Satu September 2019
“Ada sisa tenaga buat
nulis?”
“Aman, tenaga saya
masih banyak.
“Berarti bisa
ditambah tafsirnya, ya?”
“Ampun dah kalau mau
nambah tafsir. Saya pamit undur diri. Ini juga belum sampai.”
“Lho, masih macet di
mana?”
“Masih di terminal. Aplikasi
ojol masih dipakai nganter Ibu-ibu ke deket ITS, sambil nunggu ia sampai, saya
tinggal ngopi di sini.”
Lalu ia mengirim
gambar sebuah kopi disertai dengan caption pendek: jomblo. Di meja tempat gelas
itu berdiri sendirian, saya melihat sebuah tulisan, lalu spontan mengirim
balasan: “Di meja ada tulisan makan ati. Awas.” Ia menjawab baru sadar.
**
19 September 2019
“Sudah?”
“Tunggu sebentar.”
“Cek.”
“Sudah?”
“Iya.”
“Okey.”
Saya tidak tahu
percakapan itu terjadi dalam konteks apa. Benar-benar tidak jelas.
**
17 Oktober 2019
“Pinjem kuota
pinjaman ke perpus dong. Satu aja nggak masalah.”
“Jangan satu, masih
sisa empat, pakek semua aja.”
“Wah, besok ke
perpus, ya.”
“Hmmm... gimana, ya. Ada
syaratnya: Koreksikan proposalku.”
“Siaaaaap.”
**
20 Oktober 2019
“Ayo ngebakso.”
“Ayok. Kapan? Habis Isyak
ya?
“Okee.”
“Mbak Ani (bukan nama
sebenarnya) masih mandi.”
“Wah... yakin abis
Isyak selesai itu mandinya?”
“Hahahaha. Selesai. Kita
semua jalan kaki, ya.”
“Yakin kuat? Setauku
putri duyung itu berenang bukan jalan kaki.”
“Gapleki. Jalan
aja. Pulang ngegrab. So sweet to? Yaiyalah.”
“Deal.”
**
30 Desember 2019
“Kata si A kamu
pulang, ya? Kemarin suruh pijit nggak mau. Sekarang gimana? Mendingan?
“Iya pulang biar
nggak ngerepotin temen-temen. Sekarang sudah mendingan lah.”
“Kena marah?”
“Enggak dong.”
**
3 April 2020
“Ayo bancaan setelah
sidang.”
“Padahal aku udah
diem-diem, eh tetep aja ada yang tau. Sini ke rumah tak belikan bakso.”
“Selamat, ya. Turut
senang.”
**
28 Mei 2020
“Cak, udah selesai
nulis skripsinya?”
“Aman. Silakan tebak
sendiri saja, aku bagian membenarkan tebakan itu.”
“Pasti sudah. Aku request
skripsinya, besok kalau sudah ujian minta pdf-nya.”
**
12 September 2021
Saya mengirim file
kepada dia untuk minta bantuan diedit.
“Harus diserahkan
kapan ini?” katanya. “Nanti malam?”
“Santai saja, tapi
kalau bisa hari ini, soalnya besok pean sudah kuliah, sori agak maksa.”
“Haha, aku tadi mau
bilang gitu (besok ada kuliah). Kalau nggak segera aku kirim, keburu dapet
tugas mata kuliah. Nanti malem deh tak kirim balik.”
Saya mengucapkan
terima kasih kepadanya.
Dan ia mengirim file
editan pada 23.43 WIB.
“Makasih buanyak, ya.”
“Yuhuuu. Sama-sama. Misal
nanti belum selesai dan perlu bantuan buat melanjutkan koreksi, bolek kirim
balik lagi, kok. Nggak usah sungkan.”
**
29 September 2021
“Masih digentayangi
deadline?” katanya.
“Yah... masih seperti
biasanya. Hahaha.”
“Berat badan dijaga,
ya.”
“Aman. Sampean juga.”
