Kamis, 01 Desember 2022

Ziarah Kelas ke Sumenep

Kami sudah sepakat untuk kumpul di kampus pukul lima pagi, sebelum mendapat kabar mendadak bahwa jam sewa mobil ELF itu start pukul 00.00—tengah malam pas tanpa kurang. Tidak ada pilihan, kabar itu saya lempar ke grup kelas pukul 20.40, 29 November 2019. Tersisa waktu 3 jam 20 menit. Setelah saling tawar menawar dengan kondisi masing-masing, setelah drama dengan kesibukan masing-masing, pukul 21.46 kami ketok palu: Berangkat tengah malam.

30 November 2019, anggota kelas membuka mata tengah malam dan praktis memulai hari dengan perjalanan cukup panjang. Kami menuju Sumenep. Ziarah.

Untuk menghemat energi sebagai sopir, saya mencoba segera istirahat beberapa jam sebelum berangkat. Tetapi pikiran saya sibuk: Apa saya bisa bawa ELF tipe long itu, ya? Apa energi saya cukup tanpa istirahat? Akhirnya tengah malam saya memecah dingin menuju rumah Niswa, mengambil ELF. Baru keluar dari gang, saya dan Fahmi berpapasan. “Tunggu di kampus saja,” kata saya.

Sampai di lokasi saya disambut pertanyaan dari Abah Niswa, “Mau kemana?” itu pertanyaan yang beliau sudah tahu jawabannya, tetapi saya mencoba menjawab sesopan mungkin bahwa tujuan kami adalah ziarah ke Sumenep, sowan ke beberapa tokoh penting di masa lalu. Beliau berpesan untuk hati-hati dan mengisi penuh solarnya saat mengembalikan. “Nitip rombongan, ya.” Tutup beliau. Saya mengangguk dan menggumam: Wah... berat ini.

ELF bergerak menuju kampus dan menunggu 18 anggota berkumpul. Kaum cowok hanya Ari, Alif, Fahmi, Heru, dan saya. Sedangkan kaum cewek, hampir semua ikut: Aya, Atus, Asfiyah [dalam kondisi hamil], Ami, Arina, Bintan, Bella, Chum, Faiq, Husnul, Harir, Kiki, Lutfia, Niswa, Wardah. Sekitar pukul satu lebih kami berangkat. Kiki kami jemput di dekat rumahnya, dan Atus di daerah Bangkalan. Komplit. Rombongan bergerak menuju Sumenep.

Sebenarnya, saya sudah familiar dengan jalur selatan pulau Madura, beberapa titik lubang dan gelombang sudah saya hafal [terutama setelah Lumair]. Hal yang membuat kagok tentu karena kebongsoran mini bus ELF ini. Juga sisa ketegangan karena jadwal tiba-tiba berubah. Nah, saya sudah beradaptasi dengan kendaraan setelah Atus masuk rombongan. Faiq dan Lae duduk di samping saya, berjaga-memastikan mata sopir terus melek.

Kami terburu waktu, tetapi jalanan bergelombang tidak mungkin saya libas dengan kecepatan tinggi. Jadi saya selalu menunggu momen jalan bagus untuk menginjak-dalam pedal gas. Akhirnya, azan subuh masuk ke telinga ketika kami berada di Sampang kota. Jadwal molor. Lampu-lampu jalanan dekat pelabuhan Camplong bersinar agak redup tapi anggun, seolah menyuruh kaki saya untuk tetap tenang.

Saya membelokkan ELF di masjid Nur Inka untuk salat subuh dan bebersih walau hanya muka. Sebagian besar rombongan belum mandi karena tidak sempat, jadi kami sepakat untuk ikut instruksi mandi di rumah Faiq. Matahari mulai mengintip, menerangi pantai yang ada di seberang masjid. Memang titik ini adalah bagian paling memanjakan mata. Ari mencoba memperbaiki posisi parkir dan berkomentar setirnya berat. “Kalau jalan lebih enteng,” kata saya.


Selepas masjid, semua mata tampak melek, semua mulut terdengar bertukar suara, melempar joke dan tawa. Suasana kabin sudah benar-benar hidup. Kami seperti merangkai kembali tali persaudaraan setelah bertahun-tahun kenal serta terlibat banyak intrik drama. Dan berada di dalam kabin, satu tujuan perjalanan, menegaskan bahwa ada aset batin yang mewah dan mahal. Kelak, bertahun-tahun kemudian, kami sama-sama menyadari kedaifan membeli kemewahan itu. Tak akan mampu.

Sekitar pukul 6 atau 7, saya tak ingat pastinya, kami sampai di Prenduan, mampir membeli beberapa lauk. Lalu tibalah kami di rumah Faiq. Saya menunaikan hasrat memejamkan mata setelah mandi. Kawan-kawan juga begitu. Kecuali tuan rumah yang sibuk menyiapkan makanan. Sayangnya saya tak terlelap. Kami bergegas dan mengabadikan momen.

Masalah sopir baru muncul: badan Elf sepanjang 5,5 M itu sulit keluar dari rumah Faiq. Semua manuver sudah saya coba. Kawan-kawan berusaha mengawal, tetapi masing-masing memiliki pendapat berbeda sehingga memberi komando yang berbeda-beda. Satu bilang kanan, satu bilang kiri, satu bilang terus, dan saya bingung. Akhirnya celah sedikit di bagian kanan bisa dimanfaatkan. ELF saya majukan, Bella berteriak sisi kiri masih aman, lantas setir saya banting kanan, dan berhasil.

Kami meluncur ke Asta Tinggi. Ada ratusan atau mungkin ribuan makam. Kami memilih kawasan Asta Induk, Sultan Abdurrahman. Momen spiritual itu tidak terlalu kondusif karena terlalu panas, dan entah kenapa ada efek terburu waktu. Ini memang gejala sopir, ingin cepat beres dan istirahat. Tetapi bagaimanapun saya berterimakasih kepada para sultan, mungkin perasaan berterimakasih itu membuat para rombongan memiliki nasib baik di depan. Siapa tahu?  

Kami bergeser ke rumah Bella—tuan rumah yang sedang berulang-tahun. Itulah pertama kali saya jatuh cinta pada buah siwalan. Teksturnya lembut, manis dan asamnya pas, dan perpaduan susu sudah cukup memperkaya rasa. Kelak Bella menghadiahi saya siwalan, di tahun 2020. Ia bawa dari Sumenep langsung. Rombongan istirahat sejenak, salat dzuhur, lalu bersiap ke Sayyid Yusuf.

Makam selanjutnya harus melalui penyebrangan selat kecil. Para cewek-cewek berbahasa Madura langsung terlibat tawar-menawar dengan pemilik perahu. Kami sepakat dan langsung naik—dengan perasaan getir, karena setelah kami naiki, badan perahu seperti akan tenggelam. Badan perahu hanya tampak beberapa centi meter. Lalu di tengah selat, ombak cukup kencang. Teriakan kecil muncul. Kami tegang, tetapi masih selamat. Yah... jika tenggelam, kami mati syahid.

Setelah sampai di pulau kecil itu, kami harus berjalan kaki menuju makam. Tentu akan lebih praktis jika menyewa becak, namun momen jalan kaki melewati gang-gang kecil rumah warga membuat nuansa petualangan muncul. Setelah sampai kami menikmati suasana rindang, dengan napas yang ngos-ngosan. Saya tidak tahu siapa pemimpin tahlil sebab mengambil posisi di belakang, menikmati pemandangan pohon besar.

