Jumat, 31 Juli 2020

Latihan Menulis

Setelah meluangkan waktu setiap hari untuk latihan menulis, ternyata menulis, bagi saya, masih belum menjadi sesuatu yang mudah. Hingga sekarang, saya sering penasaran kepada orang-orang yang mengatakan bahwa menulis itu mudah. Oh, sebenarnya bukan penasaran, lebih kepada khawatir bahwa yang ia maksud dengan menulis adalah duduk di depan laptop—atau semacamnya—lalu mengetik tentang apapun yang mereka pikirkan tanpa memperhitungkan aspek-aspek yang membuat tulisan bisa dikatakan baik.


Artinya, mereka hanya menekan-nekan tuts di keyboard atau menggerakkan pena dan menyusun huruf-huruf menjadi kata, kalimat, paragraf, dan seterusnya. Maksud saya, mereka bertindak secara mekanik belaka. Saya pikir itu bukan menulis, tapi—seperti saya katakan sebelumnya—hanya mengetik.


Sedangkan saya, setelah menyalakan laptop dan membuka microsoft word, masih harus memikirkan kalimat-kalimat yang memikat dalam membuka tulisan; masih memikirkan kata-kata yang tepat dalam seluruh tubuh tulisan. Pada kondisi semacam itu, tiap kali menulis saya seperti belajar dari awal. Meski demikian saya cukup senang, setidaknya saya tidak terjebak pada romantisme orang-orang yang mengatakan bahwa menulis mudah, sambil terus menerus menghasilkan tulisan yang tidak enak di baca.


Kenalan-kenalan saya juga banyak yang gemar belajar menulis dan memiliki keyakinan bahwa menulis akan mengabadikan nama mereka. Biasanya, orang-orang ini mengulang apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali: Jika kau bukan anak raja, atau bukan anak ulama, menulislah. Atau kalimat dari Pram: Tahukah kau kenapa aku menyayangimu? Karena kau menulis. suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.


Kalimat-kalimat di atas, jika dijadikan sebagai motivasi awal, tidak masalah. Namun saya kira kita perlu untuk tidak terjebak dalam romantisme menulis. Dari kalimat Al-Ghazali, secara implisit kita bisa menarik kesimpulan bahwa menjadi penulis dalam beberapa aspek dapat mengangkat martabat kita sekelas anak raja, dengan penalaran seperti ini: kau tidak dapat memilih siapa ayahmu, dan jika kau tidak terlahir sebagai anak raja atau ulama, kau tetap bisa menjadi setara dengan mereka, yakni menjadi penulis. Maka menulislah. Kita tahu, Al-Ghazali lahir dari keluarga sederhana, dan dunia mengingatnya, karena ia menulis. Namun tulisan Al-Ghazali memenuhi kualitas-kualitas yang membuatnya layak dikenang.


Al-Ghazali terkenal sebagai ahli dalam banyak bidang: filsafat, tasawuf, fikih, bahasa, dan lain-lain. Dan ia menguasai retorika. Dengan semua kualitas itu, ia menulis, dan tulisannya memperhatikan aspek-aspek yang penting, baik dari isi maupun cara penyampaian.


Tidak jauh berbeda dengan Imam Al-Ghazali, Pram dengan kapasitasnya sebagai penulis mengatakan bahwa menulis akan membuat kita dikenang abadi. Dan kita tahu Pram tidak akan pernah dilupakan dalam sejarah sastra Indonesia. Namun Pram memiliki kualitas tulisan yang layak untuk membuatnya dapat dikenang. Novel-novel Pram, kita tahu, menurut kritikus telah memiliki kekuatan, bukan hanya dari apa yang ia tulis, namun juga bagaimana cara ia menuliskannya. Beberapa kali bahkan ia diajukan sebagai calon peraih nobel sastra.


Sekarang kita menjadi tahu, untuk dikenang abadi dalam menulis, kita perlu memiliki kualitas-kualitas yang tidak sederhana dan mudah didapat. Dengan kata lain, untuk menjadi penulis yang baik kita tidak bisa berpedoman buta pada pernyataan bahwa menulis itu mudah. Yang konyol, berdasarkan kalimat-kalimat dari Al-Ghazali dan Pram di atas, seorang kawan saya rajin menulis di Facebook tentang percintaannya yang menyedihkan, atau tentang kuku kakinya yang patah.


Saya tidak bermaksud menyalahkan dia menulis di Facebook. Orang bisa menulis di mana saja, asal dengan mempertimbangkan apa yang ia tulis dan memperhitungkan bagaimana menulis kalimat dengan baik, yang memiliki irama, yang memikat, dan enak dibaca.


Karena itu saya berlatih setiap hari. Sebagian tulisan itu saya baca sendiri, atau saya post di blog. Tujuan utamanya adalah berlatih. Dan hingga sekarang, menulis masih bukan menjadi perkara mudah. Kadang kuantitas yang saya capai tidak diimbangi dengan kualitas tulisan. Beberapa bulan kemarin, misalnya, saya merampungkan beberapa skripsi sekaligus. Anda tahu, menulis ilmiah kadang bukan perkara sulit. Kita bisa menulis kalimat-kalimat monoton yang, selain tidak enak dibaca, berkesan pretensius.


Ketika menulis skripsi-skripsi itu—kadang juga tugas ilmiah sejenisnya—saya bisa leluasa menulis. Saya tidak terlalu memperhitungkan bagaimana menghasilkan kalimat-kalimat yang enak dibaca. Namun kemudian saya menyadari kesalahan saya: di mana pun atau apa pun jenis tulisannya, seharusnya saya menulis dengan benar. Dan begitulah, saya berusaha mempertimbangkan perangkat-perangkat literer yang efektif.


Tidak selalu, dalam proses berlatih menulis, saya semangat. Beberapa kali saya kalah dengan rasa malas dan bingung. Dan ketika itu melanda, biasanya saya akan membaca pesan dari guru saya yang ketika saya baca, membuat haru dan malu:


“Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih atas kesungguhan anda. Saya bahagia melihat orang yang bersungguh-sungguh melatih diri. Saya berharap anda tetap melatih diri, dengan gairah orang yang ingin menjadikan diri lebih baik dari hari ke hari. Tidak ada salahnya meningkatkan kecakapan dalam menulis.”


Di blog inilah, anda bisa membaca hasil latihan-latihan saya. Sebagian mungkin bagus, sebagian mungkin jelek pun belum. Anda yang menilai. Teman-teman saya yang lain juga menulis di blog. Mereka rajin membagi link ketika ada tulisan baru. Dulu saya juga meniru mereka: rajin berbagi link di WhatsApp, atau dimana pun, ketika ada post baru. Setelah dipikir-pikir, saya menulis di blog untuk berlatih dan bersenang-senang. Pembaca akan datang jika saya terus menerus meningkatkan kualitas.


Pada titik tertentu kadang tulisan, dengan cara-cara yang aneh, sampai pada pembacanya. Setiap post catatan di blog, rata-rata pembacanya tidak lebih dari 20, kadang lebih, sebagian bahkan ratusan. Saya pikir mereka kawan-kawan saya sendiri. Dan setiap kali saya malas berlatih, saya bisa mengingat pesan guru dan kawan-kawan yang biasa membaca hasil latihan saya.