Saya memasang telinga dengan serius dan memperbaiki posisi duduk agar lebih nyaman ketika mendengar kalimat ironis yang keluar dari mulutnya: Bahkan kematian pun, di sini, butuh biaya banyak.
Kami duduk di bawah pohon mangga di depan rumah sambil menikmati rengginang. Sinar matahari sangat terik tetapi itu bagus untuk padi yang sedang kami jemur. “Di rumah saya,” katanya dalam bahasa Jawa, “acara tahlil hanya disuguhi camilan. Sudah cukup dan praktis bagi tuan rumah.”
Ia datang dari Kudus, Jawa Tengah, dan menetap di daerah saya setelah menikah dengan sepupu saya. Hampir setahun lebih bibi, atau ibu mertuanya, meninggal. Itulah perkara yang memukul kesadarannya, bahwa jatuh ketiban tangga benar-benar bisa terjadi ketika kita ditinggal meninggal orang dekat, terutama bagi orang-orang dengan ekonomi kurang baik.
Kita tahu, kebanyakan dari warga Indonesia adalah muslim, dan di daerah saya, tradisi yang kami terima adalah ajaran NU, di mana salah satu warisannya adalah mengadakan tahlil: Doa bersama untuk seseorang yang baru meninggal. Di desa saya, dan di banyak daerah lain di seluruh pulau Jawa, tahlil diadakan selama tujuh hari kematian dan dihadiri cukup banyak tetangga. Sebagai tuan rumah, untuk merawat nilai kewajaran dalam menerima tamu, mereka perlu menyediakan suguhan, biasanya berupa makanan.
Anda tahu, jika tahlil dihadiri setidaknya 100 orang, tuan rumah butuh 10 kg. beras, dan butuh biaya dua kali lipat untuk mencukupi lauk. Katakanlah, untuk beras dan lauk, tuan rumah butuh 300 ribu tiap malam. Padahal di kampung, jumlah tetangga yang hadir biasanya lebih dari seratus. Belum di tambah tamu yang terus berdatangan di sepanjang hari. Belum ditambah kebutuhan untuk membuat suguhan-suguhan ringan. Belum tetek bengek lain.
Kakak sepupu saya menghabiskan biaya sekitar 15 juta selama seminggu. “Untung saya masih punya sejumlah tabungan, pun ada beberapa saudara yang membantu,” katanya, “tetapi tetap saja...”
Tetapi tetap saja itu tergolong cukup mahal bagi orang kecil, lanjutnya. Ia harus berhutang sejumlah uang untuk menutupi kekurangan. Sambil meneguk minuman di bawah pohon mangga itu, saya melihat matanya berkilat-kilat cukup sedih. Ia ingin pulang ke kampung halaman tetapi tidak pernah memiliki cukup biaya untuk memboyong seluruh anak istri barang beberapa hari saja. Tabungan itu ia maksudkan utuk pulang kampung. Tetapi sesuatu terjadi.
Sebagai orang yang mengenalnya, dan melihat langsung bagaimana ia sedih ditinggal bibi, saya tahu, sebenarnya ia tidak menyesali mengeluarkan “banyak” uang karena meninggalnya bibi. Ia kecewa dengan keadaan. Ia kecewa dengan orang-orang yang menggunjing di belakang jika sekiranya ia tidak memberikan suguhan yang patut. Ia kecewa pada mereka yang tidak berempati padahal ia sedang berduka.
Berduka adalah satu hal, dan menatap realitas ketika berduka adalah hal lain. Yang kedua seringkali membuat yang pertama makin pelik. Semacam menumpuk kesedihan di atas kesedihan, atau, dalam bahasa kakak sepupu saya yang ia dengar dari berkali-kali dari orang lain di Indonesia, sudah jatuh malah ketiban tangga.
Saya dan anda barangkali telah lejar mendengar dalil-dalil bahwa tahlil sahih dilakukan secara teologis, bahwa tahlil merupakan tradisi yang baik untuk almarhum, bahwa tahlil adalah tradisi ulama kita. Tahlil menyimpan niat baik, dan struktur sosial kita memungkinkan acara itu menjadi solidaritas penguat bagi rumah duka: Orang datang takziyah untuk menguatkan mental keluarga berduka, sambil—umumnya—membawa beras dan oleh-oleh lain. Tetapi siapa yang pernah melakukan kajian serius dampak tahlil terhadap ekonomi warga NU kelas bawah?
Saya pikir kajian ini perlu dilakukan, untuk membuka mata kita secara menyeluruh, bahwa acara ini, dengan tradisi suguhan sedemikian rupa, telah memberatkan saudara-saudara kita yang tengah berduka. Atau ulama-ulama kita sepertinya perlu menyampaikan pada masyarakat luas, bahwa suguhan ketika tahlilan tidak perlu sedemikian memaksakan.
Mungkin kita semua pernah bertanya-tanya, bukankah para tokoh masyarakat bisa memberikan pengertian bahwa suguhan makanan, atau segala hal terkait tradisi meninggalnya seseorang, bisa menggunakan hal-hal sederhana yang minim biaya?
Bisa, bahkan terlalu bisa. Tetapi ada beberapa hal yang perlu dilihat. Pertama, tidak mudah mengubah tradisi, sebelum masalah dalam tradisi tersebut mau dipahami dan diterima bersama, sebelum akhirnya menentukan solusi. Beberapa orang mau memahami, tetapi tidak mudah menerima, jika demikan, titik solusi tidak pernah dekat. Kedua, orang-orang kaya yang tidak terbebani dengan biaya, tetap akan melaksanakan tradisi suguhan tahlil sebagaimana biasa. Hal ini akan memberikan beban mental bagi kelas bawah.
Karena itu, bagi saya, perlu ada kajikan serius dan gerakan para tokoh yang serentak untuk “masalah” ini. Tanpa itu, tetap akan ada orang-orang yang terbebani sedemikian rupa ketika keluarga meninggal. Dan akan ada cerita-cerita serupa, di waktu lain, di tempat lain—meski tidak di bawah pohon mangga, dengan suara rendah, hati remuk, dan air muka redup-redam, tentang tahlilan.