Ada 1000 kemungkinan masalah saat kita menulis tugas akhir kuliah. Oh... barangkali saya berlebihan, mustahil ada 1000 masalah, mungkin hanya 999. Sesuatu yang saya sebut masalah itu bagi sebagian orang lebih pantas disebut tantangan. Baik masalah maupun tantangan, tetap perlu dibereskan jika ingin lulus. Sialnya banyak mahasiswa yang mudah tumbang.
Saya pernah menulis
skripsi dan terlibat banyak diskusi bersama teman-teman sejak 2019—tentang
tugas akhir mereka—hingga hari ini. Dari tiga tahun pengalaman itu, setidaknya
saya punya sepetak peta ihwal masalah tugas akhir, atau peta tantangan tugas
akhir. Peta singkat ini, betapapun mungkin prematur, telah membantu saya melihat
pola perilaku mahasiswa semester akhir, juga membantu saya merefleksikan
bagaimana menyikapi tugas akhir.
Masalah pertama
dimulai saat pengajuan judul. Kita belajar keras untuk melihat perkembangan
lahan riset di prodi, lantas dari kerja keras itu kita menemukan satu topik
yang menurut kita cocok. Dengan semangat campur cemas, judul “sakral” itu
diajukan. Hasilnya, Kaprodi menolak judul riset tersebut. Kita kecewa dan
merasa dunia kiamat. Kita panik, bingung, sedih, hilang harapan. Mood menjadi kacau.
Pada beberapa kasus
orang-orang tertentu, ia langsung menilai bahwa perbuatan Kaprodi itu wajib
dijadikan konten media sosialnya dengan inti gagasan: Betapa ia telah menjadi
makhluk paling dizalimi oleh Kaprodi; betapa killernya Kaprodi; atau Kaprodi
mungkin tidak belajar sehingga tak menyadari bahwa judul yang diajukan sangat
bagus.
Ada skenario lain:
Mungkin judul kita langsung di-acc, tetapi kita menemukan banyak tantangan saat
menulis bab satu. Dosen pembimbing berkomentar bahwa latar belakang tidak merefleksikan
problem akademik, rumusan masalah rancu, kerangka pendekatan tidak cocok, atau
bisa disingkat: tulisan itu berantakan. Kita bingung dan merasa dunia kiamat. Mungkin
sesekali umpatan keluar.
Bisa jadi judul kita
langsung diterima dan bab satu lancar tanpa halangan, tetapi proses penulisan
bab dua serupa banjir bandang. Kita kesulitan memetakan landasan teori, kita
sulit membuat masing-masing bagian di bab dua saling terkait satu sama lain.
Hasilnya, dosen pembimbing menilai tulisan tersebut harus dirombak. Jika kita
bersikukuh dosen pembimbing tidak memberi restu. Lalu, seperti biasa, kita
merasa dunia kiamat.
Mungkin sejak
pengajuan judul hingga penulisan bab dua lancar-lancar saja, masalah muncul
ketika penulisan bab tiga. Kita kesulitan mencari data. Sudah keliling perpus,
wawancara lapangan, download ratusan jurnal, masih nihil. Padahal, deadline
ujian tugas akhir kian dekat. Dan, seperti biasa, kita merasa dunia kiamat.
Bab satu-tiga lancar
jaya, masalah serius muncul di bab empat. Kita kesulitan menganalisis data; kita
kebingungan menerapkan pendekatan yang kita pakai; kita kesulitan merangkai
poin-poin penting menjadi bangunan argumentasi yang utuh. Singkatnya: kita
kolaps. Dan, seperti biasa, kita merasa dunia kiamat. Saya bisa meneruskan
variasi ini hingga Anda bosan. Setidaknya saya harap Anda punya bayangan
tentang variasi masalah tugas akhir.
Sekedar catatan: kadang
sejak pengajuan judul hingga revisi pasca sidang, mahasiswa mengalami masalah
bertubi-tubi. Dan, tiap kali masalah datang ia merasa dunia kiamat.
Dari berbagai
curhatan kawan-kawan, merasa kiamat itulah yang kadang mengganggu
konsentrasinya, hingga ia perlu diingatkan orang lain atas solusi yang
sebenarnya bisa ia temukan sendiri. Dulu, ada kawan curhat tentang judul yang
ditolak. Ia mengirim penjelasan via pesan suara. Di awal, suaranya sudah
bergetar, dan dipuncaki tangisan di akhir. Saya meladeninya dengan sabar—atau
terpaksa sabar, mungkin.
