Psikolog terkemuka dari Universitas Virginia, Timothy Wilson, melakukan sebuah riset menarik. Ia mengumpulkan ratusan relawan untuk mengambil bagian dalam apa yang ia sebut sebagai “Periode Berpikir”. Para relawan diminta duduk di sebuah ruang kosong selama beberapa menit. Duduk di ruang kosong itu dimaksudkan supaya mereka khusuk dan masuk ke dalam pikiran mereka sendiri, karena itu Wilson menyebutnya periode berpikir.
Setelah
keluar dari ruangan mereka menyampaikan kesan: selama beberapa menit duduk
tanpa apapun untuk dikerjakan, tidak ada rasa lain kecuali bosan dan perasaan
tidak nyaman.
Jika relawan
pertama tersebut hanya melibatkan mahasiswa, Wilson kemudian mencari relawan dari
berbagai kalangan. Sama seperti sebelumnya, para relawan diminta duduk di ruang
penelitian selama 6-15 menit. Bedanya kali ini tim peneliti meletakkan tombol
listrik kejut yang bisa menyengat mereka dengan voltase yang telah diukur
sedemikian rupa. Mereka bisa menekan tombol—menyetrum diri mereka sendiri—kapan
saja mereka mau. Hasilnya mengejutkan, 67% pria dan 25% menekan tombol!
Dari pada
merasakan bosan, orang rela menyakiti diri sendiri.
Riset di
atas sekurang-kurangnya menunjukkan satu hal penting: kebanyakan orang tidak
betah duduk diam untuk berpikir, bahkan jika hanya dalam waktu 15 menit!
Padahal, tidak peduli profesi kita, kesibukan kita, keahlian kita, sesekali
kita perlu masuk ke dalam pikiran sendiri barang sejenak sebab kebiasaan inilah
yang dapat membantu kita menjadi manusia yang lebih baik.
Izinkan saya
menjelaskan lebih jauh.
Jika kita
mempelajari kehidupan tokoh-tokoh besar seperti Newton, Einstein, Hawking,
bahkan Heidegger, kita akan menemukan satu ciri yang cukup sama: mereka gemar
memasuki pikiran masing-masing. Tentu tidak semua orang harus menjadi Hawking
atau Heidegger. Tetapi betapa kemampuan duduk diam dan berpikir barang beberapa
menit telah menjadi kebiasaan orang-orang tertentu dan hal tersebutlah yang
membuat dunia berubah.
Einstein
belakangan mengaku, kebiasaan merenungnya membuat ia mampu berimajinasi dengan
baik. Kemampuan imajinasi ini mengantar Einstein menemukan teori relativitas
umum dan khusus, saat ia membayangkan menaiki gelombang cahaya. Dan Einstein
tidak sendiri, ilmuan lain yang membuat penemuan melalui imajinasi antara lain
Michael Faraday, Neils Bohr, dan Abdus Salam. Dalam bayangan saya, mereka
menggemari kontemplasi dan menjelajah relung-relung imajinasi.
Andai
menjadi partisipan riset Wilson di atas, jelas mereka tidak akan merasa bosan
lantas menekan tombol listrik kejut. Alih-alih menekan tombol kejut, mereka
pasti memanfaatkan saat-saat tersebut untuk berpikir. Jadi, orang-orang seperti
ini cukup kebal dengan rasa bosan sebab jauh di dalam pikiran mereka ada arus
pikiran yang selalu menantang dan menarik untuk dijelajah.
Jika tokoh-tokoh
besar itu menjadikan “Periode Berpikir” untuk menyusun riset serius yang
mengubah dunia, orang-orang biasa dapat memasuki “Periode Berpikir” sebagai sarana
evaluasi: apa yang telah ia usahakan, apa yang bisa ia kembangkan, hal lain apa
yang ingin ia kerjakan, cita-cita baru apa yang ia inginkan, dan sebagainya,
dan sejenisnya, dan seterusnya. Perenungan semacam ini, barangkali, yang dapat
membuat orang lebih mengenal diri mereka sendiri; lebih mampu mengevaluasi diri
mereka sendiri.
