Jumat, 20 Desember 2019

Embuh


Tempo hari harus tinggal di rumah guru, beberapa hari. Di sana saya dapat santai sepenuhnya: istirahat, makan, baca buku, ngobrol, jalan-jalan. Well, cukup menjadi oase.

Di hari kedua, saya didatangi tiga orang laki-laki. Mereka menyebut nama saya. Tahu kampus saya. Bahkan mengenal orang-orang dekat saya. Selama hari itu, kami mengobrol dengan asik. Satu-satunya yang mengganjal dan membuat jengkel, saya tak ingat nama mereka! Bahkan, saya tak ingat di mana bertemu mereka.

Selama berbincang saya pura-pura mengenal mereka dengan baik. Sebagaimana mereka mengenal saya. Sembari terus mencoba mengingat. Tapi tak ada memori tentang orang-orang ini. Saya mengumpat ingatan yang begitu payah. Saya mengumpat keteledoran diri mengingat seseorang.

Rabu, 27 November 2019

Perjuangan


Saya punya dua perjuangan kecil akhir-akhir ini.

Pertama, tidur sedikit. Entah kenapa, rasanya sayang sekali menghabiskan waktu dengan tidur. Masih banyak yang harus dikerjakan. Saya sering kehabisan waktu saat memenuhi deadline. Dan setelah membaca beberapa cara tidur orang visioner, saya sungguh merasa malu. Donald Trump tidur hanya empat jam setiap hari. Winston Churcill, hanya tidur selama dua jam sehari. Tesla menghabiskan waktu dua jam—seperti Churcill. Dan, well, mereka tetap hidup sehat dan bugar. Ketika ditanya resepnya, Churcill menjawab, “cintai pekerjaanmu.”

Itulah usaha yang sedang saya biasakan. Meskipun susah setengah mampus. Tak jarang, satu hari saya berhasil, tapi di hari yang lain malah kelewat 10 jam. Meski demikian, saya mulai menikmati jam tidur yang sedikit. Lebih banyak hal yang bisa diselsaikan. Lebih banyak lembar buku yang dibaca.

Kedua, tidak jatuh cinta. Rasanya memang manusia tak bisa lepas dari ini. Dan kalian pasti mafhum, bagaimana cinta membuat kita bodoh bukan kepalang. Dari melakukan hal-hal konyol hingga drama tak penting. Cinta tak jarang membuat saya kehilangan akal sehat. Tentu itu berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, termasuk merusak jadwal yang saya susun.

Pasti menyenangkan bisa hidup tanpa gangguan cinta dan tidur. Dalam pikiran saya, seseorang yang mampu mengatasi dua hal tersebut pasti dapat menjalani tujuan hidup dengan lebih fokus. Imam Zamakhsari dan Tabari termasuk dua tokoh yang saya kagumi. Bukan hanya karena mereka berpikiran cerah, lebih dari itu, mereka dapat menaklukkan dua jebakan semesta--cinta dan tidur. Mereka tampak seperti mengalahkan takdir.

Kalau imam Zamakhsari dan Tabari termasuk tokoh yang tak bisa saya temui lagi, lain lagi dengan beberapa “sesupuh” saya di dunia nyata. Saya cukup memiliki kenalan orang-orang yang sebegitu visionernya, hingga urusan menikah menjadi nomor dua.

Tampaknya saya sudah terlalu melantur. Yeah, namanya juga harapan. Tapi saya ingat beberapa saran kawan, “ya menikahlah, siapa tahu istrimu sama visioner dan mendukungmu sepenuh jiwa.”

Siapa tahu?

Senin, 25 November 2019

Iri


Lima dasawarsa lalu, orang perlu bersusah payah menggapai semua kemudahan yang dihasilkan smartphone. Kini, perlu bersusah payah juga melepaskan diri dari ketergantungan smartphone. Saya tak perlu mengulang bagaimana hubungan manusia sehari-hari “terdistraksi” oleh HP.

Tentu orang tak perlu sepenunya resah—sebagaimana Habermas—melihat pergeseran budaya akibat segala fasilitas teknologi. Tapi kita, setidaknya saya, sukar mengelak dari apa yang dirumuskan oleh Manuel Castells: dunia maya dapat membangun kemayaan yang nyata.

Dari bangun tidur hingga kembali akan tidur, kita sibuk dengan post di media sosial tentang: makan nasi kebuli, liburan di bali, sedang tidur di hotel, atau mencaci hujan, mengutuk panas. Dunia kian riuh dengan suara yang masing-masing tak ingin diabaikan.

Tak cukup menyajikan sebuah kejadian nyata, jamak dari pengguna media sosial mereduksi apa yang sebenarnya terjadi. Alih-alih menghadirkan fakta, orang membangun citra. Dengan kata lain, media sosial tak melebarkan kebenaran, ia jelmaan dari gubahan Baudrillard: simulakra sosial, kejadian penuh manipulasi.

Maka yang dikhawatirkan Castells tentang politik informasi, yakni monopoli para elit tentang apa yang harus disuguhkan pada publik, dalam skala mikro, juga dilakukan oleh sipil. Tak perlu bertanya mengapa, semua orang punya dorongan narsis yang ketika itu disalurkan, menimbulkan kenikmatan tersendiri.

Dan, well, saya pecandu kenikmatan itu. Maksud saya, sangat candu.

Karenanya, saya punya kekaguman tersendiri bagi para orang tua di desa, atau di mana pun yang tak punya hasrat mengabarkan pada dunia tentang hal hebat yang mereka lakukan. Tentang prestasi yang mereka capai. Dalam hati saya sering bergumam, mereka dewasa seutuhnya.

Ibu saya beberapa waktu lalu pergi ke Makkah, juga Madinah. Sebagai seorang yang tak kenal media sosial, dan juga smartphone, hampir bisa dipastikan ia tak ribet dengan foto atau video untuk keperluan akun. Bahkan Ibu saya pulang tanpa membawa satu pun foto momen-momen di sana. Diam-diam saya melihat sosok yang dari dulu tak saya sadari: Ibu merdeka pada hasrat membuat orang lain terkesan padanya.

