anak-anak yang kita anggap bahagia memiliki masalah yang bagi mereka serius.

 

Oh, maaf, mungkin sampean nggak pernah nangis gara-gara es atau hal-hal sepele lain. Tapi aku pernah. Jadi sebenarnya itu hanya pengalamanku. Tapi mari kita jujur sejenak bahwa dulu sampean mungkin pernah punya masalah serupa.

 

Dan sekarang sampean sudah 25 tahun lebih 20 hari. Atau 19 hari? Tak masalah. Mari kita anggap 25 lebih 20 hari.

 

Itu usia yang membuat sampean nggak bakal nangis gara-gara es krim. Tapi mungkin sampean bisa nangis gara-gara tesis. Tidak masalah, memang begitu wajarnya mahasiswa S2. Sudah saatnya kita menangisi tesis, bukan skripsi.

 

Sampean masih ingat saat-saat sulit nulis skripsi? Wah... Momen sialan. Tetapi sekarang ada yang lebih sialan. Tesis. Nanti ketika sampean punya kesempatan lanjut S3, momen sialan itu berubah menjadi disertasi. Saat-saat itu, mungkin tesis tampak mungil.

 

Aku punya saran, Rik. Dan ini juga berlaku untuk aku sendiri. Dari pada nunggu nulis disertasi untuk mengerdilkan soal tesis, kenapa kita sekarang tidak macak nulis disertasi saja? Jadi soal tesis ini akan tampak sederhana sebagaimana skripsi kita dulu.

 

Aku sering macak begitu, sih. Dan itu membuat segala rintangan itu mudah. Karena aku punya keyakinan tesis bakal selesai, dan seluruh energi harus aku gunakan untuk menulis, bukan untuk kesedihan yang di kemudian hari berujung sia-sia.

 

Bukankah kesedihan saat nulis skripsi itu sia-sia ketika sampean tahu bakal lulus dan kuncinya hanya keras kepala untuk maju.

 

Nah, aku dan sampean kesulitan mengatakan hal-hal seperti ini kepada anak-anak. Kita melihat mereka sebagai makhluk bahagia dan mereka kadang penuh kesedihan juga.

 

Kita makhluk yang penuh kesedihan juga, tetapi dengan pergeseran cara pandang, kita bisa menyadari bahwa anak-anak tidak sadar bahwa mereka bahagia. Sedangkan kita bisa sadar bahwa kita bahagia. Bahkan kita bisa merasa senang saat menghadapi rintangan, dengan cara macak naik kelas lebih dulu.

 

Betapa kadang menjadi dewasa itu menyenangkan. Kita bisa memilih banyak hal--yang mustahil dilakukan anak-anak. Jadi, selamat berbahagia menjadi dewasa.

 

Yah. Akhirnya, sampean boleh menangis dan menyerah menghadapi tesis. Dan sampean juga bisa keras kepala untuk terus maju. Kalau poin kedua yang sampean pilih, mari, bakar apinya.

 

***

 

Surat ini akhirnya ditulis juga. Ditulis dalam kondisi bahagia dan dengan tempo sesingkat-singkatnya, dalam momen setepat-tepatnya.

 

Kadang aku haru sedikit sombong, bahwa di seluruh dunia ini, nyari kawan kayak aku ini ya gampang-gampang susah. Atau mustahil sih, lha wong cuma ada satu biji. Itu artinya nyari kawan seperti sampean juga susah. Dan silakan sombong juga. Dan yang di atas kesombongan itu, ada kebanggaan yang harus dijaga, ialah pertemanan itu sendiri.

 

Sekali lagi, selamat berbahagia. Kalau sedang bersedih, tolong setidaknya berbahagialah membaca kalimat terakhir ini.


--Surabaya, 1 Desember 2022

Dosa

Saya senang pada ungkapan Pak Anton Chekhov ini: “Anda tidak akan menjadi orang suci melalui dosa orang lain.”

Minggu, 29 Oktober 2023

On Time Adalah Menjaga Ritme

Hari Selasa kemarin, dengan serba terburu-buru, saya bersiap untuk ke kampus, jam mengajar mulai sejak pukul 07.40. Setelah belanja, masak, dan mandi, jam tangan sudah melaporkan 20 menit lagi waktunya kelas. Saya bergegas berangkat jalan kaki. Biasanya saya diantar kawan kos tetapi pagi itu ia sedang pulang.


Saya berjalan santai saja mengira waktu yang tersisa akan memihak. Biasanya memang butuh waktu sekitar 20 menit. Jarak kos ke kampus tidak terlalu jauh, tetapi karena harus menyebrang jalan besar, saya harus melewati garis zebra, dan butuh memutar jalan sehingga cukup mengulur waktu. Praktisnya saya bisa saja sembarang menyebrang untuk bergegas, tetapi itu berbahaya.


Di Surabaya, Anda tahu, menyebrangi jalan besar bisa serupa berenang menyebrang sungai yang penuh buaya lapar. Bedanya, di jalan raya, Anda tidak dicabik oleh gigi buaya, tetapi diseruduk motor, atau mobil, atau truk, atau bus—yang pasti ngebut karena mengejar waktu. Well, ini serius. Menyebrangi jalan raya di kota besar memang bisa dramatis dan bertaruh nyawa.


Mempertimbangkan kebrutalan jalan raya ini, dan masih sayang nyawa [memangnya siapa yang tidak?], saya memutar untuk menggunakan garis zebra berikut klakson penyebrangan. Nah, setelah berjalan santai melintasi trotoar sambil beberapa kali dipaksa minggir karena pengguna motor nekat menaiki hak pejalan kaki, baru sadar waktu sudah mepet. Jadi saya sedikit lari-lari kecil supaya tidak telat masuk kelas.