“Susah. Semakin naik
usia, semakin turun aja berat badan. Hahaha.”
“Lho ya... sampean
perlu penggemukan badan metode bakso bujangan. Aku pernah nyoba, meski gagal.”
**
7 Oktober 2021
Ia membuat story
pamflet di mana foto saya mampang sebagai pengisi. Jika ingatan saya tidak
luput, ia menulis sebuah harapan, bahwa melalui materi yang saya buat dengan
mengorbankan tumpukan deadline lain, semoga saya menemukan pasangan.
“Sumpah ngakak,” kata
saya membalas story yang ia buat.
“Biar temen-temen
tahu, dibanding dengan pujian ‘suhu’, kamu lebih butuh mbakyu.”
Wah... ia kadang
sedikit keliru tafsir.
Beberapa kali saya
mengirim pesan stiker kepadanya, “numpang ngirim beruang ini, ya. Lucu dilihat,”
begitu kira-kira kata saya.
Lalu ia mengirim
stiker yang jauh lebih lucu, ialah tiga makhluk kecil yang berkepala besar dan
mondar mandir sambil mengangkat tangan. “Kalo lagi penat bilang aja. Nanti aku
suplai stiker.”
“Siap,” kata saya.
***
Di luar rentang
panjang chating di atas, banyak tumpukan pembahasan yang menarik. Saya harus
menghilangkan detail-detail untuk lebih ringkas, tetapi dari percakapan di
atas, ia bisa dikatakan sebagai kawan baik saya. Sangat baik.
Beberapa bulan lalu
ia ulang tahun yang ke 24, dan praktis sekarang waktu bergulir menuju ke 25. Saya
menulis surat ulang tahun di ponsel, tetapi karena kekeliruan copy-paste, surat
itu terhapus oleh catatan lain. Meski demikian saya masih ingat beberapa detail
penting karena pesan itu memang tidak terlalu panjang. Ia hanya berisi
harapan-harapan pendek.
Sudah barang tentu
saya senang memiliki kawan seperti dia, yang memiliki semangat belajar meski
kadang terganggu malas; yang memiliki sikap dewasa meski tentu kadang kembali
ke bocah. Dan yang paling penting ia mampu berprasangka baik. Itulah mengapa,
jika saya tidak menyukai sesuatu, saya akan ringan mengatakan kepadanya. Jika saya
menyukai beberapa perangainya, saya juga ringan menunjukkannya.
Saya tidak pernah
berdrama dengan dia. Tetapi jika kelak itu terjadi, saya kira tidak akan
berlangsung lama. Apa yang harus terjadi, terjadilah. Dan apa yang sudah
terjadi, biarkan. Kira-kira begitu cara main saya dengan orang-orang dekat. Saya
hanya agak jengkel jika ia ruwet diajak diskusi. Saya beberapa kali memintanya
untuk presentasi di forum kecil tentang perkuliahan, dan ia seperti menganggapnya
sebagai angin lalu.
Beberapa kawan lain
juga sama. Beberapa senior juga sama. Itulah mengapa saya menulis catatan
mencari teman belajar itu sulit, post bulan Desember tahun lalu.
Kembali pada soal
ulang tahun. Saya kira sebagai orang dewasa, ia mungkin paham bahwa manusia
tidak menjadi lebih tua dengan tahun, melainkan, sebagaimana kata Dickinson,
hanya menjadi lebih baru setiap hari. Dengan demikian mengukur perjalanan dari
tahun ke tahun hanya mempersempit keadaan, lebih elok mengupayakan satu langkah
pada satu waktu, sebab itulah yang diperlukan untuk sampai pada tujuan.
Jika hal itu sudah disadari, kita sudah siap menua, dengan atau tanpa persiapan. Menjadi bocah atau menjadi tua sama sekali bukan masalah, bagi orang yang mampu memaknai bagaimana dirinya harus menikmati hari-harinya.