Berkali-kali
saya terlibat obrolan asik bersama kawan, bahwa kultur partriarki ini
sebenarnya tidak hanya menempatkan wanita pada sub-manusia, tetapi juga
menempatkan pria pada tanggung-jawab sedemikian rupa. Mereka—para
pria—berperang demi mendapat atribut maskulin; berlomba tampak kuat secara
fisik dan mental; berusaha membawa kehidupan di tangan atau pundaknya—dalam
arti metaforis keduanya tidak terlalu berbeda.
Laki-laki, kata
Harari, selalu dituntut membuktikan kejantanannya terus menerus, dari lahir
hingga liang lahat, dalam serangkaian kondisi kehidupan sehari-hari maupun
kumpulan acara dan pertunjukan yang tiada habisnya. “Sepanjang sejarah, seorang
laki-laki bersedia mengambil risiko dan bahkan mengorbankan hidup mereka, hanya
agar orang berkata, ‘Dia memang pria sejati’.” Dengan kata lain, meminjam
ungkapan orang sekarang, pria mengejar ekspektasi sosial.
Saya yakin,
diam-diam, banyak pria yang tertekan dengan kultur semacam itu, terutama mereka
yang belum mampu “menaklukkan” kehidupan dan selalu terhimpit banyak hal. Jadi,
jika wanita ingin setara dengan pria, kadang saya berpikir, apakah mereka ingin
setara dalam hal yang pria sudah lelah dengan posisi tersebut?
Jika kaumelihat
pria sedang duduk dengan tatapan kosong, jelas mereka sedang mengkhawatirkan
sesuatu, dan memperhitungkan solusi paling mungkin untuk dilakukan. Sambil
memikirkan hal tersebut, biasanya mereka enggan berbagi masalah dengan orang
lain. Bukan karena tidak butuh, tetapi karena sejak kecil pria sudah dicetak
seperti itu. Dicetak siapa? Lingkungan partriarki!
Di Indonesia,
pergaulan bocah-bocah “kecil” sudah dipenuhi kultur validatif. Misalnya, soal
merokok. Di desa saya, dan mungkin juga di desa seluruh Indonesia, orang mulai
merokok sejak remaja. Dan apa alasan remaja merokok? Karena hobi? Jelas bukan!
Remaja merokok supaya mendapat pengakuan dari teman sebaya bahwa dia keren!
Bahwa dia lelaki sejati! Di zaman saya remaja, bocah yang tidak merokok akan
“tersingkir” dari dunia sosial mereka.
Itu hanya soal
rokok, belum soal pacaran, soal tawuran, soal mabuk, dan soal-soal lain.
Di tengah
cetakan sosial seperti itu, lelaki kadang enggan mengakui kelemahan mereka di
depan lelaki lain, sebab mereka bisa diejek habis-habisan dan dikucilkan di
tengah pergaulan. Itulah mengapa kadang mereka lebih nyaman berbagi cerita
kepada wanita sebab makhluk ini jauh lebih bisa mendengarkan masalah pria.
Meski demikian, tidak semua pria terbuka pada wanita, bahkan pada istrinya
sendiri. Sebagian mereka memilih untuk memendam masalah, sebab tidak ingin
tampak lemah di depan istri.
Kira-kira
inilah yang mereka pikirkan: Jika istriku tahu semua masalahku, dan kekalutanku
menghadapi semua tumpukan masalah itu, ia mungkin bisa kehilangan kepercayaan
bahwa suaminya bisa menjadi tempat berlindung.
Dalam kasus
pertemanan saya, belakangan, para pria mulai saling terbuka atas masalah
masing-masing. Mungkin karena beban itu memang sudah tidak tertampung sehingga
harus meletus. Tetapi pengakuan semacam itu jelas hanya terjadi dalam obrolan
empat mata, atau mungkin enam mata. Saya kira tidak lebih dari 10 mata. Saat
mereka mulai berani membuka diri, tidak jarang, ujung cerita tersebut adalah
air mata.
Meminjam
istilah kekinian, tiap orang pernah berada dalam titik terendah dalam hidup.
Biasanya hal ini terkait himpitan kanan-kiri yang mencekik. Biasanya pula, akar
semuanya adalah uang. Beberapa kenalan saya memerlukan biaya untuk persalinan
istrinya, sedang ia masih kerja serabutan. Beberapa kenalan lain harus
membiayai pengobatan orangtuanya. Daftar ini bisa berlanjut panjang jika kita
melihat media sosial. Selain berisi pameran pencapaian, di sana juga banyak
kumpulan keluh kesah.
Di Twitter yang
mulai saya tinggalkan karena isinya hanya keluh kesah orang-orang, mudah
ditemukan cuitan populer yang menceritakan kondisi memprihatinkan dari warga
kelas menengah kebawah. Well, jika ada yang berpikir uang tidak penting, coba
katakan pada mereka.
Siapa yang
dianggap paling bertanggung-jawab soal keuangan? Biasanya, sih, pria. Meski
sudah tak terhitung jumlah wanita yang menjadi tulang punggung. Dengan kata
lain, di balik cerita-cerita sedih seperti di atas, mungkin, ada sosok
penyangga keluarga yang terluka hatinya karena kalah menghadapi kehidupan.
Sebagian besar dari mereka merasakan sakit hati sendirian, sebab dalam kultur
partriarki, mereka dicekoki untuk menjadi pria sejati.
Karena itu, berkali-kali
saya terlibat obrolan asik bersama kawan, tentang kultur partriarki, yang
mungkin memengaruhi teman-teman kami.