Jumat, 31 Juli 2020

Latihan Menulis

Setelah meluangkan waktu setiap hari untuk latihan menulis, ternyata menulis, bagi saya, masih belum menjadi sesuatu yang mudah. Hingga sekarang, saya sering penasaran kepada orang-orang yang mengatakan bahwa menulis itu mudah. Oh, sebenarnya bukan penasaran, lebih kepada khawatir bahwa yang ia maksud dengan menulis adalah duduk di depan laptop—atau semacamnya—lalu mengetik tentang apapun yang mereka pikirkan tanpa memperhitungkan aspek-aspek yang membuat tulisan bisa dikatakan baik.


Artinya, mereka hanya menekan-nekan tuts di keyboard atau menggerakkan pena dan menyusun huruf-huruf menjadi kata, kalimat, paragraf, dan seterusnya. Maksud saya, mereka bertindak secara mekanik belaka. Saya pikir itu bukan menulis, tapi—seperti saya katakan sebelumnya—hanya mengetik.


Sedangkan saya, setelah menyalakan laptop dan membuka microsoft word, masih harus memikirkan kalimat-kalimat yang memikat dalam membuka tulisan; masih memikirkan kata-kata yang tepat dalam seluruh tubuh tulisan. Pada kondisi semacam itu, tiap kali menulis saya seperti belajar dari awal. Meski demikian saya cukup senang, setidaknya saya tidak terjebak pada romantisme orang-orang yang mengatakan bahwa menulis mudah, sambil terus menerus menghasilkan tulisan yang tidak enak di baca.


Kenalan-kenalan saya juga banyak yang gemar belajar menulis dan memiliki keyakinan bahwa menulis akan mengabadikan nama mereka. Biasanya, orang-orang ini mengulang apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali: Jika kau bukan anak raja, atau bukan anak ulama, menulislah. Atau kalimat dari Pram: Tahukah kau kenapa aku menyayangimu? Karena kau menulis. suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.


Kalimat-kalimat di atas, jika dijadikan sebagai motivasi awal, tidak masalah. Namun saya kira kita perlu untuk tidak terjebak dalam romantisme menulis. Dari kalimat Al-Ghazali, secara implisit kita bisa menarik kesimpulan bahwa menjadi penulis dalam beberapa aspek dapat mengangkat martabat kita sekelas anak raja, dengan penalaran seperti ini: kau tidak dapat memilih siapa ayahmu, dan jika kau tidak terlahir sebagai anak raja atau ulama, kau tetap bisa menjadi setara dengan mereka, yakni menjadi penulis. Maka menulislah. Kita tahu, Al-Ghazali lahir dari keluarga sederhana, dan dunia mengingatnya, karena ia menulis. Namun tulisan Al-Ghazali memenuhi kualitas-kualitas yang membuatnya layak dikenang.


Al-Ghazali terkenal sebagai ahli dalam banyak bidang: filsafat, tasawuf, fikih, bahasa, dan lain-lain. Dan ia menguasai retorika. Dengan semua kualitas itu, ia menulis, dan tulisannya memperhatikan aspek-aspek yang penting, baik dari isi maupun cara penyampaian.


Tidak jauh berbeda dengan Imam Al-Ghazali, Pram dengan kapasitasnya sebagai penulis mengatakan bahwa menulis akan membuat kita dikenang abadi. Dan kita tahu Pram tidak akan pernah dilupakan dalam sejarah sastra Indonesia. Namun Pram memiliki kualitas tulisan yang layak untuk membuatnya dapat dikenang. Novel-novel Pram, kita tahu, menurut kritikus telah memiliki kekuatan, bukan hanya dari apa yang ia tulis, namun juga bagaimana cara ia menuliskannya. Beberapa kali bahkan ia diajukan sebagai calon peraih nobel sastra.


Sekarang kita menjadi tahu, untuk dikenang abadi dalam menulis, kita perlu memiliki kualitas-kualitas yang tidak sederhana dan mudah didapat. Dengan kata lain, untuk menjadi penulis yang baik kita tidak bisa berpedoman buta pada pernyataan bahwa menulis itu mudah. Yang konyol, berdasarkan kalimat-kalimat dari Al-Ghazali dan Pram di atas, seorang kawan saya rajin menulis di Facebook tentang percintaannya yang menyedihkan, atau tentang kuku kakinya yang patah.