Saat di rumahpun, Ibu tak akan rempong dengan bikin story betapa kewalahan ia menerima tamu. Ibu tak ada hasrat post bahwa hanya dalam waktu semalam satu kamar di rumah penuh oleh-oleh dari tamu.

Agaknya sifat itu ia dapat dari kakek. Pernah suatu ketika kakek di minta datang ke Papua, untuk menghadiri acara tertentu. Menurut cerita kawan yang ada di sana, banyak hal hebat yang kakek lalui, dari berbagai fasilitas mewah, hingga bertemu orang-orang “penting”. Untuk ukuran orang desa yang begitu sederhana, saya yakin itu termasuk pengalaman yang langka. Tapi saat pulang, tak ada cerita “hebat” yang ia sampaikan. Apalagi sebagai bahan “citra” dunia maya.

Kita tak bisa menyalahkan hasrat narsis manusia, yang memang sifat bawaan. Namun pada titik berlebihan, individu yang narsistik memiliki perhatian lebih pada sesuatu yang hanya berkaitan dengan dirinya: tubuh, harapan, pikirannya. Erich Fromm dalam bukunya yang bagus The Art of Living, memperlihatkan ada satu momen di mana manusia tak mampu mengenali dirinya sendiri sebab ia sibuk dengan dirinya sendiri.  

Tak jarang manusia abad 21 memusatkan segala perhatian akitivitas keseharian dengan orientasi narsistik semacam itu. Anda tak susah melihat faktanya, di setiap sudut tempat makan, rumah ibadah, wisata, halte, toilet, sebut lainnya, orang sibuk mengeluarkan ponsel, memotret dan mengunggahnya ke media sosial. Dengan satu tujuan: berharap di lihat. Dengan kata lain, untuk kepentingan diri sendiri.

Orang narsis yang kemana-mana “laporan” di media sosial tak memiliki filter untuk menentukan mana yang layak dipost, mana yang tidak. Dan mungkin mereka tak peduli. Karena kecenderungan orang narsis tidak akan ambil pusing dengan apa yang orang lain pikirkan mengenai dirinya. Maksud saya, individu narsis mengira bahwa orang lain melihat dirinya sebagaimana ia melihat dirinya: penuh anggun.

Ada satu pernyataan menarik dari Fromm yang patut kita renungkan: pada akhirnya bukan mustahil kebiasaan narsis membuat seorang mengagungkan diri hingga tak bisa mencintai yang lain. Bahkan, dalam porsi kritik yang lebih ektrem, Freud melihat banyak relasi cinta antar manusia hanya narsistik belaka. Dalam cinta ibu pada anaknya, sejatinya itu tak lebih dari kecintaan pada diri sendiri sebab anak itu adalah anaknya.

Well, pertanyaan Freud di atas sangat dalam, sebegitu dalam hingga saya perlu mengulang dengan cetakan tebal. Dalam cinta ibu pada anaknya, sejatinya itu tak lebih dari kecintaan pada diri sendiri sebab anak itu adalah anaknya. Saya ingin menepuktangani pernyataan itu. Tidakkah itu narsistik? Seorang ibu mencintai anaknya semata karena masih berhubungan dengan dirinya. Bahkan, tak jarang seorang memilih melahirkan anak, mati-matian membesarkan anak, demi di hari tua kelak, anak tersebut merawatnya. Lagi-lagi, bukankah itu narsistik?

Saya ingat pada ibu dan kakek. Sebagaimana yang saya ceritakan, mereka tak ada hasrat narsis yang ingin membuat orang lain terkesan. Pada titik itu, saya iri pada mereka. Sebab tulisan ini juga narsistik.


Sabtu, 23 November 2019

Obrolan Kita

Aku selalu percaya pada angka.
Di dalam persamaan dan logika.
Yang mengarah kepada alasan.
Tetapi setelah pencarian seumur hidup seperti itu, aku bertanya, apa sesungguhnya logika itu? Siapa yang memutuskan alasan?
Pencarianku telah membawaku melalui fisik, metafisik, khayalan, dan kembali.
Dan aku telah membuat penemuan terpenting dalam karirku.
Penemuan paling penting dalam hidupku.
Hanya ada di dalam kemisteriusan persamaan cinta…
Sehingga setiap alasan logis dapat ditemukan.
Aku semata-mata di sini malam ini karenamu.
Kaulah alasanku. Kaulah semua alasanku. Terima kasih.

 John Nash dalam A Beautiful Mind

Kau duduk di dalam ruang tamu rumahku, waktu itu. Kau mungkin merasa aneh tiba-tiba ada di ruang itu. “Selamat datang, aku tak mengira kau ada di sini,” kataku, dengan nada sopansesopan yang aku bisa.

“Aku senang ada di sini,” jawabmu sambil menyuguhkan senyum.

Aku tak tahu apa dan bagaimana awalnya, tapi saat itu aku yakin bahwa dalam catatan takdirku, hari inilah saatnya menampakkan tentang noktah dalam hati. Sudah saatnya aku mengatakan hal penting padamu. Kalimat-kalimat di pikiranku mulai tersusun, berharap kalimat itu berfungsi sebagaimana mestinya, tanpa menyisakan salah paham.

“Kau tahu, dalam benakku sering terlintas bahwa sesungguhnya kau tahu aku menyukaimu. Dan mungkin kau bertanya, apa yang membuatku menahan untuk berbicara," kalimat pembuka itu akhirnya keluar, pelan.

Kau tampak diam memperhatikan. Dan senyum itu mulai memudar. Berganti tatapan mata serius, seolah kau sangat menunggu kalimat-kalimat berikutnya, atau seolah kau mulai memikirkan akan merespon seperti apa. Namun sebelum kau berkata-kata, aku melanjutkan.

“Aku hanya seorang bocah yang penuh luka. Well, kehidupan ini mendidik dengan keras, sangat keras. Luka itu datang dari berbagai sudut. Dan kau tahu, luka itu masih basah. Ada satu titik aku marah pada guru, teman, lingkungan, karena merekalah, dalam pikiranku yang naif, sumber segala trauma.