Saya benci telat. Maksud saya… sangat membenci telat. Dalam perhitungan subjektif saya yang mungkin bisa keliru, selama kuliah S1, saya tidak pernah telat! Kecuali tidak lebih dalam hitungan jari, dan salah satu yang paling saya ingat adalah matakuliah SPI semester satu. Selebihnya mungkin saya telat di perkuliahan lain, tetapi saya yakin tidak banyak. Dua sahabat saya, Khilmi dan Mas Ahmad, menjadi saksi akan hal ini.


Dan kebencian itu bertahan hingga sekarang, saat saya mulai mengajar di kampus tempat saya kuliah. Jadi, karena masih benci telat, saya lari-lari kecil. Pagi itu saya gagal telat. Sebelum membuka pintu, saya mengengok jam tangan dan waktu menunjukkan pukul 07.39 lebih 36 detik. Saya memotretnya dengan ponsel. Masih ada 24 detik.


Ketika masuk kelas, perasaan kecewa langsung menyelimuti, sebab kelas itu hanya berisi 5-8 mahasiswi. Sudah dua kali perasaan penuh kecewa ini muncul, kekecewaan karena… entah. Kecewa karena terlalu tepat waktu? Kecewa karena saya terlalu rajin? Atau kecewa karena mahasiswa terlambat?


Jika saya menyalahkan mereka, mungkin mereka akan berdalih sedang melalukan ini dan itu. Bagaimanapun mereka telah memulai kelas sejak pukul enam pagi dan kelas saya adalah jam transisi. Bahkan, di kelas lain, perkuliahan pagi—semester satu—terbiasa telat. Sebegitu terbiasa sehingga “kesalahan” ini tampak menjadi kebiasaan normal.


Anda tahu, di tengah dunia yang gila, menjadi waras adalah kesalahan. Di tengah dunia yang semrawut, menjadi teratur adalah kesalahan. Di dunia yang abai akan waktu, menjadi tepat waktu adalah kesalahan. Dan daftar ini bisa berlanjut hingga kalian bosan.


Jadi, pagi itu, saya memendam marah yang bagi orang lain mungkin tampak seperti marah yang tidak perlu. Masak hanya gara-gara telat marah? Bukankah telat adalah budaya kita? Ya. Saya akan kecewa, marah, dan sedih menghadapi orang-orang seperti ini, terutama saat pekerjaan sedang menumpuk. Dalam konteks saya, mengajar memang bagian dari pekerjaan. Tetapi telat adalah telat, ia dapat mengacaukan ritme perkejaaan lain. Waktu diskusi akan terpotong; kelas bisa serba terburu-buru; dan seterusnya.


Bayangkan jika kita telat ketika berhadapan dengan orang yang jadwalnya sudah menumpuk, dan ia dikejar banyak tugas. Bukankah kita telah mengacaukan rangkaian kesibukan orang tersebut? Itulah sebenarnya apa yang ingin saya tekankan: bahwa telat selalu membawa kemungkinan mengacaukan kesibukan orang lain.


Padahal kesibukan itu bisa jadi adalah hidup-mati mereka; bisa jadi kesibukan itu adalah penentu hubungan mereka dengan orang lain. Jadi, kita perlu berhati-hati, sebab kita tidak pernah tahu apa yang dihadapi orang lain.


Jika dilihat dari sudut pandang tersebut, on time bukan soal kaku atau tidak kaku. Lebih dari itu, on time adalah menjaga kemaslahatan orang lain. Ini bukan hanya tentang kita, tetapi tentang kehidupan orang lain. Jika orang lain sedang sibuk, dan hampir bisa dipastikan orang lain selalu sibuk, maka akan lebih elok jika kita mengusahakan on time. Jika mereka sedang senggang, kita bisa lebih santai.


Saya juga seperti itu: akan menjadi sangat kaku ketika sedang menhadapi banyak tumpukan tugas. Dan ketika harus mengurus sesuatu bersama teman-teman, mereka biasanya akan memberi konfirmasi bahwa tidak bisa tepat waktu. Maka saya akan menyesuaikan, atau bahkan tidak perlu penyesuaian sama sekali ketika sedang longgar.


Izinkan saya memeras apa yang ingin saya katakan: tepat waktu kadang adalah soal menghargai orang lain. Karena itu, on time tidak selalu mengenai kita, ia kadang terkait dengan orang lain, yang orang lain ini terkait dengan orang lain lagi. Sedemikian rupa panjang rantai ini hingga kita perlu mempertimbangkan untuk tepat waktu.

Badai

Kita masih di sini, berdiri kokoh seperti kayu ek, setelah badai-badai kehidupan menerjang. Kita masih akan berdiri di tempat kita, menyambut badai-badai lain yang mungkin lebih ganas. Kita mungkin akan terkoyak, tetapi kita masih akan berdiri, seperti sekarang.

Kamis, 19 Oktober 2023

Ilusi Pria Sejati

Berkali-kali saya terlibat obrolan asik bersama kawan, bahwa kultur partriarki ini sebenarnya tidak hanya menempatkan wanita pada sub-manusia, tetapi juga menempatkan pria pada tanggung-jawab sedemikian rupa. Mereka—para pria—berperang demi mendapat atribut maskulin; berlomba tampak kuat secara fisik dan mental; berusaha membawa kehidupan di tangan atau pundaknya—dalam arti metaforis keduanya tidak terlalu berbeda.


Laki-laki, kata Harari, selalu dituntut membuktikan kejantanannya terus menerus, dari lahir hingga liang lahat, dalam serangkaian kondisi kehidupan sehari-hari maupun kumpulan acara dan pertunjukan yang tiada habisnya. “Sepanjang sejarah, seorang laki-laki bersedia mengambil risiko dan bahkan mengorbankan hidup mereka, hanya agar orang berkata, ‘Dia memang pria sejati’.” Dengan kata lain, meminjam ungkapan orang sekarang, pria mengejar ekspektasi sosial.