Saya tidak bermaksud menyalahkan dia menulis di Facebook. Orang bisa menulis di mana saja, asal dengan mempertimbangkan apa yang ia tulis dan memperhitungkan bagaimana menulis kalimat dengan baik, yang memiliki irama, yang memikat, dan enak dibaca.


Karena itu saya berlatih setiap hari. Sebagian tulisan itu saya baca sendiri, atau saya post di blog. Tujuan utamanya adalah berlatih. Dan hingga sekarang, menulis masih bukan menjadi perkara mudah. Kadang kuantitas yang saya capai tidak diimbangi dengan kualitas tulisan. Beberapa bulan kemarin, misalnya, saya merampungkan beberapa skripsi sekaligus. Anda tahu, menulis ilmiah kadang bukan perkara sulit. Kita bisa menulis kalimat-kalimat monoton yang, selain tidak enak dibaca, berkesan pretensius.


Ketika menulis skripsi-skripsi itu—kadang juga tugas ilmiah sejenisnya—saya bisa leluasa menulis. Saya tidak terlalu memperhitungkan bagaimana menghasilkan kalimat-kalimat yang enak dibaca. Namun kemudian saya menyadari kesalahan saya: di mana pun atau apa pun jenis tulisannya, seharusnya saya menulis dengan benar. Dan begitulah, saya berusaha mempertimbangkan perangkat-perangkat literer yang efektif.


Tidak selalu, dalam proses berlatih menulis, saya semangat. Beberapa kali saya kalah dengan rasa malas dan bingung. Dan ketika itu melanda, biasanya saya akan membaca pesan dari guru saya yang ketika saya baca, membuat haru dan malu:


“Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih atas kesungguhan anda. Saya bahagia melihat orang yang bersungguh-sungguh melatih diri. Saya berharap anda tetap melatih diri, dengan gairah orang yang ingin menjadikan diri lebih baik dari hari ke hari. Tidak ada salahnya meningkatkan kecakapan dalam menulis.”


Di blog inilah, anda bisa membaca hasil latihan-latihan saya. Sebagian mungkin bagus, sebagian mungkin jelek pun belum. Anda yang menilai. Teman-teman saya yang lain juga menulis di blog. Mereka rajin membagi link ketika ada tulisan baru. Dulu saya juga meniru mereka: rajin berbagi link di WhatsApp, atau dimana pun, ketika ada post baru. Setelah dipikir-pikir, saya menulis di blog untuk berlatih dan bersenang-senang. Pembaca akan datang jika saya terus menerus meningkatkan kualitas.


Pada titik tertentu kadang tulisan, dengan cara-cara yang aneh, sampai pada pembacanya. Setiap post catatan di blog, rata-rata pembacanya tidak lebih dari 20, kadang lebih, sebagian bahkan ratusan. Saya pikir mereka kawan-kawan saya sendiri. Dan setiap kali saya malas berlatih, saya bisa mengingat pesan guru dan kawan-kawan yang biasa membaca hasil latihan saya.

Tiba-tiba

Hari-hari bergulir cepat ketika dikejar deadline: tiba-tiba sudah siang, tiba-tiba sudah sore, tiba-tiba sudah malam, tiba-tiba dini hari.


Oh, pantas saja saya merasa cepat tua. Semoga Mbakyu tidak tiba-tiba bersama bocah lain. Uoppooh.


Senin, 20 Juli 2020

Terpujilah Pengirim Chat To The Point


Kadang saya merasa memiliki tingkah menyedihkan, yakni—pada banyak kesempatan—gemas dan rajin cek pesan-pesan di ponsel. Meski saya tidak menerima ratusan pesan tiap hari, hingga harus membuat pengumuman di story bahwa pesan kawan-kawan pasti akan saya balas satu persatu, pesan-pesan itu seperti mengiba untuk saya balas. Pasalnya, banyak pesan tersebut bertema masalah skripsi mereka.

Saya merasa paradoksial, di satu sisi saya ingin melakukan aktivitas yang lebih produktif, sedang di sisi lain merasa terlalu sombong untuk mengabaikan pesan yang, bagi si pengirim, termasuk pesan penting.

Saya pikir, menerima pesan soal skripsi hanya akan saya terima selama teman-teman angkatan masih dalam proses menulis skripsi. Artinya, besar kemungkinan setelah mereka lulus, tidak akan ada chat tentang diskusi skripsi. Karena itu, dalam bongkahan kepala saya tertanam dorongan untuk meladeni chat-chat mereka.

