Selasa, 30 Juni 2020

Orang Fanatik


Kewarasan pikiran sepertinya akan tetap menjadi sesuatu yang tidak mudah didapat, atau dipertahankan. Saya dan Anda bisa menilai pidato politikus ketika kampanye tidak lebih dari kebohongan yang dirancang dan para pendukungnya pun tahu bahwa itu sebuah kebohongan dan mereka tetap mempercayai kebohongan.

Sepanjang masa politik tahun lalu seorang kenalan saya memuja Pak Jokowi dan di kepalanya tidak ada setitik pun keburukan pada presiden itu, jika toh ada ia akan membuat alasan seolah-olah itu bukan keburukan atau kesalahan. Setiap keburukan bagaimanapun akan tetap memiliki dalih. Dan, kenalan saya ini melihat langkah-langkah politik Pak Prabowo pada masa kampanye adalah janji-janji yang harus diwaspadai, karena menurutnya cara memimpin Pak Prabowo tidak akan membuat Indonesia maju.

Seorang kenalan lain memuja Pak Prabowo dan melihat janji-janjinya ketika kampanye adalah solusi untuk memperbaiki Indonesia. “Sejarah mencatat banyak pemimpin Indonesia adalah sosok yang dibesarkan dalam dunia militer, mereka membawa dampak yang baik. Prabowo dibesarkan dalam dunia militer, ia berpotensi besar,” katanya.

Mereka hanya sebagian kecil dari kenalan saya yang memiliki spektrum politik yang fanatik. Artinya, ada sekian banyak kawan lain memiliki keyakinan serupa: melihat dukungan mereka seperti tuhan dan lawan politiknya sebagai setan. Hingga musim covid seperti sekarang, yang memperlihatkan kinerja pemerintah cukup tersendat-sendat, kenalan pemuja Jokowi tetap memproduksi alasan-alasan bahwa langkah Jokowi sudah tepat.

Di perjalanan, di kampus, di warkop, dan mungkin di kamar mandi jika kami memiliki kesempatan satu bilik, sepertinya ia akan memproduksi wacana itu-itu saja. Saya khawatir menjadi waras akan menjadi langka kian hari.

Sampai hari ini, ketika anjuran untuk berpikir jernih sudah menginjak usia ribuan tahun, kita seperti gagap saja menjalankan nasihat penting itu. Angan-angan tentang apa yang ideal, efektif menutup akal dari kemungkinan-kemungkinan lain dari angan-angan itu.

Saya sendiri tidak gemar melibatkan diri dalam obrolan politik. Anda tahu, ada hal yang lebih sia-sia ketimbang menyembah batu kali, yakni terlibat dalam obrolan politik, kecuali kita memang praktisi di bidang tersebut. Saya paham, politik adalah alat paling efektif untuk membuat kehidupan bernegara menjadi baik. Tapi saya tidak sepakat untuk menutup mata dari kesalahan yang dilakukan pemimpin, padahal ia mampu untuk menghindari kesalahan itu.

Dari seorang kawan ahli pajak, saya diberi tahu urusan berbelit tentang pajak yang, selama Indonesia berdiri, masih menunjukkan fakta bahwa di sana-sini berjubel keruwetan. Dari guru pendidikan dan dari guru-guru ahli pada bidangnya masing-masing saya mendapat pengetahuan bahwa Indonesia masih merangkak tertatih menuju ideal.

Penyebab utama dari itu semua adalah ketidak beresan politik negara ini. Dan mendengar kawan menyemburkan pikirannya tentang tokoh politik yang ia puja seringkali membuat saya jenuh. Bercakap-cakap dengan orang ini kadang sia-sia belaka. Saya bisa saja menyanggah apa yang ia yakini dan sepertinya ia akan merelakan dirinya menjadi mesin pembela tokoh yang ia puja dengan menyerang balik saya tanpa kenal ampun.

Pada kasus-kasus lain, Anda akan mendapati banyak sekali orang demikian. Maksud saya, jika kita perhatikan satu tokoh terkenal, siapapun itu, dapat dipastikan mereka memiliki pengikut fanatik. Tentu saja hal itu wajar belaka. Saya juga memiliki sosok yang sering saya glorifikasi buah otaknya pada diri saya sendiri sebagai pembelajaran.

Namun seringkali saya kehilangan selera untuk menyebarkan glorifikasi itu pada orang-orang lain karena, berkaca pada persoalan fanatik di atas, saya berpikir apa yang orang lain anggap ideal belum tentu ideal bagi saya; apa yang hebat bagi saya belum tentu demikian bagi orang lain. Oh, ini rumus yang anak SD pun saya pikir pasti paham.

Dilihat lebih dekat tentu saja soal sosok idola tidak lebih dari refleksi kecenderungan personal masing-masing orang. Tapi ada persoalan lain yang samar: dalam sebuah keterpesonaan kita pada seorang sosok, kita memiliki parameter tersendiri. Maka, kecanggihan parameter itulah yang sesungguhnya menentukan kualitas kita sebagai penggemar pada satu sisi, dan kualitas tokoh pada sisi yang lain.

Bung Karno, misalnya, bagi sebagian mahasiswa merupakan sosok yang gemar menikmati gundik dan berfoya-foya. Golongan ini suatu ketika, di masa lampau, berdemo anti Bung Karno, dan mengajak Pak Said—tokoh penting Taman Siswa—untuk ikut serta. Pak Said dengan kata-kata terukur menjawab bahwa ia memahami betul kenapa mahasiswa itu berdemo namun ia menolak dengan pernyataan, “Bung Karno sosok yang menggugah kebangsaan saya.”

Bung Karno dapat dilihat dari berbagai sisi. Pada sisi mana kita melihat, di situlah persona kita hadir. Ketika Pak Said memilih melihat Bung Karno sebagai tokoh bangsa, ia mengeliminasi kecenderungan lain yang dibenci mahasiswa: foya-foya. Namun eliminasi itu disertai kesadaran.

Anda menyukai Fiersa Besari, maka hal itu merefleksikan sebagian cara berpikir Anda. Anda menyukai Hemingway, itu juga refleksi dari selera Anda. Apapun itu, saya harap kita memiliki parameter yang melibatkan nalar.