“Sekali lagi, luka itu masih basah. Sebegitu basah sehingga kadang membuatku tampak angkuh. Percayalah, itu sebagian usahaku menjaga luka basah itu dari sentuhan tangan yang akan memperparah.”

Aku tersenyum padamu, dan untuk memastikan kau masih dalam kondisi nyaman, aku bertanya, “kau masih mau mendengarkan?”

“Aku selalu mendengarkan,” jawabmu. Dan aku lanjut berbicara.

“Kadang aku trauma dengan cinta, kadang aku membenci perasaan ini. Cinta, kau tahu, kata yang sebenarnya cukup memuakkan untuk aku sebut. Tapi manusia kadang tak bisa mengelak darinya. Well, aku bisa apa? Aku punya keyakinan kecil, bahwa luka tak akan disumbang cinta, jika kita tak punya hasrat memiliki.”

“Tapi aku bukan manusia semacam itu. Ya, tentu saja aku memiliki hasrat memiliki. Dan termasuk dirimu. Sayangnya, itu tak dibarengi kesiapan mental, ekonomi, dan pengetahuan. Kau mafhum, saat aku lantang berbicara bahwa aku menyukaimu, di saat itulah aku harus membangun ikatan. Tanpa kesiapan, dengan berbagai tanggungjawab yang sedang aku pikul, bagaimana aku bisa? Dengan segala ketidaksiapan ini, bagaimana semua mungkin?”

“Pada ujungnya, yang aku khawatirkan adalah menyakitimu. Dengan segala keraguanku. Ya, itulah ketakutan terbesarku. Pada ujungnya aku takut orangtuamu kecewa pada hubunganmu denganku. Kecewa padaku.”

“Kau mungkin juga tahu, ada cita-cita yang menunggu untuk aku jemput. Di hati kecilku, ada perasaan untuk terus fokus pada cita-cita. Semua ini merajut menjadi dilema. Dan satu lagi, kadang aku merasa tak begitu mengenalmu. Sebagaimana kau tak pernah mengenalku seutuhnya. Tapi, tetap saja, kau mempesona.”

Suasana menggantung. Hening. Aku melihat mata yang berkaca-kaca. Semua seolah kembali pada apa yang ditulis Goenawan Mohamad dalam Syairnya:

Dan cinta kita
Bersembunyi

Di ujung bahasa
Yang tak dilanjutkan

Tentu kata “kita” di atas tak mewakili sepenuhnya. Karena mungkin kau tak tertarik padaku. Dan toh aku juga belum berharap ada jawaban darimu. Satu-satunya harapanku, kau memahami seutuhnya apa yang aku pikirkan. Tetapi, aku menyukaimu. Maksudku, sungguh menyukaimu.
Tiba-tiba pagi membangunkanku dari tidur. Ruang tamu di rumah, baju dan kerudung cokelatmu, dan semua percakapan kita, hanya mimpi. Well, hanya mimpi di 23 November.

Aku selalu percaya pada angka.
Di dalam persamaan dan logika.
Yang mengarah kepada alasan.
Tetapi setelah pencarian seumur hidup seperti itu, aku bertanya, apa sesungguhnya logika itu? Siapa yang memutuskan alasan?
Pencarianku telah membawaku melalui fisik, metafisik, khayalan, dan kembali.
Dan aku telah membuat penemuan terpenting dalam karirku.
Penemuan paling penting dalam hidupku.
Hanya ada di dalam kemisteriusan persamaan cinta…
Sehingga setiap alasan logis dapat ditemukan.
Aku semata-mata di sini malam ini karenamu.
Kaulah alasanku. Kaulah semua alasanku. Terima kasih.





Minggu, 13 Oktober 2019

Harga Kemalasan


Jika dikatakan salah satu cara efektif melek waktu adalah menjadi muadzin, saya setuju. Seorang tak bisa mengumandangkan adzan Subuh jam enam pagi. Akan aneh—meskipun sah saja, adzan Isya’ jam 10 malam. Umumnya, batas toleransi “telat” adzan tak lebih dari dua atau lima menit. Kecuali Maghrib saat Ramadhan, muadzin nyaris tak boleh terlewat waktu.

Kesetujuan saya, sayangnya, tak diimbangi dengan semangat melantunkan adzan. Alasannya: suara ancur. Karenanya, saya terakhir kali adzan saat kelas 2 SMP, itupun karena dulu dibayar tiap satu kali adzan. Efeknya, tiap mendapat giliran adzan di tempat KKN, saya ingin pura-pura pingsan!

Adzan bukan hanya butuh suara merdu, tapi juga disiplin waktu. Karena tetap diharuskan adzan, saya memilih waktu subuh, untuk mengatasi ketak-PD-an. Tentu karena pada waktu ini banyak orang yang tak akan menghiraukan suara adzan.

Ternyata adzan subuh sembari dikepung suhu 13 derajat celcius butuh perjuangan. Mula-mula, saya akan malas luar biasa bangkit dari tidur melihat yang lain masih tidur. Kemudian, kulit serasa membeku saat di tempat terbuka menuju masjid. Belum lagi sensasi gemetar kulit menyentuh air untuk wudu. Dan saya harus adzan dengan bibir gemeretak kedinginan, yang membuat suara adzan tampak konyol.

Saat selesai rangkaian di atas, kepala ini sudah merasa membesar: satu kedisiplinan sudah terlewati. Tinggal esok lagi. Lagi esok. Seterusnya. Begitulah adzan melatih saya, membeli harga kemalasan. Agama memang cenderung tak membiarkan manusia hidup dengan waktu yang dilalaikan.

Seorang guru besar sejarah dan ekonomi Harvard tertarik pada jam, ia telaah alat waktu manusia ini. Kita tahu namanya David S. Landes. Kesimpulannya: ibadat biaralah yang membagi waktu dalam rangkaian terinci, hingga ada arloji, seiko, dan pieget. Pembagian waktu kemudian ditransformasikan jadi konsep yang mudah dipakai matematika dan kehidupan sehari-hari. Ia menjadi acuan ibadah, membagi warisan, mengisi perut yang lapar, atau kapan meledakkan nuklir.

