Pagi itu Ibuk masuk kamar untuk memberi kelapa sekaligus alat parut, “Mbak iparmu lagi sakit, bantu masak, ya.” Saya mengambil kelapa dan mulai memarut, sambil menikmati pikiran terbang kemana-mana.
Saya membayangkan si
kelapa ini sebelum tiba di meja makan nanti. Mula-mula ada orang yang memanjat
pohon kelapa, dengan risiko nyawa, jika jatuh dari ketinggian. Lalu kelapa
dijual ke tengkulak sayur, menuju pasar atau toko. Para penjual mengupas kulit
berlapis serat dan tempurung. Jika meleset mengayunkan pengupas, minimal akan
ada sayatan di tangan.
Kelapa siap jual,
berpindah dari tangan penjual ke tangan pembeli dengan pertukaran uang. Pembeli
membawa pulang, lalu mulai memarut. Biasanya manual, seperti yang saya lakukan
pagi itu. Setelah berubah menjadi bulir-bulir kecil, kelapa diperas dan hanya
diambil air pati. Ampasnya dibuang karena dianggap tidak berguna. Kita tahu,
dari proses inilah kemudian kita mengenal celoteh “habis pati, ampas dibuang.”
Dari seluruh bagian
keluarga kelapa, bulir ampas mungkin yang sering bernasib buruk, kecuali jika
ia dimasak jadi botok. Sementara daun kelapa, dahan, pohon, kulit... semua
difungsikan dengan sempurna. Kulit dan tempurung kelapa minimal bisa dibakar di
tungku. Ampas tidak dibakar karena basah. Ia dibuang begitu saja.
Sebagian orang
bernasib seperti ampas. Tapi mari kembali ke pokok utama. Masakan.
Setelah pati diambil,
ia disiapkan untuk dicampur dengan aneka sayur. Ia dipanaskan, diberi bumbu,
ditunggu hingga mendidih, dicicipi rasanya, sebelum akhirnya berakhir di meja
makan. Betapa panjang seluruh perjalanan sayur kuah santan. Melibatkan pemanjat
yang bertaruh nyawa, atau patah tulang, lalu melibatkan penjual-pembeli,
berlanjut ke dapur, dan meja makan.
Nah, sebenarnya hal
itu tidak hanya terjadi pada masakan santan. Coba anda lihat di meja makan.
Apakah di sana ada sambal? Olahan ini tidak kalah dramatis untuk mencapai meja
kita. ada bibit cabai dan tomat yang harus ditanam dan petani yang harus
panas-panasan. Ada ibu pergi ke pasar atau toko di hari petang. Lalu proses ngulek
dengan komposisi terasi, gula, garam, yang diperhitungkan.
Rentetan satu menu
saja sudah sedemikian panjang. Dan jangan pernah mengira hal-hal di atas mudah
dilakukan. Ibu-ibu mungkin tidak mengeluh karena memang tidak memiliki sarana
mengeluh. Jika ia punya Twitter dan tahu cara memanfaatkannya, maka keluhan
demi keluhan akan muncul.
Sekali lagi, coba
kita perhatikan menu masakah di meja makan. Ia tidak pernah sederhana. Terlepas
dari kerja-kerja tangan ibu, ada tangan bapak yang tak kasat mata. Ialah tulang
ekonomi yang menentukan seberapa “berkualitas” menu di meja. Kita tak pernah tahu,
apa yang dipikirkan seorang ayah ketika mengalami kesulitan mencari pundi-pundi
rupiah demi makana di meja makan itu—yang kadang karena terlalu sederhana
membuat kita tak berselera menyantapnya.
Kita juga tak pernah
tahu, apa yang dipikirkan seorang ayah ketika ia harus berhutang demi memutar
nyawa seluruh keluarganya. Sebagian ayah tidak memiliki media sosial, dan
mereka membuat hiburan dengan hal-hal sederhana dengan bapak-bapak lain,
seperti main gaplek.
Proses memarut kelapa itu mengantarkan saya pada banyak hal yang barangkali luput dari pikiran saya selama ini. Betapa makanan di meja itu harus saya hargai sedemikian rupa. Jika ada orang-orang yang harus menerima penghargaan atas perputaran banyak hal di meja kita, sungguh kita tak pernah bisa mengurai seberapa banyak para penerima penghargaan itu. Tetapi kita bisa melakukan hal-hal sederhana untuk mengapresiasi semuanya: Makan dengan gembira dan habiskan.