Saya berasumsi Anda pernah mendengar ungkapan wanita selalu benar, sebab tidak peduli bagaimana caranya, “adagium” itu menyebar secepat gosip panas tingkat dunia, menggelinding dari satu telinga ke telinga lain tanpa kenal lelah. Jadi apakah wanita selalu benar? Tentu saja tidak. Masalahnya, beberapa wanita merasa dirinya selalu benar, terutama dalam konteks hubungan romantis lawan jenis.
Kita bisa
sepakat bahwa ungkapan tersebut ditujukan untuk humor. Bisa saja seorang wanita
posting narasi tersebut di IG-story untuk lucu-lucuan, tetapi bagaimana jika di
balik lucu-lucuan itu, jauh di lubuk hati mereka, terbesit pikiran—atau
setidaknya harapan—bahwa ungkapan tersebut benar?
Humor adalah
humor. Ia memiliki dampak. Belakangan saya melihat sendiri dampak tersebut pada
orang-orang di sekitar. Dan ketika santai muncul rasa gatal untuk
merenungkannya. Jadi, meski dibuat lucu-lucuan, saya memikirkan ungkapan itu
pelan-pelan. Bisa jadi apa yang saya pikirkan berlebihan. Saya berterima kasih
jika Anda memiliki koreksi membangun atas apa yang akan saya tulis berikut.
Saya
membayangkan ungkapan wanita selalu benar muncul karena kondisi mental
tertentu, yang akarnya bisa jadi adalah kulur patriarki. Laki-laki, sebagaimana
Anda tahu, mendefiniskan dan “mengatur” dunia dari sudut pandang mereka,
sehingga norma-norma relasi pria-wanita memiliki ketimpangan. Dan hal tersebut
telah berjalan ribuan tahun—sepanjang sejarah umat manusia.
Sebagai akibat,
wanita selalu merasa tertekan dan, karena tidak setara, mereka tidak memiliki
kemampuan untuk mengartikulasikannya; mereka tidak memiliki keberanian untuk
menyatakan ketertindasan mereka; mereka memikirkan konsekuensi buruk jika
melawan para lelaki. Kondisi tersebut terus bergulir hingga muncul kesadaran
baru: feminisme, yang tampil menjadi messiah, juru selamat bagi kaum
wanita.
Melalui konsep
feminisme, pelan-pelan, wanita mampu mengungkap seluruh kegelisahan yang telah
mengendap lama—sedemikian lama hingga mungkin membentuk mentalitas mereka,
mental tak nyaman berada di bawah bayang-bayang lawan jenis. Di abad ke-21 ini,
pria dan wanita sudah berjalan menuju kesetaraan. Tentu saja di banyak tempat,
kesetaraan masih menjadi konsep abstrak, bahkan isapan jempol.
Feminisme
menjadi konsumsi kalangan tertentu. Dengan kata lain, masih banyak sisa kondisi
mental inferior yang dirasakan wanita. Termasuk dalam hubungan romantis bersama
pria. Pada konteks tersebut, wanita yang berada di posisi serba salah
menghadapi pria, menemukan senjata untuk melawan pria: bahwa dalam menghadapi
masalah apapun, “wanita selalu benar”. Kalimat-kalimat ini terus menggelinding
dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, sehingga membentuk sudut pandang
manusia.
Bayangkan para
remaja putri yang pikirannya belum matang, lantas sering terpapar ungkapan
tersebut. Apa yang terjadi? Mungkin mereka akan menempatkan diri mereka dalam
posisi benar, sesuai dengan apa yang sering mereka dengar. Jadi begitulah... mereka
berpikir wanita selalu benar; mereka mendapat cara jitu untuk membungkam
pasangan.
Konon wanita
adalah makhluk emosional yang ingin selalu dimengerti. Sifat ini membuat beberapa
wanita [sekali lagi, beberapa] memiliki gaya bahasa khas: kode. Alih-alih
menyatakan maksudnya secara jelas, mereka memilih untuk mengungkap samar-samar,
menggunakan tanda-tanda tertentu yang mungkin hanya mereka dan Tuhan yang tahu,
sambil berharap pasangan mereka peka dan mengerti.