Setidaknya, blog ini sudah memuat dua catatan mengenai chat di ponsel saya: Curhat Proposal dan Egois Membalas Pesan. Catatan lain yang masih terkait WA: Kalimat-kalimat Lucu di Story WhatsApp. Sekarang saya merasa kembali perlu menulis sedikit curahatan soal pesan diskusi skripsi. Selain untuk mengeluarkan bagian dari pikiran, siapa tahu beberapa kawan kebetulan membaca dan mendapat satu atau beberapa hal terkait pesan-pesan mereka.  

Sebagaimana tertulis di bagian awal, meski ponsel saya tidak dipenuhi ratusan chat, beberapa pesan kadang menyerbu bersamaan, dan membuat saya kebingungan membalas pesan-pesan itu, baik karena sedang sibuk urusan lain, maupun karena otak saya sedang sampai pada titik lejar. Dalam kondisi demikian, saya sangat-sangat berharap pesan diskusi langsung mengarah pada sasaran, to the point.

Tapi sebagian mereka mengirim dengan pembukaan yang bertele-tele, dan membuang banyak waktu mereka sendiri. Misal, kadang mereka memulai chat dengan memanggil nama saya, “Cuk”, “Dab”, “Pal”, dan semacamnya. Saya sungguh heran, maksud saya sungguh heran, kenapa merek tidak langsung to the point saja? Apa salahnya to the point, dengan langsung mengutarakan maksud pada kiriman pesan pertama?

Apa to the point mengirim chat menurunkan harkat dan martabat kita sebagai manusia?

Oh, kenapa saya seperti begitu sensitif? Setidaknya ada dua alasan. Pertama, jika mereka to the point, itu jauh akan menghemat waktu mereka dan kemungkinan mendapat jawaban akan lebih cepat, baik jawaban bahwa saya punya data yang mereka cari, maupun tidak. Kedua, jika mereka to the point, mereka tidak menguras stok sabar saya. 

Dalam banyak kesempatan, saya memiliki urusan untuk perjalanan jauh, dan biasanya saya mengemudi sendiri tanpa diganti, karena saya seorang sopir. Katakanlah, saya menempuh perjalanan sejauh 150 KM. Dan pada saat-saat mengemudi, saya menerima pesan yang tidak to the point: “Pal”, “Pal”, “Pal”. Lalu saya membuka pesan bertele-tele itu ketika istirahat di tengah perjalanan. Dan saya balas, “Ya?”. Lalu saya melanjutkan perjalanan, lalu pesan yang to the point baru diutarakan, “Bagaimana urutan konten bab empat-ku, ya?”

Jika si pengirim tadi berkenan untuk to the point sejak awal, ketika istirahat tadi mungkin ia sudah mendapat jawaban. Karena tidak to the point, ia harus menunggu lama lagi hingga saya sampai pada tempat tujuan. Jika capek, saya biasanya langsung istirahat, dan si pengirim baru mendapat balasan setelah saya bangun dari tidur.

Buang-buang waktu. Tidak efisien. Ribet.

Bahkan ketika saya tidak dalam perjalanan pun, pesan to the point akan sangat efisien, karena kadang saya memiliki kesibukan mengerjakan deadline tertentu. Anda tahu, dikepung kesibukan dan harus menerima pesan bertele-tele sungguh menggemaskan. Sampai di sini, saya harap point yang saya maksud benar-benar tersampaikan: saya hanya ingin pengirim pesan mendapat jawaban dengan efisien, tidak buang-buang waktu. Dia mendapat kejelasan. Saya dapat membalas chat yang lain.

Doa saya di pagi hari—oh, saya juga masih tidak lupa pada ritual berdoa—adalah harapan untuk mendapat chat to the point dan semoga pengirim chat to the point masuk surga, jika ia berharap demikian. Ketika mendapat chat bertele-tele, kemungkinan saya lewati untuk membalas, saya meladeni yang to the point.

Meladeni chat yang to the point juga adalah persoalan lain, beberapa pesan di antaranya membutuhkan diskusi yang panjang, karena sering saya harus bertanya maksud pengirim pesan dengan detail, agar tidak salah paham; kadang saya harus menjelaskan satu konsep panjang lebar. Intinya, membutuhkan banyak waktu. karena itu, jika pembukaan saja harus dimulai dengan bertele-tele, kadang saya kehilangan selera meladeni.

