Pada banyak kesempatan aku harus bertemu orang asing. Sedang kondisiku tidak terlalu pandai memecah hening di pertemuan pertama dengan orang asing. Jadi, untuk mengatasi suasana kaku, aku meriset orang itu dengan bertanya pada teman yang aku kenal, atau membuka akun media sosialnya. Barangkali ada satu atau dua kegemaran kami yang sama. Hal itu jelas dapat menjadi pancingan untuk mencairkan suasana.
Jadi, aku berusaha untuk membuka akun media sosialnya. Dan orang-orang menyebutku stalker.
**
Untuk menunjukkan sikap respek pada sesama, kadang aku bertanya tentang orang lain terkait satu hal tertentu, sesopan yang aku bisa, tidak terlalu pribadi dan tidak pula terlalu umum. Anda tahu, kadang kita tertarik mengetahui tentang sesuatu, dalam batas wajar, untuk menumbuhkan sedikit kesan bahwa kita orang yang hangat, atau simpatik.
Perasaan ingin tahu itu benar-benar bertujuan untuk bersikap respek. Tetapi keingintahuanku sering kali diolok-olok sebagai kepo.
**
Tidak semua hal tentang orang harus aku ketahui, bukan? Selain untuk fokus membenahi masalah diri sendiri, aku tidak tahu sejauh apa orang memandang privasi dirinya. Jadi, ketika bertemu seseorang, sering aku tidak banyak bertanya tentang hal-hal dan hanya fokus pada percakapan tentang perkara sehari-hari.
Pada keadaan lain, kita tahu, banyak isu sosial yang terus bergulir dan mengusik pikiran banyak orang sehingga masing-masing terdorong untuk berkomentar. Tetapi kadang suatu kejadian itu membutuhkan tilikan dari seorang ahli, sehingga tidak menarik minatku untuk menceburkan diri dalam perdebatan, betapapun itu menyangkut masalah sosial. Aku perlu belajar lebih lanjut.
Well, jadi begitulah... aku benar-benar tidak ingin tahu tentang orang lain atau ikut berkomentar tentang kejadian besar... dan orang-orang menyebutku apatis.
**
Sebagaimana umumnya orang, aku memiliki banyak teman, laki-laki dan perempuan. Sebagian dekat, sebagian tidak. Tentu saja aku senang memiliki jaringan pertemanan, sekalipun aku tidak banyak memberi manfaat pada mereka. Dari banyak kawan-kawan itu, setelah aku hitung lebih cermat, banyak kawan-kawanku dari golongan perempuan.
Aku sadar betul pertemanan kami hanya sebatas pertemanan, tidak ada tujuan macam-macam, yah... meskipun aku harus mengakui, aku lebih memilih bercerita pada teman perempuan untuk hal-hal yang pribadi karena mereka pandai sekali menaruh simpati, dan kawan laki-laki cenderung untuk hal-hal yang kadang serius sekali, kadang untuk haha-hihi. Fleksibel, meski aku sangat jarang membuka hal-hal pribadi.
Aku sebisa mungkin membangun pertemanan yang wajar pada kawan perempuan, sebab menurut seorang teman, jika kelewat batas, mungkin interaksimu dimaknai sebagai “pendekatan” untuk hubungan asmara.
Maksudku... kau tahu, aku hanya mendekati satu perempuan, meski aku bingung harus bagaimana. Hanya pada orang ini aku benar-benar kaku, meski kadang menunjukkan hasrat mendekati. Sekali lagi, hanya pada satu orang.
Yang ingin aku katakan, aku tulus berteman dengan orang-orang itu, terutama dalam konteks ini mereka yang perempuan. Tetapi aku sering disebut terjebak dalam friendzone.
**
Aku sering mengalami masalah jika harus berada dalam kegiatan-kegiatan sosial, apalagi jika didatangi orang-orang yang tidak aku kenal. Tetapi apa lacur, sebagai makhluk yang katanya sosial, aku terdorong untuk ikut.
Ketika kegiatan itu berlangsung di sekitar lingkungan sendiri, di mana orang-orang cukup mengenal aku sebagai orang yang kurang bergaul, mereka kadang cukup heran. “Tumben bocah ini hadir,” begitu kira-kira pikir mereka. Itulah kondisi di mana aku benar-benar ingin berpartisipasi sebisa mungkin, tetapi ada suara-suara yang diam-diam berbunyi: sedang pansos, kan!?
**
Kau, anak-anak kurang kerjaan dan membuat istilah-istilah merepotkan itu... brengsek!