Kamis, 09 April 2020

Cara Mengawali Pagi dengan Baik dan Benar

Saya percaya pikiran positif menggiring pada atmosfir positif, setidaknya hal-hal yang terlihat positif, karena itu di pagi hari saya menghindari kebiasaan membaca ujaran kebencian yang membuat marah atau cuitan yang menjengkelkan dan, alternatifnya, saya membaca puisi-puisi dan berkhayal sesuatu yang menyenangkan.

Saya menyukai puisi meski penyair adalah makhluk aneh yang tulisannya susah dipahami. Anda tahu, puisi kadang sukar dicerna meski ia tetap membawa energi magis. Suatu pagi saya membaca satu puisi Adonis: Cermin Untuk Mimpi:

Ambil ia, ia mimpiku
Jahit dan pakailah
Sebagai pakaian dalam
Telah kau jadikan masa lampau
Terlelap di tanganku
Mengelilingiku, berputar seperti gemuruh
Dalam gerobak matahari
Seperti burung camar yang terbang
Seolah terbang di mataku
Anda paham maksudnya? Saya tidak. Tiga baris pertama membuat saya tertawa dan baris berikutnya membuat saya merenung. Dan saya suka hal-hal yang membuat merenung: Ia lebih baik dari pada sesuatu yang membuat jengkel. Saya menghindari hal-hal menjengkelkan karena ia tak bisa dihitung jumlahnya. Dari kecoak yang tidak tahu diri tiba-tiba nongol di samping kepala saat tidur, hingga penggerutu yang menceritakan aib musuhnya dan berharap saya menyulap si musuh menjadi batu koral atau gerobak matahari atau burung camar.

Puisi memang benda aneh yang membuat saya atau anda merenung, eh? Tapi saya tidak terlalu tahan lama merenung, barangkali yang tahan lama merenung adalah filsuf dan orang-orang yang berbakat menjadi filsuf. Meski demikian saya menyenangi berkhayal.

Sebagaimana saya jelaskan di bagian awal tulisan, saya gemar berkhayal sesuatu yang menyenangkan. Meskipun menurut kawan yang taat agama berkhayal itu tidak baik, dan ia menyarankan saya baca Alquran saja, tapi bagi saya berkhayal betul-betul mengasikkan. Ia memang bertolak dari kesadaran pikiran atas segala keterbatasan diri, dan seluruh keterbatasan itu bisa digilas dalam dunia khayal.

Biasanya, mula-mula saya berkhayal tentang sesuatu yang memanjakan narsisme: saya tidak rupawan dan saya membayangkan punya wajah rupawan. Saya tidak punya rumah dan mobil maka saya berkhayal memiliki rumah dan mobil, dan uang yang banyak tentu saja.

Berparas rupawan dan memiliki banyak uang, serta rumah dan mobil adalah kesenangan hakiki bagi pria di dunia yang fana ini. Dengan kepemilikan itu orang-orang bisa lebih berhati-hati pada saya, dan, yang paling menyenangkan saya bisa membeli banyak barang, terutama buku yang bagus. Di dunia khayal semua bisa sempurna.

Sebagai warga negara yang baik, meski tidak serajin Budi dalam urusan menabung, saya kadang berkhayal sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan di negara ini. Misalnya, sering saya membayangkan pemerintah mampu menjadikan warga gemar membaca, dan sekolah sebagai garda depan pendidikan menjadi mesin pencetak pembaca buku yang baik. Mungkin juga penulis yang cakap.

SD yang tak mencetak murid gemar membaca akan menghasilkan lulusan yang masuk SMP dengan minat baca rendah, dan hingga SMA kemungkinan besar murid-murid tetap tidak gemar membaca. Ketika masuk perguruan tinggi, siswa yang tak gemar membaca di SMA ini akan bertemu secuil petaka di kampus: Mereka akan bertemu dosen idealis yang di kelas suka mengolok-olok mahasiswa yang aliterasi.

Saya pikir dosen yang dengan sarkastis merendahkan mahasiswa tidak akan menuai hasil, alih-alih, dosen itu akan kehilangan respek mahasiswa dan mereka tetap menjadi makhluk yang tak menyukai membaca.

Dan begitulah, faktanya universitas pun kerap gagal mencetak lulusan yang gemar belajar atau membaca. Saya khawatir beberapa guru dan dosen juga tidak gemar membaca hingga sepertinya susah sekali menularkan kebiasaan membaca pada peserta didik.

Dosen yang aliterasi tentulah bahaya bagi kemajuan pendidikan kampus. Anda tahu, mereka bisa menjadi tuhan-tuhan dan mereka pastilah bukan tuhan yang asik disembah karena kebijakan bisa saja diputuskan berdasarkan mood belaka: Mahasiswa yang mengajukan judul ketika mood dosen sedang baik akan segera di-acc, dan sebagian mahasiswa lain akan mengalami berbagai kesulitan jika kondisi mood tuhan mereka jelek.

Pada banyak kesempatan, saya mendapati banyak dosen pembimbing yang tidak memperingan penelitian mahasiswa, bahkan tuhan-tuhan ini malah mempersulit mahasiswa dengan keterbatasan pengetahuannya. Misalnya, tanpa memberikan alternatif, Pak atau Bu tuhan dengan enteng berkata, “Ini kerangka teorinya nggak pas, ganti!”

Dan si mahasiswa mlongo karena diganti pun kemungkinan masih ditolak sebab Pak atau Bu tuhan tidak menjelaskan lebih lanjut tentang kriteria seperti apa yang mereka mau. Serupa dengan seorang ibu yang memarahi anak nakalnya, yang porsi kemarahan ibu tidak menyesuaikan dengan kapasitas anak. Dengan kata lain, si anak dituntut memahami ibu. Konyol? dalam kasus pembimbing-mahasiswa, si mahasiswa yang dituntut memahami pembimbing

Saya kira itu konyol sekaligus ironi. Beda cerita kalau tuhan pembimbing memberikan alternatif yang sesuai dan membimbing dengan edukatif. barangkali itu bisa melejit semangat mahasiswa untuk belajar lebih giat karena merasa dibimbing dengan maksimal. Kalau si mahasiswa tetap malas-malasan, baiklah biar tuhan murka saja.

Karena saya mahasiswa, dan mahasiswa yang memiliki tuhan yang tidak asik, saya berkhayal memiliki tuhan dengan pikiran terbuka: mereka tidak takut pada gagasan penelitian mahasiswa dan, tidak mempersulit jalur tanda tangan dengan pertimbangan tidak bijak. Pikiran terbuka, juga kearifan seringkali bermula dari pengetahuan dan pengetahuan selalu bermula dari belajar. Semoga tuhan saya kelak rajin belajar hingga memiliki pikiran terbuka.

Saya berharap banyak kalangan menjadi suka belajar terutama dengan bentuk gemar membaca, baik petani, nelayan, pegawai bank, satpam, marbot masjid, pak RT, guru, dosen, murid, mahasiswa, atau dalam penuturan singkat: semua orang.

Hanya dengan harapan itu terwujud, saya bisa berhenti berkhayal dan menggerutu tentang tuhan-tuhan yang tidak asik, hingga saya bisa mengawali pagi hanya dengan puisi, itu cara membuka pagi yang jauh lebih baik dan benar.