Sebenarnya saya penasaran apa kira-kira doa yang dipanjatkan kawan-kawan? Tugas akhir lancar? Jodoh baik nan rupawan? Karir gemilang? mampu menguasai dunia? Atau harapan bisa segera tidur nyenyak? Kami kembali ke pelabuhan, menerjang panas, dan mengambil beberapa foto bersama sembari menunggu pemilik perahu yang masih bepergian entah kemana. Bahwa kami sama-sama capek itu benar, hanya kebersamaan yang membuat kami memilih tampak biasa.


Anda tahu, kami seperti orang yang sepakat untuk bohong bersama bahwa badan masih baik-baik saja. Akhirnya kebohongan itu menjadi energi yang menular. Kebohongan yang dilakukan bersama, pada akhirnya, dapat berbelok menjadi kebenaran itu sendiri. Kebenaran sementara, tepatnya.

Destinasi terakhir adalah pantai Lombang: tempat yang kami harap bisa menjadi pelepas penat; menjadi penutup dari rangkaian ritual religi. Jadi perjalanan ini jelas batas ukhrawi dan duniawinya. Malah jangan-jangan tujuan pentingnya adalah pantai ini. Kami masuk pantai gratis, berkat kenalan Faiq. Di sana kami makan, foto, dan berbasah-basah bagi yang minat. Sebagian hanya menikmati suasana.

Jika anda berdiri di bibir pantai Lombang sembari melihat sekeliling, mungkin ini yang akan anda rasakan: Laut lepas di depan itu tampak menyenangkan sebab anda melihatnya dari daratan, mungkin anda ngeri jika melihat lautan dari tengah lautan. Langit luas di depan itu seperti melambai lembut pada pikiran-pikiran buruk anda. Perpaduan antara laut dan langit mungkin membuat anda makin rileks. Jika anda melihat ke sekitar Lombang, pepohonan cemara itu mungkin bisa mengistirahatkan rasa gelisah anda.

Setidaknya itulah yang saya rasakan. Jadi setelah kami mengirim doa kepada para tokoh, sembari berharap baik pada diri kami masing-masing, pantai ini menjadi ruang imajinasi bahwa semua akan berjalan sebagaimana seharusnya. Dan semua harus berakhir karena kami harus segera pulang. Sewa ELF berakhir tengah malam, dan Maghrib kami baru lepas dari Lombang. Tidak ada cara lain kecuali menekan gas dalam-dalam dan melakukan manuver tikus.


Pukul 22-an kami baru akan masuk Tanah Merah. Pukul 23-an kami lepas Suramadu. Mepet. Setelah kawan-kawan turun di kampus, saya beristirahat sejenak. Melegakan kaki-kaki. Ari bersalaman dan mengucap terima kasih. Saya membalas dalam cara yang patut sebab ia selalu menjadi motor acara-acara seperti ini. Ari adalah perekat. Segera saya menginjak pedal gas untuk cari SPBU. Tanki harus terisi penuh. Abah Niswa sudah nelpon untuk segera pulang karena pemilik mobil sudah menunggu.

Saya berkejaran dengan waktu dan setelah berkeliling, kami menemukan solar. Dan saya menyisakan satu botol air mineral berisi solar. Sebab tanki harus benar-benar penuh saat tiba di garasi. “Jika jarimu masuk ke tanki, harus basah menyentuh solar,” demikian pesan pemilik. Perkara solar sudah beres dan saya harus membayar denda sebab ada goresan kecil di tubuh mobil. Tidak masalah. Saya membayar dan semua selesai. 

Kawan-kawan pulang dengan selamat. Saya juga masih punya sisa energi. Dan momen bersama selesai dibuat. Kami pulang pada menit-menit awal 1 Desember—ulang tahun Faiq. Jadi Bella dan Faiq lahir berdekatan tanggal dan perjalanan ini membuat saya mengingatnya. Well, memiliki kawan baik selama kuliah adalah aset. Memiliki momen baik dan seru bersama mereka adalah aset. Dan itulah yang kami lakukan, yang akhirnya tak bisa kami lakukan lagi.


Minggu, 23 Oktober 2022

Perjalanan Makanan

Pagi itu Ibuk masuk kamar untuk memberi kelapa sekaligus alat parut, “Mbak iparmu lagi sakit, bantu masak, ya.” Saya mengambil kelapa dan mulai memarut, sambil menikmati pikiran terbang kemana-mana.


Saya membayangkan si kelapa ini sebelum tiba di meja makan nanti. Mula-mula ada orang yang memanjat pohon kelapa, dengan risiko nyawa, jika jatuh dari ketinggian. Lalu kelapa dijual ke tengkulak sayur, menuju pasar atau toko. Para penjual mengupas kulit berlapis serat dan tempurung. Jika meleset mengayunkan pengupas, minimal akan ada sayatan di tangan.


Kelapa siap jual, berpindah dari tangan penjual ke tangan pembeli dengan pertukaran uang. Pembeli membawa pulang, lalu mulai memarut. Biasanya manual, seperti yang saya lakukan pagi itu. Setelah berubah menjadi bulir-bulir kecil, kelapa diperas dan hanya diambil air pati. Ampasnya dibuang karena dianggap tidak berguna. Kita tahu, dari proses inilah kemudian kita mengenal celoteh “habis pati, ampas dibuang.”


Dari seluruh bagian keluarga kelapa, bulir ampas mungkin yang sering bernasib buruk, kecuali jika ia dimasak jadi botok. Sementara daun kelapa, dahan, pohon, kulit... semua difungsikan dengan sempurna. Kulit dan tempurung kelapa minimal bisa dibakar di tungku. Ampas tidak dibakar karena basah. Ia dibuang begitu saja.


Sebagian orang bernasib seperti ampas. Tapi mari kembali ke pokok utama. Masakan.


Setelah pati diambil, ia disiapkan untuk dicampur dengan aneka sayur. Ia dipanaskan, diberi bumbu, ditunggu hingga mendidih, dicicipi rasanya, sebelum akhirnya berakhir di meja makan. Betapa panjang seluruh perjalanan sayur kuah santan. Melibatkan pemanjat yang bertaruh nyawa, atau patah tulang, lalu melibatkan penjual-pembeli, berlanjut ke dapur, dan meja makan.


Nah, sebenarnya hal itu tidak hanya terjadi pada masakan santan. Coba anda lihat di meja makan. Apakah di sana ada sambal? Olahan ini tidak kalah dramatis untuk mencapai meja kita. ada bibit cabai dan tomat yang harus ditanam dan petani yang harus panas-panasan. Ada ibu pergi ke pasar atau toko di hari petang. Lalu proses ngulek dengan komposisi terasi, gula, garam, yang diperhitungkan.


Rentetan satu menu saja sudah sedemikian panjang. Dan jangan pernah mengira hal-hal di atas mudah dilakukan. Ibu-ibu mungkin tidak mengeluh karena memang tidak memiliki sarana mengeluh. Jika ia punya Twitter dan tahu cara memanfaatkannya, maka keluhan demi keluhan akan muncul.


Sekali lagi, coba kita perhatikan menu masakah di meja makan. Ia tidak pernah sederhana. Terlepas dari kerja-kerja tangan ibu, ada tangan bapak yang tak kasat mata. Ialah tulang ekonomi yang menentukan seberapa “berkualitas” menu di meja. Kita tak pernah tahu, apa yang dipikirkan seorang ayah ketika mengalami kesulitan mencari pundi-pundi rupiah demi makana di meja makan itu—yang kadang karena terlalu sederhana membuat kita tak berselera menyantapnya.