Saya yakin, diam-diam, banyak pria yang tertekan dengan kultur semacam itu, terutama mereka yang belum mampu “menaklukkan” kehidupan dan selalu terhimpit banyak hal. Jadi, jika wanita ingin setara dengan pria, kadang saya berpikir, apakah mereka ingin setara dalam hal yang pria sudah lelah dengan posisi tersebut?


Jika kaumelihat pria sedang duduk dengan tatapan kosong, jelas mereka sedang mengkhawatirkan sesuatu, dan memperhitungkan solusi paling mungkin untuk dilakukan. Sambil memikirkan hal tersebut, biasanya mereka enggan berbagi masalah dengan orang lain. Bukan karena tidak butuh, tetapi karena sejak kecil pria sudah dicetak seperti itu. Dicetak siapa? Lingkungan partriarki!


Di Indonesia, pergaulan bocah-bocah “kecil” sudah dipenuhi kultur validatif. Misalnya, soal merokok. Di desa saya, dan mungkin juga di desa seluruh Indonesia, orang mulai merokok sejak remaja. Dan apa alasan remaja merokok? Karena hobi? Jelas bukan! Remaja merokok supaya mendapat pengakuan dari teman sebaya bahwa dia keren! Bahwa dia lelaki sejati! Di zaman saya remaja, bocah yang tidak merokok akan “tersingkir” dari dunia sosial mereka.


Itu hanya soal rokok, belum soal pacaran, soal tawuran, soal mabuk, dan soal-soal lain.


Di tengah cetakan sosial seperti itu, lelaki kadang enggan mengakui kelemahan mereka di depan lelaki lain, sebab mereka bisa diejek habis-habisan dan dikucilkan di tengah pergaulan. Itulah mengapa kadang mereka lebih nyaman berbagi cerita kepada wanita sebab makhluk ini jauh lebih bisa mendengarkan masalah pria. Meski demikian, tidak semua pria terbuka pada wanita, bahkan pada istrinya sendiri. Sebagian mereka memilih untuk memendam masalah, sebab tidak ingin tampak lemah di depan istri.


Kira-kira inilah yang mereka pikirkan: Jika istriku tahu semua masalahku, dan kekalutanku menghadapi semua tumpukan masalah itu, ia mungkin bisa kehilangan kepercayaan bahwa suaminya bisa menjadi tempat berlindung.


Dalam kasus pertemanan saya, belakangan, para pria mulai saling terbuka atas masalah masing-masing. Mungkin karena beban itu memang sudah tidak tertampung sehingga harus meletus. Tetapi pengakuan semacam itu jelas hanya terjadi dalam obrolan empat mata, atau mungkin enam mata. Saya kira tidak lebih dari 10 mata. Saat mereka mulai berani membuka diri, tidak jarang, ujung cerita tersebut adalah air mata.


Meminjam istilah kekinian, tiap orang pernah berada dalam titik terendah dalam hidup. Biasanya hal ini terkait himpitan kanan-kiri yang mencekik. Biasanya pula, akar semuanya adalah uang. Beberapa kenalan saya memerlukan biaya untuk persalinan istrinya, sedang ia masih kerja serabutan. Beberapa kenalan lain harus membiayai pengobatan orangtuanya. Daftar ini bisa berlanjut panjang jika kita melihat media sosial. Selain berisi pameran pencapaian, di sana juga banyak kumpulan keluh kesah.


Di Twitter yang mulai saya tinggalkan karena isinya hanya keluh kesah orang-orang, mudah ditemukan cuitan populer yang menceritakan kondisi memprihatinkan dari warga kelas menengah kebawah. Well, jika ada yang berpikir uang tidak penting, coba katakan pada mereka.


Siapa yang dianggap paling bertanggung-jawab soal keuangan? Biasanya, sih, pria. Meski sudah tak terhitung jumlah wanita yang menjadi tulang punggung. Dengan kata lain, di balik cerita-cerita sedih seperti di atas, mungkin, ada sosok penyangga keluarga yang terluka hatinya karena kalah menghadapi kehidupan. Sebagian besar dari mereka merasakan sakit hati sendirian, sebab dalam kultur partriarki, mereka dicekoki untuk menjadi pria sejati.


Karena itu, berkali-kali saya terlibat obrolan asik bersama kawan, tentang kultur partriarki, yang mungkin memengaruhi teman-teman kami.


Hope

Harapan… kadang hanya itu yang tersisa, dan membuat kita terus bergerak.

Minggu, 01 Oktober 2023

Altruisme Pak Joni

Pada satu waktu, dalam kehidupan tiap individu di bawah langit, kita sering menghadapi pilihan-pilihan sulit yang berdampak besar terhadap bagaimana kita menjalani hidup. Pak Joni (bukan nama sebenarnya), saya kira berada dalam tegangan semacam itu.


Saya baru mengenalnya meski kami lahir dan dari rahim bumi yang sama, ialah sebuah dusun di selatan pulau Jawa; ia mendahului saya sekitar 20 tahun. Karena terpaut usia itulah kami jelas bukan teman sepermainan dan, akhirnya, kami sama-sama baru saling mengenal.


Pak Joni tumbuh dari keluarga sederhana dan sebagaimana umumnya orang desa pada era agak klasik, ia tidak memiliki minat sekolah tinggi-tinggi. Karena itu, setelah menginjak usia cukup dewasa, alih-alih melanjutkan sekolah, ia memilih untuk bekerja mencari tambahan uang, baik untuk kebutuhan keluarga besar, atau untuk keperluan pribadinya—tentu saja ia tidak mencari tambahan uang untuk kebutuhan tetangga sekitar.


Ketika makin dewasa, Pak Joni memilih merantau ke Surabaya. Ia bekerja serabutan. Bahkan pernah menjalani profesi tukang becak. Saya mendengar cerita itu ketika pertama kali bertamu ke rumahnya. “Saya juga lama di Surabaya,” kata saya. Lalu kami saling bertukar informasi di mana tepatnya kami memilih ceruk tempat tinggal di kota besar itu. Ia bilang terlalu sering berpindah-pindah tempat dengan pendapatan yang masih begitu-begitu saja. “Mungkin saya nggak cocok merantau.”


