Minggu, 27 Desember 2020

5 Catatan 2020

 Saya senang sekali tahun 2020 ini cukup banyak ide tulisan yang muncul. Sebenarnya ide-ide itu tidak muncul, saya mengejarnya dengan golok, lalu mengolahnya menjadi sebuah tulisan. Sebab kita tidak akan pernah ajeg mengandalkan ide yang ditunggu. Ide itu diciptakan. 

 

Tentu sebagian besar tulisan sepanjang tahun ini mewakili kegelisahan saya, atau kesenangan-kesenangan saya. Dan saya berharap cukup memberikan suatu hal tertentu kepada pembaca yang kebetulan mampir. Kadang saya ingin tahu bagaimana kesan para pembaca catatan-catatan blog. Tetapi saya tidak mungkin bertanya langsung sebab tidak tahu pasti siapa pengunjung yang telah datang.

 

Sebagaimana umumnya tulisan, anda pasti memaklumi jika sebagian catatan di blog ini jelek, sebagian yang lain bagus. Atau semuanya jelek saja belum. Terserah selera anda. Tetapi catatan demi catatan saya tulis setidaknya dengan hasrat yang serius. Bahkan secara pribadi harus saya akui, kadang saya duduk di depan laptop cukup lama untuk memulai tulisan dengan layak.

 

Dan itu sangat menyenangkan. Saya tidak mendapat kesenangan demikian ketika menulis artikel. Mungkin karena catatan di sini sebagian besar mewakili curhatan saya, atau sesuatu yang saya gelisahkan secara personal. 

 

Dari catatan itu, ada beberapa yang memiliki kesan tersendiri bagi saya—meski semua catatan pada dasarnya memiliki kesan. Saya ingin menampilkan catatan pilihan itu sebagai penutup tulisan akhir tahun. Semoga tahun depan masih mampu untuk menulis—terlepas anda menyukainya atau tidak.

 

1.    Cara mengawali Pagi dengan Baik dan Benar

 

Tulisan ini berawal dari kejengkelan saya menghadapi judul tulisan skripsi yang ditolak dua kali. Judul pertama sudah saya siapkan bahannya selama satu tahun, dan beberapa literatur sudah saya riset sedemikian rupa. Tetapi ditolak dengan alasan objek literatur yang hendak saya teliti hanya lima halaman.

 

Saya pikir itu bukan masalah, sebab tidak penting berapa halaman dari objek yang ingin saya teliti. Bahkan jika satu halaman pun saya pikir sah-sah saja, sebab objek hanya objek, bagaimana cara peneliti mengolah objek itulah yang lebih esensial, sebetulnya. Apa gunanya jika objek literatur mencapai 100 halaman tapi peneliti lemah analisis? 

 

Kaprodi saya sudah sangat mendukung dengan judul itu, tetapi dosen wali saya tidak. Saya memilih mundur dan mengajukan judul lain. Sekitar tiga hari sejak penolakan pertama, saya mengajukan judul lagi, baik kaprodi maupun dosen wali memberi acc. Tetapi dosen wali kembali menolak ketika judul itu sudah saya olah menjadi proposal. “Liberal sekali,” komentar beliau. “Ini judul prodi filsafat atau teologi (tafsir)?”

 

Kemudian saya merevisi seperlunya dan mendapati pikiran sangat jengkel karena penolakan itu. Pertama judul, dan kedua proposal. Maka saya segera menulis catatan dengan judul Cara Mengawali Pagi dengan Baik dan Benar. Saya berusaha mengolah tulisan ini sedemikian rupa sehingga antara latar belakang penulisan dengan hasil tulisan tidak terlalu mencolok. Saya meramu dengan problem-problem umum, dan secara implisit menyelipkan kritik pada dosen.

 

Salah satu yang saya suka dari tulisan ini adalah ia saya tulis dengan cepat. Bahkan sangat cepat untuk ukuran saya: 1,5 jam. Dan saya cukup puas dengan kualitasnya, sekali lagi untuk kelas belajar seperti saya. 

 

Di akhir tugas skripsi, salah satu dosen penguji saya adalah wali dosen yang menolak judul saya di atas. Saya dikritik habis-habisan, dan secara elegan saya berusaha untuk menjawab setenang mungkin. Bahkan saya ingat bagaimana beliau menudingkan jarinya kepada saya. Dan saya tetap berusaha untuk menjawab—dengan tenang.

 

Ketika yudisium, dosen wali inilah yang membacakan nama saya sebagai mahasiswa terbaik di fakultas. Saya senang beliau yang bertugas menyebut nama saya. 

 

Well, ngomong-ngomong, tentu saya menghormati beliau. Hingga sekarang. Pikiran dosen wali saya kritis, untuk melihat kelemahan-kelemahan tulisan saya. 

 

2.    Teh Hangat dan Momen-momen

 

Saya cukup sentimen untuk membaca tulisan perihal kenangan bersama kawan-kawan kampus. Ini salah satu momen yang saya tulis dengan perasaan sentimen. Waktu saya menulis, saya telah merasakan akan kehilangan banyak kawan. Dan sekarang saya sudah merasakannya. 

