Kadang saya
merasa memiliki tingkah menyedihkan, yakni—pada banyak kesempatan—gemas dan rajin cek
pesan-pesan di ponsel. Meski saya tidak menerima ratusan pesan tiap hari,
hingga harus membuat pengumuman di story bahwa pesan kawan-kawan pasti akan
saya balas satu persatu, pesan-pesan itu seperti mengiba untuk saya balas.
Pasalnya, banyak pesan tersebut bertema masalah skripsi mereka.
Saya merasa
paradoksial, di satu sisi saya ingin melakukan aktivitas yang lebih produktif,
sedang di sisi lain merasa terlalu sombong untuk mengabaikan pesan yang, bagi
si pengirim, termasuk pesan penting.
Saya pikir,
menerima pesan soal skripsi hanya akan saya terima selama teman-teman angkatan
masih dalam proses menulis skripsi. Artinya, besar kemungkinan setelah mereka
lulus, tidak akan ada chat tentang diskusi skripsi. Karena itu, dalam bongkahan
kepala saya tertanam dorongan untuk meladeni chat-chat mereka.
Setidaknya, blog
ini sudah memuat dua catatan mengenai chat di ponsel saya: Curhat Proposal dan
Egois Membalas Pesan. Catatan lain yang masih terkait WA: Kalimat-kalimat Lucu di Story WhatsApp. Sekarang saya merasa kembali perlu menulis sedikit curahatan
soal pesan diskusi skripsi. Selain untuk mengeluarkan bagian dari pikiran,
siapa tahu beberapa kawan kebetulan membaca dan mendapat satu atau beberapa hal
terkait pesan-pesan mereka.
Sebagaimana
tertulis di bagian awal, meski ponsel saya tidak dipenuhi ratusan chat,
beberapa pesan kadang menyerbu bersamaan, dan membuat saya kebingungan membalas
pesan-pesan itu, baik karena sedang sibuk urusan lain, maupun karena otak saya
sedang sampai pada titik lejar. Dalam kondisi demikian, saya sangat-sangat berharap pesan diskusi
langsung mengarah pada sasaran, to the point.
Tapi sebagian
mereka mengirim dengan pembukaan yang bertele-tele, dan membuang banyak waktu
mereka sendiri. Misal, kadang mereka memulai chat dengan memanggil nama saya,
“Cuk”, “Dab”, “Pal”, dan semacamnya. Saya sungguh heran, maksud saya sungguh
heran, kenapa merek tidak langsung to the point saja? Apa salahnya to the point,
dengan langsung mengutarakan maksud pada kiriman pesan pertama?
Apa to the point mengirim chat menurunkan harkat dan martabat kita sebagai manusia?
Oh, kenapa saya
seperti begitu sensitif? Setidaknya ada dua alasan. Pertama, jika mereka to the
point, itu jauh akan menghemat waktu mereka dan kemungkinan mendapat jawaban akan lebih cepat, baik jawaban bahwa saya punya data yang mereka cari, maupun
tidak. Kedua, jika mereka to the point, mereka tidak menguras
stok sabar saya.
Dalam banyak
kesempatan, saya memiliki urusan untuk perjalanan jauh, dan biasanya saya
mengemudi sendiri tanpa diganti, karena saya seorang sopir. Katakanlah, saya
menempuh perjalanan sejauh 150 KM. Dan pada saat-saat mengemudi, saya menerima
pesan yang tidak to the point: “Pal”, “Pal”, “Pal”. Lalu saya membuka pesan
bertele-tele itu ketika istirahat di tengah perjalanan. Dan saya balas, “Ya?”.
Lalu saya melanjutkan perjalanan, lalu pesan yang to the point baru diutarakan,
“Bagaimana urutan konten bab empat-ku, ya?”
Jika si
pengirim tadi berkenan untuk to the point sejak awal, ketika istirahat tadi
mungkin ia sudah mendapat jawaban. Karena tidak to the point, ia harus menunggu
lama lagi hingga saya sampai pada tempat tujuan. Jika capek, saya biasanya
langsung istirahat, dan si pengirim baru mendapat balasan setelah saya bangun
dari tidur.
Buang-buang
waktu. Tidak efisien. Ribet.
Bahkan ketika
saya tidak dalam perjalanan pun, pesan to the point akan sangat efisien, karena
kadang saya memiliki kesibukan mengerjakan deadline tertentu. Anda tahu,
dikepung kesibukan dan harus menerima pesan bertele-tele sungguh menggemaskan.