Saya menyetujuinya. Biasanya menarik becak di negeri ini, seprofesional apapun orang mengayuh pedal dan mengatur kemudi besi panjang, sulit mengantarnya pada kesuksesan finansial.


Akhirnya Pak Joni memilih pulang dan membangun bisnis pribadinya di tanah kelahiran. Singkat kata—maksud saya benar-benar ‘singkat kata’ supaya tidak terlalu panjang menceritakan proses jatuh bangun membangun bisnis—Ia sukses. Sekarang ia menempati rumah bagus dan memiliki beberapa pekerja sekaligus. Ia memberangkatkan istrinya umroh.


“Sampean nggak pengen umroh juga, Cak?” tanya Kakak saya. Pertanyaan itu keluar ketika kami memutuskan mampir di rumahnya setelah mengerjakan beberapa urusan di luar. Sebenarnya saya sedang buru-buru ketika itu tetapi Kakak selalu punya insting sosial yang sedemikian rupa tinggi sehingga ia gemar melipir ke rumah orang tiap kesempatan itu tiba, kesempatan yang kadang ia tiba-tibakan sendiri.


“Gimana, ya,” kata Pak Joni. Ia memikirkan kalimat yang ingin ia sampaikan. “Memangnya siapa orang muslim yang nggak pengen umroh. Kalau ditanya apakah pengen umroh, jelas iya. Tetapi saya segan pada tetangga dan saudara sekitar yang masih kesusahan. Dari pada mereka melihat saya umroh, mending saya bantu-bantu mereka.”


Mending saya bantu-bantu mereka karena saya tahu rasanya dihimpit kehidupan. Kira-kira begitulah kalimat Pak Joni. Rangkaian ungkapan itu membuat saya tertarik dan sejenak melupakan deadline yang mengejar. Deadline sialan yang tak pernah ada habisnya. Alih-alih memikirkan deadline, kepala saya menyimpulkan: di dusun ini masih ada orang berkecukupan yang enggan melakukan umroh karena memikirkan tetangga dan familinya yang masih berkesusahan. Apa yang terjadi di sini? Apakah istri Pak Joni tau nilai altruis yang sedang suaminya pegang?


Dari permukaan, Pak Joni mengalami sesuatu yang oleh Leon Festinger disebut konflik kognitif, ialah terjadinya konflik internal karena nilai-nilai yang ia anut sedang bertabrakan. Dalam konteks Pak Joni, umroh jelas memiliki nilai religius-spiritual yang luhur. Tetapi membantu tetangga yang kesusahan jelas memiliki nilai tak kalah luhur. Selain Pak Joni, kita sering menghadapi tegangan internal semacam ini, dalam berbagai bentuk, dalam berbagai kasus, dalam berbagai masalah.


Dan manusia selalu melakukan negosiasi dengan dirinya sendiri untuk mendamaikan konflik kognitif tersebut, dengan berbagai cara masing-masing. Kadang mereka membunuh satu nilai dan mempertahankan nilai lain. Kadang ia mencari dalil pembenaran terhadap nilai yang ia kukuhkan. Pak Joni, menurut pembacaan sekilas saya, jelas melakukan perhitungan konsekuensional.


Dan hasilnya adalah ia memilih famili dan tetangga. Bagi Pak Joni, memberangkatkan istinya umroh sudah cukup. Padahal Pak Joni sanggup jika ingin umroh bersama. Tetapi pikirannya tidak teruju pada kerinduan beribadah di tanah kelahiran Islam. Pikirannya tertuju pada nilai-nilai kemanusiaan yang harus ia tunaikan.


Tampaknya Pak Joni paham betul apa arti susah dan melarat. Mungkin ketika merantau di Surabaya Pak Joni pernah duduk menunggu penumpang becak, sambil menahan lapar, dan sedang tidak memegang uang. Pada kondisi itu ia mungkin melihat orang-orang sekitar yang serba berkecukupan dan menyimpan perasaan getir dari mana mereka bisa berkecukupan; mengapa Tuhan tidak menghadirkan doa-doanya?; dan setumpuk kegelisahan lain yang lahir dari kemelaratan.


Ia mungkin pernah kelaparan sambil melihat arak-arak orang berangkat umroh dan menggumam bahwa kadang kehidupan tidak bersikap ramah.


Karena itu, ia tidak ingin berangkat umroh di tengah famili dan tetangga yang masih serba kekurangan. Ia tidak ingin tetangga dan familinya berpikiran getir seperti itu. apalagi Pak Joni dulu adalah keluarga yang sama-sama bernasib murung. Pak Joni tidak ingin orang-orang itu berpikir bahwa ia sudah melupakan kesusahan hidup serba kekurangan.


Hidup kekurangan, bagaimanapun, membentuk cara pandang manusia. Sebagian menjadikannya sebagai pelajaran dalam melihat hidup. Sebagian menjadikannya pemupuk dendam pada kehidupan itu sendiri, yang ia lampiaskan secara serampangan sebab tidak mudah mengindentifikasi apa kehidupan yang ia dendami itu.


Pak Joni termasuk bagian pertama. Ia sepertinya tidak memiliki dendam pada hidup kesusahan. Masa kesusahan menjadi perantara Pak Joni untuk bersikap empatik dan altruis. Ia tidak ingin orang terdekat mengalamai apa yang ia alami. Dalam bayangan saya, mungkin Pak Joni berpikir, ibadah umroh memang sakral, tetapi menyambung kehidupan orang sekitar yang berada dalam tanggung-jawabnya, jauh lebih sakral.


Masih dalam bayangan saya, Tuhan akan senang pada pilihan Pak Joni.

