Minggu, 28 Agustus 2022

Festival di Jalanan Utama

12 Agustus kemarin ada famili yang harus diantar ke rumah sakit karena sakit parah. Jalur yang harus saya lewati, kebetulan, sedang ditutup karena acara festival tahunan. Inilah festival pertama setelah dua tahun vakum karena pandemi. “Kita terpaksa lewat jalur lain,” kata paman saya.


Maka kami memutar, melewati jalan aspal yang baru dibangun. Jalan yang bagus, tebal, dan kokoh. Sawah dan bukit mengelilingi jalan itu—praktis memanjakan mata. Kendaraan lain yang seharusnya melewati jalur utama pun memilih jalan pintas tersebut. Masalahnya, jalan itu cukup sempit. Dan terjadilah sesuatu yang harus terjadi saat jalan sempit dipenuhi kendaraan besar: Macet.


Di depan saya ada truk dengan muatan besar. Ia tidak bisa turun dari aspal sebab hanya tersisa sedikit bahu jalan (tanah agak curam). Lagi pula, aspal tersebut cukup tinggi. Jelas, jika truk tersebut turun dari aspal, dengan muatan seberat itu, ia akan terguling. Sedangkan di sisi kiri mobil yang saya bawa, tidak ada sisa jalan kecuali sangat sempit. Saya tidak bisa memaksakan mobil untuk terus berjalan. Truk tersebut juga terdiam dan berhenti. Kami sama-sama menyadari ketidakmungkinan itu.


Satu-satunya solusi adalah saya harus memilih mundur untuk memilih jalan yang agak lebar, lalu membiarkan truk itu melaju melewati saya. tetapi ada masalah lain, di belakang saya sudah berjejer banyak mobil. Maksud saya banyak sekali. Begitupun di belakang truk tersebut. Puluhan mobil sudah berbaris. Para sopir turun dari kendaraan dan, lagi-lagi, menyadari kondisi ruwet itu.


Kami terdiam, sepenuhnya memahami tidak ada pihak yang bisa disalahkan. Awan yang menutupi matahari telah menyingkir dan kami disengat cahaya. Saya memilih masuk mobil dan memikirkan hal tersebut: Sementara famili saya harus merasakan penyakit yang ia derita, siapa yang harus bertanggungjawab atas kondisi ini? apa solusi yang harus saya usahakan?


Sopir truk pengangkut kayu, jelas hanya menjalankan perintah majikan. Ia tidak punya daya menghindari kondisi jalanan utama yang tertutup. Sama seperti seluruh sopir di seluruh dunia, ia tidak mengharap terjebak di kemacetan. Selan si sopir truk, saya hanya orang biasa yang mengantar famili berobat. Saya berniat membantu dan tentu tidak berharap berdiri linglung melihat kendaraan-kendaraan terjebak. Sebagian orang lain hanya ingin pulang ke rumah setelah segala keperluan di luar selesai.


Dan kami berada di sana karena jalanan utama yang ditutup karena perayaan Agustusan. Kami tentu saja tidak bisa serta merta menyalahkan pemerintah setempat atau panitia acara. Bagaimanapun, tradisi tersebut lumrah dijalankan meski menyisakan banyak pertanyaan bagi saya: melihat orang-orang berdandan dilumuri oli, diiringi musik dangdut koplo yang memekakkan telinga, dan melihat orang berkerumun sesak menonton... untuk apa semua ini? Sering saya membayangkan burung-burung di dahan pohon geleng-geleng melihat tingkah manusia.


Tetapi apa boleh buat. Festival tetap festival. Di seluruh dunia selalu ada perayaan semacam itu. Dan omong-omong, saya menghormatinya.


Karena itulah, saya tetap tidak menemukan siapa yang bertanggungjawab atas kondisi macet di tengah jalanan persawahan itu. “Padahal di desa lain,” kata paman, memecah lamunan saya, sementara kalimatnya terhenti entah kenapa. “Padahal di desa lain, festival berlangsung di jalan-jalan kecil. Mereka tidak pernah menutup jalanan utama.”


Saya baru tahu ada desa yang menerapkan aturan itu. Saya kira mereka sangat bijak. Di jalanan umum selalu ada tumpukan hajat orang banyak. Ada perputaran kehidupan yang bisa jadi menyangkut hidup mati mereka. Dengan kata lain, jalanan kita penuh dengan sumber “penghidupan” itu sendiri. berhari-hari selama bulan Agustus, di grup WhatsApp penumpang bis, selalu mondar-mandir informasi penutupan jalan, sehingga membuat bis umum harus melewati jalanan kecil di pedesaan.


Bayangkan, bahkan kendaraan bis umum harus blusukan.


Jadi, mengatasi macet itu, paman saya menghampiri mobil paling belakang, memintanya untuk mundur beberapa meter menepi di jalanan yang cukup menyediakan ruang lebar. Sedangkan di kejauhan, saya sudah melihat mobil lain berdatangan. Segera orang-orang berusaha memberi tanda pada mereka untuk berhenti dan menepi. Dan begitulah, barisan kami menepi untuk memberi jalan pada truk penuh muatan. Jika solusi ini hanya saya tulis dalam satu paragraf, percayalah, cukup pelik ketika kejadian berlangsung.


Tidak semua sopir mau mengalah dan mundur dan menepi. “Kenapa harus saya yang mundur,” kata mereka. Sial.


Singkat cerita, setelah susah payah mencari posisi menepi, saya berhasil keluar dari macet. Di kejauhan, saya kembali melihat kendaraan di belakang: Mereka terkunci! Well, sepertinya seharian itu adalah petaka bagi pengguna jalan di jalur tersebut... karena sebuah festival.


Akhirnya, setelah urusan di rumah sakit selesai, saya bisa pulang melewati jalanan utama. Saya melewati jalur di mana siang tadi jalur itu digunakan acara festival. Dan sampah berserakan sepanjang jalan, berkilo-kilo meter. Well, sebuah festival yang benar-benar berguna bagi bangsa dan negara.