Minggu, 05 Juli 2020

Fiksi Membuat Candu


Di sebuah cerita pendek yang ditulis senior: seorang lelaki meninggal, arwahnya dikembalikan ke dunia oleh Tuhan, jatuh menimpa bebek dan mampu bercakap-cakap dengan keong.

Saya membaca tulisan itu sekitar tiga tahun lalu dan merasa buang-buang waktu. Pikir saya ketika itu, lebih baik, jauh lebih baik membaca buku non-fiksi dari pada menatap lembar-lembar berisi kisah ganjil yang tidak akan terjadi di dunia nyata. Tapi belakangan saya tersihir oleh buku-buku fiksi dan, dengan semangat yang entah datang dari mana, saya banyak melahap fiksi-fiksi.

Dulu saya tidak tertarik pada fiksi barangkali karena tidak mengenal elemen-elemen penting fiksi. Atau mungkin lebih tepat jika dikatakan saya tidak memiliki keterampilan untuk menikmati fiksi.

Karya fiksi pemenang nobel, atau semua karya bermutu terbaik, ditulis dengan mempertimbangkan perangkat-perangkat yang menjadi syarat sebuah karya dikatakan karya terbaik, misalnya: logika, arus kesadaran, polysedenton, metafora, dan puluhan perangkat lain. Tanpa secuil saja pengetahuan tentang perangkat itu, novel-novel Hemingway, Tolstoy, Camus, hanya akan menjadi bacaan yang menjemukan.

Sebagai contoh, Hemingway menulis kalimat panjang, berirama, dan lancar dibaca dalam pembukaan novelnya, Lelaki Tua dan Laut:

Ia adalah seorang lelaki tua yang memancing sendirian di Arus Teluk Meksiko dan kini sudah genap delapan puluh-empat hari lamanya ia tak berhasil menangkap seekor ikan pun. Selama empat puluh hari yang pertama ia ditemani oleh seorang laki-laki. Namun, setelah empat-puluh hari berlalu tanpa mendapat seekor ikan pun orang tua anak lelaki tersebut akhirnya mengatakan bahwa sudah jelas dan pasti lelaki tua itu adalah salao, yakni paling sial di antara yang sial, dan anak lelaki itu menuruti perintah kedua orang tuanya untuk berlayar di perahu lain yang berhasil menangkap tiga ikan besar selama minggu pertama. Anak itu merasa kasihan tatkala menyaksikan si lelaki tua itu pulang setiap hari dengan perahu kosong dan ia pun selalu turun ke tepian pantai untuk membantu lelaki tua itu memanggul gulungan tali atau kait besar dan tombak ikan dan layar yang sudah tergulung di tiang perahu. Layar itu ditambal dengan karung gandum dan bila tergulung di tiang tampak sperti bendera tanda takluk abadi.

Betapapun rasa-rasanya novel Hemingway kadang terasa sulit dipahami, bahkan di beberapa karya ia seperti tidak bercerita apa-apa, Pak Mingway, bagi saya cakap sekali membuat kalimat yang lancar di baca. Ia merevisi kalimat pembukaan di atas sebanyak 45 kali sebelum mencapai bentuk finalnya seperti sekarang.

Penulis lain, terutama yang besar dengan tradisi jurnalistik dan tidak peka terhadap irama kalimat, jika diberi kesempatan mengedit tulisan Pak Mingway besar kemungkinan akan merubahnya menjadi kalimat-kalimat pendek yang kehilangan irama dan membuat pembacaan tersendat-sendat.

Jadi, kembali kepada soal kenapa saya mulai menggilai fiksi. Selain kemahiran berbasa para penulis, menurut saya menulis fiksi bukan persoalan mudah. Maksud saya menulis dengan kualitas baik, tentu saja.

Selama ini saya belajar menulis non fiksi, terutama jurnal ilmiah dalam bidang yang saya geluti. Seorang mentor saya mengatakan, “Tulisan ilmiah tidak boleh ngawur. Harus berdasarkan data dan cermat menganalisis. Ingat harus berdasar data dan fakta. Jurnal bukan tulisan yang mudah dikerjakan seperti fiksi yang hanya mengandalkan imanjinasi.” Saya manggut-manggut setuju, dulu. Sekarang tidak.

Kendati fiksi bertolak dari imajinasi, penulis tidak boleh mengarang cerita secara ngawur. Fiksi tetap harus logis, betapapun penulis menghadirkan sosok kadal yang bisa membaca dan berhitung; seganjil apapun ceritanya, fiksi harus logis, dengan memperhatikan secara ketat, antara lain, hubungan sebab akibat dalam cerita. Ketidaklogisan, menurut para ahli, hanya menunjukkan cacat berpikir penulis.

Tunggu, apakah kadal yang dapat berbicara logis? Apakah orang yang dibakar tapi malah kedinginan logis? Tentu saja. Dalam disiplin filsafat, logis terbagi menjadi dua: logis rasional dan logis supra rasional. Jika logis rasional menuntut kesesuaian realitas dengan hukum alam, logis supra rasional menuntut kesesuaian argumen.