Hasilnya, bisa
jadi, orang tidak tolah-toleh pada kehidupan tetangga dengan cara negatif, sebab
mereka selalu menyicil untuk mengenal diri mereka sendiri, lalu lebih memahami
apa kekurangan dan kelebihan dirinya di banding orang lain. Kesadaran inilah
yang membuat ia mampu mewajarkan pencapaian dirinya dan orang lain. Karena itu,
ia tidak mudah terjebak untuk membandingkan kehidupan dirinya di tengah capaian
orang sekitar.
Sebab ia
sadar siapa dirinya. Sebab ia meluangkan waktu untuk merenung.
Tetapi tampaknya,
hari demi hari, kita disibukkan oleh informasi di media sosial. Kita mengakses
dunia melalui jari-jari, dan kita tenggelam dalam tumpukan informasi. Pernahkah
kita menyadari, kejadian viral yang terjadi beberapa bulan lalu, telah kita
lupakan hari ini. Ada “inflasi viral” sehingga kita mudah lupa bahkan kepada
sesuatu yang viral. Telepon genggam, dengan seluruh informasi yang dapat kita
akses, menjadi alat pembubuh rasa bosan kita.
Tetapi ada
harga yang harus dibayar.
Manusia hari
ini, termasuk saya, barangkali bisa disebut sebagai Homo ponselus (saya
tahu ini istilah ngawur) dalam konotasi negatif. Tangan kita reflek meraih ponsel
kapanpun kita senggang. Wong saat sibuk saja kita menyempatkan diri
untuk melihat ponsep, apalagi senggang! Jadi, hari ini, kita kehilangan seni menikmati
rasa bosan. Sedangkan bagi orang-orang tertentu, yang mampu memerangi rasa
bosan, duduk tanpa gangguan di sekitar adalah keasyikan. Alih-alih kebosanan. Siapapun
yang berada pada level ini, biasanya ia mampu melihat dunia dengan cara yang
baru.
Dengan kata
lain, bagi orang-orang tertentu, kesendirian tidak berarti kebosanan. Anda tahu,
kesendirian tidak selalu berujung pada kebosanan dan, pada akhirnya kita bisa
menyimpulkan, kesendirian tidak selalu bermuara pada kesepian. Ada perbedaan
penting antara kesendirian dan kesepian. Orang-orang yang mampu merenung
mungkin tampak sendiri, tetapi mereka tidak kesepian!
Dan itulah
perbedaan antara orang yang memiliki kebiasaan merenung dan kebanyakan orang
yang sibuk dengan hal-hal artifisal serba dangkal; yang sebenarnya tak terlalu
penting juga untuk kehidupan dirinya. Padahal, dan ini bagian yang mengerikan,
orang bisa bosan terhadap apa-apa yang mereka lihat di media sosial—konten yang
pada mulanya digunakan untuk membunuh rasa bosan.
Kapanpun
seseorang mereasa bosan dengan sesuatu yang pada awalnya dianggap hiburan, maka
itulah awal dahaga kehidupan. Seperti air yang tidak menyembuhkan haus, sebab
air telah gagal membasai kerongkongan, maka orang itu berada dalam kubangan
dahaga berkepanjangan. Bukankah media sosial juga seperti itu: ia dapat gagal membunuh
rasa bosan seseorang. Orang bisa merasakan bosan terhadap media sosial. Dan dahaga
kehidupan dimulai. Mungkin pada akhirnya ia merasa dirinya tidak bermakna.
Bukankah fenomena di atas mudah kita temui? Salah satu penyebabnya, jangan-jangan, karena kita gagal menikmati
kesendirian, dan kalah pada rasa bosan.