Waktu juga membuka mata saya akan satu rantai yang saling kait-mengkait: jika waktu tidur molor, akan berimbas pada aktivitas siang hari yang akan diserang ngantuk. Jika jadwal A bablas, jadwal B akan rusak.

Keberpengaruhan waktu itu membuat saya mengingat industri. Sebagaimana agama, industri tak rela soal terbuangnya waktu. Jika ada seorang pegawai pabrik sepatu yang mengawaki satu mesin telat masuk, ia akan menghambat kinerja pegawai yang mengawaki mesin lain. Jika pekerja mesin di nomor tiga tertidur lima menit, ia menghentikan pengerjaan mesin lainnya. Dan untuk mecegah kekacauan semacam itu, satu-satunya solusi: tepat waktu!

Jadwal industri tersebut kemudian diadopsi sekolah, kantor, dan lain-lain. imbasnya juga menyentuh pada kapan angkutan umum harus berangkat. Maka, Industri membuat semua saling terikat satu sama lain. Pengikat itu bernama waktu.

Bayangkan, di abad pertengahan, sebagian besar masyarakat—terutama eropa—tak mampu melakukan pengukuran waktu secara tepat, juga sama sekali tak tertarik untuk melakukannya. Dunia berjalan tanpa jam dan jadwal. Semua hanya bergantung pada edaran matahari dan siklus pertanian. Dan jika ada seorang pengembara yang bingung dan bertanya “tahun berapa sekarang?” maka orang-orang desa akan terheran-heran dengan pertanyaan itu.

Dunia berubah. Industri tak peduli dengan matahari!

Waktu adalah pedang, kata pepatah. Ia memenggal umur tanpa rasa sakit. Bunyi adzan barangkali akan selalu mengingatkan saya soal harga kemalasan yang mahal. Harga yang kadang tetap tak mengubah sikap malas.

Cita-cita Paling Konyol Saya

Punya wajah cakep.
Benar... tidak mungkin.

Minggu, 06 Oktober 2019

Nasib Tiga Bocah



—Untuk Makhluk Absurd dan Sukil

Saya punya dua teman yang entah kenapa punya banyak kesamaan nasib. Judul dua manusia itu Doni dan Sukil (bukan nama asli). Kami sama se-prodi kuliah. Sama suka mbontot nasi. Sama idiot. Dan baru-baru ini, Sukil menyusul nasib saya dan Doni: ditinggal nikah pacar. Klop kaan? Meski begitu, kami tetap saja memiliki perbedaan sikap. Juga soal bagaimana menyikapi ditinggal kekasih.

Tempo hari Sukil kirim pesan, “aku mau curhat panjang, nanti kalau ketemu. Bukan soal skripsi.” 

Beberapa hari setelah pesan itu mendarat, kami bertemu. Dan begitulah, ia mulai cerita dengan ekspresi sedu, tentang pacarnya yang dalam waktu dekat akan dilamar orang. Saya, dengan ekspresi sotoy, cuma mendengarkan sambil manggut-manggut sok bijak. Dari ceritanya, tampak bahwa ia sangat terpukul.

Bagi Sukil, ini masa-masa di dalam hatinya terjadi gempa, atau seperti tersengat seribu ubur-ubur, intinya menyakitkan, kalau tidak mematikan.

“Kok ya tepat seperti ini momennya, ibu sakit, pun ada cicilan rutin, eh... ditambah pacar dijodohkan.” Begitu keluhnya. Bocah satu ini benar-benar nyaris berlatar sama dengan apa yang saya alami dulu dengan doi. Intinya, pacar dijodohkan dengan pria yang notabene lebih mapan. Well, menatap kenyataan itu, bocah ingusan seperti kami bisa apa?

Tapi Sukil bukan tipe orang yang mudah menyerah, setelah beberapa saat ia bercerita, saya sarankan ia untuk curhat terus terang pada bibinya. Di samping orang tuanya sakit, bibi Sukil tergolong orang berpunya. Jadi bisa dikatakan, itu langkah paling memungkinkan untuk memperjuangkan sang doi—sebut saja Anggun (bukan nama asli).

Langkah awalnya sederhana, ia akan mencari dukungan—baik finansial maupun lainnya—kalau-kalau secara mendadak diminta untuk melamar Anggun, mengingat waktu itu masih ada kemungkinan untuk Sukil menunjukkan bahwa ia benar-benar serius mencintai Anggun. Menurut ceritanya, Anggun sempat bertanya pada Sukil, “kalau aku milih kamu, siap nggak ngelamar?”

Dan ndilalah, Bibi Sukil siap membatu soal ngelamar itu. meskipun pada ujungnya, orang tua Anggun seolah menggiring—untuk tidak mengatakan memaksa—anaknya untuk memilih kandidat lain. Jadi begitulah... kisah Sukil hampir di ujung janur. Meskipun masih ada harapan.

Lain kasus dengan apa yang dialami Doni, harapannya sudah kandas, ditelan paus biru menuju samudra lain, atau dunia lain. Tapi ada hal yang saya kagumi dari makhluk absurd satu ini, meskipun saat itu saya tahu ia patah hati, ia tak berusaha menghubungi saya atau Sukil untuk sekedar curhat. Tidak sama sekali. Bahkan ia datang di pesta pernikahannya. Ya ampuun, Doon!! Kamu ini spesies dari planet mana?

Tentu saja mungkin ia terpukul, sebagaimana manusia normal. Tapi tetap saja, dengan ekpresi khasnya yang datar itu, ia tampak cowok yang paling tegar di antara kami. Apalagi, ia si jenius yang pelupa. untuk melewati tragedi ini, mungkin Doni berpedoman, dilakukan "dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya".

