Senin, 20 Juli 2020

Terpujilah Pengirim Chat To The Point


Kadang saya merasa memiliki tingkah menyedihkan, yakni—pada banyak kesempatan—gemas dan rajin cek pesan-pesan di ponsel. Meski saya tidak menerima ratusan pesan tiap hari, hingga harus membuat pengumuman di story bahwa pesan kawan-kawan pasti akan saya balas satu persatu, pesan-pesan itu seperti mengiba untuk saya balas. Pasalnya, banyak pesan tersebut bertema masalah skripsi mereka.

Saya merasa paradoksial, di satu sisi saya ingin melakukan aktivitas yang lebih produktif, sedang di sisi lain merasa terlalu sombong untuk mengabaikan pesan yang, bagi si pengirim, termasuk pesan penting.

Saya pikir, menerima pesan soal skripsi hanya akan saya terima selama teman-teman angkatan masih dalam proses menulis skripsi. Artinya, besar kemungkinan setelah mereka lulus, tidak akan ada chat tentang diskusi skripsi. Karena itu, dalam bongkahan kepala saya tertanam dorongan untuk meladeni chat-chat mereka.

Setidaknya, blog ini sudah memuat dua catatan mengenai chat di ponsel saya: Curhat Proposal dan Egois Membalas Pesan. Catatan lain yang masih terkait WA: Kalimat-kalimat Lucu di Story WhatsApp. Sekarang saya merasa kembali perlu menulis sedikit curahatan soal pesan diskusi skripsi. Selain untuk mengeluarkan bagian dari pikiran, siapa tahu beberapa kawan kebetulan membaca dan mendapat satu atau beberapa hal terkait pesan-pesan mereka.  

Sebagaimana tertulis di bagian awal, meski ponsel saya tidak dipenuhi ratusan chat, beberapa pesan kadang menyerbu bersamaan, dan membuat saya kebingungan membalas pesan-pesan itu, baik karena sedang sibuk urusan lain, maupun karena otak saya sedang sampai pada titik lejar. Dalam kondisi demikian, saya sangat-sangat berharap pesan diskusi langsung mengarah pada sasaran, to the point.

Tapi sebagian mereka mengirim dengan pembukaan yang bertele-tele, dan membuang banyak waktu mereka sendiri. Misal, kadang mereka memulai chat dengan memanggil nama saya, “Cuk”, “Dab”, “Pal”, dan semacamnya. Saya sungguh heran, maksud saya sungguh heran, kenapa merek tidak langsung to the point saja? Apa salahnya to the point, dengan langsung mengutarakan maksud pada kiriman pesan pertama?

Apa to the point mengirim chat menurunkan harkat dan martabat kita sebagai manusia?

Oh, kenapa saya seperti begitu sensitif? Setidaknya ada dua alasan. Pertama, jika mereka to the point, itu jauh akan menghemat waktu mereka dan kemungkinan mendapat jawaban akan lebih cepat, baik jawaban bahwa saya punya data yang mereka cari, maupun tidak. Kedua, jika mereka to the point, mereka tidak menguras stok sabar saya. 

Dalam banyak kesempatan, saya memiliki urusan untuk perjalanan jauh, dan biasanya saya mengemudi sendiri tanpa diganti, karena saya seorang sopir. Katakanlah, saya menempuh perjalanan sejauh 150 KM. Dan pada saat-saat mengemudi, saya menerima pesan yang tidak to the point: “Pal”, “Pal”, “Pal”. Lalu saya membuka pesan bertele-tele itu ketika istirahat di tengah perjalanan. Dan saya balas, “Ya?”. Lalu saya melanjutkan perjalanan, lalu pesan yang to the point baru diutarakan, “Bagaimana urutan konten bab empat-ku, ya?”

Jika si pengirim tadi berkenan untuk to the point sejak awal, ketika istirahat tadi mungkin ia sudah mendapat jawaban. Karena tidak to the point, ia harus menunggu lama lagi hingga saya sampai pada tempat tujuan. Jika capek, saya biasanya langsung istirahat, dan si pengirim baru mendapat balasan setelah saya bangun dari tidur.

Buang-buang waktu. Tidak efisien. Ribet.

Bahkan ketika saya tidak dalam perjalanan pun, pesan to the point akan sangat efisien, karena kadang saya memiliki kesibukan mengerjakan deadline tertentu. Anda tahu, dikepung kesibukan dan harus menerima pesan bertele-tele sungguh menggemaskan. Sampai di sini, saya harap point yang saya maksud benar-benar tersampaikan: saya hanya ingin pengirim pesan mendapat jawaban dengan efisien, tidak buang-buang waktu. Dia mendapat kejelasan. Saya dapat membalas chat yang lain.