Quote

Tampaknya sebagian orang membuat quote di media sosial hanya untuk tampil bijak saja. Kadang kita tahu seperti apa dia aslinya.

Minggu, 30 Juli 2023

Pelajaran dari Ambisi Mandiri

Tangan yang banyak menolong kadang berakhir dengan terlalu mengatur. Begitu kira-kira kata Goenawan Mohamad dan saya menyetujuinya dengan sepenuh hati. Itulah mengapa kadang saya berambisi, sebisa mungkin, untuk melakukan segala hal sendiri. Ambisi yang pernah mengarah pada kepongahan.


Dulu, saya sering dibantu oleh orang terkait hal yang saya kerjakan, atau saya usahakan, dan bahkan dibantu terhadap hal-hal yang saya cita-citakan. Tetapi tidak ada harga gratis di dunia ini. Belakangan saya baru merasa, ada banyak kepentingan di balik bantuan-bantuan yang datang, dari yang sekedar ingin dibantu kembali—dan ini wajar saja—hingga ada yang ingin “mengikat” saya dalam tugas-tugas tertentu tanpa batas waktu yang jelas.


Sejak itu kadang saya cukup skeptis dalam menerima bantuan “besar” dari orang lain. Saya tahu mungkin ini tidak sehat sebab tidak sepatutnya kita mencurigai dengan cara pandang negatif terhadap orang-orang yang mengulurkan bantuan. Tetapi di antara orang-orang baik itu, saya kira, selalu terselip orang-orang “tidak tulus”, yang berusaha mengulurkan bantuan dalam modus hutang, dan akan ia tagih dalam bentuk lebih besar di lain hari.


Mungkin memang seperti itu dunia bekerja, selalu ada orang buruk yang bersembunyi di balik kebaikan sehingga orang yang benar-benar baik dan tulus harus terdampak dicurigai. Selalu ada orang yang merusak ketulusan hingga mengaburkan batas antara kebaikan dan keburukan… lalu kecurigaan menjangkit secara akut, sebagaimana saya tulis di sini.


Selain itu, sebagaimana kata Pram, di luar sana ada orang yang bernafsu melihat kita sukses dan menjadi orang penting karena jasa mereka. “Apa mereka tidak mampu melakukannya untuk diri mereka sendiri?” kata Pram. Ketika pertama membaca kalimat ini di buku Bumi Manusia, saya terhenyak, betapa tajam insting Pram dalam melukiskan kepentingan-kepentingan manusia yang bersembunyi di ceruk-ceruk tindakan sehari-hari.


Jadi, saya meminimalisir berbagai kemungkinan terburuk yang akan menanti saya. Tentu saja ada banyak pengecualian. Misalnya, beberapa kali saya harus menerima bantuan orang dengan perjanjian awal, apa yang menjadi konsekuensi setelah bantuan itu diterima. Dan konsekuensi itu termasuk saling menguntungkan satu sama lain. Di hadapan kepentingan semacam itu, saya tenang-tentang saja, sebab ada kesepakatan bersama.


So, yang ingin saya katakan, kita perlu menghindari hutang budi yang tidak kita inginkan.


Memang seiring perguliran usia, saya selalu berharap mampu melakukan banyak hal sendiri. Menua berarti harus melakukan banyak hal sendiri. Kapanpun saya mampu menetralisir ketergantungan negatif terhadap orang, saat itulah, saya merasa mampu tumbuh lebih baik.


Kebiasaan ini, tentu membawa kelebihan dan kekurangan. Perangai mandiri mungkin menjadi poin plus. Tetapi dalam proses pembiasaannya, saya selalu terjebak dalam banyak kesulitan. Pada titik tertentu kesulitan itu adalah sejenis kesulitan konyol, sebab seperti menjebak diri sendiri dalam kesulitan yang diciptakan sendiri. Misalnya, ketika saya memerlukan bantuan orang untuk mengantar ke terminal, perlu proses membaca situasi sedemikian panjang.


Mula-mula saya akan mencoba mencari siapa saudara atau kenalan yang agak memiliki waktu luang. Setelah itu saya akan berpikir narasi seperti apa yang kiranya pas untuk saya katakan, sesopan mungkin. Kadang, sedemikian lama proses itu, hingga saya harus ketinggalan bus dan harus mengejar cukup jauh. Itupun jika terkejar.


Ketika masa akhir khidmah di pesantren dulu—sebenarnya masa itulah kebiasaan ini mulai muncul—saya pernah menyiapkan ujian madrasah diniyah… nyaris sendirian! Di pesantren saya ada enam kelas tingkat madrasah diniyah (bagi yang mungkin belum tahu, ini sekolah informal keagamaan), dan saya sendiri masih berada di kelas enam.


[Sebagai catatan, sejak kelas empat diniyah, saya diberi tugas untuk mengajar adik kelas, karena madrasah diniyah di pesantren kekurangan guru. Jadi di samping berstatus murid, saya juga membantu mengajar—dengan demikian bertatus sebagai guru juga.]


Apa yang saya maksud menyiapkan ujian sendirian? Cukup banyak: mengumpulkan soal ujian yang dibuat para guru. Bahkan saya harus mengambil soal tersebut di rumah guru-guru demi segera selesai. Setelah itu saya mengetik soal-soal tersebut. Lalu saya mencetaknya di tempat terdekat—itupun cukup jauh. Karena kejar-kejaran, kadang soal ujian yang harus siap diujikan siang hari, baru saya ketik di pagi hari, dan baru saya cetak ketika kelas akan berlangsung.


Seringkali kertas soal ujian yang diberikan pada peserta ujian masih terasa hangat! Karena baru keluar dari mesin fotocopy. Dan cerita belum selesai. Kadang saya harus menjaga ujian di beberapa kelas sekaligus. Setelah ujian selesai saya kembali keliling ke rumah guru untuk mengantar soal supaya segera dikoreksi. Beberapa kali saya harus mengoreksi soal yang sebagian guru berhalangan mengoreksi. Lalu saya menyiapkan laporan akhir. Lalu… entah.