Tidak jarang, saya menerima pesan suara yang ketika diputar membuat saya kaget: suara di seberang dibuka dengan tangisan. Sekali lagi, tidak jarang. Mula-mula saya sedikit kikuk dan keheranan. Lambat laun saya mulai terbiasa dengan chat semacam itu, baik tentang skripsi atau curhat diputusin pacar. Beberapa kawan menelpon saat baru putus dengan pacarnya, dan saya mendengarkan ia menangis histeris penuh energi yang siap digunakan meluluhlantahkan peradaban.

Sungguh saya tidak pernah keberatan menerima chat seperti apapun, asal to the point. kecuali jika memang si pengirim hanya niat menyapa atau bercanda atau ngeprank, dengan chat bertele-tele, tidak masalah, sudah beda konteks. Dan saya tidak pernah mempermasalahkan ada chat-chat “lucu” semacam itu.

Ketika sudah lelah duduk menatap laptop, dengan berpikir cukup serius, dan di tengah chat diskusi, pesan receh benar-benar menjadi oase. Saya bersyukur masih ada pesan-pesan konyol. Seorang kawan pernah menulis, “Pal, kau jangan sampai lupa menunaikan ibadah kentut.”

Harus saya akui, bahwa sebenarnya saya tidak memiliki kemampuan mumpuni untuk bisa dianggap pantas meladeni chat kawan-kawan. Saya pikir mereka memiliki penilaian yang keliru terhadap isi kepala saya. Namun terlepas dari kebodohan diri sendiri, saya memang menyediakan diri untuk membantu persoalan kawan-kawan tentang penelitian mereka. Sekali lagi, bukan dalam rangka saya mampu, saya hanya membantu kawan-kawan dengan sedikit kemampuan yang ada. Saya menyayangi mereka.

Menulis seringkali bukan hal yang mudah. Di sekolah, bahkan di kampus, kita tidak diajarkan bagaimana menyusun kerangka logika yang benar; bagaimana membangun argumen yang kuat; dan bagaimana memilih diksi memikat. Dan skripsi menuntut kita menulis dan kita pun mulai menyadari bahwa tidak cakap dalam menulis dan mulai kehilangan semangat untuk menulis. Setidaknya beberapa kasus yang saya temui demikian adanya.

Karena itu, seringkali saya menerima chat yang intinya menanyakan biaya beli skripsi pada saya. Biasanya saya membalas dengan sedikit lucu-lucuan: “Tarif saya mahal, tuan, sekitar 50 juta. Semoga nominal itu membuat anda terkejut. Tapi ada yang gratis, silakan menulis sendiri dan saya akan menyediakan diri untuk anda ganggu, anda wawancarai, tentang apa-apa yang berkaitan dengan penelitian anda.”

Sekali dalam seumur hidup, saya pikir tidak ada salahnya kita memilih untuk berusaha menulis skripsi dengan baik dan benar. Sekali dalam seumur hidup, saya pikir tidak ada salahnya kita memiliki kesan tentang tugas akhir perkuliahan kita. Karena itu, dari pada menulis pesanan kawan, saya lebih suka menemani mereka belajar, semampu saya, sebisa saya.

Catatan gerutuan ini sudah terlalu panjang dan barangkali tidak enak dibaca. Saya tutup saja dengan kalimat, “Terpujilah mereka yang bersedia menulis tugas akhir dan terpujilah mereka para pengirim pesan to the point”.

Begitu


Kata seorang bocah:

“Sebagaimana menyatakan cinta, tidak atau menunda menyatakan cinta, juga butuh perjuangan, bahkan lebih berdarah-darah.”

Saya ingin menepuk-nepuk bahunya.

Minggu, 19 Juli 2020

Hanya Asap Rokok


Saya punya dugaan yang sepertinya benar: rata-rata pria di Indonesia adalah perokok. Kawan-kawan cowok saya hampir semua seorang perokok. Famili saya—yang pria—juga nyaris semua perokok. Dalam riset Atlas Tobacco, Indonesia menyumbang jumlah terbanyak pria perokok, pada tingkat ASEAN. Oh, sekarang dugaan saya terlalu benar.

Saya sendiri tidak merokok. Dalam hal ini saya minoritas. Dan, sebagaimana minoritas pada umumnya, saya seringkali mendapat perlakuan yang kurang “mengenakkan”. Pertama, ketika kumpul bareng kawan-kawan perokok, bisa dipastikan saya akan dikepung asap-asap. Kedua, beberapa kawan gemar sekali meledek saya yang menurutnya tidak berani merokok.

