Sabtu, 24 Agustus 2019

Kunci Motor dan Ideologi


Kalau Anda mencabut kunci kendaraan dan seketika orang-orang melihat itu dengan aneh, mungkin Anda sedang berada di Dusun Badur, Desa Winong. Saya mengalaminya ketika salat di masjid. Saat meletakkan kunci kendaraan di dekat kaki, orang-orang melirik kunci itu dengan pandangan yang “riskan”. Jumat berikutnya saya sadar, barangkali itu pandangan iba bahwa saya datang dari negeri jauh yang penuh pencuri. Pikiran itu muncul setelah sebelumnya mata ini melihat semua kunci motor yang masih nyaman meringkuk di tempatnya.

Meninggalkan kunci motor di kendaraan pastilah kebiasaan yang terbentuk dari rasa aman. Dari mana keamanan sedemikian rupa ini? Sependek wawancara pada warga, termasuk kepala desa, semua hampir menjawab seragam: "Entah, Mas. Dari dulu sudah begitu. Di sini aman." Anehnya, aman itu tak bisa ditemui di dusun sebelah, yang masih tergolong satu desa. “Kalau ada di Gebangan, sebaiknya sampean lebih hati-hati. Tak ada begal, tapi kalau kunci ada di motor, ada risiko.” Kata Pak Lurah.

Begitulah Badur, sebuah dusun yang membuka mata saya bahwa, persaingan soal harta bukan menjadi kemelut utama dalam otak. Karenanya tak ada kejadian ambil hak milik orang lain. Begitulah Badur, daerah yang mengingatkan saya pada sebuah nama masyhur: Karl Marx.

Pernah ada suatu masa, ketika ideologi “tak ada hak milik pribadi” mendominasi dunia. Kita tahu, ideologi itu dirumuskan Karl Marx, benama komunisme. Franz Magnis-Suseno menulis soal itu dengan jernih, dalam bukunya, Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.

Dalam lembar-lembar awal karya Romo Suseno itu, kita bisa temukan pendasaran ajaran sosialisme ortodoks berasal dari Sir Thomas More, dalam karyanya: Utopia. Buku ini mengisahkan, di sebuah pulau bernama Utopis segala hal dimiliki bersama, kecuali pasangan. Semua orang menikmati pendapatan yang sama, dan semua bekerja. Tiap orang bekerja di tanah atau bengkel masing-masing, namun bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai karyawan komunitas. Umumnya, mereka bekerja selama enam jam sehari.

Tulisan More menggambarkan tatanan masyarakat yang ideal. Yang tentram. Yang tak ada ambisi. Pada titik ini, kita bisa mengingat slogan komunisme: sama rata sama rasa. Semua orang sejahtera, dan tak akan ada bentuk kejahatan karena ketimpangan sosial: pencurian, korupsi, dan segala bentuknya yang lain.

Karya fiksi More itu, banyak mempengaruhi pemikir lain. Di abad 20, Gabriel Garcia Marquez menulis Seratus Tahun Kesendirian. Sama dengan More, Marquez menggiring pembaca dengan pesona utopis yang ganjil. Kisah keluarga Buenda ini, yang berlangsung selama seabad—meminjam tafsir Goenawan Mohamad, “adalah drama perubahan, baik pelan-pelan ataupun drastis.” Buenda, bersama keluarga, orang-orang, hewan,  melewati pegunungan mencari jalan ke laut. Tak ada hasil.

Mereka berhenti di sebuah tempat dan mereka bangun kehidupan, tempat yang di beri nama Macondo. Di daerah yang dari arah timur berdiri gunung yang kedap itu, memang dimaksudkan menjadi “firdaus bumi”. Buenda merancang kota dan kehidupan dengan rapi. Dari tiap rumah, penduduk desa dapat pergi ke sungai mengambil air dengan usaha yang sama, dengan jalan yang sama. Tak ada rumah yang mendapat sinar matahari lebih.

Dan pembacapun bergumam: fiksi!!!

Tapi seorang Marx percaya kondisi utopis itu akan terjadi, ketika tak ada kapitalisme yang ia ramalkan akan hancur. Ramalan itu agaknya meleset. Dan yang utopis tetap utopis. Orang masih berlomba memiliki, dari roti hingga Lamborghini. Dan ambisi itu kerap melahirkan disharmoni: tak cukup uang sendiri, masih bisa korupsi atau mencuri. Dan pada kondisi cara pandang yang seperti itu, seorang More, Marquez, Marx gelisah.

Tiba-tiba saya penasaran, apa yang akan tokoh-tokoh itu pikirkan saat hidup di sebuah dusun yang sebuah kunci kendaraan bertengger nyaman di tempatnya. Apa yang akan mereka pikirkan melihat berbagai kendaraan parkir di depan rumah saat pemiliknya tidur pulas malam hari. Sayang, di Badur, Bali, dan beberapa daerah lain yang “aman”, tak pernah didarati kaki mereka.