Kita juga tak pernah tahu, apa yang dipikirkan seorang ayah ketika ia harus berhutang demi memutar nyawa seluruh keluarganya. Sebagian ayah tidak memiliki media sosial, dan mereka membuat hiburan dengan hal-hal sederhana dengan bapak-bapak lain, seperti main gaplek.


Proses memarut kelapa itu mengantarkan saya pada banyak hal yang barangkali luput dari pikiran saya selama ini. Betapa makanan di meja itu harus saya hargai sedemikian rupa. Jika ada orang-orang yang harus menerima penghargaan atas perputaran banyak hal di meja kita, sungguh kita tak pernah bisa mengurai seberapa banyak para penerima penghargaan itu. Tetapi kita bisa melakukan hal-hal sederhana untuk mengapresiasi semuanya: Makan dengan gembira dan habiskan.

Bangun

Ketika Anda Bangun di pagi hari, pikirkan betapa istimewa hak untuk hidup—bernapas, berpikir, menikmati, mencitai.

--Marcus Aurelius

 

Benar, Pak. Tetapi sebagian orang berpikir betapa damainya tidak menjadi bagian dari kehidupan.

Selasa, 18 Oktober 2022

Perjalanan Senin demi Senin

Sejak 12 September 2022, hari Senin adalah oseng-oseng asin, atau knalpot brong, atau gambar salah garis: Dicicipi bikin ngilu, didengar bikin pekak, dilihat tidak indah. Itu membuat hari Senin terasa berat, lantas menular pada hari Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu.


Di hari Senin, saya harus pergi ke kampus untuk kuliah—berangkat dari rumah dan butuh empat hingga enam jam perjalanan. Perkuliahan pertama mulai pukul 08.00 pagi. Artinya, saya harus berangkat pukul 03.00 pagi, dan setidaknya saya harus bangun pukul 02.00 dini hari. Supaya tidak merepotkan famili, saya berangkat naik motor, menuju masjid berjarak 13 kilo meter dari rumah. Setelah menitipkan motor pada Pak Slamet—satpam masjid, saya menunggu bus.


Biasanya, saya tiba kembali di rumah larut malam. Selama di jalan, demi menjaga barang, saya jarang tidur. Itulah kenapa Senin terasa berat dari berbagai sisi. Bangun pagi-pagi lantas harus terjaga sepanjang hari, sambil memeras isi kepala di kelas saat diskusi. Selasa hari istirahat. Rabu, Kamis, Jumat, Sabut, Minggu, mengerjakan seluruh aktivitas selain kuliah, tetapi masih perkara kuliah: apalagi kalau bukan deadline tugas kuliah. Dan ngajar.


Tiap Senin itu, keping demi keping cerita terjadi. Dan seluruh hal-hal berat, ketika telah terjadi, ya... hanya jadi kenangan dan kekonyolan. Tanggal 12 September, misalnya, adalah hari pertama kuliah dan karena ada perubahan jadwal mendadak, dosen tidak datang ke kampus. Jadilah perjalanan jauh hari itu sia-sia belaka. Di dalam hati saya nggrundel: Beliau ini tentu tidak tahu saya bangun jam dua pagi, dengan berat hati meninggalkan nilai-nilai kenikmatan tidur malam, menuju ruang kuliah yang hanya berisi bangku-bangku tak bernyawa. Masak mereka harus ngajar saya?


Pihak akademik juga tega ngubah jadwal kuliah dadakan tanpa konfirmasi ke dosen. Kita paham bahwa pekerjaan dosen itu numpuk, tetapi tidak termasuk memantau pergeseran jadwal kuliah. Untungnya hari itu saya bertemu kaprodi dan menyelesaikan satu urusan tertentu. Lancar jaya. Semua nggrundel selesai seketika karena hati riang. Juga ketemu dan ngopi lama sama Novi—kawan dekat saya.


19 September.


Hari itu perkuliahan lancar. Satu-satunya hal yang mengganggu adalah khawatir motor digondol orang. Pasalnya, waktu itu saya belum kenal Pak Slamet. Adegan titip motor di masjid baru terjadi di pekan keempat. Sebelum itu, saya parkir motor begitu saja, lalu nyelonong pergi naik bus. Untunglah, motor masih utuh hingga hari ini. Jauh sebelum hari perkuliahan aktif, saya sudah coba cari parkir umum di jalur bus, tetapi nihil. Hanya masjid ini yang memungkinkan untuk dititipi.


26 September.


Karena belum kenal satpam masjid dan merasa khawatir jika motor ditinggal lama, saya coba titip motor di rumah teman yang kebetulan dekat dengan jalur yang dilewati bus. Sialnya, pagi itu saya berangkat kelaparan, sama seperti Senin-Senin sebelumnya. Bedanya kali ini saya bawa pisang. Di jalan, saya eksekusi pisang itu, sambil menembus dingin. Ketika separo pisang sudah saya telan, tanpa permisi hujan menyerang!


Kepalang tanggung untuk menepi pakai jas hujan, juga takut ketinggalan bus pertama, saya tetap menarik ulir gas motor, di pagi buta, sambil makan pisang, sembari dijatuhi hujan. Ya, tentu saja, jika menganut hukum praktis, saya terhindar dari keselek sebab tinggal buka mulut, air bisa terminum. Jika adegan itu terjadi di scene film, mungkin tampak biasa. Masalahnya, sungguh terlalu jika kita mengalaminya langsung. Rekoso, kata orang Jawa. Rekoso kuadrat. 


Di jalanan yang sepi itu, ada bocah menembus dingin sambil kelaparan, makan pisang di atas motor dan ditemani serbuan hujan. Dan ia tetap melaju, tetap makan pisang, demi mengejar jadwal bus pertama, demi tiba tepat waktu di kampus. 


3 Oktober


Sehari sebelum berangkat kuliah, biasanya saya sudah menyiapkan barang-barang untuk ke kampus. Buku-buku, kaca mata, power bank, semuanya, kecuali hari itu—3 Oktober. Saya bangun dan mandi kedinginan, lantas buru-buru berangkat. Di jalan, saya baru sadar: Tidak memakai kemeja. Saya sudah hampir tiba di masjid tempat parkir. Jika pulang, ketinggalan bus. Dengan berat hati, motor tetap melaju tanpa putar arah dan terpaksa pinjam kemeja kawan. Saya katakan terpaksa karena enggan merepotkan. 


Saya menghubungi Deni dan menuju kosnya. Saya keluar kos membawa kemeja, berikut motor yang juga Deni pinjami.


10 Oktober


Bus yang seharusnya berisi 50-an orang, bengkak entah berapa. Tempat duduk penuh, berdiri juga penuh, tangga masuk bus pun terisi orang. Gila. Jika ketambahan ayam, ia akan terhimpit. Untungnya, saya kebagian duduk di tengah dan dengan kondisi penuh seluruh itu, praktis jarak pandang saya terbatas. Pun di tempat duduk itu, saya diapit oleh dua orang “besar”. Sementara di luar jendela kondisi gelap.


Jadi yang saya rasakan hanya goncangan dan manuver-manuver bus. Jika anda pernah melihat kelereng di dalam botol yang dikocok anak-anak, seperti itulah kira-kira rasanya. Sementara itu, perut saya kosong melompong. Sekitar satu jam masuk ke bus, saya mual. Malulah muntah di bus, apalagi kondisi sesak begitu. Jadi saya coba untuk memejamkan mata dan bodo amat jika ada barang-barang hilang. Saya tertidur dan bangun karena macet di tol. Pak sopir menginjak rem sekasar menginjak musuh, dan itu membuat rasa mual berada di puncak.