Jika kertas dibakar tidak hangus, itu melawan hukum alam, karena menurut hukum alam kertas adalah materi yang harus terbakar ketika dilalap api. Dengan demikian ukuran rasional hanya hukum alam. Logis supra rasional tidak demikian. Sekali lagi, ia hanya menuntut kesesuaian argumen. Karena itulah, dalam konteks fiksi, cerita harus dibangun dengan argumen untuk membuat tokoh cerita dan dunia rekaan penulis dapat meyakinkan.

Selain hal di atas, perangkat psikologi dan ilmu komunikasi menjadi pertimbangan penokohan, hingga karakter tokoh dapat meyakinkan. Anda tahu, saya yang terbiasa menulis jurnal, akan kesulitan memainkan imajinasi dengan membuat dunia rekaan yang menarik, cerita yang logis, dan karakter yang kuat.

Belakangan saya tahu, cerita-cerita yang ditulis berdasarkan imaji-khayali—seperti cerita keong di pembukaan tulisan—adalah aliran surealis. Bagi yang tidak terbiasa dengan imajinasi aliran ini tentu terasa aneh. Tapi, karakter novel, kata Flaubert, adalah dunia tempat mengungsi setelah dunia yang sebenarnya terlalu buruk.

Saya setuju. Baru-baru ini saya menamatkan novel Agus Noor, Kisah-kisah Kecil dan Ganjil: Malam 1001 Pandemi, novel surealis liar dan nikmat sekali dibaca. Imaji penulis membawa saya seperti ikut berpetualang dalam keganjilan-keganjilan yang memikat.

Dalam tulisan genre lain, realis, saya cukup dimanjakan antara lain oleh Dan Brown dan Sydeny Sheldon. Dua penulis yang ceritanya selalu didahului dengan riset mendalam, dan ditaburi berbagai fakta-fakta menarik, dan diracik dengan tensi ketegangan tinggi.

Dalam tulisan realisme magis, yang melibatkan dunia khayal dalam cerita tentang realitas, saya menikmati betul karya Gabriel Garcia Marquez, Seratus Tahun Kesendirian, dan karya Haruki Murakami, Dunia Kafka. Pak Marquez menulis dengan perangkat literer yang memukau, menurut A.S. Laksana kekhasan Marquez adalah, ia dengan enteng menceritakan hal luar biasa, seolah terjadi sehari-hari, dan menceritakan kejadian sehari-hari dengan ekspresi itu kejadian luar biasa. Sedang Murakami, menurut saya, selalu dapat memikat dengan dialog-dialog filosofis dan jalan cerita berbelit.

Yang paling mengasyikkan, dari berbagai genre fiksi, adalah karakter tokoh. Penulis-penulis hebat yang saya kagumi seperti memiliki kemampuan cemerlang untuk menciptakan tokoh dan dunia rekaan. Para tokoh seringkali memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak dapat kita temui di dunia nyata dan mereka ditempatkan untuk menghadapi tantangan tertentu. Melalui itu pembaca menarik makna, dengan mengambil pengalaman para tokoh.

Melalui The Stranger-nya Camus, saya bisa tahu bagaimana perasaan Maeursault ketika para hakim di pengadilan memvonis hukuman mati, dengan alasan yang tidak terkait langsung dengan kasus: ia membunuh seseorang, tapi hakim meyakini ia bersalah bukan saja karena membunuh, tapi juga sebab tidak menangis saat menghadiri pemakaman ibunya. Menurut hakim manusia beradab harus menangis pada momen itu.

Melalui Lelaki Tua dan Laut-nya Hemingway, saya seperti dapat merasakan bagaimana perjuangan pak tua diseret ikan besar, ikan pertama setelah ia berpuluh hari tak mendapat ikan, dan ia harus merelakan ikannya dimakan hiu ketika perjalanan pulang. Mingway selalu menaruh ironi dengan efektif.

Saya tentu tidak ingin berada dalam kondisi sulit, unik, dan menantang yang dilalui oleh para tokoh. Dan membaca cerita membuat saya seolah punya pengalaman langsung, yang sama, dengan para tokoh tersebut. Paling banter saya hanya meniru kebiasaan Jati, tokoh dalam Aroma Karsa, yang suka menulis surat kepada orang yang ia sukai, tanpa mengirimnya: Jati menulis surat seolah-olah sedang curhat pada si wanita.

Buku-buku fiksi, belakangan ini telah membuat hari-hari menyenangkan. Fiksi memberi saya bekal, pengetahuan, dan pengalaman para tokoh untuk menghindari persoalan yang dihadapi tokoh. Atau memberi saya bekal bagaimana mengatasi kesulitan. Karena itu, George Martin mengatakan—saya kutip dari A.S. Laksana: seorang pembaca memiliki seribu kehidupan sebelum ia mati, orang yang tidak pernah membaca hanya memiliki satu kehidupan.

O, sekarang saya menyukai cerita dan sepertinya asyik sekali jika menghabiskan waktu untuk menikmati cerita-cerita: masih akan banyak perasaan meledak-ledak ketika membaca cerita bagus, yang ditulis dengan bagus. Saya tidak akan  lagi menganggap membaca kisah lelaki berbicara dengan keong sebagai buang-buang waktu.