Sabtu, 22 Juli 2023

Bagaimana Rasa Bosan Mengalahkan Kita dan Merusak Kehidupan

Psikolog terkemuka dari Universitas Virginia, Timothy Wilson, melakukan sebuah riset menarik. Ia mengumpulkan ratusan relawan untuk mengambil bagian dalam apa yang ia sebut sebagai “Periode Berpikir”. Para relawan diminta duduk di sebuah ruang kosong selama beberapa menit. Duduk di ruang kosong itu dimaksudkan supaya mereka khusuk dan masuk ke dalam pikiran mereka sendiri, karena itu Wilson menyebutnya periode berpikir.


Setelah keluar dari ruangan mereka menyampaikan kesan: selama beberapa menit duduk tanpa apapun untuk dikerjakan, tidak ada rasa lain kecuali bosan dan perasaan tidak nyaman.


Jika relawan pertama tersebut hanya melibatkan mahasiswa, Wilson kemudian mencari relawan dari berbagai kalangan. Sama seperti sebelumnya, para relawan diminta duduk di ruang penelitian selama 6-15 menit. Bedanya kali ini tim peneliti meletakkan tombol listrik kejut yang bisa menyengat mereka dengan voltase yang telah diukur sedemikian rupa. Mereka bisa menekan tombol—menyetrum diri mereka sendiri—kapan saja mereka mau. Hasilnya mengejutkan, 67% pria dan 25% menekan tombol!


Dari pada merasakan bosan, orang rela menyakiti diri sendiri.


Riset di atas sekurang-kurangnya menunjukkan satu hal penting: kebanyakan orang tidak betah duduk diam untuk berpikir, bahkan jika hanya dalam waktu 15 menit! Padahal, tidak peduli profesi kita, kesibukan kita, keahlian kita, sesekali kita perlu masuk ke dalam pikiran sendiri barang sejenak sebab kebiasaan inilah yang dapat membantu kita menjadi manusia yang lebih baik.


Izinkan saya menjelaskan lebih jauh.


Jika kita mempelajari kehidupan tokoh-tokoh besar seperti Newton, Einstein, Hawking, bahkan Heidegger, kita akan menemukan satu ciri yang cukup sama: mereka gemar memasuki pikiran masing-masing. Tentu tidak semua orang harus menjadi Hawking atau Heidegger. Tetapi betapa kemampuan duduk diam dan berpikir barang beberapa menit telah menjadi kebiasaan orang-orang tertentu dan hal tersebutlah yang membuat dunia berubah.


Einstein belakangan mengaku, kebiasaan merenungnya membuat ia mampu berimajinasi dengan baik. Kemampuan imajinasi ini mengantar Einstein menemukan teori relativitas umum dan khusus, saat ia membayangkan menaiki gelombang cahaya. Dan Einstein tidak sendiri, ilmuan lain yang membuat penemuan melalui imajinasi antara lain Michael Faraday, Neils Bohr, dan Abdus Salam. Dalam bayangan saya, mereka menggemari kontemplasi dan menjelajah relung-relung imajinasi.


Andai menjadi partisipan riset Wilson di atas, jelas mereka tidak akan merasa bosan lantas menekan tombol listrik kejut. Alih-alih menekan tombol kejut, mereka pasti memanfaatkan saat-saat tersebut untuk berpikir. Jadi, orang-orang seperti ini cukup kebal dengan rasa bosan sebab jauh di dalam pikiran mereka ada arus pikiran yang selalu menantang dan menarik untuk dijelajah.


Jika tokoh-tokoh besar itu menjadikan “Periode Berpikir” untuk menyusun riset serius yang mengubah dunia, orang-orang biasa dapat memasuki “Periode Berpikir” sebagai sarana evaluasi: apa yang telah ia usahakan, apa yang bisa ia kembangkan, hal lain apa yang ingin ia kerjakan, cita-cita baru apa yang ia inginkan, dan sebagainya, dan sejenisnya, dan seterusnya. Perenungan semacam ini, barangkali, yang dapat membuat orang lebih mengenal diri mereka sendiri; lebih mampu mengevaluasi diri mereka sendiri.


Hasilnya, bisa jadi, orang tidak tolah-toleh pada kehidupan tetangga dengan cara negatif, sebab mereka selalu menyicil untuk mengenal diri mereka sendiri, lalu lebih memahami apa kekurangan dan kelebihan dirinya di banding orang lain. Kesadaran inilah yang membuat ia mampu mewajarkan pencapaian dirinya dan orang lain. Karena itu, ia tidak mudah terjebak untuk membandingkan kehidupan dirinya di tengah capaian orang sekitar.


Sebab ia sadar siapa dirinya. Sebab ia meluangkan waktu untuk merenung.


Tetapi tampaknya, hari demi hari, kita disibukkan oleh informasi di media sosial. Kita mengakses dunia melalui jari-jari, dan kita tenggelam dalam tumpukan informasi. Pernahkah kita menyadari, kejadian viral yang terjadi beberapa bulan lalu, telah kita lupakan hari ini. Ada “inflasi viral” sehingga kita mudah lupa bahkan kepada sesuatu yang viral. Telepon genggam, dengan seluruh informasi yang dapat kita akses, menjadi alat pembubuh rasa bosan kita.


Tetapi ada harga yang harus dibayar.


Manusia hari ini, termasuk saya, barangkali bisa disebut sebagai Homo ponselus (saya tahu ini istilah ngawur) dalam konotasi negatif. Tangan kita reflek meraih ponsel kapanpun kita senggang. Wong saat sibuk saja kita menyempatkan diri untuk melihat ponsep, apalagi senggang! Jadi, hari ini, kita kehilangan seni menikmati rasa bosan. Sedangkan bagi orang-orang tertentu, yang mampu memerangi rasa bosan, duduk tanpa gangguan di sekitar adalah keasyikan. Alih-alih kebosanan. Siapapun yang berada pada level ini, biasanya ia mampu melihat dunia dengan cara yang baru.


Dengan kata lain, bagi orang-orang tertentu, kesendirian tidak berarti kebosanan. Anda tahu, kesendirian tidak selalu berujung pada kebosanan dan, pada akhirnya kita bisa menyimpulkan, kesendirian tidak selalu bermuara pada kesepian. Ada perbedaan penting antara kesendirian dan kesepian. Orang-orang yang mampu merenung mungkin tampak sendiri, tetapi mereka tidak kesepian!


Dan itulah perbedaan antara orang yang memiliki kebiasaan merenung dan kebanyakan orang yang sibuk dengan hal-hal artifisal serba dangkal; yang sebenarnya tak terlalu penting juga untuk kehidupan dirinya. Padahal, dan ini bagian yang mengerikan, orang bisa bosan terhadap apa-apa yang mereka lihat di media sosial—konten yang pada mulanya digunakan untuk membunuh rasa bosan.


Kapanpun seseorang mereasa bosan dengan sesuatu yang pada awalnya dianggap hiburan, maka itulah awal dahaga kehidupan. Seperti air yang tidak menyembuhkan haus, sebab air telah gagal membasai kerongkongan, maka orang itu berada dalam kubangan dahaga berkepanjangan. Bukankah media sosial juga seperti itu: ia dapat gagal membunuh rasa bosan seseorang. Orang bisa merasakan bosan terhadap media sosial. Dan dahaga kehidupan dimulai. Mungkin pada akhirnya ia merasa dirinya tidak bermakna.


Bukankah fenomena di atas mudah kita temui? Salah satu penyebabnya, jangan-jangan, karena kita gagal menikmati kesendirian, dan kalah pada rasa bosan.