“Pak, maaf, saya mual. Izin muntah, ya,” kata saya pada penumpang di samping, scene izin muntah ini kemudian membuat orang-orang menoleh. Duh.


Nah, saya mengambil kantong kresek dengan susah payah. Lalu terjadilah sesuatu yang harus terjadi, tetapi, tidak ada isi lambung yang keluar, karena memang perut tidak ada isi sama sekali. Bahkan air pun tak ada. Efek dari perut kosong dan muntah ini parah: Saya kehabisan energi. Bahkan rasanya energi turun ke titik minus. Untuk bangkit dan turun dari bus, energi seperti pergi menjauh. Untunglah bapak-bapak bersedia membatu.


Turun dari bus saya mencari sembarang tempat untuk makan nasi bungkus. Tempat pertama yang saya lihat adalah pinggiran parkir keberangkatan bus. Sepi, luas, dan lumayan bersih. Drama mual masih berlanjut setelah saya makan. Isi lambung buru-buru meloncat keluar, seolah di dalam sana terdapat monster kejam. Tetapi, rasanya tubuh lebih segar dan saya memaksakan diri untuk tetap berangkat ke kampus. 


Di kelas, perkara mual tiba-tiba kumat. Saya tidak bisa fokus mengikuti perkuliahan, menahan pusing sekaligus merasakan isi lambung memaksa untuk kembali menyembur. Jika saya tidak keliru, perkuliahan baru berlangsung sekitar satu jam, lalu saya putuskan untuk menyerah. “Professor, maaf sekali, saya izin tinggal di toilet saja. Saya mual.”


“Mashaallah...” dawuh professor.


Lalu terjadilah sesuatu yang harus terjadi. Keluar dari toilet, saya tidak mampu berdiri tegak. Perut saya terlalu kosong dan berjalan setengah bungkuk. Jadi saya duduk di dekat toilet dan melihat professor keluar. Mukit membawa saya istirahat ke kosnya, setelah kembali saya mengalami gejolak lambung pasca keluar dari lift. Tidak mungkin ada tempat strategis untuk menunaikan hajat di dekat lift. Jadi saya lari setengah bungkuk menuju parkiran motor, dan terjadilah sesuatu yang harus terjadi. 


Di kosan, saya memaksa mengisi perut meski hanya beberapa suap, lalu langsung tidur setelah merasakan gejolak lambung lagi. Tidur inilah kunci untuk benar-benar lebih segar. Bangun tidur saya kembali ke kampus, membeli dan menyantap makanan, menyelesaikan satu urusan dengan dosen, lalu merasakan tubuh sudah jauh lebih baik.


Malam hari saya pulang, numpang mobil Kiai.


17 November


Trauma berangkat dengan perut kosong, saya sarapan sebelum berangkat. Setelah berbagai kejadian dari minggu ke minggu, semua lebih aman terkendali. Barang bawaan lebih rapi, kondisi tubuh relatif stabil. Semua oke, kecuali satu hal yang luput lagi: Kebelet pipis. Anda tahu rasanya kebelet hajat di atas bus ekonomi yang tidak menyediakan toilet, sedangkan posisi anda baru masuk tol?


Sudahlah, itu momen mengangkan, mirip anda menghadapi dosen untuk sidang skripsi.


***


Begitulah dari Senin ke Senin. Masih ada banyak stok cerita di hari Senin, tetapi itu bagian lain nanti. Hari Senin penuh pernak pernik. Sebagian membuat getir, sebagian membuat tertawa. Hari ini sebenarnya tubuh merasakan sedikit letih, tetapi, kuliah seperti ini hanya sekali seumur hidup dan, karena itu, akan selalu saya cari sisi nikmatnya, meski ia serupa oseng-oseng asin, atau knalpot brong, atau gambar salah garis.

Hewan

Hewan buas itu, kata Steve Irwin, cukup sederhana. Jika Anda bertemu dengan mereka, mungkin mereka akan memakan Anda, atau setidaknya menyerang Anda. Manusia lebih rumit. Mula-mula, mereka akan berpura-pura menjadi teman Anda terlebih dahulu.

Jumat, 30 September 2022

Merasa Tua, Hidup Saja Belum

 Anak-anak desa kebanyakan tumbuh di lingkungan yang memelihara keyakinan bahwa  pernikahan adalah gerbang untuk berhenti belajar. Penyebabnya satu: Saat menikah, pak suami sibuk bekerja, bu istri, juga bekerja—dalam berbagai konteks dan pengertiannya. Kesibukan kerja itu pada akhirnya menguras energi mereka di malam hari. Boro-boro belajar yang butuh proses pelik itu, sempat ngaji rutin saja sudah bagus—bagi keluarga religius.


Nah, saya juga tumbuh di lingkungan seperti itu. Para orang tua itu memberi “doktrin” untuk rajin belajar selagi masih lajang, sebab ketika menikah, pasti tidak akan sempat belajar. Kita tahu, manusia terkurung oleh cangkang kehidupannya masing-masing.


Pemahaman masyarakat desa seperti di atas tumbuh karena beberapa hal. Pertama, mereka memaknai kerja sebagai olah otot, sehingga rodi kerja dari pagi hingga sore sudah cukup untuk membuat kasur sebagai tempat terindah saat pulang kerja. Bukan tempat lain. Kedua, karena mereka hidup dalam kultur desa yang serba lambat mengejar laju peradaban, mereka merasa tidak butuh untuk up-date diri. Wong kehidupan mereka tidak menuntut apa-apa. Cukup kerja di sawah.


Mereka tidak memiliki ambisi. Bagi mereka ambisi dan cita-cita itu tindakan mubazir.


Adapun beberapa orang tentu masih memiliki tujuan hidup yang luas. Tetapi orang-orang ini hanya bersifat perkecualian. Sebuah hukum apapun di dunia ini tidak bersandar pada perkecualian semacam ini. Jadi bisa saya simpulkan, masyarakat desa dari masa kecil saya, hingga sekarang, relatif mempertahankan pandangan di atas.


Sambil menulis catatan ini, saya mensyukuri satu hal: Saya sempat belajar di kampus. Di ibu kota provinsi pula. Dari ibu kota ini, saya menyerap banyak hal, tetapi yang paling relevan untuk pembanding adalah kehidupan kota serba cepat. Manusia-manusia di ibu kota berkejaran dengan kehidupan seolah satu hari belum cukup memenuhi kebutuhan waktu mereka. Kebutuhan mencari uang mereka.


Pada kondisi serba kilat tersebut, banyak masyarakat urban yang relatif “tua” (usia 35 tahun ke atas) masih memelihara pandangan bahwa mereka masih bisa belajar. Tiap ada lowongan pekerjaan, orang-orang berlomba melamar betapapun mereka tidak menjadi kualifikasi. Yang penting kerja, pikir mereka. Adapun skill bisa menyusul nanti.


Di lingkungan “terpelajar”, seperti lingkungan sekolah, pesantren, kampus, orang-orang tua masih antusias mengejar kehidupan. Sehingga di sela-sela kesibukan, mereka masih berpikir untuk melatih skill baru. Bahasa, IT, bicara publik, dan sebagainya. Saya hidup di kultur ini. Sesungguhnya belajar tidak mengenal batasan usia. Tetapi mengapa ada manusia yang berpikir sebaliknya? Seperti orang-orang desa?