Doa saya di pagi hari—oh, saya juga masih tidak lupa pada ritual berdoa—adalah harapan untuk mendapat chat to the point dan semoga pengirim chat to the point masuk surga, jika ia berharap demikian. Ketika mendapat chat bertele-tele, kemungkinan saya lewati untuk membalas, saya meladeni yang to the point.

Meladeni chat yang to the point juga adalah persoalan lain, beberapa pesan di antaranya membutuhkan diskusi yang panjang, karena sering saya harus bertanya maksud pengirim pesan dengan detail, agar tidak salah paham; kadang saya harus menjelaskan satu konsep panjang lebar. Intinya, membutuhkan banyak waktu. karena itu, jika pembukaan saja harus dimulai dengan bertele-tele, kadang saya kehilangan selera meladeni.

Tidak jarang, saya menerima pesan suara yang ketika diputar membuat saya kaget: suara di seberang dibuka dengan tangisan. Sekali lagi, tidak jarang. Mula-mula saya sedikit kikuk dan keheranan. Lambat laun saya mulai terbiasa dengan chat semacam itu, baik tentang skripsi atau curhat diputusin pacar. Beberapa kawan menelpon saat baru putus dengan pacarnya, dan saya mendengarkan ia menangis histeris penuh energi yang siap digunakan meluluhlantahkan peradaban.

Sungguh saya tidak pernah keberatan menerima chat seperti apapun, asal to the point. kecuali jika memang si pengirim hanya niat menyapa atau bercanda atau ngeprank, dengan chat bertele-tele, tidak masalah, sudah beda konteks. Dan saya tidak pernah mempermasalahkan ada chat-chat “lucu” semacam itu.

Ketika sudah lelah duduk menatap laptop, dengan berpikir cukup serius, dan di tengah chat diskusi, pesan receh benar-benar menjadi oase. Saya bersyukur masih ada pesan-pesan konyol. Seorang kawan pernah menulis, “Pal, kau jangan sampai lupa menunaikan ibadah kentut.”

Harus saya akui, bahwa sebenarnya saya tidak memiliki kemampuan mumpuni untuk bisa dianggap pantas meladeni chat kawan-kawan. Saya pikir mereka memiliki penilaian yang keliru terhadap isi kepala saya. Namun terlepas dari kebodohan diri sendiri, saya memang menyediakan diri untuk membantu persoalan kawan-kawan tentang penelitian mereka. Sekali lagi, bukan dalam rangka saya mampu, saya hanya membantu kawan-kawan dengan sedikit kemampuan yang ada. Saya menyayangi mereka.

Menulis seringkali bukan hal yang mudah. Di sekolah, bahkan di kampus, kita tidak diajarkan bagaimana menyusun kerangka logika yang benar; bagaimana membangun argumen yang kuat; dan bagaimana memilih diksi memikat. Dan skripsi menuntut kita menulis dan kita pun mulai menyadari bahwa tidak cakap dalam menulis dan mulai kehilangan semangat untuk menulis. Setidaknya beberapa kasus yang saya temui demikian adanya.

Karena itu, seringkali saya menerima chat yang intinya menanyakan biaya beli skripsi pada saya. Biasanya saya membalas dengan sedikit lucu-lucuan: “Tarif saya mahal, tuan, sekitar 50 juta. Semoga nominal itu membuat anda terkejut. Tapi ada yang gratis, silakan menulis sendiri dan saya akan menyediakan diri untuk anda ganggu, anda wawancarai, tentang apa-apa yang berkaitan dengan penelitian anda.”

Sekali dalam seumur hidup, saya pikir tidak ada salahnya kita memilih untuk berusaha menulis skripsi dengan baik dan benar. Sekali dalam seumur hidup, saya pikir tidak ada salahnya kita memiliki kesan tentang tugas akhir perkuliahan kita. Karena itu, dari pada menulis pesanan kawan, saya lebih suka menemani mereka belajar, semampu saya, sebisa saya.

Catatan gerutuan ini sudah terlalu panjang dan barangkali tidak enak dibaca. Saya tutup saja dengan kalimat, “Terpujilah mereka yang bersedia menulis tugas akhir dan terpujilah mereka para pengirim pesan to the point”.