"Beberapa orang pergi ke pendeta, yang lain melampiaskan dengan puisi, tapi aku pergi ke sahabatku."
Virginia Woolf
Kesadaran otak saya kian terkumpul, sesaat setelah
bangkit dari tidur. Kamar masing remang-remang. Tubuh sedikit loyo, tapi tangan
sudah sigap bertindak hal lumrah bagi manusia abad 21: mencari posel pintar. Mata
segera melihat benda persegi bersinar, seolah sinar dari Firdaus: melegakan.
Ada ribuan pesan di WhatsApp, umumnya dari grup,
mungkin tentang basa-basi yang mencerdaskan umat manusia atau humor menyegarkan.
Skip. Saya memilih pesan dari kawan. Ada cukup banyak. Saya takjub. Dua bulan
lalu, ponsel ini hening dari pesan, tepatnya saat liburan. Liburan kampus
berarti istirahat mendapat banyak pesan dari kawan. Hingga kadang membuat saya
merindukan mereka. Tapi ini bukan musim liburan (musim duren?).
O, tertidur
lebih awal ternyata membuat pesan kian menumpuk. Umumnya tentang tugas kuliah. Maklum,
sekarang sudah menginjak usia semester tua. Padahal rasanya baru kemarin saya
mengenal mereka. Pesan itu rata tentang proposal penelitian. Kawan-kawan sudah
berbaik sangka bahwa saya bisa memberi solusi perihal judul yang mereka usung. Saya
berdoa semoga tidak menyesatkan mereka.
Pesan pertama berupa voice notes, saya tekan ikon putar, di
kejauhan terdengar suara cewek, “Cak, saya kok kepingin bahas tentang HAM di
Indonesia, ya. Tapi saya bingung mau nyangkutin sama ayatnya gimana.” Saya meladeni
dia dengan santai, di ujung diskusi, dia memilih banting kemudi. Sayyid Qutb,
yang menurutnya menjadi biang kerok radikalisme di Indonesia lebih aduhai
diteliti. “Iya. Monggo.” Jawab saya, setelah sebelumnya dia bermaksud meminjam
buku tentang Sayyid Qutb. Mbak, silakan berdoa untuk beliau, ya.
Berikutnya tentang penyembuhan trauma. Yeah, ini
penelitian yang jika digarap serius, akan saya gunakan untuk menyembuhkan
setumpuk trauma. Khususnya trauma sakit diselingkuhi. Haha. Akan lebih baik lagi
jika ada mengambil judul penyembuhan dompet kosong, penyembuhan fanatisme
cebong dan kampret, penyembuhan batuk, meriang, pilek, sakit kepala. Akhirnya Oskadon tak laku lagi.
Segera saya beralih pada pesan lain, tertulis kurang
lebih begini, “Ka’, saya kok kepingin bahas manusia yang bisa masuk surga, ya. Gimana
menurut sampean, ada saran?” Uhm, saya ingin menjawab kenapa tidak tentang manusia
yang masuk neraka saja? Mungkin partai setan bisa diteliti, apakah juga akan
mendarat di neraka tergelap Dante Alighieri. Tapi itu jawaban tak baik. Saya ganti: “Bisa, kurang lebih judulnya 'Konsep Eksklusifitas Jalan Keselamatan Dalam
Alquran'.” kawan cewek ini tanya apakah boleh chat lagi jika ada kesulitan. Yeah,
tentu. Apalagi jika dia menghadiahkan sebungkus es krim.
Pesan keempat dari seorang kawan cowok, ia banyak sekali
bertanya tentang living Alquran, genre baru. Kepadanya, saya tak punya solusi
lebih baik ketimbang menyarankan membaca Peter L. Berger, bocah filsuf ini
punya pandangan bahwa kenyataan dibangun secara sosial, tidak tiba-tiba muncul. Karenanya, segala gejala sosial bisa dicari akar dan ihwal proses terbentuknya.
Hal tersebut juga saya kemukakan pada tiga kawan yang lain. Tak lupa, Max Weber juga saya sebut.
Pesan mereka saya ladeni sambil lalu. Kegiatan masih
banyak. Pesan yang belum dibuka masih menunggu. Pesan yang telah dibalas masih
menuntut diskusi.
Selanjutnya tentang Khomeini. Kawan ini sudah
menyebut nama Thabatabha’i sebelumnya, saat duduk di sebuah acara. Saya katakan
Khomeini mungkin lebih menarik, jika ia menulis tafsir. Semua orang Iran tahu
namanya. Pagi hari ia mengabarkan bahwa mendapati data tentang tafsir Khomeini. “Banyak unsur tasawufnya,”
begitu ia bilang. O.. saya menyarankan sebuah adaptasi judul penelitian. Sepertinya
ia setuju, “Makasih banyak, Cak.” Tutupnya. Dia pembelajar yang baik.