***

Sebenarnya, mengingat track record Doni selama ini, saya tak perlu heran soal “ke-dataran” sikap Doni soal pernikahan gebetannya—sebut saja Mila (bukan nama Asli). Well, hampir setiap saat, saya dapat melihat tingkah konyol atau absurd si Doni. Dan karena itu sebenarnya, ia menjadi teman yang paling unik.

Ia ahli IT, mungkin bisa dibilang jenius. Tapi ia juga seorang pelupa akut. Satu ketika kami bertiga kongkow di kampus. Setelah ber-haha-hihi ria, kami bermaksud pulang. Dan si Doni dengan ekspresi datarnya, toleh kanan kiri, merogoh saku baju maupun celana, jelas menunjukkan tanda kehilangan. “kunxixu nanffgdi?” (kunci motorku di mana?) suara Doni terdengar aneh karena bibirnya sedang mengapit kunci yang ia cari-cari. Dengan tampang tak bersalah, saya dan Sukil tertawa dengan energi penuh. Sedang Doni? Ya tetap datar-datar dengan sedikit cengengesan.

Di lain kesempatan, saya  keluar dari perpus bersama Doni menuju motornya. Lagi-lagi, dengan ekspresi datar, Doni menoleh kanan kiri, jelas menunjukkan tanda kebingungan. Tapi kali ini ia bukan lupa tempat kuncinya, ia melupakan letak motornya di parkiran!!! Ya Tuhaaan. Lagi-lagi, dengan tampang tak bersalah, (sekaligus menahan hasrat memukul kepalanya dengan buku) saya tertawa yang saya yakin membuat Mak Lampir minder hendak menandinginya.

Apa ada lupa-lupa yang lain? banyak! Well. Seperti yang saya bilang, ia pelupa dan mungkin begitu tabiat orang jenius, konon Einstein sering tak mengkikat tali sepatunya karena lupa. Sepele. Tapi yang sepele tentu saja bisa berakibat fatal. Doni pernah kondangan ke tempat kawan, ia pergi ke kampus naik motor untuk kemudian nebeng mobil menuju lokasi. Sepulang kondangan, dengan nada panik (baru kali itu saya mendengar nada paniknya), ia mengabari via telpon bahwa STNK-nya hilang. menurut pengakuan Doni, ia menjatuhkannya entah di mana.

Ia juga menelpon Sukil. Tapi kami yang waktu itu masih ada di rumah, bisa bantu apa? Jadi kami menyarankannya posting di media sosial. Dan beberapa hari setelah kejadian, STNK itu ia temukan di bagasi motornya. Saat tahu ini, saya gemes ingin memelukkan Doni pada seekor gajah.

Doni, bocah dari keluarga terpandang ini sepertinya memang hobi mengoleksi rekam jejak absurd. Beda dengan Sukil, bocah yang paling cakep di antara kami. Kulitnya putih mirip cat tembok dan lembut seperti bayi, wajahnya mirip bangsa tempat Boboho dilahirkan. Kalau kami jalan bertiga, bisa dipastikan, si Sukil bocah yang akan dilirik cewek-cewek. Apa lagi kalau mereka paham Sukil tipe cowok pekerja keras.

Setidaknya sebelum para ladies itu tahu kalau Sukil ini sering PMS. Dan kalau penyakit ini kambuh, hanya Tuhan yang bisa mengembalikan senyumnya. Dengan kata lain, saat PMS, Sukil nyaris mirip Nietzsche dengan wajah seriusnya: bikin takut mau nyapa. Tapi bagi saya dan Doni itu bukan masalah, ia donatur utama soal makan-makan bersama. Juga sering traktir, plus sering ngutang. Benar-benar kontradiksi.

***

Yang ingin saya katakan dari dua latar belakang bocah itu adalah: wajar agaknya si Doni menyikapi dengan datar pernikahan Mila, melihat sifat absurdnya yang entah ia download dari mana. wajar pula dengan Sukil dengan sikap terpukulnya, melihat ia tergolong cowok normal.

Dan saya? Ehm...

Saya sama seperti Sukil dalam soal ini: sedih dan terpukul saat doi dijodohkan. Apalagi, well, si doi memenuhi kualifikasi wanita idaman saya, dalam arti yang sesungguhnya.

Hikmah dari perjodohan para pacar atau gebetan kami itu mungkin: kami lebih merasa senasib. Bukan hikmah yang ilmiah, tentu saja. Tapi bagi saya itu penting. Sekumpulan orang yang dipertemukan karena otaknya sama-sama pintar, bisa berdebat sepanjang waktu. Sedang sekumpulan orang yang dipertemukan dengan nasib serupa, bisa saling terikat batin.

Well, kawan-kawanku... mari berjalan bersama-sama, lagi.


Jumat, 27 September 2019

Yang Saya Dapat dari Mengajar


Seorang guru pernah berucap, “cara mengingat ilmu adalah dengan mengajar.” Dan suatu ketika saya mengajar kawan-kawan SD--untuk beberapa waktu, tanpa mengingat apapun ilmu tingkat SD. Ingin saya berucap, “cara mengingat ilmu adalah dengan menyontek”.

Well, jadi saya menatap penghuni kelas itu dengan wajah bingung. Dingin. Pada momen seperti pecundang itu, saya seperti ingin menyalahkan banyak orang: diri saya sendiri yang tak pandai mengingat pelajaran; hingga sekolah SD dulu yang saya pikir tak mengajarkan hal relevan dalam kehidupan sehari-hari. Yang kedua tentu tak ada hubungannya, tapi begitulah hasrat ketika kalang kabut: mencari-cari kesalahan.

Seketika muncul ide untuk membuat diri tak tampak bingung: memberi soal matematika. Soal yang dulu saya butuh waktu lama mengerjakannya. Dengan kapur seadanya itu, saya tulis sepuluh soal. “adik-adik, silakan kerjakan soal ini.” 

“Boleh nyontek, Kak?” tanya seorang murid dengan nada bercanda.

“Silakan kerjakan bersama.” Jawab saya.

Pertanyaan itu muncul barangkali karena ia merasa matematika bukan pelajaran yang bersahabat. Dan ketika berhadapan dengannya, seorang anak kerap merasa apa yang dikatakan Tagore: sekolah adalah “siksaan tak tertahankan.”