Well, kompleks. Tetapi faktor penting dari semua ini adalah lingkungan hidup, dan kondisi rekening. Bayangkan, para petani dan buruh di desa, bergaul satu sama lain, berbagi pandangan hidup serba pasrah: Kondisi mereka sudah diatur oleh sang Maha Perancang. Alih-alih mengejar dan membuat ambisi, mereka berbagi pandangan bahwa bersyukur adalah jalan terbaik.


Dan jangan lupa, kondisi kehidupan mereka, seringkali, sudah dihimpit kondisi ekonomi yang serba tipis. Untuk apa belajar jika mereka dari pagi hingga petang, dari bangun tidur hingga tidur lagi, dibayangi oleh catatan hutang, dibayangi oleh berbagai kebutuhan primer yang tak terbeli.


Saya bayangkan, pikiran mereka penuh dilema antara bersyukur dan tidak tahu harus berbuat apa. Anda tahu, kehidupan dulu sangat ramah pada semua orang, asal mereka mau berburu, atau di abad pertengahan, asal mereka menanam banyak buah—di saat tak ada tuan tanah. Kehidupan sekarang penuh konstruksi, penuh aturan, yang mengikat mereka untuk bekerja, membangun skill, dan berebut kue kehidupan.


Mengapa kondisi ini terjadi: Jumlah manusia meledak gila-gilaan.


Nostalgia purba tidak memiliki guna. Sekarang manusia dihadapkan pada dunia serba padat, serba kilat, yang mengharuskan belajar sebagai jalan mutlak. Kabar baiknya, hanya soal pola pikir untuk memahami bahwa belajar itu tidak terbatas usia. Apa boleh buat, suka tak suka, kita perlu belajar—dalam arti seluas-luasnya.


Saya melihat guru-guru yang telah memutih rambutnya, tertatih cara berjalannya, memudar daya pandangnya, tetapi masih menekuni dan mempelajari hal-hal baru. Wah, inilah orang-orang semangat, kata saya. untunglah saya sering melihat pemandangan seperti ini. Jika saya tak pernah pergi jauh, tak peduli telah ada media sosial atau tidak, barangkali saya tetap menua dengan habit klise, lalu menyebarkan keyakinan belajar saat tua itu tidak mungkin.


Sekarang, syukurlah. Saya masih bisa belajar. Meski malasnya minta ampun.


Andaikan, saya versi lain itu benar-benar terjadi, betapa lucu. Ia merasa tua, tetapi tak pernah melihat kehidupan yang luas. Ia merasa tua, padahal hidup saja belum.

 

Catatan kaki:


*Kalimat terakhir saya adaptasi dari novel karya Rusdi Mathari, Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya.


*Tulisan terasa tak jelas. Ditulis sekali duduk antara salat Maghrib dan Isyak. Terasa kurang padu juga? Saya setuju. Tetapi semoga masih bisa dinikmati.

 

Semangat

 Semangat saja tak cukup, kata seseorang.


“Ya, itulah mengapa aku berjuang keras untuk strategi,” kata seseorang lain.

Minggu, 11 September 2022

Mahal Tapi Tidak Terlihat

Di Facebook seseorang pernah mengunggah hal menarik tentang bagaimana imam masjid di Turki menghibur anak-anak setelah salat tarawih. Imam tersebut, seperti tampak di foto, mengambil posisi di depan dan anak-anak berbaris di belakang saling menggandeng-memanjang, membentuk barisan seperti gerbong kereta—tetapi dari manusia.


Unggahan itu mendapat ribuan like, share, dan komentar. Komentar-komentar itu penuh berisi pujian pada imam, sambil membandingkan dengan para imam di Indonesia yang, karena tidak seperti imam di Turki, terlabeli “buruk”. Seharusnya imam di negeri ini meniru imam di Turki, kata mereka.


Sekarang kita tahu: Orang-orang peka terhadap kebaikan. Sebegitu peka mereka, hingga saat melihat kebaikan, ribuan komentar langsung menyerbu tanpa ampun. Saya juga menyukai posting itu. Masalahnya, level saya hanya euforia atas kebaikan tersebut, sambil tetap enggan menjadi bagian dari kebaikan itu sendiri.


Seharunya, jika saya serius menyukai kebaikan imam di Turki, menyukai postingan itu pada level yang lebih riil, saya bisa bersikap ramah pada anak-anak di masjid dan memulai dengan tindakan kecil: Menebar senyum sebanyak-banyaknya, dan mungkin sesekali memberi camilan ramah anak. Sederhana. Tetapi bahkan yang sederhana itu saya enggan melakukan! Saya menyukai kebaikan Sang Imam, sambil enggan menjadi bagian dari kebaikannya.


Dan, sepertinya, saya tidak sendirian. Ada ribuan orang, atau bahkan jutaan orang, bersikap seperti saya. Tampaknya, kami menyukai kebaikan. Hanya menyukai dan tidak melakukannya. Kami mengira kebaikan hanya menjadi tugas orang lain. Bukan kami. Dengan kata lain, kami hanya mampu menuding. Lebih dari itu, alih-alih menjadi bagian dari kebaikan, saya sering menjadi keburukan.


Mari pikirkan sejenak ilustrasi akurat dari dokter Ryu ini. Saat orang-orang berada dalam kemacetan, mereka berpandangan bahwa sedang terjebak kemacetan. Nyaris tidak ada yang mengakui bahwa mereka termasuk pembuat kemacetan tersebut. Atau jika ada, tidak banyak. Dan begitulah yang saya lakukan di tengah kemacetan. Saya mengutuki kondisi macet, sambil kadang-kadang jengkel pada kendaraan lain. Sedangkan pengendara lain berpikiran sama.


Jadi, di antara sesama pengendara, tidak ada pikiran bahwa masing-masing dari kami berkontribusi menjadi penyebab macet. Dengan kata lain, tidak ada kesadaran. Izinkan saya menarik kesimpulan personal: Saat kesadaran kita absen, di situlah hulu chaos. Untuk konteks macet ini berlaku. Untuk seluruh masalah selain macet ini juga berlaku. Akhirnya, ketidaksadaran telah melakukan keburukan adalah hal pelik. Orang bisa terus melakukan keburukan-keburukan karena memang tidak menyadarinya.


Mungkin sekarang saya telah menyadari poin di atas ketika berada dalam kemacetan. Tetapi mungkin masih banyak kondisi lain di mana saya tidak sadar telah menjadi bagian dari keburukan. Jadi, menertawakan diri melalui perasaan miris terasa wajar: Pada aspek kebaikan saya enggan berpartisipasi, pada keburukan saya tidak sadar telah menjadi bagian darinya. Pernahkah anda membayangkan berapa banyak orang seperti saya? Saya kira jawabannya mudah: Banyak sekali—untuk tidak menyebut angka gigantis.


Itulah mengapa, kondisi sosial kita sekarang penuh euforia semu. Apalagi media sosial. Orang saling berbagai cerita dan berita tentang tokoh A yang telah melakukan kebaikan. Kita bersyukur ada orang yang masih rela melakukan kebaikan. Tapi, ya... hanya itu level kebanyakan kita. Tidak ada yang bergerak untuk melakukan kebaikan serupa.