 

Tentu saja selama hidup saya memiliki banyak kawan. Di lingkungan rumah, sekolah dasar, dan pesantren. Tetapi hanya segelintir yang benar-benar tahu apa isi kepala saya, dan benar-benar dekat. Dan yang segelintir itu termasuk teman kampus. Saya nyaman mengekspresikan diri di depan kawan-kawan, sebab tidak ada sekat agama seperti kawan pesantren, atau sekat tradisi seperti kawan lingkungan rumah. 

 

Dan catatan itu, saya tulis tentu saja untuk mengenang mereka dengan cara saya. Tidak terlalu istimewa, tetapi kadang membuat saya berkaca-kaca. Beberapa kalimat di dalamnya tidak bisa saya lupakan hingga sekarang. Terutama bagian ini:

 

“Maka, suatu saat jika mereka melihat hujan, atau terjebak hujan dan merasakan kedinginan merayap pelan, mungkin mereka mengingat teh hangat dan kembali muncul kepingan momen kebersamaan yang barangkali tak akan pernah terulang kembali.”

 

Sebagai penulis dari kalimat itu, saya seperti menjalani kutukan dari diri sendiri: Ketika terjebak hujan dan kedinginan saya nyaris mengingat momen itu. 

 

3.    Bagaimana Memaknai Pengetahuan

 

Catatan ini saya tulis sebagai rambu bagi diri sendiri untuk menjaga stamina belajar. Sebab satu pengetahuan kadang merevisi pengetahuan lain. Dan jika jumlah pengetahuan yang diperoleh makin banyak, maka hubungan antar pengetahuan itu mirip seperti jaring laba-laba raksasa yang berlapis-lapis dari atas ke bawah. Di jaring itu terdapat kekuatan dan kerumitan: Kekuatan pengetahuan dan kerumitan melihat kompleksitas masalah.

 

Orang dengan banyak riwayat bahan bacaan nyaris tidak pernah memandang masalah sepele dengan sederhana. Ia memiliki kekuatan untuk melihat sesuatu yang kadang dilewatkan orang banyak, tetapi sekaligus melihat betapa kompleks sebenarnya sesuatu yang dilihatnya itu. 

 

Catatan ini juga saya tulis sebagai refleksi bahwa pengetahuan kadang berdiri di atas keyakinan yang begitu rapuh, tidak menuntut verifikasi dan, akibat pastinya, rentan terhadap sikap jumawa. Saya pernah terjebak pada perangai demikian, dan berharap tidak  mengulangi kesalahan yang sama. 

 

4.    Kelebihan Orang Kurus

 

Sebenarnya saya selalu memiliki hasrat menangkap ironi dalam realitas dan mengolahnya menjadi humor. Anda tahu, tidak mudah bagi orang seperti saya untuk berhumor. Tetapi saya pernah meminta komentar langsung kawan-kawan atas catatan ini dan sebagian besar mereka sepakat bahwa tulisan ini lucu.

 

Saya senang. 

 

Tubuh saya kurus, dan beberapa orang menghubungkannya denga menikah, untuk membuat tubuh saya berisi. Saya pikir itu lucu, atau ironi. Sebab dalam masyarakat kita menikah seolah-olah suplemen penggemuk badan. Jadi saya menyusun semua poin-poin pendukung untuk kemudian dituangkan dalam tulisan. Jadilah tulisan ini. 

 

Oh, kadang saya menangkap banyak ironi di sana sini dan menuliskannya di blog. Entah itu berhasil membuat orang tertawa atau tidak. Tetapi pada catatan orang kurus ini saya merasa berhasil. 

 

5.    Orang Fanatik

 

Jenuh terhadap sikap para politisi yang tidak mendidik masyarakat, alih-alih terus menciptakan polarisasi yang gaduh, tidak hanya dirasakan saya, anda pun mungkin juga jenuh. Itulah inti dari tulisan ini: Jenuh melihat orang-orang memuja politisi seperti memuja tuhan. 

 

Dan para politisi sepertinya menunjukkan kenyamanan menjadi tuhan yang disembah, betapapun para penyembah itu bertengkar satu sama lain sebab membela masing-masing politisi yang mereka sembah. Artinya, akan ada pola yang dibuat politisi, dan ada orang yang terjebak dalam pola tersebut. Dan ini kemungkinan akan berlangsung sangat lama. Dengan kata lain, kejenuhan akan panjang umur. 

 

Siapa yang dikritik tulisan ini? Orang yang kurang membaca. Sebab orang yang membaca biasanya lebih mampu bersikap elegan dan tidak mengangkat koruptor menjadi tuhan.

 

*** 

 

Sebenarnya ada satu catatan lagi yang sangat saya ingat, dan saya ragu dapat lupa pada catatan ini. Catatan yang kadang menghangatkan hati dengan cara-cara aneh sekaligus sederhana. Kadang juga membuat dada serasa sesak. Anda tahu, saya kehilangan kemampuan menjelaskan tulisan ini: Senandung Satu Tahun.