Tentang dikepung asap, kadang saya biasa saja, dan kadang tidak. Kapan saya biasa saja adalah ketika berada di tempat terbuka, atau dalam ruangan yang sirkulasi udaranya bagus, sehingga asap tidak terlalu mengganggu. Jujur saja, saya kadang ingin sekali masa bodoh tentang asap rokok. Tetapi sering tidak mampu. Para perokok mungkin berpikir, lha wong cuma asap rokok, apa masalahnya?

Sebenarnya asap rokok tidak akan bermasalah—saya percaya—pada orang yang sudah terbiasa dengan asap rokok. Sialnya saya termasuk orang yang tidak nyaman dengan asap rokok. Bergaul dengan asap-asap lain saya masih bisa, misalnya, asap kayu di dapur, asap obat nyamuk, asap knalpot motor dua tak—meski kata kawan lebih berbahaya. Anda tahu, ini hanya soal cocok tidak cocok.

Saya pernah menyatakan itu pada kawan karib yang perokok, katanya: “Karena itu, Dab, merokok sajalah. Kau tidak merokok dan sering menghirup asap perokok, itu namanya perokok pasif.” Menurutnya perokok pasif lebih berisiko terserang penyakit dari pada perokok aktif. Saya gemas pada kawan ini, jika ia memang meyakini bahwa saya lebih berisiko karena asap rokok, dan ia sengaja merokok di tempat saya, itu apa namanya? Pelan-pelan mengirim penyakit? “Kampret,” responnya ketika saya menyatakan itu, “serba salah ngomong sama kamu.”

Sekali lagi, asap rokok hanya soal cocok tidak cocok, terlepas dari itu bahaya atau tidak. Kawan perempuan saya, yang juga tidak perokok, masih nyaman-nyaman saja dengan asap rokok, tetapi tidak tahan dengan asap obat nyamuk. Karena itu, kadang saya takjub campur heran melihat beberapa para perokok mampu menikmati asap dengan khidmat. Saya membayangkan mereka juga heran mendapati saya sensitif pada asap rokok.

Jika asap rokok adalah persoalan pertama, persoalan kedua, adalah tentang ledekan saya tidak berani merokok. Oh, saya tidak mempermasalahkan orang mau merokok atau tidak, entah itu cowok atau cewek, ia perokok atau bukan, bisa dibilang saya tidak peduli. Yang saya heran, beberapa orang kenalan saya, dari dulu hingga sekarang tidak kehilangan semangat memprovokasi saya untuk merokok. Anda tahu, mereka seperti gelisah jika melihat laki-laki tidak merokok seperti saya, dan mereka merasa saya orang tersesat yang perlu mendapat pencerahan.

“Pria harus merokok, lah...” katanya, dengan nada sinis dan sesekali menunjukkan senyum bercanda. Dalam beberapa kesempatan ketika nongkrong kadang mereka rela menyulutkan rokok untuk saya. Saya masih menolak. Belakangan, saya jarang kumpul bareng kawan-kawan ini. Saya lebih sering kumpul bareng kawan kampus yang jarang mengusik saya tentang rokok. Mereka kawan-kawan yang enjoy dan masa bodoh soal saya merokok atau tidak.

Dulu ketika SMP saya pernah merokok, karena pergaulan, meski hanya beberapa saat—saya tidak ingat berapa lama pastinya. Pada waktu itu saya masih dalam tahap coba-coba, dan tidak dapat sepenuhnya menikmati rokok sebagaimana para pecandu. Selama merokok, jujur saja, saya belum sempat merasakan di mana kenikmatan merokok. Alih-alih, saya tidak nayaman mencicipi asap rokok.

Di zaman SMP, saya banyak bergaul dengan kawan-kawan nakal. Setidaknya nakal menurut kaca mata umum. Kawan saya sering bolos sekolah, mabuk, tawuran, dan maaf, sesekali memakai obat-obatan, Saya tidak punya opsi pertemanan karena sekolah SMP saya jauh, sekitar 7-8 KM dari rumah, dan saya butuh teman berangkat bersama. Lambat laun momen itu memperdekat kami. Di sekolah saya tidak banyak bergaul dengan kawan lain. Karena saya tidak ikut-ikutan merokok dan beberapa kebiasaan mereka, tentu saja saya dibully.