Contoh Imam Turki di muka mungkin hanya berlaku untuk “praktisi” rumah ibadah, hingga orang-orang mengarahkan “tuntutan” hanya kepada para imam masjid. Tetapi sebenarnya pola demikian juga terjadi untuk konteks masyarakat luas. Misalnya, siapa yang tidak suka melihat bentuk-bentuk peradaban bagus di Eropa, di mana penjara kosong dan, jika ada tahanan, mereka sendirilah yang memegang kunci. Nah, siapa yang tergerak untuk merintis kondisi ideal serupa?


Tidak ada. Masing-masing orang berpikir bahwa ia tidak bertugas menciptakan ideal tersebut dan berpikir orang lainlah yang bertanggungjawab. Dan semua orang memiliki pikiran yang sama. Hasilnya jelas, tidak ada gerakan atau kesadaran memulai dari diri sendiri. Di berbagai forum, kita mengelu-elukan bentuk ideal yang dicapai orang-orang lain, di tempat-tempat lain, di waktu-waktu lain, sambil tak menyadari sebenarnya kita juga bisa melakukan hal baik serupa.


Seluruh siswa di Indonesia tahu bahwa belajar itu baik, dan berapa yang bergerak untuk rajin belajar? Seluruh mahasiswa tahu bahwa serius kuliah itu baik, dan berapa yang tergerak untuk serius kuliah? Saya kira, orang-orang gemar melakukan lempar batu sembunyi tangan, dengan radius masing-masing.


Karena itu, saudara-saudara, sesungguhnya kesadaran adalah barang mewah yang tak terlihat mata namun jelas mahal harganya. Seluruh ilmu, pendidikan, dan pengetahuan, akan terasa berbuah saat kita sampai pada titik bernama kesadaran. Orang bisa sekolah tinggi-tinggi, tapi tidak memiliki kesadaran. Orang bisa belajar bertahun-tahun, tapi tidak memiliki sistem berpikir untuk sampai pada kesadaran tertinggi yang bisa ia capai.

Ragu

Sementara orang bodoh nyaring berbicara penuh percaya diri, orang pintar bertahan di dalam ruang keraguan. Di media sosial inilah yang terjadi.

Minggu, 28 Agustus 2022

Festival di Jalanan Utama

12 Agustus kemarin ada famili yang harus diantar ke rumah sakit karena sakit parah. Jalur yang harus saya lewati, kebetulan, sedang ditutup karena acara festival tahunan. Inilah festival pertama setelah dua tahun vakum karena pandemi. “Kita terpaksa lewat jalur lain,” kata paman saya.


Maka kami memutar, melewati jalan aspal yang baru dibangun. Jalan yang bagus, tebal, dan kokoh. Sawah dan bukit mengelilingi jalan itu—praktis memanjakan mata. Kendaraan lain yang seharusnya melewati jalur utama pun memilih jalan pintas tersebut. Masalahnya, jalan itu cukup sempit. Dan terjadilah sesuatu yang harus terjadi saat jalan sempit dipenuhi kendaraan besar: Macet.


Di depan saya ada truk dengan muatan besar. Ia tidak bisa turun dari aspal sebab hanya tersisa sedikit bahu jalan (tanah agak curam). Lagi pula, aspal tersebut cukup tinggi. Jelas, jika truk tersebut turun dari aspal, dengan muatan seberat itu, ia akan terguling. Sedangkan di sisi kiri mobil yang saya bawa, tidak ada sisa jalan kecuali sangat sempit. Saya tidak bisa memaksakan mobil untuk terus berjalan. Truk tersebut juga terdiam dan berhenti. Kami sama-sama menyadari ketidakmungkinan itu.


Satu-satunya solusi adalah saya harus memilih mundur untuk memilih jalan yang agak lebar, lalu membiarkan truk itu melaju melewati saya. tetapi ada masalah lain, di belakang saya sudah berjejer banyak mobil. Maksud saya banyak sekali. Begitupun di belakang truk tersebut. Puluhan mobil sudah berbaris. Para sopir turun dari kendaraan dan, lagi-lagi, menyadari kondisi ruwet itu.


Kami terdiam, sepenuhnya memahami tidak ada pihak yang bisa disalahkan. Awan yang menutupi matahari telah menyingkir dan kami disengat cahaya. Saya memilih masuk mobil dan memikirkan hal tersebut: Sementara famili saya harus merasakan penyakit yang ia derita, siapa yang harus bertanggungjawab atas kondisi ini? apa solusi yang harus saya usahakan?


Sopir truk pengangkut kayu, jelas hanya menjalankan perintah majikan. Ia tidak punya daya menghindari kondisi jalanan utama yang tertutup. Sama seperti seluruh sopir di seluruh dunia, ia tidak mengharap terjebak di kemacetan. Selan si sopir truk, saya hanya orang biasa yang mengantar famili berobat. Saya berniat membantu dan tentu tidak berharap berdiri linglung melihat kendaraan-kendaraan terjebak. Sebagian orang lain hanya ingin pulang ke rumah setelah segala keperluan di luar selesai.


Dan kami berada di sana karena jalanan utama yang ditutup karena perayaan Agustusan. Kami tentu saja tidak bisa serta merta menyalahkan pemerintah setempat atau panitia acara. Bagaimanapun, tradisi tersebut lumrah dijalankan meski menyisakan banyak pertanyaan bagi saya: melihat orang-orang berdandan dilumuri oli, diiringi musik dangdut koplo yang memekakkan telinga, dan melihat orang berkerumun sesak menonton... untuk apa semua ini? Sering saya membayangkan burung-burung di dahan pohon geleng-geleng melihat tingkah manusia.


Tetapi apa boleh buat. Festival tetap festival. Di seluruh dunia selalu ada perayaan semacam itu. Dan omong-omong, saya menghormatinya.


Karena itulah, saya tetap tidak menemukan siapa yang bertanggungjawab atas kondisi macet di tengah jalanan persawahan itu. “Padahal di desa lain,” kata paman, memecah lamunan saya, sementara kalimatnya terhenti entah kenapa. “Padahal di desa lain, festival berlangsung di jalan-jalan kecil. Mereka tidak pernah menutup jalanan utama.”


Saya baru tahu ada desa yang menerapkan aturan itu. Saya kira mereka sangat bijak. Di jalanan umum selalu ada tumpukan hajat orang banyak. Ada perputaran kehidupan yang bisa jadi menyangkut hidup mati mereka. Dengan kata lain, jalanan kita penuh dengan sumber “penghidupan” itu sendiri. berhari-hari selama bulan Agustus, di grup WhatsApp penumpang bis, selalu mondar-mandir informasi penutupan jalan, sehingga membuat bis umum harus melewati jalanan kecil di pedesaan.


Bayangkan, bahkan kendaraan bis umum harus blusukan.


Jadi, mengatasi macet itu, paman saya menghampiri mobil paling belakang, memintanya untuk mundur beberapa meter menepi di jalanan yang cukup menyediakan ruang lebar. Sedangkan di kejauhan, saya sudah melihat mobil lain berdatangan. Segera orang-orang berusaha memberi tanda pada mereka untuk berhenti dan menepi. Dan begitulah, barisan kami menepi untuk memberi jalan pada truk penuh muatan. Jika solusi ini hanya saya tulis dalam satu paragraf, percayalah, cukup pelik ketika kejadian berlangsung.


Tidak semua sopir mau mengalah dan mundur dan menepi. “Kenapa harus saya yang mundur,” kata mereka. Sial.