Segera saya berdoa untuk tidak masuk dalam kriteria
orang bodoh menurut Imam Khomeini, ia pernah menyampaikan bahwa orang-orang
bodoh adalah rombongan pertama yang masuk neraka karena beberapa alasan. Saya tahu
empat hal dari As Laksana. Pertama, orang bodoh bisa menyakiti orang lain tanpa
menyadari efek dari perbuatannya. Kedua, ketika berbuat salah, ia tidak tahu di
mana letak kesalahannya. Ketiga, jika diberi saran yang baik, ia akan
membantah. Keempat, orang bodoh mudah dikendalikan untuk membuat kerusakan.
Semoga yang kelima tidak berbunyi: orang yang ngawur
ngasih saran tentang proposal.
Sudah selesai? Belum! Masih ada pesan yang lain. Andai
satu pesan dibalas satu bakso, saya akan punya stok makanan yang mungkin cukup hingga
tiga hari. Tapi tak masalah, saya senang jika masalah mereka selesai. Syukur jika
semua membawa kabar baik bahwa ia mendapat nilai A. Satu kawan saya memberi
kabar itu semester lalu. Kawan yang lain, juga di semester lalu, berkabar dapat
nilai B+, sebelumnya, sebungkus bakso dan anggur ia bawakan ke kamar saya
langsung. “Suwun, Cak. Benar-benar terbantu, saya jarang masuk gara-gara banyak
event. Haha.”
Saya tak punya jawaban lain: terima kasih juga, untuk
bakso, anggur, roti, bonus traktir makan, minum, dan tiket seminar, dan
lainnya, dan sebagainya. Kau benar-benar baik sekali. Pernah terbayang, jika
melakukan hal yang lebih besar lagi untuknya, saya khawatir akan mendapatkan
tv, kulkas, kompor, uang tunai dan seperangkat alat salat.
Satu kawan, ketika bertemu langsung, bertanya di buku
mana ia bisa mendapat banyak masalah yang bisa jadi judul. Kau tahu, di
semester akhir adalah tanda ketika seorang harus mencari masalah! Bahkan mentor
saya bilang, temukan masalah, baru kau bisa meneliti dengan baik. Yeah, jadi
temukan masalah. Pada kawan saya itu saya jawab tiga judul buku karya Prof Mun’im
Sirry. Sebenarnya ingin juga menyebut nama Tere Liye. Tapi saya belum pernah
baca bukunya. Menurut kabar dari kawan, buku Tere Liye menginspirasi. Ya, siapa
tahu bisa jadi sumber inspirasi masalah.
Saya suka seorang kawan yang mau membolak-balik lembar
buku untuk mencari judul penelitian. Harapan saya mereka tidak ketiduran saat
membaca, seperti kebiasaan saya. Saking seringnya, saya sedikit beriman bahwa salah satu fungsi buku adalah obat untuk tak bisa tidur. Karenanya, orang insomnia mungkin perlu mencobanya. Untuk kawan saya itu, semoga memiliki semangat membaca yang prima. dan
menularkannya pada kawan sekitar, termasuk saya.
Akhirnya, ada pertanyaan yang cukup sulit di jawab: “Cak,
minta judul, dong.” Kepada mereka biasanya saya spontan menjawab: “Pengaruh
Sambal Seblak Terhadap Kecerdasan Mahasiswa .... (nama prodi dan kampus). Tentu
saja itu jawaban bercanda. Tapi mungkin sayup-sayup ada pengaruhnya juga. Saya
punya pengalaman tentang sambel seblak. Soal makanan ini saya pernah memaki: makanan
keparat macam apa ini?
Pedasnya membakar mulut dan perut, well, seperti
membakar dalam arti yang sesungguhnya. Mata mengair. Segelas air hanya berasa
setetes, tak manjur. Akhirnya, berhari-hari kemudian saya sibuk minum penawar
dan bolak-balik kamar mandi. Jadi, sepertinya soal sambal seblak ini memang punya
pengaruh terhadap kecerdasan mahasiswa. Ia membuat mahasiswa seperti saya
melupakan belajar, dan sibuk mondar-mandir kamar mandi. Mungkin ada yang mau
bikin proposal perihal seblak?
Kepada segenap kawan, saya ingin mengucapkan terima
kasih. Tanpa kalian sadari, banyak pertanyaan kalian yang malah membikin saya
banyak belajar. Kepada kalian juga saya ucapkan maaf. Tak semua masalah kalian
bisa saya jawab. Terutama tentang buku yang tidak ada, judul proposal yang ternyata
mirip dengan kawanmu yang lain, soal bagaimana susunan penelitian, dan mungkin
soal di mana menulis tanda koma dan titik yang benar.
Saya sama seperti kalian. Perlu banyak belajar. Mari belajar
bersama. Tak usah ada kasta yang seolah membuat saya lebih pandai dari kalian. Sekali
lagi, saya sama seperti kalian. Terlebih, kita sama-sama maklum, bahwa banyak kawan kita yang lain, jauh lebih memadai.
Dan begitulah, musim proposal membikin pesan WhatsApp
kian banyak. Dari bangun tidur, hingga kadang hampir tidur, bahkan di alam
mimpi. Jari saya mulai loyo, kamar mulai terasa remang, kesadaran otak kian
menurun, kelopak mata kian berat. Akhirnya, selamat tidur.