Menulis bukan hanya tentang apa yang kita tulis, tetapi juga bagaimana cara kita menulis. Untuk fiksi prinsip ini jelas berlaku, untuk non-fiksi juga, dan sebenarnya untuk semua jenis tulisan selain keduanya. Termasuk jurnal ilmiah.
Beberapa kali saya bersentuhan dengan jurnal ilmiah, baik untuk editing maupun menulis. Dan bidang yang saya geluti adalah tema teologi. Jika anda iseng untuk membaca jurnal teologi berbahasa Indonesia, anda akan menemukan hasrat para penulisnya untuk berkhotbah.
Padahal jurnal ilmiah jelas bukan media untuk berkhotbah.
Asas metodologi berlaku, penggunaan teori berlaku, dan bagaimana menyajikan agumen valid berlaku. Semua poin tersebut berlaku bahkan untuk jurnal teologi yang membahas suatu keyakinan agama tertentu—yang cenderung memuat ajaran dengan konteks “subjektif”. Dengan kata lain, penulis harus mampu menyajikan tulisan se-objektif mungkin, meskipun membahas gagasan yang subjektif.
Untuk membuat penyataan di atas lebih jelas, saya akan memberi contoh. Dalam Islam, kita memiliki keyakinan bahwa Alquran adalah kitab suci yang benar. Sahih. Berdasarkan keyakinan itu bahkan ada ulama yang mengenalkan istilah “Alquran akan selalu sesuai di setiap waktu dan tempat”.
Apakah agama lain meyakini hal yang sama: Alquran benar dan selalu sesuai di setiap waktu dan tempat? Tidak. Atau setidaknya kebanyakan agama di luar Islam tidak akan percaya, sebab mereka memiliki kitab suci juga yang mereka anggap paling benar di bawah langit, sebagaimana keyakinan muslim atas kitab sucinya.
Maka, perlu digarisbawahi, kebenaran Alquran bagi pemeluk agama non-Islam bersifat subjektif. Gagasan itu berlaku bagi muslim, tetapi tidak pada umat Kristiani. Karena keyakinan itu subjektif, ketika masuk dalam penelitian jurnal ilmiah penulis harus menjadikannya se-objektif mungkin, selain melalui argumen yang jelas, juga dari cara menuliskan gagasan demi gagasan.
Di banyak jurnal teologi Islam, saya banyak mendapati kalimat seperti ini: “...Alquran adalah kitab suci yang kandungannya akan selalu sesuai dengan waktu dan tempat.”
Apakah itu salah? Menurut saya kalimat itu subjektif, dan penulis perlu argumen lebih lanjut untuk membuktikan hal tersebut. Sebab jurnal ilmiah pada dasarnya ditulis untuk dibaca secara terbuka oleh semua kalangan. Maksud saya, jika kalimat tersebut dibaca oleh orang non-muslim, bagaimana kira-kira reaksi mereka?
Atau bagaimana reaksi kita ketika membaca jurnal ilmiah yang menyatakan Alkitab kandungannya selalu sesuai selalu sesuai dengan waktu dan tempat?
Sebagaimana umumnya jurnal, sebisa mungkin semua gagasan jauh dari kalimat-kalimat subjektif. Kalimat di atas akan lebih beres jika ditulis seperti ini: “Umat muslim memiliki keyakinan bahwa Alquran akan selalu sesuai dengan zaman dan tempat.”
Kalimat itu lebih objektif karena penulis memberikan posisi pemilik keyakinan tersebut adalah orang muslim. Sedangkan pada contoh sebelumnya, tulisan itu langsung memberi kesan bahwa hal tersebut adalah kebenaran semua kalangan. Jika pada contoh pertama kalimatnya subjektif, maka dalam contoh kedua kalimat tersebut lebih objektif.
Perlu dicermati, saya bukan hendak mengatakan bahwa Alquran tidak suci. Bukan begitu, saya hanya memberi contoh bagaimana gagasan dalam jurnal ilmiah harus ditulis dengan standar yang cukup objektif, sebab jurnal ilmiah terikat dengan prinsip tersebut. Dan prinsip ini sering “dilanggar” dalam jurnal-jurnal teologi. Sekali lagi, pernyataan saya tentang Alquran di atas hanya CONTOH.
Hal itu perlu saya tegaskan untuk menghindari orang-orang yang mudah meledak.
Kalimat-kalimat semacam itu jika hanya terdapat dalam porsi yang sedikit, cenderung masih bisa ditoleransi, tetapi jika nyaris setiap halaman ada kalimat-kalimat yang ditulis dengan tidak objektif, maka jelas itu tulisan khotbah. Dan, sekali lagi, jurnal teologi bukan tempat untuk berkhotbah.
Seseorang bisa saja menuliskan suatu gagasan dalam agama yang subjektif, tetapi sertakan argumen pembuktian untuk gagasan itu sehingga ia tidak sedang berkhotbah.
Saya pernah membaca tentang jurnal yang membahas pernikahan harmonis. Di sana dijelaskan beberapa penyebab hubungan pernikahan penuh konflik dan, ajaibnya, menurut si penulis salah satu poin penting mengapa pernikahan gagal adalah: Tidak mempelajari agama Islam.
Dan ia tidak menyertakan argumentasi lebih lanjut. Bagaimana kira-kira reaksi pasangan non-muslim yang harmonis ketika membaca pernyataan si penulis? Benarkah yang ia tulis? Sudahkan ia melihat statistik perceraian pada pasangan non-muslim? Jangan-jangan mereka lebih harmonis?
Ketika membaca jurnal di atas, saya menahan diri untuk tidak misuh, tetapi tidak terlalu berhasil. Saya pikir siapapun orang yang ingin menulis jurnal teologi harus mulai memikirkan teknik argumentasi yang jitu, dan cara penulisan yang tepat.
Sialnya, tentang cara penulisan yang lebih objektif ini tidak banyak disadari oleh mahasiswa prodi-prodi teologi. Banyak skripsi-skripsi mereka yang dipenuhi kalimat-kalimat khotbah, bahkan sejak kalimat pembukaan! Saya pikir ini adalah akibat langsung dari lemahnya tingkat pembelajaran menulis ilmiah.
Silakan anda membuka skripsi atau jurnal teologi, ada ratusan contoh, atau mungkin ribuan contoh. Dan semoga tidak menyentuh angka ratusan ribu.