Minggu, 21 Mei 2023

Apakah Wanita Selalu Benar?

Saya berasumsi Anda pernah mendengar ungkapan wanita selalu benar, sebab tidak peduli bagaimana caranya, “adagium” itu menyebar secepat gosip panas tingkat dunia, menggelinding dari satu telinga ke telinga lain tanpa kenal lelah. Jadi apakah wanita selalu benar? Tentu saja tidak. Masalahnya, beberapa wanita merasa dirinya selalu benar, terutama dalam konteks hubungan romantis lawan jenis.


Kita bisa sepakat bahwa ungkapan tersebut ditujukan untuk humor. Bisa saja seorang wanita posting narasi tersebut di IG-story untuk lucu-lucuan, tetapi bagaimana jika di balik lucu-lucuan itu, jauh di lubuk hati mereka, terbesit pikiran—atau setidaknya harapan—bahwa ungkapan tersebut benar?


Humor adalah humor. Ia memiliki dampak. Belakangan saya melihat sendiri dampak tersebut pada orang-orang di sekitar. Dan ketika santai muncul rasa gatal untuk merenungkannya. Jadi, meski dibuat lucu-lucuan, saya memikirkan ungkapan itu pelan-pelan. Bisa jadi apa yang saya pikirkan berlebihan. Saya berterima kasih jika Anda memiliki koreksi membangun atas apa yang akan saya tulis berikut.


Saya membayangkan ungkapan wanita selalu benar muncul karena kondisi mental tertentu, yang akarnya bisa jadi adalah kulur patriarki. Laki-laki, sebagaimana Anda tahu, mendefiniskan dan “mengatur” dunia dari sudut pandang mereka, sehingga norma-norma relasi pria-wanita memiliki ketimpangan. Dan hal tersebut telah berjalan ribuan tahun—sepanjang sejarah umat manusia.


Sebagai akibat, wanita selalu merasa tertekan dan, karena tidak setara, mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengartikulasikannya; mereka tidak memiliki keberanian untuk menyatakan ketertindasan mereka; mereka memikirkan konsekuensi buruk jika melawan para lelaki. Kondisi tersebut terus bergulir hingga muncul kesadaran baru: feminisme, yang tampil menjadi messiah, juru selamat bagi kaum wanita.


Melalui konsep feminisme, pelan-pelan, wanita mampu mengungkap seluruh kegelisahan yang telah mengendap lama—sedemikian lama hingga mungkin membentuk mentalitas mereka, mental tak nyaman berada di bawah bayang-bayang lawan jenis. Di abad ke-21 ini, pria dan wanita sudah berjalan menuju kesetaraan. Tentu saja di banyak tempat, kesetaraan masih menjadi konsep abstrak, bahkan isapan jempol.


Feminisme menjadi konsumsi kalangan tertentu. Dengan kata lain, masih banyak sisa kondisi mental inferior yang dirasakan wanita. Termasuk dalam hubungan romantis bersama pria. Pada konteks tersebut, wanita yang berada di posisi serba salah menghadapi pria, menemukan senjata untuk melawan pria: bahwa dalam menghadapi masalah apapun, “wanita selalu benar”. Kalimat-kalimat ini terus menggelinding dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, sehingga membentuk sudut pandang manusia.


Bayangkan para remaja putri yang pikirannya belum matang, lantas sering terpapar ungkapan tersebut. Apa yang terjadi? Mungkin mereka akan menempatkan diri mereka dalam posisi benar, sesuai dengan apa yang sering mereka dengar. Jadi begitulah... mereka berpikir wanita selalu benar; mereka mendapat cara jitu untuk membungkam pasangan.


Konon wanita adalah makhluk emosional yang ingin selalu dimengerti. Sifat ini membuat beberapa wanita [sekali lagi, beberapa] memiliki gaya bahasa khas: kode. Alih-alih menyatakan maksudnya secara jelas, mereka memilih untuk mengungkap samar-samar, menggunakan tanda-tanda tertentu yang mungkin hanya mereka dan Tuhan yang tahu, sambil berharap pasangan mereka peka dan mengerti.


