—Untuk Makhluk Absurd dan Sukil
Saya punya dua
teman yang entah kenapa punya banyak kesamaan nasib. Judul dua manusia itu Doni
dan Sukil (bukan nama asli). Kami sama se-prodi kuliah. Sama suka mbontot nasi.
Sama idiot. Dan baru-baru ini, Sukil menyusul nasib saya dan Doni: ditinggal
nikah pacar. Klop kaan? Meski begitu, kami tetap saja memiliki perbedaan sikap.
Juga soal bagaimana menyikapi ditinggal kekasih.
Tempo hari Sukil
kirim pesan, “aku mau curhat panjang, nanti kalau ketemu. Bukan soal
skripsi.”
Beberapa hari setelah pesan itu mendarat, kami bertemu. Dan begitulah, ia mulai cerita dengan ekspresi sedu, tentang pacarnya yang dalam waktu dekat akan dilamar orang. Saya, dengan ekspresi sotoy, cuma mendengarkan sambil manggut-manggut sok bijak. Dari ceritanya, tampak bahwa ia sangat terpukul.
Bagi Sukil, ini
masa-masa di dalam hatinya terjadi gempa, atau seperti tersengat seribu
ubur-ubur, intinya menyakitkan, kalau tidak mematikan.
“Kok ya tepat
seperti ini momennya, ibu sakit, pun ada cicilan rutin, eh... ditambah pacar
dijodohkan.” Begitu keluhnya. Bocah satu ini benar-benar nyaris berlatar sama
dengan apa yang saya alami dulu dengan doi. Intinya, pacar dijodohkan dengan
pria yang notabene lebih mapan. Well, menatap kenyataan itu, bocah ingusan
seperti kami bisa apa?
Tapi Sukil bukan
tipe orang yang mudah menyerah, setelah beberapa saat ia bercerita, saya
sarankan ia untuk curhat terus terang pada bibinya. Di samping orang tuanya
sakit, bibi Sukil tergolong orang berpunya. Jadi bisa dikatakan, itu langkah
paling memungkinkan untuk memperjuangkan sang doi—sebut saja Anggun (bukan nama
asli).
Langkah awalnya
sederhana, ia akan mencari dukungan—baik finansial maupun lainnya—kalau-kalau
secara mendadak diminta untuk melamar Anggun, mengingat waktu itu masih ada
kemungkinan untuk Sukil menunjukkan bahwa ia benar-benar serius mencintai
Anggun. Menurut ceritanya, Anggun sempat bertanya pada Sukil, “kalau aku milih
kamu, siap nggak ngelamar?”
Dan ndilalah, Bibi
Sukil siap membatu soal ngelamar itu. meskipun pada ujungnya, orang tua Anggun
seolah menggiring—untuk tidak mengatakan memaksa—anaknya untuk memilih kandidat
lain. Jadi begitulah... kisah Sukil hampir di ujung janur. Meskipun masih ada
harapan.
Lain kasus
dengan apa yang dialami Doni, harapannya sudah kandas, ditelan paus biru menuju
samudra lain, atau dunia lain. Tapi ada hal yang saya kagumi dari makhluk
absurd satu ini, meskipun saat itu saya tahu ia patah hati, ia tak berusaha
menghubungi saya atau Sukil untuk sekedar curhat. Tidak sama sekali. Bahkan ia
datang di pesta pernikahannya. Ya ampuun, Doon!! Kamu ini spesies dari planet
mana?
Tentu saja
mungkin ia terpukul, sebagaimana manusia normal. Tapi tetap saja, dengan
ekpresi khasnya yang datar itu, ia tampak cowok yang paling tegar di antara
kami. Apalagi, ia si jenius yang pelupa. untuk melewati tragedi ini, mungkin
Doni berpedoman, dilakukan "dengan seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya".
***
Sebenarnya,
mengingat track record Doni selama ini, saya tak perlu heran soal “ke-dataran”
sikap Doni soal pernikahan gebetannya—sebut saja Mila (bukan nama Asli). Well,
hampir setiap saat, saya dapat melihat tingkah konyol atau absurd si Doni. Dan
karena itu sebenarnya, ia menjadi teman yang paling unik.
