Di Facebook seseorang pernah mengunggah hal menarik tentang bagaimana imam masjid di Turki menghibur anak-anak setelah salat tarawih. Imam tersebut, seperti tampak di foto, mengambil posisi di depan dan anak-anak berbaris di belakang saling menggandeng-memanjang, membentuk barisan seperti gerbong kereta—tetapi dari manusia.
Unggahan itu mendapat
ribuan like, share, dan komentar. Komentar-komentar itu penuh berisi pujian
pada imam, sambil membandingkan dengan para imam di Indonesia yang, karena
tidak seperti imam di Turki, terlabeli “buruk”. Seharusnya imam di negeri ini
meniru imam di Turki, kata mereka.
Sekarang kita tahu:
Orang-orang peka terhadap kebaikan. Sebegitu peka mereka, hingga saat melihat
kebaikan, ribuan komentar langsung menyerbu tanpa ampun. Saya juga menyukai
posting itu. Masalahnya, level saya hanya euforia atas kebaikan tersebut,
sambil tetap enggan menjadi bagian dari kebaikan itu sendiri.
Seharunya, jika saya
serius menyukai kebaikan imam di Turki, menyukai postingan itu pada level yang
lebih riil, saya bisa bersikap ramah pada anak-anak di masjid dan memulai
dengan tindakan kecil: Menebar senyum sebanyak-banyaknya, dan mungkin sesekali
memberi camilan ramah anak. Sederhana. Tetapi bahkan yang sederhana itu saya
enggan melakukan! Saya menyukai kebaikan Sang Imam, sambil enggan menjadi
bagian dari kebaikannya.
Dan, sepertinya, saya
tidak sendirian. Ada ribuan orang, atau bahkan jutaan orang, bersikap seperti
saya. Tampaknya, kami menyukai kebaikan. Hanya menyukai dan tidak melakukannya.
Kami mengira kebaikan hanya menjadi tugas orang lain. Bukan kami. Dengan kata
lain, kami hanya mampu menuding. Lebih dari itu, alih-alih menjadi bagian dari
kebaikan, saya sering menjadi keburukan.
Mari pikirkan
sejenak ilustrasi akurat dari dokter Ryu ini. Saat orang-orang berada dalam
kemacetan, mereka berpandangan bahwa sedang terjebak kemacetan. Nyaris tidak
ada yang mengakui bahwa mereka termasuk pembuat kemacetan tersebut. Atau jika
ada, tidak banyak. Dan begitulah yang saya lakukan di tengah kemacetan. Saya
mengutuki kondisi macet, sambil kadang-kadang jengkel pada kendaraan lain.
Sedangkan pengendara lain berpikiran sama.
Jadi, di antara
sesama pengendara, tidak ada pikiran bahwa masing-masing dari kami
berkontribusi menjadi penyebab macet. Dengan kata lain, tidak ada kesadaran. Izinkan
saya menarik kesimpulan personal: Saat kesadaran kita absen, di situlah hulu chaos.
Untuk konteks macet ini berlaku. Untuk seluruh masalah selain macet ini
juga berlaku. Akhirnya, ketidaksadaran telah melakukan keburukan adalah hal
pelik. Orang bisa terus melakukan keburukan-keburukan karena memang tidak
menyadarinya.
Mungkin sekarang saya
telah menyadari poin di atas ketika berada dalam kemacetan. Tetapi mungkin
masih banyak kondisi lain di mana saya tidak sadar telah menjadi bagian dari
keburukan. Jadi, menertawakan diri melalui perasaan miris terasa wajar: Pada aspek
kebaikan saya enggan berpartisipasi, pada keburukan saya tidak sadar telah
menjadi bagian darinya. Pernahkah anda membayangkan berapa banyak orang seperti
saya? Saya kira jawabannya mudah: Banyak sekali—untuk tidak menyebut angka
gigantis.
Itulah mengapa,
kondisi sosial kita sekarang penuh euforia semu. Apalagi media sosial. Orang
saling berbagai cerita dan berita tentang tokoh A yang telah melakukan
kebaikan. Kita bersyukur ada orang yang masih rela melakukan kebaikan. Tapi,
ya... hanya itu level kebanyakan kita. Tidak ada yang bergerak untuk melakukan
kebaikan serupa.
Contoh Imam Turki di
muka mungkin hanya berlaku untuk “praktisi” rumah ibadah, hingga orang-orang
mengarahkan “tuntutan” hanya kepada para imam masjid. Tetapi sebenarnya pola
demikian juga terjadi untuk konteks masyarakat luas. Misalnya, siapa yang tidak
suka melihat bentuk-bentuk peradaban bagus di Eropa, di mana penjara kosong
dan, jika ada tahanan, mereka sendirilah yang memegang kunci. Nah, siapa yang
tergerak untuk merintis kondisi ideal serupa?
Tidak ada. Masing-masing
orang berpikir bahwa ia tidak bertugas menciptakan ideal tersebut dan berpikir
orang lainlah yang bertanggungjawab. Dan semua orang memiliki pikiran yang
sama. Hasilnya jelas, tidak ada gerakan atau kesadaran memulai dari diri
sendiri. Di berbagai forum, kita mengelu-elukan bentuk ideal yang dicapai
orang-orang lain, di tempat-tempat lain, di waktu-waktu lain, sambil tak
menyadari sebenarnya kita juga bisa melakukan hal baik serupa.
Seluruh siswa di
Indonesia tahu bahwa belajar itu baik, dan berapa yang bergerak untuk rajin
belajar? Seluruh mahasiswa tahu bahwa serius kuliah itu baik, dan berapa yang
tergerak untuk serius kuliah? Saya kira, orang-orang gemar melakukan lempar
batu sembunyi tangan, dengan radius masing-masing.
Karena itu, saudara-saudara, sesungguhnya kesadaran adalah barang mewah yang tak terlihat mata namun jelas mahal harganya. Seluruh ilmu, pendidikan, dan pengetahuan, akan terasa berbuah saat kita sampai pada titik bernama kesadaran. Orang bisa sekolah tinggi-tinggi, tapi tidak memiliki kesadaran. Orang bisa belajar bertahun-tahun, tapi tidak memiliki sistem berpikir untuk sampai pada kesadaran tertinggi yang bisa ia capai.