Gaya bahasa seperti itu membuat ungkapan wanita selalu benar mendapat tempat makin luas. Jadi, jika ada masalah dalam hubungan, pria akan berada pada posisi bersalah karena gagal memahami apa maksud si wanita. Jika mereka bertengkar hebat, si wanita lantas akan menjelaskan secara gamblang apa maksud dari kode-kode rumit yang ia susun. Lalu pihak wanita menunjukkan betapa konyol si pria sebab gagal memahami kode “sederhana” itu. “Lihat, wanita selalu benar,” katanya.


Itu mirip seperti orang yang sengaja membuat lubang jebakan. Dan ketika ada orang terperangkap, si korban malah disalah-salahkan. Dalam kondisi terpojok semoga si pria pernah melihat respon singkat dari Sir Robinson: “Jika seorang pria mengutarakan pemikirannya di tengah hutan, dan tidak ada wanita yang mendengarnya, apakah dia tetap salah?" Barangkali quote itu dapat membesarkan hati si pria dan menjaga kewarasannya.


Dari kondisi mental tertindas selama patriarki, dari karakter mental wanita, lambat laun memunculkan celetukan wanita selalu benar. Lalu ungkapan tersebut diulang-ulang, digemakan, hingga mengkristal di dalam keyakinan orang-orang tertentu. Sama seperti keyakinan lain di seluruh dunia, hal tersebut berpotensi untuk menjadikan orang fanatik.


Apa boleh buat, jika timbul fanatisme, maka dibuntuti oleh kemunculan sesuatu yang oleh para ahli disebut backfire effect: tidak peduli seperti apa faktanya, selama fakta itu tidak sesuai dengan keyakinan, maka tidak akan diterima sebagai kebenaran. Well, kenyataannya, kadang fakta tidak dapat mengubah pemikiran kita.


Jadi, dilihat melalui mekanisme backfire effect, wanita menyadari bahwa dirinya tidak selalu benar. Namun karena fakta tersebut tidak sesuai dengan keyakinannya, maka akan muncul sikap defensif pada fakta. Apalagi, jika wanita sedang bertengkar. Mereka tentu terdesak untuk memenangkan polemik. Senjata apapun harus dipakai semaksimal mungkin.


Rangkaian ungkapan saya hanya spekulasi liar yang barangkali sangat cupu. Tetapi, misalnya, jika ungkapan wanita selalu benar sungguh lahir dari rahim patriarki, maka lelaki menjadi dalang utama. Karena itu, selain kesadaran dari wanita, kesadaran pria juga penting. Artinya, kaum pria perlu memberikan ruang ekspresi bagi pasangan—mungkin memasang telinga empati baik-baik untuk keluh kesah mereka.


Melalui hubungan seperti itu, muncul kesadaran untuk saling mengakui kesalahan, saling introspeksi satu sama lain. Hubungan seperti ini dapat muncul ketika pria dewasa bertemu wanita dewasa. Pada pasangan seperti itu, wanita selalu benar hanya menjalankan fungsi humor biasa. Pada pasangan lain, wanita sungguh menggunakannya sebagai senjata.


Suatu hari, Citra mengucap kalimat yang menancap kuat di kepala, terkait fenomena tersebut. Ia bilang, “Untung ya aku bukan termasuk cewek-cewek yang selalu menyebut dirinya benar atau tidak pernah salah. [ungkapan itu] seperti sebuah pengakuan bahwa perempuan tersebut lemah, tidak mampu berdiri di atas kesalahannya sendiri. Sehingga, tidak peduli seburuk apapun [kesalahan] mereka, tetap ingin diakui benar. Duh. Miris sekali.”


Saya yakin masih banyak wanita-wanita seperti Citra.