Saat melihat mereka mengerjakan bersama, atau saling contek itu, memicu bayangan betapa pemandangan ini akan membuat guru kebanyakan marah. Marah karena, nyontek melanggar “adab” belajar yang baik. Ia melompati proses "barsakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian". Namun yang jadi soal—kata Goenawan Mohamad—bagaimana menghubungkan “bersakit-sakit” itu dengan masa depan? Dengan kelak? Bagi orang yang tak berkecimpung dengan rumus seperti saya, latihan tak mencontek itu soal kepatuhan sesaat.

Usia dewasa mungkin adalah saat di mana rumus sudah meluap dari ingatan, dan untuk mengingat cukup melihat buku petunjuk. Untuk menghitung di saat mendesak cukup gunakan kalkulator. Dengan kata lain, tak selamanya nyontek berarti buruk. Di kehidupan sehari-hari ia nyaris niscaya.

Adalah konyol jika saya butuh informasi dan berusaha mengingat tanpa membuka catatan atau buku. Kecuali jika saya memiliki memori eidetik seperti Scoot Hagwood. Congkak jika saya, dalam ikhtiar menginput pengetahuan, tak bertanya pada yang lebih tahu.

Pada titik itu, sungguh menakjubkan sebenarnya bagaimana sekolah berusaha melarang contek-mencontek. Dan betapa banyak latihan di sekolah tak memiliki relevansi saat dewasa. Barangkali, contek-mencontek melahirkan mental negatif. Tapi yang sukar dari pengetahuan yang di dapat dari menyontek adalah, mengubahnya menjadi kearifan tersendiri. Tak mudah, memang, karena kearifan itu bertaut langsung dengan penghayatan pribadi.

Ah, nampaknya saya terlalu mengada-ada, tentu saja itu apologi karena tak mampu mengajar dengan baik. Dan dan pada momen apologis ini, ada rasa bergidik muncul, seorang guru bukan hanya ia yang mendapat ladang pahala karena mengajar, ia juga orang yang kemungkinan mendapat banyak dosa karena cara mengajarnya buruk, hingga menghambat banyak potensi anak yang sebenarnya cerdas.

Jadi, yang saya dapat dari mengajar adalah menyadari betapa sangat jauh diri ini dari kata pintar.

Minggu, 15 September 2019

Ta'lim al-Muta'allim Untuk Guru


Ada yang mengherankan soal “menghormati” di Desa Winong, tempat saya KKN. Fenomena itu nyaris saya saksikan di banyak tempat: seorang dengan umur 20 tahun, akan santai memanggil orang tua dengan nama julukan—yang sebenarnya berkonotasi negatif. “Walah, Mbloh, maculmu kok lemes.” Begitu kata Mas Bino (bukan nama sebenarnya) pada Pak Sukar, pemilik warung yang gemar bercanda ini dipanggil Mbloh.

Di banyak tempat, juga di tempat asal saya, hal itu akan lumrah jika saling dilakukan orang seumuran. Dan adalah tidak sopan memanggil orang tua dengan nama julukan. Karenanya, Winong seolah anomali dari penghormatan yang jamak.

Hormat adalah bahasan yang banyak mengambil porsi dalam hampir semua budaya dan agama. Buku soal kesopanan-menghormati banyak ditulis. Bahkan katanya, seorang Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak. Menyempurnakan tingkah laku.


Tapi apa sebenarnya ahklak itu?


Guru agama di pesantren mungkin akan menjawab: akhlak adalah keharusan kita bersikap santun pada guru; keharusan kita bersikap ta’dzim pada orang tua. Biasanya, kitab yang dikaji soal kesopanan ini bernama ta’lim al-muta’allim, karya al-Zarnuji. Salah satu adab pada guru yang saya ingat tertulis dalam buku itu: saat bertamu pada guru, seorang murid harus melepas kaki beberapa langkah sebelum sampai di kediamannya.


Saya tak tahu cara menghubungkan  nilai etika itu dalam konteks sekarang, serta dari mana agaknya hal semacam itu didasari. Tapi begitulah katanya tabiat manusia: ia membentuk makna di dalam pelbagai tindakan mereka, agar tindakan itu “seolah” memiliki tujuan.


Dan makna, kita tahu, kerap dibangun dari fiksi. Ia tak terbangun dari realitas yang melekat pada manusia. Mudah membuktikan ini: jika tubuh kita dibedah, kata Hamid Basyaib, yang nampak adalah ginjal, jantung, paru-paru. Tak ada martabat. Tak ada hak asasi. Maka, martabat dan sebagainya itu fiksi.


Kita tak bisa mengelak darinya. Fiksi diciptakan untuk mengisi kekosongan dalam kehidupan manusia. Ia juga berfungsi dengan baik pada banyak hal. Uang, misalnya, termasuk fiksi yang membantu manusia bertransaksi. Uang dalam hal ini hanyalah fiksi yang kita yakini bersama memiliki nilai tertentu. Tanpa kesepakatan semacam itu, dari mana logisnya, sebuah rumah megah dapat ditukar hanya dengan setumpuk kertas yang mudah dibakar itu.


Kembali pada “menghormati”, sebagaimana jamaknya, kita diberi tahu bahwa cara A adalah menghormati yang baik. Cara B adalah durhaka. Yang jadi soal adalah, ketimpangan bahwa hanya seorang murid atau anak yang harus “ber-akhlak” pada orang tua atau guru, seorang bawahan yang harus manggut-manggut kepalanya di depan atasan. Padahal kita tahu, semakin posisi kita tinggi, semakin kita bisa mengatur bawahan dengan leluasa. Dengan kata lain, menjaga kontrol diri untuk bersikap baik di depan murid atau bawahan, jauh lebih sulit dari bersikap baiknya seorang murid pada guru atau orang tua.