Sampai di sini, saya harap point yang saya maksud benar-benar tersampaikan: saya
hanya ingin pengirim pesan mendapat jawaban dengan efisien, tidak buang-buang
waktu. Dia mendapat kejelasan. Saya dapat membalas chat yang lain.
Doa saya di
pagi hari—oh, saya juga masih tidak lupa pada ritual berdoa—adalah harapan
untuk mendapat chat to the point dan semoga pengirim chat to the point masuk
surga, jika ia berharap demikian. Ketika mendapat chat bertele-tele,
kemungkinan saya lewati untuk membalas, saya meladeni yang to the point.
Meladeni chat
yang to the point juga adalah persoalan lain, beberapa pesan di antaranya
membutuhkan diskusi yang panjang, karena sering saya harus bertanya maksud
pengirim pesan dengan detail, agar tidak salah paham; kadang saya harus
menjelaskan satu konsep panjang lebar. Intinya, membutuhkan banyak waktu.
karena itu, jika pembukaan saja harus dimulai dengan bertele-tele, kadang saya
kehilangan selera meladeni.
Tidak jarang,
saya menerima pesan suara yang ketika diputar membuat saya kaget: suara di
seberang dibuka dengan tangisan. Sekali lagi, tidak jarang. Mula-mula saya
sedikit kikuk dan keheranan. Lambat laun saya mulai terbiasa dengan chat
semacam itu, baik tentang skripsi atau curhat diputusin pacar. Beberapa kawan
menelpon saat baru putus dengan pacarnya, dan saya mendengarkan ia menangis
histeris penuh energi yang siap digunakan meluluhlantahkan peradaban.
Sungguh saya
tidak pernah keberatan menerima chat seperti apapun, asal to the point. kecuali
jika memang si pengirim hanya niat menyapa atau bercanda atau ngeprank, dengan
chat bertele-tele, tidak masalah, sudah beda konteks. Dan saya tidak pernah
mempermasalahkan ada chat-chat “lucu” semacam itu.
Ketika sudah
lelah duduk menatap laptop, dengan berpikir cukup serius, dan di tengah chat
diskusi, pesan receh benar-benar menjadi oase. Saya bersyukur masih ada
pesan-pesan konyol. Seorang kawan pernah menulis, “Pal, kau jangan sampai lupa
menunaikan ibadah kentut.”
Harus saya
akui, bahwa sebenarnya saya tidak memiliki kemampuan mumpuni untuk bisa
dianggap pantas meladeni chat kawan-kawan. Saya pikir mereka memiliki penilaian
yang keliru terhadap isi kepala saya. Namun terlepas dari kebodohan diri
sendiri, saya memang menyediakan diri untuk membantu persoalan kawan-kawan
tentang penelitian mereka. Sekali lagi, bukan dalam rangka saya mampu, saya
hanya membantu kawan-kawan dengan sedikit kemampuan yang ada. Saya menyayangi
mereka.
Menulis seringkali
bukan hal yang mudah. Di sekolah, bahkan di kampus, kita tidak diajarkan
bagaimana menyusun kerangka logika yang benar; bagaimana membangun argumen yang
kuat; dan bagaimana memilih diksi memikat. Dan skripsi menuntut kita menulis
dan kita pun mulai menyadari bahwa tidak cakap dalam menulis dan mulai
kehilangan semangat untuk menulis. Setidaknya beberapa kasus yang saya temui
demikian adanya.
Karena itu,
seringkali saya menerima chat yang intinya menanyakan biaya beli skripsi pada
saya. Biasanya saya membalas dengan sedikit lucu-lucuan: “Tarif saya mahal,
tuan, sekitar 50 juta. Semoga nominal itu membuat anda terkejut. Tapi ada yang
gratis, silakan menulis sendiri dan saya akan menyediakan diri untuk anda
ganggu, anda wawancarai, tentang apa-apa yang berkaitan dengan penelitian anda.”
Sekali dalam
seumur hidup, saya pikir tidak ada salahnya kita memilih untuk berusaha menulis
skripsi dengan baik dan benar. Sekali dalam seumur hidup, saya pikir tidak ada
salahnya kita memiliki kesan tentang tugas akhir perkuliahan kita. Karena itu,
dari pada menulis pesanan kawan, saya lebih suka menemani mereka belajar,
semampu saya, sebisa saya.
Catatan gerutuan
ini sudah terlalu panjang dan barangkali tidak enak dibaca. Saya tutup saja
dengan kalimat, “Terpujilah mereka yang bersedia menulis tugas akhir dan terpujilah
mereka para pengirim pesan to the point”.