Singkat cerita, setelah susah payah mencari posisi menepi, saya berhasil keluar dari macet. Di kejauhan, saya kembali melihat kendaraan di belakang: Mereka terkunci! Well, sepertinya seharian itu adalah petaka bagi pengguna jalan di jalur tersebut... karena sebuah festival.


Akhirnya, setelah urusan di rumah sakit selesai, saya bisa pulang melewati jalanan utama. Saya melewati jalur di mana siang tadi jalur itu digunakan acara festival. Dan sampah berserakan sepanjang jalan, berkilo-kilo meter. Well, sebuah festival yang benar-benar berguna bagi bangsa dan negara.

 

Atensi

 Media sosial membuat kita haus perhatian dan kecanduan atensi. Pada kultur seperti itu, kita tidak pernah menghargai pertumbuhan dalam hening.

Sabtu, 13 Agustus 2022

Sok Sibuk dan Malas

Tidak ada perbedaan anatara sok sibuk dan malas. Maksud saya, sok sibuk dan pemalas kadang berujung pada hasil yang sama. Pemalas mampu membuat dirinya merasa tidak perlu melakukan sesuatu, dan orang sok sibuk selalu merasa dirinya memiliki banyak pekerjaan, ialah sok sibuk itu sendiri.


Anda berkata tidak memiliki waktu baca buku? Benarkah? 10 menit cukup untuk membaca setidaknya satu-dua halaman. Tetapi mungkin anda memilih main Twitter. 10 menit itu juga bisa anda alihkan untuk membaca empat halaman jurnal. Tetapi anda tidak melakukannya. Selain itu, anda biasa berpikir tidak memiliki waktu menulis? Benarkah? Saya tidak yakin sebab kemungkinan anda hanya malas.


Sebelum anda merasa “dituduh”, kata “anda” itu merujuk pada pengalaman pribadi. Artinya ia adalah kebiasaan saya belaka. Menipu orang lain mungkin sering kita lakukan. Tetapi menipu diri sendirilah yang sebenarnya kita lakukan sehari-hari. Setidaknya saya.


Misalnya, saat saya memiliki daftar hal-hal sulit yang harus saya lakukan, dan saya tidak tahu bagaimana harus melakukannya, saya akan merasa sangat sibuk meski tidak melakukan hal apapun. Jika ada seorang teman yang menghubungi untuk jalan-jalan, misalnya, saya jelas akan menolak. Padahal saya tidak melakukan apa-apa. Well, saya menulis bagian ini sambil menahan tawa. Konyol.


Pagi-pagi, misalnya, seorang kawan menghubungi. “Ayo kita keluar, sampek sore aja,” katanya.


“Aku banyak kerjaan,” kata saya, sambil berpikir betapa berharga waktu dari pagi hingga sore.


Padahal yang saya lakukan hanya duduk memikirkan apa yang harus saya lakukan. Hingga sore hari, bahkan. Maka saya mendapati sore yang begitu-begitu saja, tanpa ada solusi yang saya buat. Jika saya menerima tawaran kawan itu, tidak ada bedanya. Saya akan melawati hari dengan senang, mungkin, dan mendapati sebuah sore di mana tugas daftar tugas masih banyak. Yah, setidaknya ada agenda menyenangkan daripada duduk-duduk berpikir keras. Itulah konteks sok sibuk yang saya maksud.


Tetapi, tanpa proses duduk lama yang kadang tidak menghasilkan apa-apa itu, saya benar-benar kolaps. Sebab di lain waktu, proses duduk lama itulah yang menentukan solusi besarnya. Kadang duduk itu sia-sia, kadang menghasilkan. Jadi, tiap duduk ada satu harapan yang saya pelihara. Nah, berapa banyak orang yang sok sibuk seperti itu? atau mungkin sok sibuk dalam hal lain?


Katakanlah, seseorang memiliki banyak tugas, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Alih-alih berpikir, ia hanya sibuk main media sosial. Jika ada gangguan atas aktivitas “sok sibuk” itu, ia akan merasa terganggu. Nah, berapa banyak sosok ini?


Pemalas cukup sama. Ia punya banyak daftar tugas, tetapi malas. Ya sudah, malas itu berujung pada “kesibukan” tidak produktif. Misalnya tidur. Saya banyak mendapati orang-orang seperti ini. Mereka mengaku ingin bisa menulis tugas dengan baik. Tetapi yang mereka lakukan adalah rebahan. Kan... sialan. Saat saya coba memberi arahan data-data yang harus mereka cari, mereka bilang ada kerjaan lain. Dan pekerjaan lain itu seringkali adalah... nongkrong-nongkrong saja.


Saya paham, mengerjakan tugas kuliah dengan baik adalah pekerjaan pelik. Bahkan, sama seperti Garcia Marquez, saya memiliki ketakutan saat menulis kalimat pertama untuk tugas-tugas saya. perlu proses berpikir yang sulit dan terasa nyaman jika ditinggalkan saja. Mungkin banyak dari mereka yang belum “siap”, tetapi kesiapan adalah mitos.


Memang, seperti yang saya tulis di sini, banyak kesibukan yang dipoles sedemikian rupa, padahal akarnya hanya malas. Saya mengakui sering seperti itu. Jika anda sama, mungkin lebih baik anda mengakuinya. Dan mari jadikan itu sebagai kesadaran untuk berubah lebih baik pelan-pelan.


Kita punya banyak waktu untuk mengerjakan tugas-tugas kita. pekerjaan-pekerjaan sulit kita. Sama seperti kita punya banyak waktu untuk nongkrong tidak jelas, main Twitter tidak jelas, nonton reels IG tidak jelas. Atau joget-joget TikTok yang menggelikan. Kita punya banyak waktu untuk menulis. 10 menit setelah makan, atau 5 menit setelah mandi. Apalagi jika tulisan itu hanya semacam curhatan seperti ini.


“Aku perlu fokus untuk menulis. Tidak bisa main spontan 10 menit setelah makan seperti katamu.”


Lha ya sudah. Terserah situ.

Ayat

Sesungguhnya hidupmu sudah pelik dan sulit. Maka jangan mempersulit lagi hidupmu dengan memilih pasangan yang tidak dewasa. Mereka mampu menyulap hal sederhana menjadi rumit, lalu hal yang lebih rumit menjadi hal paling rumit.

Sabtu, 30 Juli 2022

1000 Kemungkinan Masalah Tugas Akhir

Ada 1000 kemungkinan masalah saat kita menulis tugas akhir kuliah. Oh... barangkali saya berlebihan, mustahil ada 1000 masalah, mungkin hanya 999. Sesuatu yang saya sebut masalah itu bagi sebagian orang lebih pantas disebut tantangan. Baik masalah maupun tantangan, tetap perlu dibereskan jika ingin lulus. Sialnya banyak mahasiswa yang mudah tumbang.


Saya pernah menulis skripsi dan terlibat banyak diskusi bersama teman-teman sejak 2019—tentang tugas akhir mereka—hingga hari ini. Dari tiga tahun pengalaman itu, setidaknya saya punya sepetak peta ihwal masalah tugas akhir, atau peta tantangan tugas akhir. Peta singkat ini, betapapun mungkin prematur, telah membantu saya melihat pola perilaku mahasiswa semester akhir, juga membantu saya merefleksikan bagaimana menyikapi tugas akhir. 


Masalah pertama dimulai saat pengajuan judul. Kita belajar keras untuk melihat perkembangan lahan riset di prodi, lantas dari kerja keras itu kita menemukan satu topik yang menurut kita cocok. Dengan semangat campur cemas, judul “sakral” itu diajukan. Hasilnya, Kaprodi menolak judul riset tersebut. Kita kecewa dan merasa dunia kiamat. Kita panik, bingung, sedih, hilang harapan. Mood menjadi kacau.


