Senin, 25 November 2019

Iri


Lima dasawarsa lalu, orang perlu bersusah payah menggapai semua kemudahan yang dihasilkan smartphone. Kini, perlu bersusah payah juga melepaskan diri dari ketergantungan smartphone. Saya tak perlu mengulang bagaimana hubungan manusia sehari-hari “terdistraksi” oleh HP.

Tentu orang tak perlu sepenunya resah—sebagaimana Habermas—melihat pergeseran budaya akibat segala fasilitas teknologi. Tapi kita, setidaknya saya, sukar mengelak dari apa yang dirumuskan oleh Manuel Castells: dunia maya dapat membangun kemayaan yang nyata.

Dari bangun tidur hingga kembali akan tidur, kita sibuk dengan post di media sosial tentang: makan nasi kebuli, liburan di bali, sedang tidur di hotel, atau mencaci hujan, mengutuk panas. Dunia kian riuh dengan suara yang masing-masing tak ingin diabaikan.

Tak cukup menyajikan sebuah kejadian nyata, jamak dari pengguna media sosial mereduksi apa yang sebenarnya terjadi. Alih-alih menghadirkan fakta, orang membangun citra. Dengan kata lain, media sosial tak melebarkan kebenaran, ia jelmaan dari gubahan Baudrillard: simulakra sosial, kejadian penuh manipulasi.

Maka yang dikhawatirkan Castells tentang politik informasi, yakni monopoli para elit tentang apa yang harus disuguhkan pada publik, dalam skala mikro, juga dilakukan oleh sipil. Tak perlu bertanya mengapa, semua orang punya dorongan narsis yang ketika itu disalurkan, menimbulkan kenikmatan tersendiri.

Dan, well, saya pecandu kenikmatan itu. Maksud saya, sangat candu.

Karenanya, saya punya kekaguman tersendiri bagi para orang tua di desa, atau di mana pun yang tak punya hasrat mengabarkan pada dunia tentang hal hebat yang mereka lakukan. Tentang prestasi yang mereka capai. Dalam hati saya sering bergumam, mereka dewasa seutuhnya.

Ibu saya beberapa waktu lalu pergi ke Makkah, juga Madinah. Sebagai seorang yang tak kenal media sosial, dan juga smartphone, hampir bisa dipastikan ia tak ribet dengan foto atau video untuk keperluan akun. Bahkan Ibu saya pulang tanpa membawa satu pun foto momen-momen di sana. Diam-diam saya melihat sosok yang dari dulu tak saya sadari: Ibu merdeka pada hasrat membuat orang lain terkesan padanya.

Saat di rumahpun, Ibu tak akan rempong dengan bikin story betapa kewalahan ia menerima tamu. Ibu tak ada hasrat post bahwa hanya dalam waktu semalam satu kamar di rumah penuh oleh-oleh dari tamu.

Agaknya sifat itu ia dapat dari kakek. Pernah suatu ketika kakek di minta datang ke Papua, untuk menghadiri acara tertentu. Menurut cerita kawan yang ada di sana, banyak hal hebat yang kakek lalui, dari berbagai fasilitas mewah, hingga bertemu orang-orang “penting”. Untuk ukuran orang desa yang begitu sederhana, saya yakin itu termasuk pengalaman yang langka. Tapi saat pulang, tak ada cerita “hebat” yang ia sampaikan. Apalagi sebagai bahan “citra” dunia maya.

Kita tak bisa menyalahkan hasrat narsis manusia, yang memang sifat bawaan. Namun pada titik berlebihan, individu yang narsistik memiliki perhatian lebih pada sesuatu yang hanya berkaitan dengan dirinya: tubuh, harapan, pikirannya. Erich Fromm dalam bukunya yang bagus The Art of Living, memperlihatkan ada satu momen di mana manusia tak mampu mengenali dirinya sendiri sebab ia sibuk dengan dirinya sendiri.  

Tak jarang manusia abad 21 memusatkan segala perhatian akitivitas keseharian dengan orientasi narsistik semacam itu. Anda tak susah melihat faktanya, di setiap sudut tempat makan, rumah ibadah, wisata, halte, toilet, sebut lainnya, orang sibuk mengeluarkan ponsel, memotret dan mengunggahnya ke media sosial. Dengan satu tujuan: berharap di lihat. Dengan kata lain, untuk kepentingan diri sendiri.

Orang narsis yang kemana-mana “laporan” di media sosial tak memiliki filter untuk menentukan mana yang layak dipost, mana yang tidak. Dan mungkin mereka tak peduli. Karena kecenderungan orang narsis tidak akan ambil pusing dengan apa yang orang lain pikirkan mengenai dirinya. Maksud saya, individu narsis mengira bahwa orang lain melihat dirinya sebagaimana ia melihat dirinya: penuh anggun.

Ada satu pernyataan menarik dari Fromm yang patut kita renungkan: pada akhirnya bukan mustahil kebiasaan narsis membuat seorang mengagungkan diri hingga tak bisa mencintai yang lain. Bahkan, dalam porsi kritik yang lebih ektrem, Freud melihat banyak relasi cinta antar manusia hanya narsistik belaka. Dalam cinta ibu pada anaknya, sejatinya itu tak lebih dari kecintaan pada diri sendiri sebab anak itu adalah anaknya.

Well, pertanyaan Freud di atas sangat dalam, sebegitu dalam hingga saya perlu mengulang dengan cetakan tebal. Dalam cinta ibu pada anaknya, sejatinya itu tak lebih dari kecintaan pada diri sendiri sebab anak itu adalah anaknya. Saya ingin menepuktangani pernyataan itu. Tidakkah itu narsistik? Seorang ibu mencintai anaknya semata karena masih berhubungan dengan dirinya. Bahkan, tak jarang seorang memilih melahirkan anak, mati-matian membesarkan anak, demi di hari tua kelak, anak tersebut merawatnya. Lagi-lagi, bukankah itu narsistik?

Saya ingat pada ibu dan kakek. Sebagaimana yang saya ceritakan, mereka tak ada hasrat narsis yang ingin membuat orang lain terkesan. Pada titik itu, saya iri pada mereka. Sebab tulisan ini juga narsistik.