Sabtu, 19 Desember 2020

Bagaimana Memaknai Pengetahuan

Einstein bagi saya termasuk ilmuan yang gelisah tentang kebodohan; tentang ihwal peyebab apa dan bagaimana masa depan akan berlangsung, atau dilangsungkan manusia. Ia lantang berkata “Tidak ada vaksin untuk kebodohan”, dan di masa internet kalimat itu tepat sebab kebodohan memang seperti virus: mudah menular. 

 

Seseorang, misalnya, dapat membuat tulisan tentang bahaya vaksin covid yang hanya berdasarkan “katanya”, tetapi orang ini, menggunakan argumen seadanya dengan bumbu dalil agama, mudah dipercaya dan orang-orang senang hati melakukan senam jari untuk menyebar tulisan itu, dengan kepercayaan penuh bahwa semua orang harus membaca pengetahuan yang ia anggap penting untuk peradaban umat manusia. 

 

Dengan demikian ketidaktahuan—untuk tidak mengatakan kebodohan—niscaya melahirkan banyak pengetahuan keliru, setidaknya secara sains, kemudian pengetahuan keliru tersebut diyakini sebagai kebenaran. Bagaimanapun itu masalah besar sebab ketika orang-orang terlalu banyak mengetahui hal yang sebenarnya tidak begitu, dalam banyak kasus sulit membuat mereka sadar. 

 

Saya melihat sesuatu yang penting: Langkah pertama mengatasi masalah adalah menyadari bahwa kita sedang menghadapi masalah. Menghadapi kebodohan sama pula: Mula-mula kita harus sadar masih bodoh, dan kita dapat tergerak untuk belajar, atau setidaknya tidak berkata apa yang kita tidak tahu—termasuk dalam bentuk tidak menyebar pengetahuan yang belum pasti. 

 

Tanpa memiliki kesadaran bahwa ia sedang menghadapi masalah, bagaimana ia akan membereskan masalah? Tanpa kesadaran bahwa ia masih bodoh, bagaimana ia akan belajar? Dan tanpa menyadari ia sedang mempelajari pengetahuan yang salah, bagaimana ia berbenah?

 

Yang terakhir cukup muram. Orang hanya akan mengetahui bahwa ia mempelajari pengetahuan yang keliru hanya jika ia tetap terus belajar. Dan stamina untuk terus belajar ini tidak pernah mudah dipertahankan. Selain karena orang cenderung tidak mengkritisi pengetahuan yang ia miliki, tidak mudah juga melakukan kritik terhadap pengetahuan terdahulu. 

 

Pernahkah anda, ketika bangun tidur, setelah mengumpulkan kesadaran dan melakukan aktivitas yang diperlukan duduk dan bertanya pada diri sendiri: Validkah pengetahuan yang aku miliki selama ini?

 

Saya baru melakukannya sekali, dan mungkin akan sering melakukannya. Saya pernah belajar satu topik terus menerus hingga melihat tegangan antara wacana pertama dan wacana berikutnya. Misalnya, ketika kuliah saya mendapat pengetahuan tentang hermeneutika Heidegger yang dijelaskan dosen: pra-pemahaman. Menurut Heidegger—kata dosen saya—ketika menafsir satu teks atau fenomena, pemahaman terdahulu kita adalah hal yang harus dianggap wajar dan niscaya terlibat dalam proses penafsiran.

 

Saya manggut-manggut setuju. Tetapi belakangan saya mendapat pengetahuan yang berbeda: pra-pemahaman Heidegger, sebenarnya bukan alat dalam hermeneutikanya, melainkan cara berpikirnya. Saya tertegun dan segera menggarisbawahi apa yang baru saya pelajari tersebut. Dan saya merasa lebih cocok untuk mengatakan bahwa pra-pemahan adalah cara berpikir, bukan alat menafsir. 

 

Itu hanya salah satu contoh bagaimana saya mendapat banyak wacana tentang satu topik, yang barangkali tidak akan saya ketahui jika saya berhenti mencari informasi lebih lanjut. Sialnya, pengetahuan yang sebenarnya sederhana itu tidak saya dapat di bangku perkuliahan. Saya mendapatkannya sendiri. Saya tidak menyalahkan pengetahuan dosen, yang ingin saya katakan: betapa penting kebiasaan pencarian ini. 

 

Ada satu pola apresiasi terhadap pengetahuan jika kita sadar bahwa pengetahuan adalah hal penting. Pola itu, barangkali, adalah sikap rendah hati, verifikasi, dan terus belajar. Tidak mudah, eh? 

 

Dan masyarakat kita sepertinya tidak memiliki perangai tersebut. 

 

Di sebuah kehidupan di mana pengetahuan tidak dianggap penting, bertahan hidup dapat menjadi tujuan utama berada di bumi, dan tentu saja menjadi kaya jika memungkinkan. Keduanya tidak salah, apalagi bagi orang-orang “kecil” yang untuk bertahan hidup saja susah, mereka tidak akan repot-repot berpikir apapun selain mencari makan dan memenuhi kebutuhan. 

 

Tetapi selalu ada ongkos peradaban yang diam-diam harus dibayar, dan biasanya sangat mahal.