Minggu, 29 Oktober 2023

On Time Adalah Menjaga Ritme

Hari Selasa kemarin, dengan serba terburu-buru, saya bersiap untuk ke kampus, jam mengajar mulai sejak pukul 07.40. Setelah belanja, masak, dan mandi, jam tangan sudah melaporkan 20 menit lagi waktunya kelas. Saya bergegas berangkat jalan kaki. Biasanya saya diantar kawan kos tetapi pagi itu ia sedang pulang.


Saya berjalan santai saja mengira waktu yang tersisa akan memihak. Biasanya memang butuh waktu sekitar 20 menit. Jarak kos ke kampus tidak terlalu jauh, tetapi karena harus menyebrang jalan besar, saya harus melewati garis zebra, dan butuh memutar jalan sehingga cukup mengulur waktu. Praktisnya saya bisa saja sembarang menyebrang untuk bergegas, tetapi itu berbahaya.


Di Surabaya, Anda tahu, menyebrangi jalan besar bisa serupa berenang menyebrang sungai yang penuh buaya lapar. Bedanya, di jalan raya, Anda tidak dicabik oleh gigi buaya, tetapi diseruduk motor, atau mobil, atau truk, atau bus—yang pasti ngebut karena mengejar waktu. Well, ini serius. Menyebrangi jalan raya di kota besar memang bisa dramatis dan bertaruh nyawa.


Mempertimbangkan kebrutalan jalan raya ini, dan masih sayang nyawa [memangnya siapa yang tidak?], saya memutar untuk menggunakan garis zebra berikut klakson penyebrangan. Nah, setelah berjalan santai melintasi trotoar sambil beberapa kali dipaksa minggir karena pengguna motor nekat menaiki hak pejalan kaki, baru sadar waktu sudah mepet. Jadi saya sedikit lari-lari kecil supaya tidak telat masuk kelas.


Saya benci telat. Maksud saya… sangat membenci telat. Dalam perhitungan subjektif saya yang mungkin bisa keliru, selama kuliah S1, saya tidak pernah telat! Kecuali tidak lebih dalam hitungan jari, dan salah satu yang paling saya ingat adalah matakuliah SPI semester satu. Selebihnya mungkin saya telat di perkuliahan lain, tetapi saya yakin tidak banyak. Dua sahabat saya, Khilmi dan Mas Ahmad, menjadi saksi akan hal ini.


Dan kebencian itu bertahan hingga sekarang, saat saya mulai mengajar di kampus tempat saya kuliah. Jadi, karena masih benci telat, saya lari-lari kecil. Pagi itu saya gagal telat. Sebelum membuka pintu, saya mengengok jam tangan dan waktu menunjukkan pukul 07.39 lebih 36 detik. Saya memotretnya dengan ponsel. Masih ada 24 detik.


Ketika masuk kelas, perasaan kecewa langsung menyelimuti, sebab kelas itu hanya berisi 5-8 mahasiswi. Sudah dua kali perasaan penuh kecewa ini muncul, kekecewaan karena… entah. Kecewa karena terlalu tepat waktu? Kecewa karena saya terlalu rajin? Atau kecewa karena mahasiswa terlambat?


Jika saya menyalahkan mereka, mungkin mereka akan berdalih sedang melalukan ini dan itu. Bagaimanapun mereka telah memulai kelas sejak pukul enam pagi dan kelas saya adalah jam transisi. Bahkan, di kelas lain, perkuliahan pagi—semester satu—terbiasa telat. Sebegitu terbiasa sehingga “kesalahan” ini tampak menjadi kebiasaan normal.


Anda tahu, di tengah dunia yang gila, menjadi waras adalah kesalahan. Di tengah dunia yang semrawut, menjadi teratur adalah kesalahan. Di dunia yang abai akan waktu, menjadi tepat waktu adalah kesalahan. Dan daftar ini bisa berlanjut hingga kalian bosan.


Jadi, pagi itu, saya memendam marah yang bagi orang lain mungkin tampak seperti marah yang tidak perlu. Masak hanya gara-gara telat marah? Bukankah telat adalah budaya kita? Ya. Saya akan kecewa, marah, dan sedih menghadapi orang-orang seperti ini, terutama saat pekerjaan sedang menumpuk. Dalam konteks saya, mengajar memang bagian dari pekerjaan. Tetapi telat adalah telat, ia dapat mengacaukan ritme perkejaaan lain. Waktu diskusi akan terpotong; kelas bisa serba terburu-buru; dan seterusnya.


Bayangkan jika kita telat ketika berhadapan dengan orang yang jadwalnya sudah menumpuk, dan ia dikejar banyak tugas. Bukankah kita telah mengacaukan rangkaian kesibukan orang tersebut? Itulah sebenarnya apa yang ingin saya tekankan: bahwa telat selalu membawa kemungkinan mengacaukan kesibukan orang lain.


Padahal kesibukan itu bisa jadi adalah hidup-mati mereka; bisa jadi kesibukan itu adalah penentu hubungan mereka dengan orang lain. Jadi, kita perlu berhati-hati, sebab kita tidak pernah tahu apa yang dihadapi orang lain.


Jika dilihat dari sudut pandang tersebut, on time bukan soal kaku atau tidak kaku. Lebih dari itu, on time adalah menjaga kemaslahatan orang lain. Ini bukan hanya tentang kita, tetapi tentang kehidupan orang lain. Jika orang lain sedang sibuk, dan hampir bisa dipastikan orang lain selalu sibuk, maka akan lebih elok jika kita mengusahakan on time. Jika mereka sedang senggang, kita bisa lebih santai.


Saya juga seperti itu: akan menjadi sangat kaku ketika sedang menhadapi banyak tumpukan tugas. Dan ketika harus mengurus sesuatu bersama teman-teman, mereka biasanya akan memberi konfirmasi bahwa tidak bisa tepat waktu. Maka saya akan menyesuaikan, atau bahkan tidak perlu penyesuaian sama sekali ketika sedang longgar.


Izinkan saya memeras apa yang ingin saya katakan: tepat waktu kadang adalah soal menghargai orang lain. Karena itu, on time tidak selalu mengenai kita, ia kadang terkait dengan orang lain, yang orang lain ini terkait dengan orang lain lagi. Sedemikian rupa panjang rantai ini hingga kita perlu mempertimbangkan untuk tepat waktu.