—Untuk Rika
Panggilan barusan sebenarnya hanya untuk melihat bagaimana ekspresi sampean ketika menerima ucapan ulang tahun dan untuk mengingatkan bahwa sampean pernah mengirim doa baik untuk hari baikku--tetapi menyempal 20 hari, ialah 3 Juli 2021. Sebenarnya tidak masalah juga jika 3 Juli dianggap sama dengan 13 Juni.
Sekarang mari kita
berpura-pura bahwa 1 Desember sama dengan 11 November. Tidakkah kita impas? Itu
telat sekitar 20 hari juga, atau 19. Beda tipis dan mari kita anggap sama juga.
Well, ini bukan soal balas
dendam. Percayalah. Aku ingin membuat satu kelakar kecil bahwa kadang hal-hal
konyol seperti ini perlu diperhitungkan sedemikian rupa--seolah kita makhluk
yang tidak memiliki kesibukan lain sehingga detail kecil soal keterlambatan
harus diperhitungkan juga.
***
Rik, kita sudah bahas ini di
waktu lalu: bahwa kadang orang dewasa yang iri pada kebahagiaan anak-anak itu
konyol. Menurutku memang anak-anak kecil-kecil imut-imut itu bahagia, tetapi
mereka tidak sadar bahwa mereka bahagia. Ah, bahkan mereka juga tidak sebahagia
itu.
Mari kita ingat masa lalu
kita. Sampean pernah tumbuh sebagai anak-anak dan, seperti anak-anak lain di
seluruh dunia, sampean pernah menangis untuk hal-hal sepele. Misalnya, ada
penjual es lewat dan sampean gagal mem-begal Pak Es dengan pertukaran rupiah.
Sampean merasa hal itu
sebagai masalah yang perlu dilihat oleh seluruh orang dewasa di seluruh dunia.
Betapa persoalan es bagi anak kecil menyembul keluar membentuk neraka.
Maksudku, bahkan anak-anak
yang kita anggap bahagia memiliki masalah yang bagi mereka serius.
Oh, maaf, mungkin sampean
nggak pernah nangis gara-gara es atau hal-hal sepele lain. Tapi aku pernah.
Jadi sebenarnya itu hanya pengalamanku. Tapi mari kita jujur sejenak bahwa dulu
sampean mungkin pernah punya masalah serupa.
Dan sekarang sampean sudah 25
tahun lebih 20 hari. Atau 19 hari? Tak masalah. Mari kita anggap 25 lebih 20
hari.
Itu usia yang membuat sampean
nggak bakal nangis gara-gara es krim. Tapi mungkin sampean bisa nangis
gara-gara tesis. Tidak masalah, memang begitu wajarnya mahasiswa S2. Sudah
saatnya kita menangisi tesis, bukan skripsi.
Sampean masih ingat saat-saat
sulit nulis skripsi? Wah... Momen sialan. Tetapi sekarang ada yang lebih
sialan. Tesis. Nanti ketika sampean punya kesempatan lanjut S3, momen sialan
itu berubah menjadi disertasi. Saat-saat itu, mungkin tesis tampak mungil.
Aku punya saran, Rik. Dan ini
juga berlaku untuk aku sendiri. Dari pada nunggu nulis disertasi untuk
mengerdilkan soal tesis, kenapa kita sekarang tidak macak nulis disertasi saja?
Jadi soal tesis ini akan tampak sederhana sebagaimana skripsi kita dulu.
Aku sering macak begitu, sih.
Dan itu membuat segala rintangan itu mudah. Karena aku punya keyakinan tesis
bakal selesai, dan seluruh energi harus aku gunakan untuk menulis, bukan untuk
kesedihan yang di kemudian hari berujung sia-sia.
Bukankah kesedihan saat nulis
skripsi itu sia-sia ketika sampean tahu bakal lulus dan kuncinya hanya keras
kepala untuk maju.
Nah, aku dan sampean
kesulitan mengatakan hal-hal seperti ini kepada anak-anak. Kita melihat mereka
sebagai makhluk bahagia dan mereka kadang penuh kesedihan juga.
Kita makhluk yang penuh
kesedihan juga, tetapi dengan pergeseran cara pandang, kita bisa menyadari
bahwa anak-anak tidak sadar bahwa mereka bahagia. Sedangkan kita bisa sadar
bahwa kita bahagia. Bahkan kita bisa merasa senang saat menghadapi rintangan, dengan
cara macak naik kelas lebih dulu.
Betapa kadang menjadi dewasa
itu menyenangkan. Kita bisa memilih banyak hal--yang mustahil dilakukan
anak-anak. Jadi, selamat berbahagia menjadi dewasa.
Yah. Akhirnya, sampean boleh
menangis dan menyerah menghadapi tesis. Dan sampean juga bisa keras kepala
untuk terus maju. Kalau poin kedua yang sampean pilih, mari, bakar apinya.
***
Surat ini akhirnya ditulis
juga. Ditulis dalam kondisi bahagia dan dengan tempo sesingkat-singkatnya,
dalam momen setepat-tepatnya.
Kadang aku haru sedikit
sombong, bahwa di seluruh dunia ini, nyari kawan kayak aku ini ya
gampang-gampang susah. Atau mustahil sih, lha wong cuma ada satu biji. Itu
artinya nyari kawan seperti sampean juga susah. Dan silakan sombong juga. Dan
yang di atas kesombongan itu, ada kebanggaan yang harus dijaga, ialah
pertemanan itu sendiri.
Sekali lagi, selamat
berbahagia. Kalau sedang bersedih, tolong setidaknya berbahagialah membaca
kalimat terakhir ini.
--Surabaya, 1 Desember 2022