Minggu, 11 September 2022

Mahal Tapi Tidak Terlihat

Di Facebook seseorang pernah mengunggah hal menarik tentang bagaimana imam masjid di Turki menghibur anak-anak setelah salat tarawih. Imam tersebut, seperti tampak di foto, mengambil posisi di depan dan anak-anak berbaris di belakang saling menggandeng-memanjang, membentuk barisan seperti gerbong kereta—tetapi dari manusia.


Unggahan itu mendapat ribuan like, share, dan komentar. Komentar-komentar itu penuh berisi pujian pada imam, sambil membandingkan dengan para imam di Indonesia yang, karena tidak seperti imam di Turki, terlabeli “buruk”. Seharusnya imam di negeri ini meniru imam di Turki, kata mereka.


Sekarang kita tahu: Orang-orang peka terhadap kebaikan. Sebegitu peka mereka, hingga saat melihat kebaikan, ribuan komentar langsung menyerbu tanpa ampun. Saya juga menyukai posting itu. Masalahnya, level saya hanya euforia atas kebaikan tersebut, sambil tetap enggan menjadi bagian dari kebaikan itu sendiri.


Seharunya, jika saya serius menyukai kebaikan imam di Turki, menyukai postingan itu pada level yang lebih riil, saya bisa bersikap ramah pada anak-anak di masjid dan memulai dengan tindakan kecil: Menebar senyum sebanyak-banyaknya, dan mungkin sesekali memberi camilan ramah anak. Sederhana. Tetapi bahkan yang sederhana itu saya enggan melakukan! Saya menyukai kebaikan Sang Imam, sambil enggan menjadi bagian dari kebaikannya.


Dan, sepertinya, saya tidak sendirian. Ada ribuan orang, atau bahkan jutaan orang, bersikap seperti saya. Tampaknya, kami menyukai kebaikan. Hanya menyukai dan tidak melakukannya. Kami mengira kebaikan hanya menjadi tugas orang lain. Bukan kami. Dengan kata lain, kami hanya mampu menuding. Lebih dari itu, alih-alih menjadi bagian dari kebaikan, saya sering menjadi keburukan.


Mari pikirkan sejenak ilustrasi akurat dari dokter Ryu ini. Saat orang-orang berada dalam kemacetan, mereka berpandangan bahwa sedang terjebak kemacetan. Nyaris tidak ada yang mengakui bahwa mereka termasuk pembuat kemacetan tersebut. Atau jika ada, tidak banyak. Dan begitulah yang saya lakukan di tengah kemacetan. Saya mengutuki kondisi macet, sambil kadang-kadang jengkel pada kendaraan lain. Sedangkan pengendara lain berpikiran sama.


Jadi, di antara sesama pengendara, tidak ada pikiran bahwa masing-masing dari kami berkontribusi menjadi penyebab macet. Dengan kata lain, tidak ada kesadaran. Izinkan saya menarik kesimpulan personal: Saat kesadaran kita absen, di situlah hulu chaos. Untuk konteks macet ini berlaku. Untuk seluruh masalah selain macet ini juga berlaku. Akhirnya, ketidaksadaran telah melakukan keburukan adalah hal pelik. Orang bisa terus melakukan keburukan-keburukan karena memang tidak menyadarinya.


Mungkin sekarang saya telah menyadari poin di atas ketika berada dalam kemacetan. Tetapi mungkin masih banyak kondisi lain di mana saya tidak sadar telah menjadi bagian dari keburukan. Jadi, menertawakan diri melalui perasaan miris terasa wajar: Pada aspek kebaikan saya enggan berpartisipasi, pada keburukan saya tidak sadar telah menjadi bagian darinya. Pernahkah anda membayangkan berapa banyak orang seperti saya? Saya kira jawabannya mudah: Banyak sekali—untuk tidak menyebut angka gigantis.


Itulah mengapa, kondisi sosial kita sekarang penuh euforia semu. Apalagi media sosial. Orang saling berbagai cerita dan berita tentang tokoh A yang telah melakukan kebaikan. Kita bersyukur ada orang yang masih rela melakukan kebaikan. Tapi, ya... hanya itu level kebanyakan kita. Tidak ada yang bergerak untuk melakukan kebaikan serupa.


Contoh Imam Turki di muka mungkin hanya berlaku untuk “praktisi” rumah ibadah, hingga orang-orang mengarahkan “tuntutan” hanya kepada para imam masjid. Tetapi sebenarnya pola demikian juga terjadi untuk konteks masyarakat luas. Misalnya, siapa yang tidak suka melihat bentuk-bentuk peradaban bagus di Eropa, di mana penjara kosong dan, jika ada tahanan, mereka sendirilah yang memegang kunci. Nah, siapa yang tergerak untuk merintis kondisi ideal serupa?


Tidak ada. Masing-masing orang berpikir bahwa ia tidak bertugas menciptakan ideal tersebut dan berpikir orang lainlah yang bertanggungjawab. Dan semua orang memiliki pikiran yang sama. Hasilnya jelas, tidak ada gerakan atau kesadaran memulai dari diri sendiri. Di berbagai forum, kita mengelu-elukan bentuk ideal yang dicapai orang-orang lain, di tempat-tempat lain, di waktu-waktu lain, sambil tak menyadari sebenarnya kita juga bisa melakukan hal baik serupa.


Seluruh siswa di Indonesia tahu bahwa belajar itu baik, dan berapa yang bergerak untuk rajin belajar? Seluruh mahasiswa tahu bahwa serius kuliah itu baik, dan berapa yang tergerak untuk serius kuliah? Saya kira, orang-orang gemar melakukan lempar batu sembunyi tangan, dengan radius masing-masing.


Karena itu, saudara-saudara, sesungguhnya kesadaran adalah barang mewah yang tak terlihat mata namun jelas mahal harganya. Seluruh ilmu, pendidikan, dan pengetahuan, akan terasa berbuah saat kita sampai pada titik bernama kesadaran. Orang bisa sekolah tinggi-tinggi, tapi tidak memiliki kesadaran. Orang bisa belajar bertahun-tahun, tapi tidak memiliki sistem berpikir untuk sampai pada kesadaran tertinggi yang bisa ia capai.