Saya menyukai puisi meski penyair
adalah makhluk aneh yang tulisannya susah dipahami. Anda tahu, puisi kadang
sukar dicerna meski ia tetap membawa energi magis. Suatu pagi saya membaca satu
puisi Adonis: Cermin Untuk Mimpi:
Ambil ia, ia mimpiku
Jahit dan pakailah
Sebagai pakaian
dalam
Telah kau jadikan masa lampau
Terlelap di tanganku
Mengelilingiku, berputar seperti gemuruh
Dalam gerobak matahari
Seperti burung camar yang terbang
Seolah terbang
di mataku
Anda paham maksudnya? Saya tidak.
Tiga baris pertama membuat saya tertawa dan baris berikutnya membuat saya
merenung. Dan saya suka hal-hal yang membuat merenung: Ia lebih baik dari pada
sesuatu yang membuat jengkel. Saya menghindari hal-hal menjengkelkan karena ia tak
bisa dihitung jumlahnya. Dari kecoak yang tidak tahu diri tiba-tiba nongol di
samping kepala saat tidur, hingga penggerutu yang menceritakan aib musuhnya dan
berharap saya menyulap si musuh menjadi batu koral atau gerobak matahari atau
burung camar.
Puisi memang benda aneh yang membuat
saya atau anda merenung, eh? Tapi saya tidak terlalu tahan lama merenung,
barangkali yang tahan lama merenung adalah filsuf dan orang-orang yang berbakat
menjadi filsuf. Meski demikian saya menyenangi berkhayal.
Sebagaimana saya jelaskan di bagian
awal tulisan, saya gemar berkhayal sesuatu yang menyenangkan. Meskipun menurut kawan
yang taat agama berkhayal itu tidak baik, dan ia menyarankan saya baca Alquran saja,
tapi bagi saya berkhayal betul-betul mengasikkan. Ia memang bertolak dari kesadaran
pikiran atas segala keterbatasan diri, dan seluruh keterbatasan itu bisa
digilas dalam dunia khayal.
Biasanya, mula-mula saya berkhayal
tentang sesuatu yang memanjakan narsisme: saya tidak rupawan dan saya membayangkan
punya wajah rupawan. Saya tidak punya rumah dan mobil maka saya berkhayal
memiliki rumah dan mobil, dan uang yang banyak tentu saja.
Berparas rupawan dan memiliki banyak
uang, serta rumah dan mobil adalah kesenangan hakiki bagi pria di dunia yang
fana ini. Dengan kepemilikan itu orang-orang bisa lebih berhati-hati pada saya,
dan, yang paling menyenangkan saya bisa membeli banyak barang, terutama buku
yang bagus. Di dunia khayal semua bisa sempurna.
Sebagai warga negara yang baik,
meski tidak serajin Budi dalam urusan menabung, saya kadang berkhayal sesuatu
yang bermanfaat bagi kehidupan di negara ini. Misalnya, sering saya membayangkan pemerintah
mampu menjadikan warga gemar membaca, dan sekolah sebagai garda depan
pendidikan menjadi mesin pencetak pembaca buku yang baik. Mungkin juga penulis
yang cakap.
SD yang tak mencetak murid gemar
membaca akan menghasilkan lulusan yang masuk SMP dengan minat baca rendah, dan
hingga SMA kemungkinan besar murid-murid tetap tidak gemar membaca. Ketika
masuk perguruan tinggi, siswa yang tak gemar membaca di SMA ini akan
bertemu secuil petaka di kampus: Mereka akan bertemu dosen idealis yang di
kelas suka mengolok-olok mahasiswa yang aliterasi.
Saya pikir dosen yang dengan
sarkastis merendahkan mahasiswa tidak akan menuai hasil, alih-alih, dosen itu
akan kehilangan respek mahasiswa dan mereka tetap menjadi makhluk yang tak
menyukai membaca.
Dan begitulah, faktanya universitas
pun kerap gagal mencetak lulusan yang gemar belajar atau membaca. Saya
khawatir beberapa guru dan dosen juga tidak gemar membaca hingga sepertinya
susah sekali menularkan kebiasaan membaca pada peserta didik.
Dosen yang aliterasi tentulah bahaya
bagi kemajuan pendidikan kampus. Anda tahu, mereka bisa menjadi tuhan-tuhan dan
mereka pastilah bukan tuhan yang asik disembah karena kebijakan bisa saja
diputuskan berdasarkan mood belaka: Mahasiswa yang mengajukan judul
ketika mood dosen sedang baik akan segera di-acc, dan sebagian mahasiswa lain akan
mengalami berbagai kesulitan jika kondisi mood tuhan mereka jelek.
Pada banyak kesempatan, saya
mendapati banyak dosen pembimbing yang tidak memperingan penelitian mahasiswa,
bahkan tuhan-tuhan ini malah mempersulit mahasiswa dengan keterbatasan
pengetahuannya. Misalnya, tanpa memberikan alternatif, Pak atau Bu tuhan dengan
enteng berkata, “Ini kerangka teorinya nggak pas, ganti!”
Dan si mahasiswa mlongo karena
diganti pun kemungkinan masih ditolak sebab Pak atau Bu tuhan tidak
menjelaskan lebih lanjut tentang kriteria seperti apa yang mereka mau. Serupa
dengan seorang ibu yang memarahi anak nakalnya, yang porsi kemarahan ibu tidak menyesuaikan
dengan kapasitas anak. Dengan kata lain, si anak dituntut memahami ibu. Konyol?
dalam kasus pembimbing-mahasiswa, si mahasiswa yang dituntut memahami
pembimbing
Saya kira itu konyol sekaligus ironi. Beda cerita kalau tuhan pembimbing memberikan alternatif yang sesuai dan
membimbing dengan edukatif. barangkali itu bisa melejit semangat mahasiswa
untuk belajar lebih giat karena merasa dibimbing dengan maksimal. Kalau si
mahasiswa tetap malas-malasan, baiklah biar tuhan murka saja.
Karena saya mahasiswa, dan mahasiswa
yang memiliki tuhan yang tidak asik, saya berkhayal memiliki tuhan dengan pikiran terbuka: mereka tidak takut pada gagasan penelitian mahasiswa dan,
tidak mempersulit jalur tanda tangan dengan pertimbangan tidak bijak. Pikiran terbuka, juga kearifan seringkali bermula dari pengetahuan dan pengetahuan selalu bermula dari belajar. Semoga tuhan saya kelak rajin belajar hingga memiliki pikiran terbuka.
Saya berharap banyak kalangan
menjadi suka belajar terutama dengan bentuk gemar membaca, baik petani, nelayan, pegawai bank, satpam, marbot masjid,
pak RT, guru, dosen, murid, mahasiswa, atau dalam penuturan singkat: semua
orang.
Hanya dengan harapan itu
terwujud, saya bisa berhenti berkhayal dan menggerutu tentang tuhan-tuhan yang
tidak asik, hingga saya bisa mengawali pagi hanya dengan puisi, itu cara
membuka pagi yang jauh lebih baik dan benar.