Kenapa saya kerjakan sendiri? Kemana guru-guru lain? Ceritanya panjang dan rumit, perlu catatan lain untuk memahami duduk perkaranya. Tetapi yang jelas kondisi terdesak itu memaksa saya untuk mengerjakan semuanya nyaris sendiri, di samping bantuan teman-teman.


Ketika masuk jenjang kuliah, saya sudah terbisa melakukan banyak hal sendirian.


Efek buruk lain saya rasakan ketika KKN. Selama 40 hari menjalani tugas di kampung orang, seperti biasa, banyak pekerjaan saya lakukan sendiri, dari mencuci terpal, merawat tempat ibadah, bersosialisasi dengan warga, hingga menyusun program kerja tim. Saya melakukan semua nyaris mengikuti insting—maksudnya saya tidak menyadari bahwa kebisaan ini melukai perasaan kawan kelompok karena mereka merasa kontribusinya tidak diperhitungkan.


Hingga ada kawan yang memberi kritik bahwa program kerja KKN di tim saya adalah program KKN satu orang saja (maksudnya program kerja saya). Itulah tamparan keras yang menyentuh kesadaran saya. Ternyata kemampuan kerja-sama saya telah menurun pesat. Kepercayaan kepada orang lain kian menyusut. Ketakutan berhutang budi pada pihak lain, ternyata, mengantarkan sikap pongah luar biasa.


Memelihara sikap mandiri termasuk usaha baik; menghindari hutang budi yang tidak diinginkan juga baik. Tetapi menafikan kemampuan orang lain dalam sebuah kerja sama tentu adalah kepongahan. Pada akhirnya saya belajar, tidak semua tangan yang menolong akan mengatur. Di samping usaha untuk kebiasaan mandiri, saya belajar, bahwa ada tangan-tangan yang memang tulus mengulurkan bantuan, dan menolaknya jelas bukan pilihan bijak.

 

 

Parelman

Grigori Parelman benar-benar badaaas!!!!!!!

Sabtu, 22 Juli 2023

Bagaimana Rasa Bosan Mengalahkan Kita dan Merusak Kehidupan

Psikolog terkemuka dari Universitas Virginia, Timothy Wilson, melakukan sebuah riset menarik. Ia mengumpulkan ratusan relawan untuk mengambil bagian dalam apa yang ia sebut sebagai “Periode Berpikir”. Para relawan diminta duduk di sebuah ruang kosong selama beberapa menit. Duduk di ruang kosong itu dimaksudkan supaya mereka khusuk dan masuk ke dalam pikiran mereka sendiri, karena itu Wilson menyebutnya periode berpikir.


Setelah keluar dari ruangan mereka menyampaikan kesan: selama beberapa menit duduk tanpa apapun untuk dikerjakan, tidak ada rasa lain kecuali bosan dan perasaan tidak nyaman.


Jika relawan pertama tersebut hanya melibatkan mahasiswa, Wilson kemudian mencari relawan dari berbagai kalangan. Sama seperti sebelumnya, para relawan diminta duduk di ruang penelitian selama 6-15 menit. Bedanya kali ini tim peneliti meletakkan tombol listrik kejut yang bisa menyengat mereka dengan voltase yang telah diukur sedemikian rupa. Mereka bisa menekan tombol—menyetrum diri mereka sendiri—kapan saja mereka mau. Hasilnya mengejutkan, 67% pria dan 25% menekan tombol!


Dari pada merasakan bosan, orang rela menyakiti diri sendiri.


Riset di atas sekurang-kurangnya menunjukkan satu hal penting: kebanyakan orang tidak betah duduk diam untuk berpikir, bahkan jika hanya dalam waktu 15 menit! Padahal, tidak peduli profesi kita, kesibukan kita, keahlian kita, sesekali kita perlu masuk ke dalam pikiran sendiri barang sejenak sebab kebiasaan inilah yang dapat membantu kita menjadi manusia yang lebih baik.


Izinkan saya menjelaskan lebih jauh.


Jika kita mempelajari kehidupan tokoh-tokoh besar seperti Newton, Einstein, Hawking, bahkan Heidegger, kita akan menemukan satu ciri yang cukup sama: mereka gemar memasuki pikiran masing-masing. Tentu tidak semua orang harus menjadi Hawking atau Heidegger. Tetapi betapa kemampuan duduk diam dan berpikir barang beberapa menit telah menjadi kebiasaan orang-orang tertentu dan hal tersebutlah yang membuat dunia berubah.


Einstein belakangan mengaku, kebiasaan merenungnya membuat ia mampu berimajinasi dengan baik. Kemampuan imajinasi ini mengantar Einstein menemukan teori relativitas umum dan khusus, saat ia membayangkan menaiki gelombang cahaya. Dan Einstein tidak sendiri, ilmuan lain yang membuat penemuan melalui imajinasi antara lain Michael Faraday, Neils Bohr, dan Abdus Salam. Dalam bayangan saya, mereka menggemari kontemplasi dan menjelajah relung-relung imajinasi.


Andai menjadi partisipan riset Wilson di atas, jelas mereka tidak akan merasa bosan lantas menekan tombol listrik kejut. Alih-alih menekan tombol kejut, mereka pasti memanfaatkan saat-saat tersebut untuk berpikir. Jadi, orang-orang seperti ini cukup kebal dengan rasa bosan sebab jauh di dalam pikiran mereka ada arus pikiran yang selalu menantang dan menarik untuk dijelajah.


Jika tokoh-tokoh besar itu menjadikan “Periode Berpikir” untuk menyusun riset serius yang mengubah dunia, orang-orang biasa dapat memasuki “Periode Berpikir” sebagai sarana evaluasi: apa yang telah ia usahakan, apa yang bisa ia kembangkan, hal lain apa yang ingin ia kerjakan, cita-cita baru apa yang ia inginkan, dan sebagainya, dan sejenisnya, dan seterusnya. Perenungan semacam ini, barangkali, yang dapat membuat orang lebih mengenal diri mereka sendiri; lebih mampu mengevaluasi diri mereka sendiri.