Pada beberapa kasus orang-orang tertentu, ia langsung menilai bahwa perbuatan Kaprodi itu wajib dijadikan konten media sosialnya dengan inti gagasan: Betapa ia telah menjadi makhluk paling dizalimi oleh Kaprodi; betapa killernya Kaprodi; atau Kaprodi mungkin tidak belajar sehingga tak menyadari bahwa judul yang diajukan sangat bagus.


Ada skenario lain: Mungkin judul kita langsung di-acc, tetapi kita menemukan banyak tantangan saat menulis bab satu. Dosen pembimbing berkomentar bahwa latar belakang tidak merefleksikan problem akademik, rumusan masalah rancu, kerangka pendekatan tidak cocok, atau bisa disingkat: tulisan itu berantakan. Kita bingung dan merasa dunia kiamat. Mungkin sesekali umpatan keluar.


Bisa jadi judul kita langsung diterima dan bab satu lancar tanpa halangan, tetapi proses penulisan bab dua serupa banjir bandang. Kita kesulitan memetakan landasan teori, kita sulit membuat masing-masing bagian di bab dua saling terkait satu sama lain. Hasilnya, dosen pembimbing menilai tulisan tersebut harus dirombak. Jika kita bersikukuh dosen pembimbing tidak memberi restu. Lalu, seperti biasa, kita merasa dunia kiamat.


Mungkin sejak pengajuan judul hingga penulisan bab dua lancar-lancar saja, masalah muncul ketika penulisan bab tiga. Kita kesulitan mencari data. Sudah keliling perpus, wawancara lapangan, download ratusan jurnal, masih nihil. Padahal, deadline ujian tugas akhir kian dekat. Dan, seperti biasa, kita merasa dunia kiamat.


Bab satu-tiga lancar jaya, masalah serius muncul di bab empat. Kita kesulitan menganalisis data; kita kebingungan menerapkan pendekatan yang kita pakai; kita kesulitan merangkai poin-poin penting menjadi bangunan argumentasi yang utuh. Singkatnya: kita kolaps. Dan, seperti biasa, kita merasa dunia kiamat. Saya bisa meneruskan variasi ini hingga Anda bosan. Setidaknya saya harap Anda punya bayangan tentang variasi masalah tugas akhir.


Sekedar catatan: kadang sejak pengajuan judul hingga revisi pasca sidang, mahasiswa mengalami masalah bertubi-tubi. Dan, tiap kali masalah datang ia merasa dunia kiamat.


Dari berbagai curhatan kawan-kawan, merasa kiamat itulah yang kadang mengganggu konsentrasinya, hingga ia perlu diingatkan orang lain atas solusi yang sebenarnya bisa ia temukan sendiri. Dulu, ada kawan curhat tentang judul yang ditolak. Ia mengirim penjelasan via pesan suara. Di awal, suaranya sudah bergetar, dan dipuncaki tangisan di akhir. Saya meladeninya dengan sabar—atau terpaksa sabar, mungkin.


Singkat cerita, setelah diskusi panjang, ia berhasil mengatasi persoalan judul. Lalu masalah kembali muncul saat penulisan bab satu, dua, tiga, empat, dan seterusnya. Tiap menghadapi masalah, ia merasa masalah yang ia hadapi jauh lebih pelik dari masalah-masalah terdahulu. Pun saat ia telah lulus dan masuk dalam dunia rumah tangga, menurutnya masalah tugas akhir tidak ada apa-apanya.


Dengan sedikit bercanda campur dongkol saya katakan padanya, “Kalau begitu, tangisanmu saat kuliah tidak ada artinya.”


Saya ajak ia berandai-andai, jika ia tahu masalah di bab empat jauh lebih sulit dibanding saat proses pengajuan judul, dan jika ia tahu bahwa ia dapat mengatasi masalah pengajuan judul, apakah ia akan menangis saat menghadapi masalah pengajuan judul? Ia terdiam cukup lama. Saya juga terdiam cukup lama, sebelum akhirnya ia menyadari bahwa tangisannya dulu sia-sia.


Kita memang banyak menangis untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu kita tangisi.


Lalu, bagaimana sebaiknya kita menyikapi masalah tugas akhir? Pahami sumber masalahnya, dan menyingkirkan perasaan sedih tak perlu, lalu mengumpulkan energi guna fokus mengatasi masalah. Judul ditolak? Akar masalahnya adalah judul Anda dianggap tidak layak. Ada dua solusi, pertama, catat alasan Kaprodi menolak judul Anda, lalu evaluasi, adakah argumen yang bisa anda ajukan untuk mengoreksi catatan Kaprodi.


Anda sudah mengoreksi tetapi tetap kalah argumentasi? Satu-satunya solusi, dan ini adalah solusi kedua, ya ganti judul. Judul bukan Tuhan yang tak tergantikan. Jika semua upaya sudah kandas, tidak ada pilihan lain. Itu adalah solusi konkret. Tetapi jika Anda mendapati orang yang tetap pada judul lamanya karena romantisasi tertentu, ya biarkan saja. Itu pilihan dia. Jika Anda mendapati ia mengutuki keadaan, lebih baik jauhi saja. Ia tidak niat mencari solusi.


Data bab dua sulit dicari? Ya jangan nangis, murung, atau depresi, tapi gali terus di tempat lain dengan lebih giat. Hubungi dosen yang barangkali bisa membantu memberi informasi. Hubungi kawan-kawan yang barangkali punya petunjuk. Tetap tidak ketemu? Ya tetap cari. Hanya itu solusinya.


Kesulitan menganalisis data? Diskusi sama dosen pembimbing. Sekedar informasi, dosen pembimbing itu dibayar—setidaknya di kampus tempat saya kuliah, jadi mahasiswa berhak mendapat bimbingan dosen. Dari pada menghabiskan energi untuk stress tidak perlu, coba lihat akar masalahnya, dan fokus mencari solusi. Merasa dunia kiamat akan menutup akar masalah, dan menutup solusi. Padahal akar masalah kadang sangat jelas, dan solusi bisa diusahakan.


Jadi kita nggak boleh bersedih? Ya boleh saja, sebenarnya. Asal jangan merasa dunia kiamat lantas kita kehilangan fokus. Padahal, perasaan dunia kiamat itu fana dan konyol. Tidak ada yang melarangmu bersedih, bahkan jika kau ingin DO, itu hakmu.


Saat menerima curhatan dan tangisan mengenai masalah tugas akhir, sering saya menarik nafas dalam-dalam: mungkin ia akan menangis sia-sia; jika di awal saja ia sudah down, apalagi pada saat momen-momen penting di akhir. Jadi saya mendapat pelajaran penting: fokus pada akar masalah dan solusi. Dan atasi masalah dengan penuh dedikasi. Ketahanan mental untuk fokus inilah yang akan melahirkan dedikasi.


Tiap melihat kawan-kawan yang serius menulis tugas akhir, saya menaruh hormat. Saat ia merasakan ada perubahan dalam dirinya setelah menjalani proses penulisan tugas akhir—perubahan positif—maka saat itulah ia mencapai esensi pembelajaran tugas akhir. Ia membangun kemampuan mental untuk menghadapi 1000 kemungkinan masalah tugas akhir. Oh... barangkali saya berlebihan, mustahil ada 1000 masalah, mungkin hanya 999.