Kalau Anda mencabut kunci kendaraan dan seketika orang-orang
melihat itu dengan aneh, mungkin Anda sedang berada di Dusun Badur, Desa
Winong. Saya mengalaminya ketika salat di masjid. Saat meletakkan kunci
kendaraan di dekat kaki, orang-orang melirik kunci itu dengan pandangan yang
“riskan”. Jumat berikutnya saya sadar, barangkali itu pandangan iba bahwa saya
datang dari negeri jauh yang penuh pencuri. Pikiran itu muncul setelah
sebelumnya mata ini melihat semua kunci motor yang masih nyaman meringkuk di
tempatnya.
Meninggalkan kunci motor di kendaraan pastilah kebiasaan yang
terbentuk dari rasa aman. Dari mana keamanan sedemikian rupa ini? Sependek wawancara
pada warga, termasuk kepala desa, semua hampir menjawab seragam: "Entah, Mas.
Dari dulu sudah begitu. Di sini aman." Anehnya, aman itu tak bisa ditemui di
dusun sebelah, yang masih tergolong satu desa. “Kalau ada di Gebangan,
sebaiknya sampean lebih hati-hati. Tak ada begal, tapi kalau kunci ada di
motor, ada risiko.” Kata Pak Lurah.
Begitulah Badur, sebuah dusun yang membuka mata saya bahwa,
persaingan soal harta bukan menjadi kemelut utama dalam otak. Karenanya tak ada
kejadian ambil hak milik orang lain. Begitulah Badur, daerah yang mengingatkan
saya pada sebuah nama masyhur: Karl Marx.
Pernah ada suatu masa, ketika ideologi “tak ada hak milik pribadi”
mendominasi dunia. Kita tahu, ideologi itu dirumuskan Karl Marx, benama
komunisme. Franz Magnis-Suseno menulis soal itu dengan jernih, dalam bukunya, Pemikiran
Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.
Dalam lembar-lembar awal karya Romo Suseno itu, kita bisa temukan
pendasaran ajaran sosialisme ortodoks berasal dari Sir Thomas More, dalam
karyanya: Utopia. Buku ini mengisahkan, di sebuah pulau bernama Utopis
segala hal dimiliki bersama, kecuali pasangan. Semua orang menikmati pendapatan
yang sama, dan semua bekerja. Tiap orang bekerja di tanah atau bengkel
masing-masing, namun bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai karyawan
komunitas. Umumnya, mereka bekerja selama enam jam sehari.
Tulisan More menggambarkan tatanan masyarakat yang ideal. Yang
tentram. Yang tak ada ambisi. Pada titik ini, kita bisa mengingat slogan
komunisme: sama rata sama rasa. Semua orang sejahtera, dan tak akan ada bentuk
kejahatan karena ketimpangan sosial: pencurian, korupsi, dan segala bentuknya
yang lain.
Karya fiksi More itu, banyak mempengaruhi pemikir lain. Di abad 20,
Gabriel Garcia Marquez menulis Seratus Tahun Kesendirian. Sama dengan
More, Marquez menggiring pembaca dengan pesona utopis yang ganjil. Kisah
keluarga Buenda ini, yang berlangsung selama seabad—meminjam tafsir Goenawan
Mohamad, “adalah drama perubahan, baik pelan-pelan ataupun drastis.” Buenda,
bersama keluarga, orang-orang, hewan,
melewati pegunungan mencari jalan ke laut. Tak ada hasil.
Mereka berhenti di sebuah tempat dan mereka bangun kehidupan, tempat
yang di beri nama Macondo. Di daerah yang dari arah timur berdiri gunung yang
kedap itu, memang dimaksudkan menjadi “firdaus bumi”. Buenda merancang kota dan
kehidupan dengan rapi. Dari tiap rumah, penduduk desa dapat pergi ke sungai
mengambil air dengan usaha yang sama, dengan jalan yang sama. Tak ada rumah
yang mendapat sinar matahari lebih.
Dan pembacapun bergumam: fiksi!!!
Tapi seorang Marx percaya kondisi utopis itu akan terjadi, ketika
tak ada kapitalisme yang ia ramalkan akan hancur. Ramalan itu agaknya meleset.
Dan yang utopis tetap utopis. Orang masih berlomba memiliki, dari roti hingga
Lamborghini. Dan ambisi itu kerap melahirkan disharmoni: tak cukup uang
sendiri, masih bisa korupsi atau mencuri. Dan pada kondisi cara pandang yang
seperti itu, seorang More, Marquez, Marx gelisah.
Tiba-tiba saya penasaran, apa yang akan tokoh-tokoh itu pikirkan
saat hidup di sebuah dusun yang sebuah kunci kendaraan bertengger nyaman di
tempatnya. Apa yang akan mereka pikirkan melihat berbagai kendaraan parkir di
depan rumah saat pemiliknya tidur pulas malam hari. Sayang, di Badur, Bali, dan
beberapa daerah lain yang “aman”, tak pernah didarati kaki mereka.