Di sebuah cerita pendek yang ditulis
senior: seorang lelaki meninggal, arwahnya dikembalikan ke dunia oleh Tuhan, jatuh
menimpa bebek dan mampu bercakap-cakap dengan keong.
Saya membaca tulisan itu sekitar
tiga tahun lalu dan merasa buang-buang waktu. Pikir saya ketika itu, lebih
baik, jauh lebih baik membaca buku non-fiksi dari pada menatap lembar-lembar
berisi kisah ganjil yang tidak akan terjadi di dunia nyata. Tapi belakangan saya
tersihir oleh buku-buku fiksi dan, dengan semangat yang entah datang dari mana,
saya banyak melahap fiksi-fiksi.
Dulu saya tidak tertarik pada fiksi
barangkali karena tidak mengenal elemen-elemen penting fiksi. Atau mungkin
lebih tepat jika dikatakan saya tidak memiliki keterampilan untuk menikmati
fiksi.
Karya fiksi pemenang nobel, atau
semua karya bermutu terbaik, ditulis dengan mempertimbangkan perangkat-perangkat
yang menjadi syarat sebuah karya dikatakan karya terbaik, misalnya: logika, arus
kesadaran, polysedenton, metafora, dan puluhan perangkat lain. Tanpa secuil
saja pengetahuan tentang perangkat itu, novel-novel Hemingway, Tolstoy, Camus,
hanya akan menjadi bacaan yang menjemukan.
Sebagai contoh, Hemingway menulis
kalimat panjang, berirama, dan lancar dibaca dalam pembukaan novelnya, Lelaki
Tua dan Laut:
Ia adalah seorang lelaki tua yang
memancing sendirian di Arus Teluk Meksiko dan kini sudah genap delapan
puluh-empat hari lamanya ia tak berhasil menangkap seekor ikan pun. Selama empat
puluh hari yang pertama ia ditemani oleh seorang laki-laki. Namun, setelah
empat-puluh hari berlalu tanpa mendapat seekor ikan pun orang tua anak lelaki
tersebut akhirnya mengatakan bahwa sudah jelas dan pasti lelaki tua itu adalah salao,
yakni paling sial di antara yang sial, dan anak lelaki itu menuruti perintah
kedua orang tuanya untuk berlayar di perahu lain yang berhasil menangkap tiga
ikan besar selama minggu pertama. Anak itu merasa kasihan tatkala menyaksikan
si lelaki tua itu pulang setiap hari dengan perahu kosong dan ia pun selalu
turun ke tepian pantai untuk membantu lelaki tua itu memanggul gulungan tali
atau kait besar dan tombak ikan dan layar yang sudah tergulung di tiang perahu.
Layar itu ditambal dengan karung gandum dan bila tergulung di tiang tampak
sperti bendera tanda takluk abadi.
Betapapun rasa-rasanya novel
Hemingway kadang terasa sulit dipahami, bahkan di beberapa karya ia seperti
tidak bercerita apa-apa, Pak Mingway, bagi saya cakap sekali membuat kalimat
yang lancar di baca. Ia merevisi kalimat pembukaan di atas sebanyak 45 kali
sebelum mencapai bentuk finalnya seperti sekarang.
Penulis lain, terutama yang besar
dengan tradisi jurnalistik dan tidak peka terhadap irama kalimat, jika diberi
kesempatan mengedit tulisan Pak Mingway besar kemungkinan akan merubahnya
menjadi kalimat-kalimat pendek yang kehilangan irama dan membuat pembacaan
tersendat-sendat.
Jadi, kembali kepada soal kenapa
saya mulai menggilai fiksi. Selain kemahiran berbasa para penulis, menurut saya
menulis fiksi bukan persoalan mudah. Maksud saya menulis dengan kualitas baik,
tentu saja.
Selama ini saya belajar menulis non
fiksi, terutama jurnal ilmiah dalam bidang yang saya geluti. Seorang mentor
saya mengatakan, “Tulisan ilmiah tidak boleh ngawur. Harus berdasarkan data dan
cermat menganalisis. Ingat harus berdasar data dan fakta. Jurnal bukan tulisan
yang mudah dikerjakan seperti fiksi yang hanya mengandalkan imanjinasi.” Saya manggut-manggut
setuju, dulu. Sekarang tidak.
Kendati fiksi bertolak dari
imajinasi, penulis tidak boleh mengarang cerita secara ngawur. Fiksi tetap harus
logis, betapapun penulis menghadirkan sosok kadal yang bisa membaca dan
berhitung; seganjil apapun ceritanya, fiksi harus logis, dengan memperhatikan
secara ketat, antara lain, hubungan sebab akibat dalam cerita. Ketidaklogisan,
menurut para ahli, hanya menunjukkan cacat berpikir penulis.
Tunggu, apakah kadal yang dapat
berbicara logis? Apakah orang yang dibakar tapi malah kedinginan logis? Tentu saja.
Dalam disiplin filsafat, logis terbagi menjadi dua: logis rasional dan logis
supra rasional. Jika logis rasional menuntut kesesuaian realitas dengan hukum
alam, logis supra rasional menuntut kesesuaian argumen.
