Kewarasan pikiran sepertinya akan tetap menjadi
sesuatu yang tidak mudah didapat, atau dipertahankan. Saya dan Anda bisa
menilai pidato politikus ketika kampanye tidak lebih dari kebohongan yang dirancang
dan para pendukungnya pun tahu bahwa itu sebuah kebohongan dan mereka tetap
mempercayai kebohongan.
Sepanjang masa politik tahun lalu seorang kenalan saya
memuja Pak Jokowi dan di kepalanya tidak ada setitik pun keburukan pada presiden
itu, jika toh ada ia akan membuat alasan seolah-olah itu bukan keburukan atau kesalahan.
Setiap keburukan bagaimanapun akan tetap memiliki dalih. Dan, kenalan saya ini
melihat langkah-langkah politik Pak Prabowo pada masa kampanye adalah
janji-janji yang harus diwaspadai, karena menurutnya cara memimpin Pak Prabowo tidak
akan membuat Indonesia maju.
Seorang kenalan lain memuja Pak Prabowo dan melihat
janji-janjinya ketika kampanye adalah solusi untuk memperbaiki Indonesia. “Sejarah
mencatat banyak pemimpin Indonesia adalah sosok yang dibesarkan dalam dunia
militer, mereka membawa dampak yang baik. Prabowo dibesarkan dalam dunia militer, ia berpotensi besar,” katanya.
Mereka hanya sebagian kecil dari kenalan saya yang
memiliki spektrum politik yang fanatik. Artinya, ada sekian banyak kawan lain memiliki
keyakinan serupa: melihat dukungan mereka seperti tuhan dan lawan politiknya
sebagai setan. Hingga musim covid seperti sekarang, yang memperlihatkan kinerja
pemerintah cukup tersendat-sendat, kenalan pemuja Jokowi tetap memproduksi
alasan-alasan bahwa langkah Jokowi sudah tepat.
Di perjalanan, di kampus, di warkop, dan mungkin di
kamar mandi jika kami memiliki kesempatan satu bilik, sepertinya ia akan
memproduksi wacana itu-itu saja. Saya khawatir menjadi waras akan menjadi
langka kian hari.
Sampai hari ini, ketika anjuran untuk berpikir jernih
sudah menginjak usia ribuan tahun, kita seperti gagap saja menjalankan nasihat
penting itu. Angan-angan tentang apa yang ideal, efektif menutup akal dari
kemungkinan-kemungkinan lain dari angan-angan itu.
Saya sendiri tidak
gemar melibatkan diri dalam obrolan politik. Anda tahu, ada hal yang lebih sia-sia
ketimbang menyembah batu kali, yakni terlibat dalam obrolan politik, kecuali
kita memang praktisi di bidang tersebut. Saya paham, politik adalah alat paling
efektif untuk membuat kehidupan bernegara menjadi baik. Tapi saya tidak sepakat
untuk menutup mata dari kesalahan yang dilakukan pemimpin, padahal ia mampu
untuk menghindari kesalahan itu.
Dari seorang kawan ahli pajak, saya diberi tahu urusan
berbelit tentang pajak yang, selama Indonesia berdiri, masih menunjukkan fakta
bahwa di sana-sini berjubel keruwetan. Dari guru pendidikan
dan dari guru-guru ahli pada bidangnya masing-masing saya mendapat pengetahuan
bahwa Indonesia masih merangkak tertatih menuju ideal.
Penyebab utama dari itu semua adalah ketidak beresan politik
negara ini. Dan mendengar kawan menyemburkan pikirannya tentang tokoh politik
yang ia puja seringkali membuat saya jenuh. Bercakap-cakap dengan orang ini kadang
sia-sia belaka. Saya bisa saja menyanggah apa yang ia yakini dan sepertinya ia
akan merelakan dirinya menjadi mesin pembela tokoh yang ia puja dengan menyerang balik saya
tanpa kenal ampun.
Pada kasus-kasus lain, Anda akan mendapati banyak
sekali orang demikian. Maksud saya, jika kita perhatikan satu tokoh terkenal,
siapapun itu, dapat dipastikan mereka memiliki pengikut fanatik. Tentu saja hal
itu wajar belaka. Saya juga memiliki sosok yang sering saya glorifikasi buah
otaknya pada diri saya sendiri sebagai pembelajaran.
Namun seringkali saya kehilangan selera untuk
menyebarkan glorifikasi itu pada orang-orang lain karena, berkaca pada
persoalan fanatik di atas, saya berpikir apa yang orang lain anggap ideal belum
tentu ideal bagi saya; apa yang hebat bagi saya belum tentu demikian bagi orang
lain. Oh, ini rumus yang anak SD pun saya pikir pasti paham.
Dilihat lebih dekat tentu saja soal sosok idola tidak
lebih dari refleksi kecenderungan personal masing-masing orang. Tapi ada
persoalan lain yang samar: dalam sebuah keterpesonaan kita pada seorang sosok,
kita memiliki parameter tersendiri. Maka, kecanggihan parameter itulah yang
sesungguhnya menentukan kualitas kita sebagai penggemar pada satu sisi, dan
kualitas tokoh pada sisi yang lain.
Bung Karno, misalnya, bagi sebagian mahasiswa
merupakan sosok yang gemar menikmati gundik dan berfoya-foya. Golongan ini suatu
ketika, di masa lampau, berdemo anti Bung Karno, dan mengajak Pak Said—tokoh penting
Taman Siswa—untuk ikut serta. Pak Said dengan kata-kata terukur menjawab bahwa
ia memahami betul kenapa mahasiswa itu berdemo namun ia menolak dengan
pernyataan, “Bung Karno sosok yang menggugah kebangsaan saya.”
Bung Karno dapat dilihat dari berbagai sisi. Pada sisi
mana kita melihat, di situlah persona kita hadir. Ketika Pak Said memilih
melihat Bung Karno sebagai tokoh bangsa, ia mengeliminasi kecenderungan lain
yang dibenci mahasiswa: foya-foya. Namun eliminasi itu disertai kesadaran.
Anda menyukai Fiersa Besari, maka hal itu
merefleksikan sebagian cara berpikir Anda. Anda menyukai Hemingway, itu juga
refleksi dari selera Anda. Apapun itu, saya harap kita memiliki parameter yang melibatkan
nalar.