Bagi saya, puncak akhlak adalah seperti yang dikatakan orang bijak dari abad ke abad, termasuk oleh Nabi Muhammad sendiri: perlakukan orang lain sebagaimana kau ingin diperlakukan. Melihat dan berinteraksi dengan orang yang mampu melakukan itu, saya menaruh hormat sedalam-dalamnya. Karena ia akan memperlakukan manusia lain sebagaimana mestinya. pendek kata, ia telah memanusiakan manusia. Tak peduli berapa umurnya. Tak peduli apa statusnya. Tak peduli tetek bengek lainnya.


Pada titik ini, pikiran nakal saya menyimpulkan: jangan-jangan, kitab al-Zarnuji itu secara substansial bukan ditujukan untuk murid/anak, tapi pada guru/orang tua. Jangan-jangan, orang Winong sudah memahami maksud substansial ini, dan sedikit melangkah lebih maju dari pada pemahaman di tempat lain, bahkan pesantren sekalipun.

Di Sebuah Gedung

Aku berdiri dengan jumawa, meletakkan kedua tangan di belakang punggung. Dalam hati berkata, "Tuhan... di mana kau sembunyikan Mbakyu?"

Jumat, 30 Agustus 2019

Surat-surat Mini Untuk Saya


Bersama 18 orang kawan, saya tinggal satu rumah selama satu bulan penuh, untuk menjalani masa KKN. Satu bulan yang awalnya saya pandang sebagai waktu yang menyiksa, pada momen tertentu, membikin memori tak bisa melupakannya. Kelak, semoga saya punya kemampuan menulis keping demi keping momen itu.

Bagaimana rasanya satu bulan satu atap bersama orang yang nyaris seluruhnya asing? Well, cukup menyegarkan. Si A kadang membikin ngakak, si B kadang membuat bengong. Kawan C meninggalkan celana dalamnya di kamar mandi, kawan D mungkin diam-diam tersengat “cinta lokasi”. Bila saya singkat: nano-nano kesannya.

Dan catatan ini berisi kesan yang ditujukan untuk saya, entah jujur atau tidak. Tujuan ditulis di blog ini sederhana: agar ketika rindu momen bersama, tak perlu membuka kertas surat mini. Catatan berikut ada yang saya rubah seperlunya, tanpa mengurangi esensi.

Saya tak tahu siapa penulis masing-masing surat ini. Tapi, untuk kalian semua... salam hangat dari bocah aneh ini.
˔˔˔
Jangan dingin-dingin.
Sikapnya nakutin.
Hehehe.

Hahaha. Sori membuatmu takut. Semoga aku punya waktu kenal dekat denganmu. Hingga kau dapat melihat sifat tersembunyiku (lebay!!!).
˔˔˔
Kalau ada salah-salah, mohon maaf sebanyak-banyaknya. Jangan kerja sendiri, kan anak-anak yang lain bisa bantu.
Terimakasih sudah menjadi teman serumah. Jangan bosan-bosan punya teman seperti ini.

Aku tidak kerja sendiri, Fellas! 18 orang itu keluar tenaga semua. Dan, mohon maaf juga. Senang bersama kalian.
˔˔˔
Pakem ae, rek!

Supaya istiqomah, Bro! Haha.
˔˔˔
Sudah jelas kalau dirimu sabar dan dewasa. Tapi auramu membikin segan. Dan mohon maklumi sifat bar-bar anak-anak.

Percayalah, aku sorang bocah yang terkurung dalam tubuh berusia 23 tahun.
˔˔˔
Sangar dirimu. Bacaanmu ngeri. Gak banyak ngomong tapi action-nya sangar. Belajar banyak darimu. Kapan-kapan ayo diskusi lagi. Semoga lancar semua urusannya. Semoga tetap lurus jalannya. Tetap rasional dan sangar!

Senang kau paham selera bacaku. Dulu, di sebuah tempat, aku pernah melihat seorang cewek yang tertawa sendirian menatap lembar-lembar karya Nietzsche. Melihatnya, aku merasa dunia akan baik-baik saja. Ehm, kau termasuk wanita semacam itu? (yeah, kalau kau wanita, tentu saja). Untuk doanya, semoga kembali padamu.
Ehm, tetap rasional? Well, kau tau Foucault, bukan? Memahami pemikirannya, entah apa itu rasional. Haha!
˔˔˔
Bermanfaat dan bermartabat.

Siapapun kau... Maksudmu opo?
˔˔˔
Perbanyak baca istighfar
Karena semakin banyak
Wanita bar-bar
Hiyayaya...
Maafkan lah aku
Bar-bar
Terima kasih banyak.

Astaghfirullah...
Aku sudah baca istighfar
Dan, tak masalah banyak
Wanita bar-bar
Karena, aku menikmatinya. Haha!
˔˔˔
Jangan cuek-cuek. Bikin orang takut, nggak berani ngajak bercanda. Jangan terlalu diam. Bikin orang salah paham.

Hei, blogku. Aku kudu piye?
Ehm, Sebenarnya, pada titik tertentu, disalahpahami itu menyenangkan. Introvert paham ini. Hehe.
˔˔˔
Jangan asik sama dunia sendiri. Bisa jadi orang lain juga tertarik dengan duniamu. Hiya hiya hiya.

Percayalah, orang lain tak akan tertarik pada duniaku. Dunia bocah yang muram.
˔˔˔
Nggak usah cuek-cuek. Kalau ada yang kurang atau salah diomongkan saja. Gak usah sungkan. Peace. Aku yang sungkan kalau kamu terlalu diam. Sampai jumpa di lain hari.

Salam sungkem buatmu, ya. Maafkan sifat yang mungkin sudah dari sononya ini. Lain hari, kalau sudah kenal dekat, mungkin... mungkin lho ya, kesanmu bisa berubah.
˔˔˔
Terima kasih. Kamu yang paling banyak mengajariku banyak hal. Terima kasih telah bantu kelompok ini dengan kerja keras yang luar biasa.

Hoy, aku mengajarimu apa? Tentang bagaimana cara tidur yang baik?
˔˔˔
Sepurane seng akeh.

