Pada satu waktu, dalam kehidupan tiap individu di bawah langit, kita sering menghadapi pilihan-pilihan sulit yang berdampak besar terhadap bagaimana kita menjalani hidup. Pak Joni (bukan nama sebenarnya), saya kira berada dalam tegangan semacam itu.
Saya baru mengenalnya meski kami lahir dan dari
rahim bumi yang sama, ialah sebuah dusun di selatan pulau Jawa; ia mendahului
saya sekitar 20 tahun. Karena terpaut usia itulah kami jelas bukan teman
sepermainan dan, akhirnya, kami sama-sama baru saling mengenal.
Pak Joni tumbuh dari keluarga sederhana dan
sebagaimana umumnya orang desa pada era agak klasik, ia tidak memiliki minat
sekolah tinggi-tinggi. Karena itu, setelah menginjak usia cukup dewasa,
alih-alih melanjutkan sekolah, ia memilih untuk bekerja mencari tambahan uang,
baik untuk kebutuhan keluarga besar, atau untuk keperluan pribadinya—tentu saja
ia tidak mencari tambahan uang untuk kebutuhan tetangga sekitar.
Ketika makin dewasa, Pak Joni memilih merantau ke
Surabaya. Ia bekerja serabutan. Bahkan pernah menjalani profesi tukang becak.
Saya mendengar cerita itu ketika pertama kali bertamu ke rumahnya. “Saya juga
lama di Surabaya,” kata saya. Lalu kami saling bertukar informasi di mana
tepatnya kami memilih ceruk tempat tinggal di kota besar itu. Ia bilang terlalu
sering berpindah-pindah tempat dengan pendapatan yang masih begitu-begitu saja.
“Mungkin saya nggak cocok merantau.”
Saya menyetujuinya. Biasanya menarik becak di negeri
ini, seprofesional apapun orang mengayuh pedal dan mengatur kemudi besi
panjang, sulit mengantarnya pada kesuksesan finansial.
Akhirnya Pak Joni memilih pulang dan membangun
bisnis pribadinya di tanah kelahiran. Singkat kata—maksud saya benar-benar
‘singkat kata’ supaya tidak terlalu panjang menceritakan proses jatuh bangun
membangun bisnis—Ia sukses. Sekarang ia menempati rumah bagus dan memiliki
beberapa pekerja sekaligus. Ia memberangkatkan istrinya umroh.
“Sampean nggak pengen umroh juga, Cak?”
tanya Kakak saya. Pertanyaan
itu keluar ketika kami memutuskan mampir di rumahnya setelah mengerjakan
beberapa urusan di luar. Sebenarnya saya sedang buru-buru ketika itu tetapi
Kakak selalu punya insting sosial yang sedemikian rupa tinggi sehingga ia gemar
melipir ke rumah orang tiap kesempatan itu tiba, kesempatan yang kadang ia
tiba-tibakan sendiri.
“Gimana, ya,”
kata Pak Joni. Ia memikirkan kalimat yang ingin ia sampaikan. “Memangnya siapa
orang muslim yang nggak pengen umroh. Kalau ditanya apakah pengen umroh, jelas
iya. Tetapi saya segan pada tetangga dan saudara sekitar yang masih
kesusahan. Dari pada mereka melihat saya umroh, mending saya bantu-bantu
mereka.”
Mending saya
bantu-bantu mereka karena saya tahu rasanya dihimpit kehidupan. Kira-kira
begitulah kalimat Pak Joni. Rangkaian ungkapan itu membuat saya tertarik dan
sejenak melupakan deadline yang mengejar. Deadline sialan yang tak pernah ada
habisnya. Alih-alih memikirkan deadline, kepala saya menyimpulkan: di dusun ini
masih ada orang berkecukupan yang enggan melakukan umroh karena memikirkan
tetangga dan familinya yang masih berkesusahan. Apa yang terjadi di sini?
Apakah istri Pak Joni tau nilai altruis yang sedang suaminya pegang?
Dari permukaan, Pak Joni mengalami sesuatu yang oleh Leon Festinger disebut konflik kognitif,
ialah terjadinya konflik internal karena nilai-nilai yang ia anut sedang
bertabrakan. Dalam konteks Pak Joni, umroh jelas memiliki nilai
religius-spiritual yang luhur. Tetapi membantu tetangga yang kesusahan jelas
memiliki nilai tak kalah luhur. Selain Pak Joni, kita sering menghadapi
tegangan internal semacam ini, dalam berbagai bentuk, dalam berbagai kasus,
dalam berbagai masalah.
Dan manusia
selalu melakukan negosiasi dengan dirinya sendiri untuk mendamaikan konflik
kognitif tersebut, dengan berbagai cara masing-masing. Kadang mereka membunuh
satu nilai dan mempertahankan nilai lain. Kadang ia mencari dalil pembenaran
terhadap nilai yang ia kukuhkan. Pak Joni, menurut pembacaan sekilas saya,
jelas melakukan perhitungan konsekuensional.
Dan hasilnya
adalah ia memilih famili dan tetangga. Bagi Pak Joni, memberangkatkan istinya
umroh sudah cukup. Padahal Pak Joni sanggup jika ingin umroh bersama. Tetapi
pikirannya tidak teruju pada kerinduan beribadah di tanah kelahiran Islam. Pikirannya
tertuju pada nilai-nilai kemanusiaan yang harus ia tunaikan.
Tampaknya Pak
Joni paham betul apa arti susah dan melarat. Mungkin ketika merantau di
Surabaya Pak Joni pernah duduk menunggu penumpang becak, sambil menahan lapar,
dan sedang tidak memegang uang. Pada kondisi itu ia mungkin melihat orang-orang
sekitar yang serba berkecukupan dan menyimpan perasaan getir dari mana mereka
bisa berkecukupan; mengapa Tuhan tidak menghadirkan doa-doanya?; dan setumpuk
kegelisahan lain yang lahir dari kemelaratan.
Ia mungkin
pernah kelaparan sambil melihat arak-arak orang berangkat umroh dan menggumam bahwa kadang kehidupan tidak bersikap ramah.
Karena itu, ia
tidak ingin berangkat umroh di tengah famili dan tetangga yang masih serba kekurangan.
Ia tidak ingin tetangga dan familinya berpikiran getir seperti itu. apalagi Pak
Joni dulu adalah keluarga yang sama-sama bernasib murung. Pak Joni tidak ingin
orang-orang itu berpikir bahwa ia sudah melupakan kesusahan hidup serba
kekurangan.
Hidup
kekurangan, bagaimanapun, membentuk cara pandang manusia. Sebagian
menjadikannya sebagai pelajaran dalam melihat hidup. Sebagian menjadikannya
pemupuk dendam pada kehidupan itu sendiri, yang ia lampiaskan secara
serampangan sebab tidak mudah mengindentifikasi apa kehidupan yang ia dendami
itu.
Pak Joni termasuk bagian pertama. Ia sepertinya tidak memiliki dendam pada hidup kesusahan. Masa kesusahan menjadi perantara Pak Joni untuk bersikap empatik dan altruis. Ia tidak ingin orang terdekat mengalamai apa yang ia alami. Dalam bayangan saya, mungkin Pak Joni berpikir, ibadah umroh memang sakral, tetapi menyambung kehidupan orang sekitar yang berada dalam tanggung-jawabnya, jauh lebih sakral.
Masih dalam
bayangan saya, Tuhan akan senang pada pilihan Pak Joni.