Minggu, 13 Oktober 2019

Harga Kemalasan


Jika dikatakan salah satu cara efektif melek waktu adalah menjadi muadzin, saya setuju. Seorang tak bisa mengumandangkan adzan Subuh jam enam pagi. Akan aneh—meskipun sah saja, adzan Isya’ jam 10 malam. Umumnya, batas toleransi “telat” adzan tak lebih dari dua atau lima menit. Kecuali Maghrib saat Ramadhan, muadzin nyaris tak boleh terlewat waktu.

Kesetujuan saya, sayangnya, tak diimbangi dengan semangat melantunkan adzan. Alasannya: suara ancur. Karenanya, saya terakhir kali adzan saat kelas 2 SMP, itupun karena dulu dibayar tiap satu kali adzan. Efeknya, tiap mendapat giliran adzan di tempat KKN, saya ingin pura-pura pingsan!

Adzan bukan hanya butuh suara merdu, tapi juga disiplin waktu. Karena tetap diharuskan adzan, saya memilih waktu subuh, untuk mengatasi ketak-PD-an. Tentu karena pada waktu ini banyak orang yang tak akan menghiraukan suara adzan.

Ternyata adzan subuh sembari dikepung suhu 13 derajat celcius butuh perjuangan. Mula-mula, saya akan malas luar biasa bangkit dari tidur melihat yang lain masih tidur. Kemudian, kulit serasa membeku saat di tempat terbuka menuju masjid. Belum lagi sensasi gemetar kulit menyentuh air untuk wudu. Dan saya harus adzan dengan bibir gemeretak kedinginan, yang membuat suara adzan tampak konyol.

Saat selesai rangkaian di atas, kepala ini sudah merasa membesar: satu kedisiplinan sudah terlewati. Tinggal esok lagi. Lagi esok. Seterusnya. Begitulah adzan melatih saya, membeli harga kemalasan. Agama memang cenderung tak membiarkan manusia hidup dengan waktu yang dilalaikan.

Seorang guru besar sejarah dan ekonomi Harvard tertarik pada jam, ia telaah alat waktu manusia ini. Kita tahu namanya David S. Landes. Kesimpulannya: ibadat biaralah yang membagi waktu dalam rangkaian terinci, hingga ada arloji, seiko, dan pieget. Pembagian waktu kemudian ditransformasikan jadi konsep yang mudah dipakai matematika dan kehidupan sehari-hari. Ia menjadi acuan ibadah, membagi warisan, mengisi perut yang lapar, atau kapan meledakkan nuklir.

Waktu juga membuka mata saya akan satu rantai yang saling kait-mengkait: jika waktu tidur molor, akan berimbas pada aktivitas siang hari yang akan diserang ngantuk. Jika jadwal A bablas, jadwal B akan rusak.

Keberpengaruhan waktu itu membuat saya mengingat industri. Sebagaimana agama, industri tak rela soal terbuangnya waktu. Jika ada seorang pegawai pabrik sepatu yang mengawaki satu mesin telat masuk, ia akan menghambat kinerja pegawai yang mengawaki mesin lain. Jika pekerja mesin di nomor tiga tertidur lima menit, ia menghentikan pengerjaan mesin lainnya. Dan untuk mecegah kekacauan semacam itu, satu-satunya solusi: tepat waktu!

Jadwal industri tersebut kemudian diadopsi sekolah, kantor, dan lain-lain. imbasnya juga menyentuh pada kapan angkutan umum harus berangkat. Maka, Industri membuat semua saling terikat satu sama lain. Pengikat itu bernama waktu.

Bayangkan, di abad pertengahan, sebagian besar masyarakat—terutama eropa—tak mampu melakukan pengukuran waktu secara tepat, juga sama sekali tak tertarik untuk melakukannya. Dunia berjalan tanpa jam dan jadwal. Semua hanya bergantung pada edaran matahari dan siklus pertanian. Dan jika ada seorang pengembara yang bingung dan bertanya “tahun berapa sekarang?” maka orang-orang desa akan terheran-heran dengan pertanyaan itu.

Dunia berubah. Industri tak peduli dengan matahari!

Waktu adalah pedang, kata pepatah. Ia memenggal umur tanpa rasa sakit. Bunyi adzan barangkali akan selalu mengingatkan saya soal harga kemalasan yang mahal. Harga yang kadang tetap tak mengubah sikap malas.