Serasa lebaran, ey.
˔˔˔
Senang sekali rasanya bisa bertemu kamu, seseorang yang memiliki jiwa yang kritis serta sangat rasional. Aku belajar banyak dari kamu. Semoga keperluanmu dipermudah dan lancar. Salam FU!!

Senang juga bertemu denganmu. Sebentar, aku tak serasional itu. aku tahu dua ditambah dua hasilnya empat, tapi tak pernah paham mengapa dua dikali dua hasilnya juga empat. Semoga urusamu dipermudah juga. Salam FU!
˔˔˔
Jangan kerja sendiri. Kalau butuh ngomong saja ke temen-temen. Ehe...

Hai kawan-kawan. Kadang aku butuh pasangan!
˔˔˔
LOL!

Loading-ku lama?
˔˔˔
Hay everyone
Yo’re amazing. 

Boleh kenalan? Siapa, ya?
˔˔˔
Sukses jalannya masing-masing dan menyebarkan yang positif.
Bisnis.

Hai, Bro. Bisnis apa sekarang?
˔˔˔
Love you
Ya ya ya ya.

Sebentar, aku tahu kau menulis “love you” untuk semua.
Sebentar, aku pura-pura pingsan. Ingat kalimat itu dari mantan.

Sabtu, 24 Agustus 2019

Kunci Motor dan Ideologi


Kalau Anda mencabut kunci kendaraan dan seketika orang-orang melihat itu dengan aneh, mungkin Anda sedang berada di Dusun Badur, Desa Winong. Saya mengalaminya ketika salat di masjid. Saat meletakkan kunci kendaraan di dekat kaki, orang-orang melirik kunci itu dengan pandangan yang “riskan”. Jumat berikutnya saya sadar, barangkali itu pandangan iba bahwa saya datang dari negeri jauh yang penuh pencuri. Pikiran itu muncul setelah sebelumnya mata ini melihat semua kunci motor yang masih nyaman meringkuk di tempatnya.

Meninggalkan kunci motor di kendaraan pastilah kebiasaan yang terbentuk dari rasa aman. Dari mana keamanan sedemikian rupa ini? Sependek wawancara pada warga, termasuk kepala desa, semua hampir menjawab seragam: "Entah, Mas. Dari dulu sudah begitu. Di sini aman." Anehnya, aman itu tak bisa ditemui di dusun sebelah, yang masih tergolong satu desa. “Kalau ada di Gebangan, sebaiknya sampean lebih hati-hati. Tak ada begal, tapi kalau kunci ada di motor, ada risiko.” Kata Pak Lurah.

Begitulah Badur, sebuah dusun yang membuka mata saya bahwa, persaingan soal harta bukan menjadi kemelut utama dalam otak. Karenanya tak ada kejadian ambil hak milik orang lain. Begitulah Badur, daerah yang mengingatkan saya pada sebuah nama masyhur: Karl Marx.

Pernah ada suatu masa, ketika ideologi “tak ada hak milik pribadi” mendominasi dunia. Kita tahu, ideologi itu dirumuskan Karl Marx, benama komunisme. Franz Magnis-Suseno menulis soal itu dengan jernih, dalam bukunya, Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.

Dalam lembar-lembar awal karya Romo Suseno itu, kita bisa temukan pendasaran ajaran sosialisme ortodoks berasal dari Sir Thomas More, dalam karyanya: Utopia. Buku ini mengisahkan, di sebuah pulau bernama Utopis segala hal dimiliki bersama, kecuali pasangan. Semua orang menikmati pendapatan yang sama, dan semua bekerja. Tiap orang bekerja di tanah atau bengkel masing-masing, namun bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai karyawan komunitas. Umumnya, mereka bekerja selama enam jam sehari.

Tulisan More menggambarkan tatanan masyarakat yang ideal. Yang tentram. Yang tak ada ambisi. Pada titik ini, kita bisa mengingat slogan komunisme: sama rata sama rasa. Semua orang sejahtera, dan tak akan ada bentuk kejahatan karena ketimpangan sosial: pencurian, korupsi, dan segala bentuknya yang lain.

Karya fiksi More itu, banyak mempengaruhi pemikir lain. Di abad 20, Gabriel Garcia Marquez menulis Seratus Tahun Kesendirian. Sama dengan More, Marquez menggiring pembaca dengan pesona utopis yang ganjil. Kisah keluarga Buenda ini, yang berlangsung selama seabad—meminjam tafsir Goenawan Mohamad, “adalah drama perubahan, baik pelan-pelan ataupun drastis.” Buenda, bersama keluarga, orang-orang, hewan,  melewati pegunungan mencari jalan ke laut. Tak ada hasil.

Mereka berhenti di sebuah tempat dan mereka bangun kehidupan, tempat yang di beri nama Macondo. Di daerah yang dari arah timur berdiri gunung yang kedap itu, memang dimaksudkan menjadi “firdaus bumi”. Buenda merancang kota dan kehidupan dengan rapi. Dari tiap rumah, penduduk desa dapat pergi ke sungai mengambil air dengan usaha yang sama, dengan jalan yang sama. Tak ada rumah yang mendapat sinar matahari lebih.

Dan pembacapun bergumam: fiksi!!!

Tapi seorang Marx percaya kondisi utopis itu akan terjadi, ketika tak ada kapitalisme yang ia ramalkan akan hancur. Ramalan itu agaknya meleset. Dan yang utopis tetap utopis. Orang masih berlomba memiliki, dari roti hingga Lamborghini. Dan ambisi itu kerap melahirkan disharmoni: tak cukup uang sendiri, masih bisa korupsi atau mencuri. Dan pada kondisi cara pandang yang seperti itu, seorang More, Marquez, Marx gelisah.

Tiba-tiba saya penasaran, apa yang akan tokoh-tokoh itu pikirkan saat hidup di sebuah dusun yang sebuah kunci kendaraan bertengger nyaman di tempatnya. Apa yang akan mereka pikirkan melihat berbagai kendaraan parkir di depan rumah saat pemiliknya tidur pulas malam hari. Sayang, di Badur, Bali, dan beberapa daerah lain yang “aman”, tak pernah didarati kaki mereka.