Ada yang mengherankan soal
“menghormati” di Desa Winong, tempat saya KKN. Fenomena itu nyaris saya saksikan di banyak
tempat: seorang dengan umur 20 tahun, akan santai memanggil orang tua dengan
nama julukan—yang sebenarnya berkonotasi negatif. “Walah, Mbloh, maculmu kok
lemes.” Begitu kata Mas Bino (bukan nama sebenarnya) pada Pak Sukar, pemilik warung yang gemar bercanda ini dipanggil Mbloh.
Di banyak tempat, juga di
tempat asal saya, hal itu akan lumrah jika saling dilakukan orang seumuran. Dan
adalah tidak sopan memanggil orang tua dengan nama julukan. Karenanya, Winong
seolah anomali dari penghormatan yang jamak.
Hormat adalah bahasan yang
banyak mengambil porsi dalam hampir semua budaya dan agama. Buku soal
kesopanan-menghormati banyak ditulis. Bahkan katanya, seorang Nabi diutus untuk
menyempurnakan akhlak. Menyempurnakan tingkah laku.
Tapi apa sebenarnya ahklak
itu?
Guru agama di pesantren
mungkin akan menjawab: akhlak adalah keharusan kita bersikap santun pada guru;
keharusan kita bersikap ta’dzim pada orang tua. Biasanya, kitab yang dikaji
soal kesopanan ini bernama ta’lim al-muta’allim, karya
al-Zarnuji. Salah satu adab pada guru yang saya ingat tertulis dalam buku itu:
saat bertamu pada guru, seorang murid harus melepas kaki beberapa langkah
sebelum sampai di kediamannya.
Saya tak tahu cara
menghubungkan nilai etika itu dalam konteks sekarang, serta dari mana
agaknya hal semacam itu didasari. Tapi begitulah katanya tabiat manusia: ia
membentuk makna di dalam pelbagai tindakan mereka, agar tindakan itu “seolah”
memiliki tujuan.
Dan makna, kita tahu, kerap
dibangun dari fiksi. Ia tak terbangun dari realitas yang melekat pada manusia.
Mudah membuktikan ini: jika tubuh kita dibedah, kata Hamid Basyaib, yang nampak
adalah ginjal, jantung, paru-paru. Tak ada martabat. Tak ada hak asasi. Maka,
martabat dan sebagainya itu fiksi.
Kita tak bisa mengelak
darinya. Fiksi diciptakan untuk mengisi kekosongan dalam kehidupan manusia. Ia
juga berfungsi dengan baik pada banyak hal. Uang, misalnya, termasuk fiksi yang
membantu manusia bertransaksi. Uang dalam hal ini hanyalah fiksi yang kita
yakini bersama memiliki nilai tertentu. Tanpa kesepakatan semacam itu, dari
mana logisnya, sebuah rumah megah dapat ditukar hanya dengan setumpuk kertas
yang mudah dibakar itu.
Kembali pada “menghormati”,
sebagaimana jamaknya, kita diberi tahu bahwa cara A adalah menghormati yang
baik. Cara B adalah durhaka. Yang jadi soal adalah, ketimpangan bahwa hanya
seorang murid atau anak yang harus “ber-akhlak” pada orang tua atau guru,
seorang bawahan yang harus manggut-manggut kepalanya di depan atasan. Padahal
kita tahu, semakin posisi kita tinggi, semakin kita bisa mengatur bawahan
dengan leluasa. Dengan kata lain, menjaga kontrol diri untuk bersikap baik di
depan murid atau bawahan, jauh lebih sulit dari bersikap baiknya seorang murid
pada guru atau orang tua.
Bagi saya, puncak akhlak adalah seperti yang dikatakan orang bijak dari abad ke abad, termasuk oleh Nabi Muhammad sendiri: perlakukan orang lain sebagaimana kau ingin diperlakukan. Melihat dan berinteraksi dengan orang yang mampu melakukan itu, saya menaruh hormat sedalam-dalamnya. Karena ia akan memperlakukan manusia lain sebagaimana mestinya. pendek kata, ia telah memanusiakan manusia. Tak peduli berapa umurnya. Tak peduli apa statusnya. Tak peduli tetek bengek lainnya.
Pada titik ini, pikiran nakal
saya menyimpulkan: jangan-jangan, kitab al-Zarnuji itu secara substansial bukan
ditujukan untuk murid/anak, tapi pada guru/orang tua. Jangan-jangan, orang
Winong sudah memahami maksud substansial ini, dan sedikit melangkah lebih maju
dari pada pemahaman di tempat lain, bahkan pesantren sekalipun.