Tangan yang banyak menolong kadang berakhir dengan terlalu mengatur. Begitu kira-kira kata Goenawan Mohamad dan saya menyetujuinya dengan sepenuh hati. Itulah mengapa kadang saya berambisi, sebisa mungkin, untuk melakukan segala hal sendiri. Ambisi yang pernah mengarah pada kepongahan.
Dulu, saya sering dibantu oleh orang
terkait hal yang saya kerjakan, atau saya usahakan, dan bahkan dibantu terhadap
hal-hal yang saya cita-citakan. Tetapi tidak ada harga gratis di dunia ini.
Belakangan saya baru merasa, ada banyak kepentingan di balik bantuan-bantuan
yang datang, dari yang sekedar ingin dibantu kembali—dan ini wajar saja—hingga
ada yang ingin “mengikat” saya dalam tugas-tugas tertentu tanpa batas waktu
yang jelas.
Sejak itu kadang saya cukup skeptis
dalam menerima bantuan “besar” dari orang lain. Saya tahu mungkin ini tidak
sehat sebab tidak sepatutnya kita mencurigai dengan cara pandang negatif
terhadap orang-orang yang mengulurkan bantuan. Tetapi di antara orang-orang
baik itu, saya kira, selalu terselip orang-orang “tidak tulus”, yang berusaha
mengulurkan bantuan dalam modus hutang, dan akan ia tagih dalam bentuk lebih
besar di lain hari.
Mungkin memang seperti itu dunia
bekerja, selalu ada orang buruk yang bersembunyi di balik kebaikan sehingga
orang yang benar-benar baik dan tulus harus terdampak dicurigai. Selalu ada
orang yang merusak ketulusan hingga mengaburkan batas antara kebaikan dan
keburukan… lalu kecurigaan menjangkit secara akut, sebagaimana saya tulis di
sini.
Selain itu, sebagaimana kata Pram,
di luar sana ada orang yang bernafsu melihat kita sukses dan menjadi orang
penting karena jasa mereka. “Apa mereka tidak mampu melakukannya untuk diri
mereka sendiri?” kata Pram. Ketika pertama membaca kalimat ini di buku Bumi
Manusia, saya terhenyak, betapa tajam insting Pram dalam melukiskan
kepentingan-kepentingan manusia yang bersembunyi di ceruk-ceruk tindakan
sehari-hari.
Jadi, saya meminimalisir berbagai
kemungkinan terburuk yang akan menanti saya. Tentu saja ada banyak
pengecualian. Misalnya, beberapa kali saya harus menerima bantuan orang dengan
perjanjian awal, apa yang menjadi konsekuensi setelah bantuan itu diterima. Dan
konsekuensi itu termasuk saling menguntungkan satu sama lain. Di hadapan
kepentingan semacam itu, saya tenang-tentang saja, sebab ada kesepakatan bersama.
So, yang ingin saya katakan, kita
perlu menghindari hutang budi yang tidak kita inginkan.
Memang seiring perguliran usia, saya
selalu berharap mampu melakukan banyak hal sendiri. Menua berarti harus
melakukan banyak hal sendiri. Kapanpun saya mampu menetralisir ketergantungan
negatif terhadap orang, saat itulah, saya merasa mampu tumbuh lebih baik.
Kebiasaan ini, tentu membawa
kelebihan dan kekurangan. Perangai mandiri mungkin menjadi poin plus. Tetapi
dalam proses pembiasaannya, saya selalu terjebak dalam banyak kesulitan. Pada
titik tertentu kesulitan itu adalah sejenis kesulitan konyol, sebab seperti menjebak
diri sendiri dalam kesulitan yang diciptakan sendiri. Misalnya, ketika saya
memerlukan bantuan orang untuk mengantar ke terminal, perlu proses membaca
situasi sedemikian panjang.