Hasilnya, bisa jadi, orang tidak tolah-toleh pada kehidupan tetangga dengan cara negatif, sebab mereka selalu menyicil untuk mengenal diri mereka sendiri, lalu lebih memahami apa kekurangan dan kelebihan dirinya di banding orang lain. Kesadaran inilah yang membuat ia mampu mewajarkan pencapaian dirinya dan orang lain. Karena itu, ia tidak mudah terjebak untuk membandingkan kehidupan dirinya di tengah capaian orang sekitar.


Sebab ia sadar siapa dirinya. Sebab ia meluangkan waktu untuk merenung.


Tetapi tampaknya, hari demi hari, kita disibukkan oleh informasi di media sosial. Kita mengakses dunia melalui jari-jari, dan kita tenggelam dalam tumpukan informasi. Pernahkah kita menyadari, kejadian viral yang terjadi beberapa bulan lalu, telah kita lupakan hari ini. Ada “inflasi viral” sehingga kita mudah lupa bahkan kepada sesuatu yang viral. Telepon genggam, dengan seluruh informasi yang dapat kita akses, menjadi alat pembubuh rasa bosan kita.


Tetapi ada harga yang harus dibayar.


Manusia hari ini, termasuk saya, barangkali bisa disebut sebagai Homo ponselus (saya tahu ini istilah ngawur) dalam konotasi negatif. Tangan kita reflek meraih ponsel kapanpun kita senggang. Wong saat sibuk saja kita menyempatkan diri untuk melihat ponsep, apalagi senggang! Jadi, hari ini, kita kehilangan seni menikmati rasa bosan. Sedangkan bagi orang-orang tertentu, yang mampu memerangi rasa bosan, duduk tanpa gangguan di sekitar adalah keasyikan. Alih-alih kebosanan. Siapapun yang berada pada level ini, biasanya ia mampu melihat dunia dengan cara yang baru.


Dengan kata lain, bagi orang-orang tertentu, kesendirian tidak berarti kebosanan. Anda tahu, kesendirian tidak selalu berujung pada kebosanan dan, pada akhirnya kita bisa menyimpulkan, kesendirian tidak selalu bermuara pada kesepian. Ada perbedaan penting antara kesendirian dan kesepian. Orang-orang yang mampu merenung mungkin tampak sendiri, tetapi mereka tidak kesepian!


Dan itulah perbedaan antara orang yang memiliki kebiasaan merenung dan kebanyakan orang yang sibuk dengan hal-hal artifisal serba dangkal; yang sebenarnya tak terlalu penting juga untuk kehidupan dirinya. Padahal, dan ini bagian yang mengerikan, orang bisa bosan terhadap apa-apa yang mereka lihat di media sosial—konten yang pada mulanya digunakan untuk membunuh rasa bosan.


Kapanpun seseorang mereasa bosan dengan sesuatu yang pada awalnya dianggap hiburan, maka itulah awal dahaga kehidupan. Seperti air yang tidak menyembuhkan haus, sebab air telah gagal membasai kerongkongan, maka orang itu berada dalam kubangan dahaga berkepanjangan. Bukankah media sosial juga seperti itu: ia dapat gagal membunuh rasa bosan seseorang. Orang bisa merasakan bosan terhadap media sosial. Dan dahaga kehidupan dimulai. Mungkin pada akhirnya ia merasa dirinya tidak bermakna.


Bukankah fenomena di atas mudah kita temui? Salah satu penyebabnya, jangan-jangan, karena kita gagal menikmati kesendirian, dan kalah pada rasa bosan.

Tawa

Kata Groucho Marx, “Jika Anda kesulitan menertawakan diri sendiri, saya akan dengan senang hati melakukannya untuk Anda.”


Sial. Marx selalu lucu.

Minggu, 21 Mei 2023

Apakah Wanita Selalu Benar?

Saya berasumsi Anda pernah mendengar ungkapan wanita selalu benar, sebab tidak peduli bagaimana caranya, “adagium” itu menyebar secepat gosip panas tingkat dunia, menggelinding dari satu telinga ke telinga lain tanpa kenal lelah. Jadi apakah wanita selalu benar? Tentu saja tidak. Masalahnya, beberapa wanita merasa dirinya selalu benar, terutama dalam konteks hubungan romantis lawan jenis.


Kita bisa sepakat bahwa ungkapan tersebut ditujukan untuk humor. Bisa saja seorang wanita posting narasi tersebut di IG-story untuk lucu-lucuan, tetapi bagaimana jika di balik lucu-lucuan itu, jauh di lubuk hati mereka, terbesit pikiran—atau setidaknya harapan—bahwa ungkapan tersebut benar?


Humor adalah humor. Ia memiliki dampak. Belakangan saya melihat sendiri dampak tersebut pada orang-orang di sekitar. Dan ketika santai muncul rasa gatal untuk merenungkannya. Jadi, meski dibuat lucu-lucuan, saya memikirkan ungkapan itu pelan-pelan. Bisa jadi apa yang saya pikirkan berlebihan. Saya berterima kasih jika Anda memiliki koreksi membangun atas apa yang akan saya tulis berikut.


Saya membayangkan ungkapan wanita selalu benar muncul karena kondisi mental tertentu, yang akarnya bisa jadi adalah kulur patriarki. Laki-laki, sebagaimana Anda tahu, mendefiniskan dan “mengatur” dunia dari sudut pandang mereka, sehingga norma-norma relasi pria-wanita memiliki ketimpangan. Dan hal tersebut telah berjalan ribuan tahun—sepanjang sejarah umat manusia.