Gaya bahasa
seperti itu membuat ungkapan wanita selalu benar mendapat tempat makin
luas. Jadi, jika ada masalah dalam hubungan, pria akan berada pada posisi
bersalah karena gagal memahami apa maksud si wanita. Jika mereka bertengkar
hebat, si wanita lantas akan menjelaskan secara gamblang apa maksud dari
kode-kode rumit yang ia susun. Lalu pihak wanita menunjukkan betapa konyol si
pria sebab gagal memahami kode “sederhana” itu. “Lihat, wanita selalu benar,”
katanya.
Itu mirip seperti orang yang sengaja membuat lubang jebakan. Dan ketika ada orang terperangkap, si korban malah disalah-salahkan. Dalam kondisi terpojok semoga si pria pernah melihat respon singkat dari Sir Robinson: “Jika seorang pria mengutarakan pemikirannya di tengah hutan, dan tidak ada wanita yang mendengarnya, apakah dia tetap salah?" Barangkali quote itu dapat membesarkan hati si pria dan menjaga kewarasannya.
Dari kondisi
mental tertindas selama patriarki, dari karakter mental wanita, lambat laun
memunculkan celetukan wanita selalu benar. Lalu ungkapan tersebut
diulang-ulang, digemakan, hingga mengkristal di dalam keyakinan orang-orang
tertentu. Sama seperti keyakinan lain di seluruh dunia, hal tersebut berpotensi
untuk menjadikan orang fanatik.
Apa boleh buat,
jika timbul fanatisme, maka dibuntuti oleh kemunculan sesuatu yang oleh para
ahli disebut backfire effect: tidak peduli seperti apa faktanya, selama
fakta itu tidak sesuai dengan keyakinan, maka tidak akan diterima sebagai
kebenaran. Well, kenyataannya, kadang fakta tidak dapat mengubah pemikiran
kita.
Jadi, dilihat
melalui mekanisme backfire effect, wanita menyadari bahwa dirinya tidak
selalu benar. Namun karena fakta tersebut tidak sesuai dengan keyakinannya,
maka akan muncul sikap defensif pada fakta. Apalagi, jika wanita sedang
bertengkar. Mereka tentu terdesak untuk memenangkan polemik. Senjata apapun
harus dipakai semaksimal mungkin.
Rangkaian
ungkapan saya hanya spekulasi liar yang barangkali sangat cupu. Tetapi,
misalnya, jika ungkapan wanita selalu benar sungguh lahir dari rahim
patriarki, maka lelaki menjadi dalang utama. Karena itu, selain kesadaran dari
wanita, kesadaran pria juga penting. Artinya, kaum pria perlu memberikan ruang
ekspresi bagi pasangan—mungkin memasang telinga empati baik-baik untuk keluh
kesah mereka.
Melalui
hubungan seperti itu, muncul kesadaran untuk saling mengakui kesalahan, saling
introspeksi satu sama lain. Hubungan seperti ini dapat muncul ketika pria
dewasa bertemu wanita dewasa. Pada pasangan seperti itu, wanita selalu benar
hanya menjalankan fungsi humor biasa. Pada pasangan lain, wanita sungguh
menggunakannya sebagai senjata.
Suatu hari,
Citra mengucap kalimat yang menancap kuat di kepala, terkait fenomena tersebut.
Ia bilang, “Untung ya aku bukan termasuk cewek-cewek yang selalu menyebut
dirinya benar atau tidak pernah salah. [ungkapan itu] seperti sebuah pengakuan
bahwa perempuan tersebut lemah, tidak mampu berdiri di atas kesalahannya
sendiri. Sehingga, tidak peduli seburuk apapun [kesalahan] mereka, tetap ingin
diakui benar. Duh. Miris sekali.”
Saya yakin masih banyak wanita-wanita seperti Citra.