Mula-mula saya akan mencoba mencari
siapa saudara atau kenalan yang agak memiliki waktu luang. Setelah itu saya
akan berpikir narasi seperti apa yang kiranya pas untuk saya katakan, sesopan
mungkin. Kadang, sedemikian lama proses itu, hingga saya harus ketinggalan bus
dan harus mengejar cukup jauh. Itupun jika terkejar.
Ketika masa akhir khidmah di
pesantren dulu—sebenarnya masa itulah kebiasaan ini mulai muncul—saya pernah
menyiapkan ujian madrasah diniyah… nyaris sendirian! Di pesantren saya ada enam
kelas tingkat madrasah diniyah (bagi yang mungkin belum tahu, ini sekolah
informal keagamaan), dan saya sendiri masih berada di kelas enam.
[Sebagai catatan, sejak kelas empat
diniyah, saya diberi tugas untuk mengajar adik kelas, karena madrasah diniyah
di pesantren kekurangan guru. Jadi di samping berstatus murid, saya juga membantu
mengajar—dengan demikian bertatus sebagai guru juga.]
Apa yang saya maksud menyiapkan ujian
sendirian? Cukup banyak: mengumpulkan soal ujian yang dibuat para guru. Bahkan saya
harus mengambil soal tersebut di rumah guru-guru demi segera selesai. Setelah itu
saya mengetik soal-soal tersebut. Lalu saya mencetaknya di tempat terdekat—itupun
cukup jauh. Karena kejar-kejaran, kadang soal ujian yang harus siap diujikan
siang hari, baru saya ketik di pagi hari, dan baru saya cetak ketika kelas akan
berlangsung.
Seringkali kertas soal ujian yang
diberikan pada peserta ujian masih terasa hangat! Karena baru keluar dari mesin
fotocopy. Dan cerita belum selesai. Kadang saya harus menjaga ujian di beberapa
kelas sekaligus. Setelah ujian selesai saya kembali keliling ke rumah guru
untuk mengantar soal supaya segera dikoreksi. Beberapa kali saya harus
mengoreksi soal yang sebagian guru berhalangan mengoreksi. Lalu saya menyiapkan
laporan akhir. Lalu… entah.
Kenapa saya kerjakan sendiri? Kemana
guru-guru lain? Ceritanya panjang dan rumit, perlu catatan lain untuk memahami duduk
perkaranya. Tetapi yang jelas kondisi terdesak itu memaksa saya untuk
mengerjakan semuanya nyaris sendiri, di samping bantuan teman-teman.
Ketika masuk jenjang kuliah, saya
sudah terbisa melakukan banyak hal sendirian.
Efek buruk lain saya rasakan ketika
KKN. Selama 40 hari menjalani tugas di kampung orang, seperti biasa, banyak
pekerjaan saya lakukan sendiri, dari mencuci terpal, merawat tempat ibadah,
bersosialisasi dengan warga, hingga menyusun program kerja tim. Saya melakukan
semua nyaris mengikuti insting—maksudnya saya tidak menyadari bahwa kebisaan
ini melukai perasaan kawan kelompok karena mereka merasa kontribusinya tidak
diperhitungkan.
Hingga ada kawan yang memberi kritik
bahwa program kerja KKN di tim saya adalah program KKN satu orang saja
(maksudnya program kerja saya). Itulah tamparan keras yang menyentuh kesadaran
saya. Ternyata kemampuan kerja-sama saya telah menurun pesat. Kepercayaan
kepada orang lain kian menyusut. Ketakutan berhutang budi pada pihak lain,
ternyata, mengantarkan sikap pongah luar biasa.
Memelihara sikap mandiri termasuk usaha
baik; menghindari hutang budi yang tidak diinginkan juga baik. Tetapi menafikan
kemampuan orang lain dalam sebuah kerja sama tentu adalah kepongahan. Pada akhirnya
saya belajar, tidak semua tangan yang menolong akan mengatur. Di samping usaha
untuk kebiasaan mandiri, saya belajar, bahwa ada tangan-tangan yang memang
tulus mengulurkan bantuan, dan menolaknya jelas bukan pilihan bijak.