Kamis, 19 Oktober 2023

Ilusi Pria Sejati

Berkali-kali saya terlibat obrolan asik bersama kawan, bahwa kultur partriarki ini sebenarnya tidak hanya menempatkan wanita pada sub-manusia, tetapi juga menempatkan pria pada tanggung-jawab sedemikian rupa. Mereka—para pria—berperang demi mendapat atribut maskulin; berlomba tampak kuat secara fisik dan mental; berusaha membawa kehidupan di tangan atau pundaknya—dalam arti metaforis keduanya tidak terlalu berbeda.


Laki-laki, kata Harari, selalu dituntut membuktikan kejantanannya terus menerus, dari lahir hingga liang lahat, dalam serangkaian kondisi kehidupan sehari-hari maupun kumpulan acara dan pertunjukan yang tiada habisnya. “Sepanjang sejarah, seorang laki-laki bersedia mengambil risiko dan bahkan mengorbankan hidup mereka, hanya agar orang berkata, ‘Dia memang pria sejati’.” Dengan kata lain, meminjam ungkapan orang sekarang, pria mengejar ekspektasi sosial.


Saya yakin, diam-diam, banyak pria yang tertekan dengan kultur semacam itu, terutama mereka yang belum mampu “menaklukkan” kehidupan dan selalu terhimpit banyak hal. Jadi, jika wanita ingin setara dengan pria, kadang saya berpikir, apakah mereka ingin setara dalam hal yang pria sudah lelah dengan posisi tersebut?


Jika kaumelihat pria sedang duduk dengan tatapan kosong, jelas mereka sedang mengkhawatirkan sesuatu, dan memperhitungkan solusi paling mungkin untuk dilakukan. Sambil memikirkan hal tersebut, biasanya mereka enggan berbagi masalah dengan orang lain. Bukan karena tidak butuh, tetapi karena sejak kecil pria sudah dicetak seperti itu. Dicetak siapa? Lingkungan partriarki!


Di Indonesia, pergaulan bocah-bocah “kecil” sudah dipenuhi kultur validatif. Misalnya, soal merokok. Di desa saya, dan mungkin juga di desa seluruh Indonesia, orang mulai merokok sejak remaja. Dan apa alasan remaja merokok? Karena hobi? Jelas bukan! Remaja merokok supaya mendapat pengakuan dari teman sebaya bahwa dia keren! Bahwa dia lelaki sejati! Di zaman saya remaja, bocah yang tidak merokok akan “tersingkir” dari dunia sosial mereka.


Itu hanya soal rokok, belum soal pacaran, soal tawuran, soal mabuk, dan soal-soal lain.


Di tengah cetakan sosial seperti itu, lelaki kadang enggan mengakui kelemahan mereka di depan lelaki lain, sebab mereka bisa diejek habis-habisan dan dikucilkan di tengah pergaulan. Itulah mengapa kadang mereka lebih nyaman berbagi cerita kepada wanita sebab makhluk ini jauh lebih bisa mendengarkan masalah pria. Meski demikian, tidak semua pria terbuka pada wanita, bahkan pada istrinya sendiri. Sebagian mereka memilih untuk memendam masalah, sebab tidak ingin tampak lemah di depan istri.


Kira-kira inilah yang mereka pikirkan: Jika istriku tahu semua masalahku, dan kekalutanku menghadapi semua tumpukan masalah itu, ia mungkin bisa kehilangan kepercayaan bahwa suaminya bisa menjadi tempat berlindung.


Dalam kasus pertemanan saya, belakangan, para pria mulai saling terbuka atas masalah masing-masing. Mungkin karena beban itu memang sudah tidak tertampung sehingga harus meletus. Tetapi pengakuan semacam itu jelas hanya terjadi dalam obrolan empat mata, atau mungkin enam mata. Saya kira tidak lebih dari 10 mata. Saat mereka mulai berani membuka diri, tidak jarang, ujung cerita tersebut adalah air mata.


Meminjam istilah kekinian, tiap orang pernah berada dalam titik terendah dalam hidup. Biasanya hal ini terkait himpitan kanan-kiri yang mencekik. Biasanya pula, akar semuanya adalah uang. Beberapa kenalan saya memerlukan biaya untuk persalinan istrinya, sedang ia masih kerja serabutan. Beberapa kenalan lain harus membiayai pengobatan orangtuanya. Daftar ini bisa berlanjut panjang jika kita melihat media sosial. Selain berisi pameran pencapaian, di sana juga banyak kumpulan keluh kesah.


Di Twitter yang mulai saya tinggalkan karena isinya hanya keluh kesah orang-orang, mudah ditemukan cuitan populer yang menceritakan kondisi memprihatinkan dari warga kelas menengah kebawah. Well, jika ada yang berpikir uang tidak penting, coba katakan pada mereka.


Siapa yang dianggap paling bertanggung-jawab soal keuangan? Biasanya, sih, pria. Meski sudah tak terhitung jumlah wanita yang menjadi tulang punggung. Dengan kata lain, di balik cerita-cerita sedih seperti di atas, mungkin, ada sosok penyangga keluarga yang terluka hatinya karena kalah menghadapi kehidupan. Sebagian besar dari mereka merasakan sakit hati sendirian, sebab dalam kultur partriarki, mereka dicekoki untuk menjadi pria sejati.


Karena itu, berkali-kali saya terlibat obrolan asik bersama kawan, tentang kultur partriarki, yang mungkin memengaruhi teman-teman kami.