Singkat cerita, setelah
diskusi panjang, ia berhasil mengatasi persoalan judul. Lalu masalah kembali
muncul saat penulisan bab satu, dua, tiga, empat, dan seterusnya. Tiap
menghadapi masalah, ia merasa masalah yang ia hadapi jauh lebih pelik dari
masalah-masalah terdahulu. Pun saat ia telah lulus dan masuk dalam dunia rumah
tangga, menurutnya masalah tugas akhir tidak ada apa-apanya.
Dengan sedikit
bercanda campur dongkol saya katakan padanya, “Kalau begitu, tangisanmu saat
kuliah tidak ada artinya.”
Saya ajak ia
berandai-andai, jika ia tahu masalah di bab empat jauh lebih sulit dibanding
saat proses pengajuan judul, dan jika ia tahu bahwa ia dapat mengatasi masalah
pengajuan judul, apakah ia akan menangis saat menghadapi masalah pengajuan
judul? Ia terdiam cukup lama. Saya juga terdiam cukup lama, sebelum akhirnya ia
menyadari bahwa tangisannya dulu sia-sia.
Kita memang banyak
menangis untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu kita tangisi.
Lalu, bagaimana
sebaiknya kita menyikapi masalah tugas akhir? Pahami sumber masalahnya, dan menyingkirkan perasaan sedih tak
perlu, lalu mengumpulkan energi guna fokus mengatasi masalah. Judul ditolak? Akar
masalahnya adalah judul Anda dianggap tidak layak. Ada dua solusi, pertama, catat
alasan Kaprodi menolak judul Anda, lalu evaluasi, adakah argumen yang bisa anda
ajukan untuk mengoreksi catatan Kaprodi.
Anda sudah mengoreksi
tetapi tetap kalah argumentasi? Satu-satunya solusi, dan ini adalah solusi kedua,
ya ganti judul. Judul bukan Tuhan yang tak tergantikan. Jika semua upaya sudah
kandas, tidak ada pilihan lain. Itu adalah solusi konkret. Tetapi jika Anda
mendapati orang yang tetap pada judul lamanya karena romantisasi tertentu, ya
biarkan saja. Itu pilihan dia. Jika Anda mendapati ia mengutuki keadaan, lebih
baik jauhi saja. Ia tidak niat mencari solusi.
Data bab dua sulit
dicari? Ya jangan nangis, murung, atau depresi, tapi gali terus di tempat lain
dengan lebih giat. Hubungi dosen yang barangkali bisa membantu memberi
informasi. Hubungi kawan-kawan yang barangkali punya petunjuk. Tetap tidak
ketemu? Ya tetap cari. Hanya itu solusinya.
Kesulitan
menganalisis data? Diskusi sama dosen pembimbing. Sekedar informasi, dosen
pembimbing itu dibayar—setidaknya di kampus tempat saya kuliah, jadi mahasiswa
berhak mendapat bimbingan dosen. Dari pada menghabiskan energi untuk stress
tidak perlu, coba lihat akar masalahnya, dan fokus mencari solusi. Merasa dunia
kiamat akan menutup akar masalah, dan menutup solusi. Padahal akar masalah
kadang sangat jelas, dan solusi bisa diusahakan.
Jadi kita nggak boleh
bersedih? Ya boleh saja, sebenarnya. Asal jangan merasa dunia kiamat lantas
kita kehilangan fokus. Padahal, perasaan dunia kiamat itu fana dan konyol. Tidak
ada yang melarangmu bersedih, bahkan jika kau ingin DO, itu hakmu.
Saat menerima
curhatan dan tangisan mengenai masalah tugas akhir, sering saya menarik nafas
dalam-dalam: mungkin ia akan menangis sia-sia; jika di awal saja ia sudah down,
apalagi pada saat momen-momen penting di akhir. Jadi saya mendapat pelajaran
penting: fokus pada akar masalah dan solusi. Dan atasi masalah dengan penuh
dedikasi. Ketahanan mental untuk fokus inilah yang akan melahirkan dedikasi.
Tiap melihat kawan-kawan yang serius menulis tugas akhir, saya menaruh hormat. Saat ia merasakan ada perubahan dalam dirinya setelah menjalani proses penulisan tugas akhir—perubahan positif—maka saat itulah ia mencapai esensi pembelajaran tugas akhir. Ia membangun kemampuan mental untuk menghadapi 1000 kemungkinan masalah tugas akhir. Oh... barangkali saya berlebihan, mustahil ada 1000 masalah, mungkin hanya 999.