Hal itu saya pikir akibat dari orientasi hidup yang niscaya berbeda antar individu. Jadi, hal yang dianggap penting pun berbeda. Maka, fungsi orang-orang sekitar pun terbagi menurut apa yang ia anggap penting: jika si A dapat membantu menuju cita-cita maka ia penting. Setidaknya, begitulah pengalaman saya.
Masing-masing kepentingan itu kemudian membentuk
sikap kita yang berbeda pada tiap orang. Kita, oh... lebih tepatnya saya, mulai
merumuskan sikap yang pas sesuai dengan nilai guna orang lain tersebut. Meskipun
mungkin begitulah hukum alam, namun cukup ironis.
Cara
saya
membalas pesan, misalnya, tak lepas dari anggapan tersebut. Ketika saya
dichat beberapa orang yang, katakanlah kurang bernilai bagi kepentingan saya,
bisa jadi ia akan lama sekali mendapat balasan. Parahnya saya mungkin sama
sekali lupa meladeni orang ini. Fitur Widget pun memfasilitasi saya membaca
pesan itu tanpa membuka chat tersebut. Makin mudahlah saya “meremehkan” orang
lain. Ketika saya sedang tidak sibuk, pesan itu sebenarnya bisa segera saya
balas. Namun karena saya merasa pesan itu tidak penting, saya memilih
menundanya.
“Merasa” pesan tidak penting itulah persoalan
sebenarnya. Dengan anggapan itu saya mulai memilah pesan yang penting dan tidak
penting. Dengan congkak saya menciptakan kasta pesan-pesan itu. Dan diam-diam
menggumam, kenapa aku harus membalas pesan remeh ini?
Sebelumnya, harus saya akui, ada beberapa orang yang
memang jarang saya balas pesannya. Semata karena ia tipe orang yang hanya
datang saat butuh. Maksud saya, orang-orang ini akan datang dengan nada
memerintah seolah orang lain rela dan tunduk; seolah orang lain tak punya
kesibukan dan masalah. Pada orang seperti ini saya memang malas merespon
pesannya. Kadang sama sekali tak saya hiruakan. Well, narsisme orang ini perlu
diberi pelajaran, begitu pikir saya.
Kembali pada soal membalas pesan. Tidak perlu
saya ceritakan betapa sebenarnya mereka butuh balasan chat itu. betapa saya
tidak mampu menghindarkan mereka dari rasa diremehkan. Kenapa diremehkan? Karena
hal itu tak mungkin kita... oh, saya lakukan ketika membalas orang yang dianggap penting.
Dan saya tak pernah mampu menghitung berapa jumlah
orang-orang yang telah saya buat “menderita” karena persoalan ini. Tapi, kata orang, karma akan
berlaku. Juga bagi saya. Tak perlu saya perinci terlalu panjang, suatu ketika
saat saya butuh pada seseorang, saya chat dia dengan panik. Semoga segera
direspon. Karena ini mungkin karma, pesan saya dibalas beberapa tahun
setelahnya. Yeah, beberapa minggu tepatnya.
Pangkat saya sebagai pelaku itu pun tak terhindarkan
untuk menjadi korban juga. Hal ini sebenarnya samar-samar menunjukkan bahwa tak
sedikit orang yang dapat mengelak dari memperhitungkan orang lain. Barangkali
hal itu sudah menjadi mental kolektif bangsa ini.
Seketika saya menyadari bahwa ternyata diremehkan
dalam bentuk diabaikan pesannya cukup menyakitkan, meskipun rasanya tidak segalau ditinggal
nikah pacar, atau kehilangan seluruh isi dompet, toh tetap membuat kita—yang
berharap segera direspon—cukup merasa gusar. Tak lama setelah hal itu saya
sadari, segera saya hapus fitur widget di ponsel.
Dari perasaan seolah saya menjadi orang “ditinggalkan”
itu, saya dapat merasakan betapa jahatnya diri ini ketika sedang mencampakkan. Saya teringat
teman, katakanlah Huri, ia termasuk orang penting, yang tak biasa jika pesannya
direspon lamban. Sebagaimana umumnya orang yang merasa dirinya penting, si Huri
ini biasa ngambek dan tidak akan pernah menghubungi lagi jika
orang bersangkutan merespon di luar batas kewajaran.
Berlebihan? Mungkin iya. Tapi bukan hanya Huri—orang dengan
egoisitas tinggi—yang geram pesannya tak dihiraukan. Kita semua merasa diri
penting, eh? Jadi saya mulai prihatin pada diri sendiri, betapa ongkos yang
harus dibayar atas kebiasaan soal pesan ini adalah perasaan terluka orang lain.
Padahal setiap orang layak dihargai!
Tapi memang ada beberapa pesan yang benar-benar tidak
penting. Oh, jadi lupakan saja ocehan di atas. Atau kita... oh sori, saya maksudnya, mulai belajar menghargai orang lain dengan baik dan benar.