Ia ahli IT,
mungkin bisa dibilang jenius. Tapi ia juga seorang pelupa akut. Satu ketika
kami bertiga kongkow di kampus. Setelah ber-haha-hihi ria, kami bermaksud
pulang. Dan si Doni dengan ekspresi datarnya, toleh kanan kiri, merogoh saku
baju maupun celana, jelas menunjukkan tanda kehilangan. “kunxixu nanffgdi?”
(kunci motorku di mana?) suara Doni terdengar aneh karena bibirnya sedang
mengapit kunci yang ia cari-cari. Dengan tampang tak bersalah, saya dan Sukil tertawa
dengan energi penuh. Sedang Doni? Ya tetap datar-datar dengan sedikit
cengengesan.
Di lain
kesempatan, saya keluar dari perpus bersama Doni menuju motornya.
Lagi-lagi, dengan ekspresi datar, Doni menoleh kanan kiri, jelas menunjukkan
tanda kebingungan. Tapi kali ini ia bukan lupa tempat kuncinya, ia melupakan
letak motornya di parkiran!!! Ya Tuhaaan. Lagi-lagi, dengan tampang tak
bersalah, (sekaligus menahan hasrat memukul kepalanya dengan buku) saya tertawa
yang saya yakin membuat Mak Lampir minder hendak menandinginya.
Apa ada
lupa-lupa yang lain? banyak! Well. Seperti yang saya bilang, ia pelupa dan
mungkin begitu tabiat orang jenius, konon Einstein sering tak mengkikat tali
sepatunya karena lupa. Sepele. Tapi yang sepele tentu saja bisa berakibat fatal.
Doni pernah kondangan ke tempat kawan, ia pergi ke kampus naik motor untuk
kemudian nebeng mobil menuju lokasi. Sepulang kondangan, dengan nada panik
(baru kali itu saya mendengar nada paniknya), ia mengabari via telpon bahwa
STNK-nya hilang. menurut pengakuan Doni, ia menjatuhkannya entah di mana.
Ia juga menelpon
Sukil. Tapi kami yang waktu itu masih ada di rumah, bisa bantu apa? Jadi kami
menyarankannya posting di media sosial. Dan beberapa hari setelah kejadian,
STNK itu ia temukan di bagasi motornya. Saat tahu ini, saya gemes ingin
memelukkan Doni pada seekor gajah.
Doni, bocah dari
keluarga terpandang ini sepertinya memang hobi mengoleksi rekam jejak absurd. Beda
dengan Sukil, bocah yang paling cakep di antara kami. Kulitnya putih mirip cat
tembok dan lembut seperti bayi, wajahnya mirip bangsa tempat Boboho dilahirkan.
Kalau kami jalan bertiga, bisa dipastikan, si Sukil bocah yang akan dilirik
cewek-cewek. Apa lagi kalau mereka paham Sukil tipe cowok pekerja keras.
Setidaknya
sebelum para ladies itu tahu kalau Sukil ini sering PMS. Dan kalau penyakit ini
kambuh, hanya Tuhan yang bisa mengembalikan senyumnya. Dengan kata lain, saat
PMS, Sukil nyaris mirip Nietzsche dengan wajah seriusnya: bikin takut mau
nyapa. Tapi bagi saya dan Doni itu bukan masalah, ia donatur utama soal
makan-makan bersama. Juga sering traktir, plus sering ngutang. Benar-benar
kontradiksi.
***
Yang ingin saya
katakan dari dua latar belakang bocah itu adalah: wajar agaknya si Doni
menyikapi dengan datar pernikahan Mila, melihat sifat absurdnya yang entah ia
download dari mana. wajar pula dengan Sukil dengan sikap terpukulnya, melihat
ia tergolong cowok normal.
Dan saya? Ehm...
Saya sama
seperti Sukil dalam soal ini: sedih dan terpukul saat doi dijodohkan. Apalagi,
well, si doi memenuhi kualifikasi wanita idaman saya, dalam arti yang
sesungguhnya.
Hikmah dari
perjodohan para pacar atau gebetan kami itu mungkin: kami lebih merasa senasib.
Bukan hikmah yang ilmiah, tentu saja. Tapi bagi saya itu penting. Sekumpulan
orang yang dipertemukan karena otaknya sama-sama pintar, bisa berdebat
sepanjang waktu. Sedang sekumpulan orang yang dipertemukan dengan nasib serupa,
bisa saling terikat batin.
Well,
kawan-kawanku... mari berjalan bersama-sama, lagi.