Sebagai akibat, wanita selalu merasa tertekan dan, karena tidak setara, mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengartikulasikannya; mereka tidak memiliki keberanian untuk menyatakan ketertindasan mereka; mereka memikirkan konsekuensi buruk jika melawan para lelaki. Kondisi tersebut terus bergulir hingga muncul kesadaran baru: feminisme, yang tampil menjadi messiah, juru selamat bagi kaum wanita.


Melalui konsep feminisme, pelan-pelan, wanita mampu mengungkap seluruh kegelisahan yang telah mengendap lama—sedemikian lama hingga mungkin membentuk mentalitas mereka, mental tak nyaman berada di bawah bayang-bayang lawan jenis. Di abad ke-21 ini, pria dan wanita sudah berjalan menuju kesetaraan. Tentu saja di banyak tempat, kesetaraan masih menjadi konsep abstrak, bahkan isapan jempol.


Feminisme menjadi konsumsi kalangan tertentu. Dengan kata lain, masih banyak sisa kondisi mental inferior yang dirasakan wanita. Termasuk dalam hubungan romantis bersama pria. Pada konteks tersebut, wanita yang berada di posisi serba salah menghadapi pria, menemukan senjata untuk melawan pria: bahwa dalam menghadapi masalah apapun, “wanita selalu benar”. Kalimat-kalimat ini terus menggelinding dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, sehingga membentuk sudut pandang manusia.


Bayangkan para remaja putri yang pikirannya belum matang, lantas sering terpapar ungkapan tersebut. Apa yang terjadi? Mungkin mereka akan menempatkan diri mereka dalam posisi benar, sesuai dengan apa yang sering mereka dengar. Jadi begitulah... mereka berpikir wanita selalu benar; mereka mendapat cara jitu untuk membungkam pasangan.


Konon wanita adalah makhluk emosional yang ingin selalu dimengerti. Sifat ini membuat beberapa wanita [sekali lagi, beberapa] memiliki gaya bahasa khas: kode. Alih-alih menyatakan maksudnya secara jelas, mereka memilih untuk mengungkap samar-samar, menggunakan tanda-tanda tertentu yang mungkin hanya mereka dan Tuhan yang tahu, sambil berharap pasangan mereka peka dan mengerti.


Gaya bahasa seperti itu membuat ungkapan wanita selalu benar mendapat tempat makin luas. Jadi, jika ada masalah dalam hubungan, pria akan berada pada posisi bersalah karena gagal memahami apa maksud si wanita. Jika mereka bertengkar hebat, si wanita lantas akan menjelaskan secara gamblang apa maksud dari kode-kode rumit yang ia susun. Lalu pihak wanita menunjukkan betapa konyol si pria sebab gagal memahami kode “sederhana” itu. “Lihat, wanita selalu benar,” katanya.


Itu mirip seperti orang yang sengaja membuat lubang jebakan. Dan ketika ada orang terperangkap, si korban malah disalah-salahkan. Dalam kondisi terpojok semoga si pria pernah melihat respon singkat dari Sir Robinson: “Jika seorang pria mengutarakan pemikirannya di tengah hutan, dan tidak ada wanita yang mendengarnya, apakah dia tetap salah?" Barangkali quote itu dapat membesarkan hati si pria dan menjaga kewarasannya.


Dari kondisi mental tertindas selama patriarki, dari karakter mental wanita, lambat laun memunculkan celetukan wanita selalu benar. Lalu ungkapan tersebut diulang-ulang, digemakan, hingga mengkristal di dalam keyakinan orang-orang tertentu. Sama seperti keyakinan lain di seluruh dunia, hal tersebut berpotensi untuk menjadikan orang fanatik.


Apa boleh buat, jika timbul fanatisme, maka dibuntuti oleh kemunculan sesuatu yang oleh para ahli disebut backfire effect: tidak peduli seperti apa faktanya, selama fakta itu tidak sesuai dengan keyakinan, maka tidak akan diterima sebagai kebenaran. Well, kenyataannya, kadang fakta tidak dapat mengubah pemikiran kita.


Jadi, dilihat melalui mekanisme backfire effect, wanita menyadari bahwa dirinya tidak selalu benar. Namun karena fakta tersebut tidak sesuai dengan keyakinannya, maka akan muncul sikap defensif pada fakta. Apalagi, jika wanita sedang bertengkar. Mereka tentu terdesak untuk memenangkan polemik. Senjata apapun harus dipakai semaksimal mungkin.


Rangkaian ungkapan saya hanya spekulasi liar yang barangkali sangat cupu. Tetapi, misalnya, jika ungkapan wanita selalu benar sungguh lahir dari rahim patriarki, maka lelaki menjadi dalang utama. Karena itu, selain kesadaran dari wanita, kesadaran pria juga penting. Artinya, kaum pria perlu memberikan ruang ekspresi bagi pasangan—mungkin memasang telinga empati baik-baik untuk keluh kesah mereka.


Melalui hubungan seperti itu, muncul kesadaran untuk saling mengakui kesalahan, saling introspeksi satu sama lain. Hubungan seperti ini dapat muncul ketika pria dewasa bertemu wanita dewasa. Pada pasangan seperti itu, wanita selalu benar hanya menjalankan fungsi humor biasa. Pada pasangan lain, wanita sungguh menggunakannya sebagai senjata.


Suatu hari, Citra mengucap kalimat yang menancap kuat di kepala, terkait fenomena tersebut. Ia bilang, “Untung ya aku bukan termasuk cewek-cewek yang selalu menyebut dirinya benar atau tidak pernah salah. [ungkapan itu] seperti sebuah pengakuan bahwa perempuan tersebut lemah, tidak mampu berdiri di atas kesalahannya sendiri. Sehingga, tidak peduli seburuk apapun [kesalahan] mereka, tetap ingin diakui benar. Duh. Miris sekali.”


Saya yakin masih banyak wanita-wanita seperti Citra.