Jumat, 30 September 2022

Merasa Tua, Hidup Saja Belum

 Anak-anak desa kebanyakan tumbuh di lingkungan yang memelihara keyakinan bahwa  pernikahan adalah gerbang untuk berhenti belajar. Penyebabnya satu: Saat menikah, pak suami sibuk bekerja, bu istri, juga bekerja—dalam berbagai konteks dan pengertiannya. Kesibukan kerja itu pada akhirnya menguras energi mereka di malam hari. Boro-boro belajar yang butuh proses pelik itu, sempat ngaji rutin saja sudah bagus—bagi keluarga religius.


Nah, saya juga tumbuh di lingkungan seperti itu. Para orang tua itu memberi “doktrin” untuk rajin belajar selagi masih lajang, sebab ketika menikah, pasti tidak akan sempat belajar. Kita tahu, manusia terkurung oleh cangkang kehidupannya masing-masing.


Pemahaman masyarakat desa seperti di atas tumbuh karena beberapa hal. Pertama, mereka memaknai kerja sebagai olah otot, sehingga rodi kerja dari pagi hingga sore sudah cukup untuk membuat kasur sebagai tempat terindah saat pulang kerja. Bukan tempat lain. Kedua, karena mereka hidup dalam kultur desa yang serba lambat mengejar laju peradaban, mereka merasa tidak butuh untuk up-date diri. Wong kehidupan mereka tidak menuntut apa-apa. Cukup kerja di sawah.


Mereka tidak memiliki ambisi. Bagi mereka ambisi dan cita-cita itu tindakan mubazir.


Adapun beberapa orang tentu masih memiliki tujuan hidup yang luas. Tetapi orang-orang ini hanya bersifat perkecualian. Sebuah hukum apapun di dunia ini tidak bersandar pada perkecualian semacam ini. Jadi bisa saya simpulkan, masyarakat desa dari masa kecil saya, hingga sekarang, relatif mempertahankan pandangan di atas.


Sambil menulis catatan ini, saya mensyukuri satu hal: Saya sempat belajar di kampus. Di ibu kota provinsi pula. Dari ibu kota ini, saya menyerap banyak hal, tetapi yang paling relevan untuk pembanding adalah kehidupan kota serba cepat. Manusia-manusia di ibu kota berkejaran dengan kehidupan seolah satu hari belum cukup memenuhi kebutuhan waktu mereka. Kebutuhan mencari uang mereka.


Pada kondisi serba kilat tersebut, banyak masyarakat urban yang relatif “tua” (usia 35 tahun ke atas) masih memelihara pandangan bahwa mereka masih bisa belajar. Tiap ada lowongan pekerjaan, orang-orang berlomba melamar betapapun mereka tidak menjadi kualifikasi. Yang penting kerja, pikir mereka. Adapun skill bisa menyusul nanti.


Di lingkungan “terpelajar”, seperti lingkungan sekolah, pesantren, kampus, orang-orang tua masih antusias mengejar kehidupan. Sehingga di sela-sela kesibukan, mereka masih berpikir untuk melatih skill baru. Bahasa, IT, bicara publik, dan sebagainya. Saya hidup di kultur ini. Sesungguhnya belajar tidak mengenal batasan usia. Tetapi mengapa ada manusia yang berpikir sebaliknya? Seperti orang-orang desa?


Well, kompleks. Tetapi faktor penting dari semua ini adalah lingkungan hidup, dan kondisi rekening. Bayangkan, para petani dan buruh di desa, bergaul satu sama lain, berbagi pandangan hidup serba pasrah: Kondisi mereka sudah diatur oleh sang Maha Perancang. Alih-alih mengejar dan membuat ambisi, mereka berbagi pandangan bahwa bersyukur adalah jalan terbaik.


Dan jangan lupa, kondisi kehidupan mereka, seringkali, sudah dihimpit kondisi ekonomi yang serba tipis. Untuk apa belajar jika mereka dari pagi hingga petang, dari bangun tidur hingga tidur lagi, dibayangi oleh catatan hutang, dibayangi oleh berbagai kebutuhan primer yang tak terbeli.


Saya bayangkan, pikiran mereka penuh dilema antara bersyukur dan tidak tahu harus berbuat apa. Anda tahu, kehidupan dulu sangat ramah pada semua orang, asal mereka mau berburu, atau di abad pertengahan, asal mereka menanam banyak buah—di saat tak ada tuan tanah. Kehidupan sekarang penuh konstruksi, penuh aturan, yang mengikat mereka untuk bekerja, membangun skill, dan berebut kue kehidupan.


Mengapa kondisi ini terjadi: Jumlah manusia meledak gila-gilaan.


Nostalgia purba tidak memiliki guna. Sekarang manusia dihadapkan pada dunia serba padat, serba kilat, yang mengharuskan belajar sebagai jalan mutlak. Kabar baiknya, hanya soal pola pikir untuk memahami bahwa belajar itu tidak terbatas usia. Apa boleh buat, suka tak suka, kita perlu belajar—dalam arti seluas-luasnya.


Saya melihat guru-guru yang telah memutih rambutnya, tertatih cara berjalannya, memudar daya pandangnya, tetapi masih menekuni dan mempelajari hal-hal baru. Wah, inilah orang-orang semangat, kata saya. untunglah saya sering melihat pemandangan seperti ini. Jika saya tak pernah pergi jauh, tak peduli telah ada media sosial atau tidak, barangkali saya tetap menua dengan habit klise, lalu menyebarkan keyakinan belajar saat tua itu tidak mungkin.


Sekarang, syukurlah. Saya masih bisa belajar. Meski malasnya minta ampun.


Andaikan, saya versi lain itu benar-benar terjadi, betapa lucu. Ia merasa tua, tetapi tak pernah melihat kehidupan yang luas. Ia merasa tua, padahal hidup saja belum.

 

Catatan kaki:


*Kalimat terakhir saya adaptasi dari novel karya Rusdi Mathari, Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya.


*Tulisan terasa tak jelas. Ditulis sekali duduk antara salat Maghrib dan Isyak. Terasa kurang padu juga? Saya setuju. Tetapi semoga masih bisa dinikmati.