Sabtu, 23 November 2019

Obrolan Kita

Aku selalu percaya pada angka.
Di dalam persamaan dan logika.
Yang mengarah kepada alasan.
Tetapi setelah pencarian seumur hidup seperti itu, aku bertanya, apa sesungguhnya logika itu? Siapa yang memutuskan alasan?
Pencarianku telah membawaku melalui fisik, metafisik, khayalan, dan kembali.
Dan aku telah membuat penemuan terpenting dalam karirku.
Penemuan paling penting dalam hidupku.
Hanya ada di dalam kemisteriusan persamaan cinta…
Sehingga setiap alasan logis dapat ditemukan.
Aku semata-mata di sini malam ini karenamu.
Kaulah alasanku. Kaulah semua alasanku. Terima kasih.

 John Nash dalam A Beautiful Mind

Kau duduk di dalam ruang tamu rumahku, waktu itu. Kau mungkin merasa aneh tiba-tiba ada di ruang itu. “Selamat datang, aku tak mengira kau ada di sini,” kataku, dengan nada sopansesopan yang aku bisa.

“Aku senang ada di sini,” jawabmu sambil menyuguhkan senyum.

Aku tak tahu apa dan bagaimana awalnya, tapi saat itu aku yakin bahwa dalam catatan takdirku, hari inilah saatnya menampakkan tentang noktah dalam hati. Sudah saatnya aku mengatakan hal penting padamu. Kalimat-kalimat di pikiranku mulai tersusun, berharap kalimat itu berfungsi sebagaimana mestinya, tanpa menyisakan salah paham.

“Kau tahu, dalam benakku sering terlintas bahwa sesungguhnya kau tahu aku menyukaimu. Dan mungkin kau bertanya, apa yang membuatku menahan untuk berbicara," kalimat pembuka itu akhirnya keluar, pelan.

Kau tampak diam memperhatikan. Dan senyum itu mulai memudar. Berganti tatapan mata serius, seolah kau sangat menunggu kalimat-kalimat berikutnya, atau seolah kau mulai memikirkan akan merespon seperti apa. Namun sebelum kau berkata-kata, aku melanjutkan.

“Aku hanya seorang bocah yang penuh luka. Well, kehidupan ini mendidik dengan keras, sangat keras. Luka itu datang dari berbagai sudut. Dan kau tahu, luka itu masih basah. Ada satu titik aku marah pada guru, teman, lingkungan, karena merekalah, dalam pikiranku yang naif, sumber segala trauma.

“Sekali lagi, luka itu masih basah. Sebegitu basah sehingga kadang membuatku tampak angkuh. Percayalah, itu sebagian usahaku menjaga luka basah itu dari sentuhan tangan yang akan memperparah.”

Aku tersenyum padamu, dan untuk memastikan kau masih dalam kondisi nyaman, aku bertanya, “kau masih mau mendengarkan?”

“Aku selalu mendengarkan,” jawabmu. Dan aku lanjut berbicara.

“Kadang aku trauma dengan cinta, kadang aku membenci perasaan ini. Cinta, kau tahu, kata yang sebenarnya cukup memuakkan untuk aku sebut. Tapi manusia kadang tak bisa mengelak darinya. Well, aku bisa apa? Aku punya keyakinan kecil, bahwa luka tak akan disumbang cinta, jika kita tak punya hasrat memiliki.”

“Tapi aku bukan manusia semacam itu. Ya, tentu saja aku memiliki hasrat memiliki. Dan termasuk dirimu. Sayangnya, itu tak dibarengi kesiapan mental, ekonomi, dan pengetahuan. Kau mafhum, saat aku lantang berbicara bahwa aku menyukaimu, di saat itulah aku harus membangun ikatan. Tanpa kesiapan, dengan berbagai tanggungjawab yang sedang aku pikul, bagaimana aku bisa? Dengan segala ketidaksiapan ini, bagaimana semua mungkin?”

“Pada ujungnya, yang aku khawatirkan adalah menyakitimu. Dengan segala keraguanku. Ya, itulah ketakutan terbesarku. Pada ujungnya aku takut orangtuamu kecewa pada hubunganmu denganku. Kecewa padaku.”

“Kau mungkin juga tahu, ada cita-cita yang menunggu untuk aku jemput. Di hati kecilku, ada perasaan untuk terus fokus pada cita-cita. Semua ini merajut menjadi dilema. Dan satu lagi, kadang aku merasa tak begitu mengenalmu. Sebagaimana kau tak pernah mengenalku seutuhnya. Tapi, tetap saja, kau mempesona.”

Suasana menggantung. Hening. Aku melihat mata yang berkaca-kaca. Semua seolah kembali pada apa yang ditulis Goenawan Mohamad dalam Syairnya:

Dan cinta kita
Bersembunyi

Di ujung bahasa
Yang tak dilanjutkan

Tentu kata “kita” di atas tak mewakili sepenuhnya. Karena mungkin kau tak tertarik padaku. Dan toh aku juga belum berharap ada jawaban darimu. Satu-satunya harapanku, kau memahami seutuhnya apa yang aku pikirkan. Tetapi, aku menyukaimu. Maksudku, sungguh menyukaimu.
Tiba-tiba pagi membangunkanku dari tidur. Ruang tamu di rumah, baju dan kerudung cokelatmu, dan semua percakapan kita, hanya mimpi. Well, hanya mimpi di 23 November.

Aku selalu percaya pada angka.
Di dalam persamaan dan logika.
Yang mengarah kepada alasan.
Tetapi setelah pencarian seumur hidup seperti itu, aku bertanya, apa sesungguhnya logika itu? Siapa yang memutuskan alasan?
Pencarianku telah membawaku melalui fisik, metafisik, khayalan, dan kembali.
Dan aku telah membuat penemuan terpenting dalam karirku.
Penemuan paling penting dalam hidupku.
Hanya ada di dalam kemisteriusan persamaan cinta…
Sehingga setiap alasan logis dapat ditemukan.
Aku semata-mata di sini malam ini karenamu.
Kaulah alasanku. Kaulah semua alasanku. Terima kasih.