Kamis, 30 Januari 2020

Egois Membalas Pesan

Tempo hari saya ngoceh di Twitter, “...manusia kerap memiliki tendensi berhubungan satu sama lain berdasarkan pertimbangan untung-rugi.” Itu pengalaman pribadi yang jauh-jauh hari sudah didengungkan Marx. Diam-diam manusia memiliki kegemaran menghitung. Menghitung manusia lain sebagai alat yang melicinkan jalan menuju kepentingannya. 

Hal itu saya pikir akibat dari orientasi hidup yang niscaya berbeda antar individu. Jadi, hal yang dianggap penting pun berbeda. Maka, fungsi orang-orang sekitar pun terbagi menurut apa yang ia anggap penting: jika si A dapat membantu menuju cita-cita maka ia penting. Setidaknya, begitulah pengalaman saya.

Masing-masing kepentingan itu kemudian membentuk sikap kita yang berbeda pada tiap orang. Kita, oh... lebih tepatnya saya, mulai merumuskan sikap yang pas sesuai dengan nilai guna orang lain tersebut. Meskipun mungkin begitulah hukum alam, namun cukup ironis.

Cara saya membalas pesan, misalnya, tak lepas dari anggapan tersebut. Ketika saya dichat beberapa orang yang, katakanlah kurang bernilai bagi kepentingan saya, bisa jadi ia akan lama sekali mendapat balasan. Parahnya saya mungkin sama sekali lupa meladeni orang ini. Fitur Widget pun memfasilitasi saya membaca pesan itu tanpa membuka chat tersebut. Makin mudahlah saya “meremehkan” orang lain. Ketika saya sedang tidak sibuk, pesan itu sebenarnya bisa segera saya balas. Namun karena saya merasa pesan itu tidak penting, saya memilih menundanya.

“Merasa” pesan tidak penting itulah persoalan sebenarnya. Dengan anggapan itu saya mulai memilah pesan yang penting dan tidak penting. Dengan congkak saya menciptakan kasta pesan-pesan itu. Dan diam-diam menggumam, kenapa aku harus membalas pesan remeh ini?

Sebelumnya, harus saya akui, ada beberapa orang yang memang jarang saya balas pesannya. Semata karena ia tipe orang yang hanya datang saat butuh. Maksud saya, orang-orang ini akan datang dengan nada memerintah seolah orang lain rela dan tunduk; seolah orang lain tak punya kesibukan dan masalah. Pada orang seperti ini saya memang malas merespon pesannya. Kadang sama sekali tak saya hiruakan. Well, narsisme orang ini perlu diberi pelajaran, begitu pikir saya.

Kembali pada soal membalas pesan. Tidak perlu saya ceritakan betapa sebenarnya mereka butuh balasan chat itu. betapa saya tidak mampu menghindarkan mereka dari rasa diremehkan. Kenapa diremehkan? Karena hal itu tak mungkin kita... oh, saya lakukan ketika membalas orang yang dianggap penting.

Dan saya tak pernah mampu menghitung berapa jumlah orang-orang yang telah saya buat “menderita” karena persoalan ini. Tapi, kata orang, karma akan berlaku. Juga bagi saya. Tak perlu saya perinci terlalu panjang, suatu ketika saat saya butuh pada seseorang, saya chat dia dengan panik. Semoga segera direspon. Karena ini mungkin karma, pesan saya dibalas beberapa tahun setelahnya. Yeah, beberapa minggu tepatnya.

Pangkat saya sebagai pelaku itu pun tak terhindarkan untuk menjadi korban juga. Hal ini sebenarnya samar-samar menunjukkan bahwa tak sedikit orang yang dapat mengelak dari memperhitungkan orang lain. Barangkali hal itu sudah menjadi mental kolektif bangsa ini.

Seketika saya menyadari bahwa ternyata diremehkan dalam bentuk diabaikan pesannya cukup menyakitkan, meskipun rasanya tidak segalau ditinggal nikah pacar, atau kehilangan seluruh isi dompet, toh tetap membuat kita—yang berharap segera direspon—cukup merasa gusar. Tak lama setelah hal itu saya sadari, segera saya hapus fitur widget di ponsel.

Dari perasaan seolah saya menjadi orang “ditinggalkan” itu, saya dapat merasakan betapa jahatnya diri ini ketika sedang mencampakkan. Saya teringat teman, katakanlah Huri, ia termasuk orang penting, yang tak biasa jika pesannya direspon lamban. Sebagaimana umumnya orang yang merasa dirinya penting, si Huri ini biasa ngambek dan tidak akan pernah menghubungi lagi jika orang bersangkutan merespon di luar batas kewajaran.

Berlebihan? Mungkin iya. Tapi bukan hanya Huri—orang dengan egoisitas tinggi—yang geram pesannya tak dihiraukan. Kita semua merasa diri penting, eh? Jadi saya mulai prihatin pada diri sendiri, betapa ongkos yang harus dibayar atas kebiasaan soal pesan ini adalah perasaan terluka orang lain. Padahal setiap orang layak dihargai!

Tapi memang ada beberapa pesan yang benar-benar tidak penting. Oh, jadi lupakan saja ocehan di atas. Atau kita... oh sori, saya maksudnya, mulai belajar menghargai orang lain dengan baik dan benar.