Jika kertas dibakar tidak hangus,
itu melawan hukum alam, karena menurut hukum alam kertas adalah materi yang
harus terbakar ketika dilalap api. Dengan demikian ukuran rasional hanya hukum
alam. Logis supra rasional tidak demikian. Sekali lagi, ia hanya menuntut
kesesuaian argumen. Karena itulah, dalam konteks fiksi, cerita harus dibangun
dengan argumen untuk membuat tokoh cerita dan dunia rekaan penulis dapat
meyakinkan.
Selain hal di atas, perangkat
psikologi dan ilmu komunikasi menjadi pertimbangan penokohan, hingga karakter
tokoh dapat meyakinkan. Anda tahu, saya yang terbiasa menulis jurnal, akan
kesulitan memainkan imajinasi dengan membuat dunia rekaan yang menarik, cerita
yang logis, dan karakter yang kuat.
Belakangan saya tahu, cerita-cerita
yang ditulis berdasarkan imaji-khayali—seperti cerita keong di pembukaan
tulisan—adalah aliran surealis. Bagi yang tidak terbiasa dengan imajinasi
aliran ini tentu terasa aneh. Tapi, karakter novel, kata Flaubert, adalah dunia
tempat mengungsi setelah dunia yang sebenarnya terlalu buruk.
Saya setuju. Baru-baru ini saya
menamatkan novel Agus Noor, Kisah-kisah Kecil dan Ganjil: Malam 1001
Pandemi, novel surealis liar dan nikmat sekali dibaca. Imaji penulis
membawa saya seperti ikut berpetualang dalam keganjilan-keganjilan yang
memikat.
Dalam tulisan genre lain, realis,
saya cukup dimanjakan antara lain oleh Dan Brown dan Sydeny Sheldon. Dua penulis
yang ceritanya selalu didahului dengan riset mendalam, dan ditaburi berbagai
fakta-fakta menarik, dan diracik dengan tensi ketegangan tinggi.
Dalam tulisan realisme magis, yang
melibatkan dunia khayal dalam cerita tentang realitas, saya menikmati betul
karya Gabriel Garcia Marquez, Seratus Tahun Kesendirian, dan karya
Haruki Murakami, Dunia Kafka. Pak Marquez menulis dengan perangkat
literer yang memukau, menurut A.S. Laksana kekhasan Marquez adalah, ia dengan enteng
menceritakan hal luar biasa, seolah terjadi sehari-hari, dan menceritakan
kejadian sehari-hari dengan ekspresi itu kejadian luar biasa. Sedang Murakami,
menurut saya, selalu dapat memikat dengan dialog-dialog filosofis dan jalan
cerita berbelit.
Yang paling mengasyikkan, dari
berbagai genre fiksi, adalah karakter tokoh. Penulis-penulis hebat yang saya
kagumi seperti memiliki kemampuan cemerlang untuk menciptakan tokoh dan dunia
rekaan. Para tokoh seringkali memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak
dapat kita temui di dunia nyata dan mereka ditempatkan untuk menghadapi tantangan
tertentu. Melalui itu pembaca menarik makna, dengan mengambil pengalaman para
tokoh.
Melalui The Stranger-nya
Camus, saya bisa tahu bagaimana perasaan Maeursault ketika para hakim di
pengadilan memvonis hukuman mati, dengan alasan yang tidak terkait langsung
dengan kasus: ia membunuh seseorang, tapi hakim meyakini ia bersalah bukan saja
karena membunuh, tapi juga sebab tidak menangis saat menghadiri pemakaman
ibunya. Menurut hakim manusia beradab harus menangis pada momen itu.
Melalui Lelaki Tua dan Laut-nya
Hemingway, saya seperti dapat merasakan bagaimana perjuangan pak tua diseret
ikan besar, ikan pertama setelah ia berpuluh hari tak mendapat ikan, dan ia
harus merelakan ikannya dimakan hiu ketika perjalanan pulang. Mingway selalu
menaruh ironi dengan efektif.
Saya tentu tidak ingin berada dalam
kondisi sulit, unik, dan menantang yang dilalui oleh para tokoh. Dan membaca
cerita membuat saya seolah punya pengalaman langsung, yang sama, dengan para
tokoh tersebut. Paling banter saya hanya meniru kebiasaan Jati, tokoh dalam
Aroma Karsa, yang suka menulis surat kepada orang yang ia sukai, tanpa
mengirimnya: Jati menulis surat seolah-olah sedang curhat pada si wanita.
Buku-buku fiksi, belakangan ini
telah membuat hari-hari menyenangkan. Fiksi
memberi saya bekal, pengetahuan, dan pengalaman para tokoh untuk menghindari
persoalan yang dihadapi tokoh. Atau memberi saya bekal bagaimana mengatasi
kesulitan. Karena itu, George Martin mengatakan—saya kutip dari A.S. Laksana: seorang
pembaca memiliki seribu kehidupan sebelum ia mati, orang yang tidak pernah
membaca hanya memiliki satu kehidupan.
O, sekarang saya menyukai cerita dan
sepertinya asyik sekali jika menghabiskan waktu untuk menikmati cerita-cerita:
masih akan banyak perasaan meledak-ledak ketika membaca cerita bagus, yang
ditulis dengan bagus. Saya tidak akan lagi menganggap membaca kisah lelaki berbicara dengan keong sebagai buang-buang waktu.