Minggu, 01 Oktober 2023

Altruisme Pak Joni

Pada satu waktu, dalam kehidupan tiap individu di bawah langit, kita sering menghadapi pilihan-pilihan sulit yang berdampak besar terhadap bagaimana kita menjalani hidup. Pak Joni (bukan nama sebenarnya), saya kira berada dalam tegangan semacam itu.


Saya baru mengenalnya meski kami lahir dan dari rahim bumi yang sama, ialah sebuah dusun di selatan pulau Jawa; ia mendahului saya sekitar 20 tahun. Karena terpaut usia itulah kami jelas bukan teman sepermainan dan, akhirnya, kami sama-sama baru saling mengenal.


Pak Joni tumbuh dari keluarga sederhana dan sebagaimana umumnya orang desa pada era agak klasik, ia tidak memiliki minat sekolah tinggi-tinggi. Karena itu, setelah menginjak usia cukup dewasa, alih-alih melanjutkan sekolah, ia memilih untuk bekerja mencari tambahan uang, baik untuk kebutuhan keluarga besar, atau untuk keperluan pribadinya—tentu saja ia tidak mencari tambahan uang untuk kebutuhan tetangga sekitar.


Ketika makin dewasa, Pak Joni memilih merantau ke Surabaya. Ia bekerja serabutan. Bahkan pernah menjalani profesi tukang becak. Saya mendengar cerita itu ketika pertama kali bertamu ke rumahnya. “Saya juga lama di Surabaya,” kata saya. Lalu kami saling bertukar informasi di mana tepatnya kami memilih ceruk tempat tinggal di kota besar itu. Ia bilang terlalu sering berpindah-pindah tempat dengan pendapatan yang masih begitu-begitu saja. “Mungkin saya nggak cocok merantau.”


Saya menyetujuinya. Biasanya menarik becak di negeri ini, seprofesional apapun orang mengayuh pedal dan mengatur kemudi besi panjang, sulit mengantarnya pada kesuksesan finansial.


Akhirnya Pak Joni memilih pulang dan membangun bisnis pribadinya di tanah kelahiran. Singkat kata—maksud saya benar-benar ‘singkat kata’ supaya tidak terlalu panjang menceritakan proses jatuh bangun membangun bisnis—Ia sukses. Sekarang ia menempati rumah bagus dan memiliki beberapa pekerja sekaligus. Ia memberangkatkan istrinya umroh.


“Sampean nggak pengen umroh juga, Cak?” tanya Kakak saya. Pertanyaan itu keluar ketika kami memutuskan mampir di rumahnya setelah mengerjakan beberapa urusan di luar. Sebenarnya saya sedang buru-buru ketika itu tetapi Kakak selalu punya insting sosial yang sedemikian rupa tinggi sehingga ia gemar melipir ke rumah orang tiap kesempatan itu tiba, kesempatan yang kadang ia tiba-tibakan sendiri.


“Gimana, ya,” kata Pak Joni. Ia memikirkan kalimat yang ingin ia sampaikan. “Memangnya siapa orang muslim yang nggak pengen umroh. Kalau ditanya apakah pengen umroh, jelas iya. Tetapi saya segan pada tetangga dan saudara sekitar yang masih kesusahan. Dari pada mereka melihat saya umroh, mending saya bantu-bantu mereka.”


Mending saya bantu-bantu mereka karena saya tahu rasanya dihimpit kehidupan. Kira-kira begitulah kalimat Pak Joni. Rangkaian ungkapan itu membuat saya tertarik dan sejenak melupakan deadline yang mengejar. Deadline sialan yang tak pernah ada habisnya. Alih-alih memikirkan deadline, kepala saya menyimpulkan: di dusun ini masih ada orang berkecukupan yang enggan melakukan umroh karena memikirkan tetangga dan familinya yang masih berkesusahan. Apa yang terjadi di sini? Apakah istri Pak Joni tau nilai altruis yang sedang suaminya pegang?


Dari permukaan, Pak Joni mengalami sesuatu yang oleh Leon Festinger disebut konflik kognitif, ialah terjadinya konflik internal karena nilai-nilai yang ia anut sedang bertabrakan. Dalam konteks Pak Joni, umroh jelas memiliki nilai religius-spiritual yang luhur. Tetapi membantu tetangga yang kesusahan jelas memiliki nilai tak kalah luhur. Selain Pak Joni, kita sering menghadapi tegangan internal semacam ini, dalam berbagai bentuk, dalam berbagai kasus, dalam berbagai masalah.


Dan manusia selalu melakukan negosiasi dengan dirinya sendiri untuk mendamaikan konflik kognitif tersebut, dengan berbagai cara masing-masing. Kadang mereka membunuh satu nilai dan mempertahankan nilai lain. Kadang ia mencari dalil pembenaran terhadap nilai yang ia kukuhkan. Pak Joni, menurut pembacaan sekilas saya, jelas melakukan perhitungan konsekuensional.


Dan hasilnya adalah ia memilih famili dan tetangga. Bagi Pak Joni, memberangkatkan istinya umroh sudah cukup. Padahal Pak Joni sanggup jika ingin umroh bersama. Tetapi pikirannya tidak teruju pada kerinduan beribadah di tanah kelahiran Islam. Pikirannya tertuju pada nilai-nilai kemanusiaan yang harus ia tunaikan.


Tampaknya Pak Joni paham betul apa arti susah dan melarat. Mungkin ketika merantau di Surabaya Pak Joni pernah duduk menunggu penumpang becak, sambil menahan lapar, dan sedang tidak memegang uang. Pada kondisi itu ia mungkin melihat orang-orang sekitar yang serba berkecukupan dan menyimpan perasaan getir dari mana mereka bisa berkecukupan; mengapa Tuhan tidak menghadirkan doa-doanya?; dan setumpuk kegelisahan lain yang lahir dari kemelaratan.


Ia mungkin pernah kelaparan sambil melihat arak-arak orang berangkat umroh dan menggumam bahwa kadang kehidupan tidak bersikap ramah.


Karena itu, ia tidak ingin berangkat umroh di tengah famili dan tetangga yang masih serba kekurangan. Ia tidak ingin tetangga dan familinya berpikiran getir seperti itu. apalagi Pak Joni dulu adalah keluarga yang sama-sama bernasib murung. Pak Joni tidak ingin orang-orang itu berpikir bahwa ia sudah melupakan kesusahan hidup serba kekurangan.


Hidup kekurangan, bagaimanapun, membentuk cara pandang manusia. Sebagian menjadikannya sebagai pelajaran dalam melihat hidup. Sebagian menjadikannya pemupuk dendam pada kehidupan itu sendiri, yang ia lampiaskan secara serampangan sebab tidak mudah mengindentifikasi apa kehidupan yang ia dendami itu.


Pak Joni termasuk bagian pertama. Ia sepertinya tidak memiliki dendam pada hidup kesusahan. Masa kesusahan menjadi perantara Pak Joni untuk bersikap empatik dan altruis. Ia tidak ingin orang terdekat mengalamai apa yang ia alami. Dalam bayangan saya, mungkin Pak Joni berpikir, ibadah umroh memang sakral, tetapi menyambung kehidupan orang sekitar yang berada dalam tanggung-jawabnya, jauh lebih sakral.


Masih dalam bayangan saya, Tuhan akan senang pada pilihan Pak Joni.