Bertahan dari bullyan mereka bukan perkara mudah. Akhirnya Saya tertarik untuk ikut merokok, dan segera berhenti setelahnya. Di kemudian hari, saya pikir itu keputusan baik. Syukur saya tidak kecemplung untuk ikut memakai obat-obatan, mabuk, dan tawuran. Untuk ikut bolos sekolah saya masih sering.

Kembali pada soal alasan tidak merokok. Ketika ditanya alasan tidak merokok, jawaban saya sederhana: tidak nyaman, tidak terbiasa, atau alasan-alasan semacamnya. Bukan faktor takut, bukan faktor berusaha hemat, bukan faktor kesehatan. Faktor kesehatan ini saya pikir penting disebut, karena saya percaya, mengikuti beberapa penelitan tentang rokok, bahwa merokok tidak seberbahaya itu. Bahkan menurut penelitian tertentu rokok tidak berbahaya. Oh, sudah banyak jurnal atau buku yang membahas, saya tidak perlu mengulangi di sini.

Karena itu, alasan saya tidak merokok bukan faktor muluk-muluk, hanya sebatas tidak nyaman. Dan saya pikir itu wajar, sebagaimana orang tidak perlu heran mendapati orang lain tidak nyaman, misalnya, memakai sarung, sedangkan ia nyaman sekali menggunakan sarung.

Pada banyak kesempatan, paman-paman di rumah memuji setiap kali ngobrol soal rokok, “Enak kalau kamu nggak merokok. Bagus lah. Kadang aku juga ingin berhenti merokok.” Tidak hanya paman, kawan-kawan saya sering mengeluhkan dirinya yang ingin berhenti merokok, namun tidak mampu karena terlanjur kecanduan. Mendengar ucapan mereka, saya senyum-senyum saja.

Sedangkan pada kawan lain, rokok sudah serupa pelarian, yang dapat menenangkan ketika depresi, yang dapat menjadi kawan kala sepi, dan menjadi pendamping menikmati kopi. Tidak masalah wong ini soal kecenderungan masing-masing orang.

Sebagai minoritas, orang yang tidak merokok menghadapi  masalah yang sama: tekanan mayoritas. Tidak peduli separah apa saya sensitif pada asap rokok, saya tetap harus menghormati mayoritas; tidak peduli tidak nyaman pada asap, saya tetap tergoda untuk berkumpul dengan kawan perokok. Dan saya tidak bisa mempermasalahkan mereka, karena ya itu tadi, merokok atau tidak hanya soal pilihan pribadi.

Sebagai minoritas, saya menghormati dan menghargai perokok dengan cara mempersilahkan mereka merokok di tempat saya, sesekali saya menyediakan tempat putung dan lain-lain di kamar, meski saya sangat terganggu dengan asapnya. Saya tidak tahu apa yang perokok pikirkan, sebagai mayoritas, ketika merokok. Barangkali mereka tidak perlu memikirkan apa-apa. Toh hanya rokok.

Sekali lagi, hanya rokok.

Kagum


Pandemi masih berlangsung, bahkan angka-angka positif di Indonesia terus menanjak. Yang saya kagum, semua orang seperti sepakat untuk pura-pura pandemi telah berlalu. Dan saya penasaran, adakah negeri lain yang mampu pura-pura sepakat dalam satu hal: meyakini angan-angan sebagai kebenaran dan menafikan masalah. Anda tahu, kita sedang menganggap masalah bukan masalah.

Minggu, 05 Juli 2020

Fiksi Membuat Candu


Di sebuah cerita pendek yang ditulis senior: seorang lelaki meninggal, arwahnya dikembalikan ke dunia oleh Tuhan, jatuh menimpa bebek dan mampu bercakap-cakap dengan keong.

Saya membaca tulisan itu sekitar tiga tahun lalu dan merasa buang-buang waktu. Pikir saya ketika itu, lebih baik, jauh lebih baik membaca buku non-fiksi dari pada menatap lembar-lembar berisi kisah ganjil yang tidak akan terjadi di dunia nyata. Tapi belakangan saya tersihir oleh buku-buku fiksi dan, dengan semangat yang entah datang dari mana, saya banyak melahap fiksi-fiksi.

Dulu saya tidak tertarik pada fiksi barangkali karena tidak mengenal elemen-elemen penting fiksi. Atau mungkin lebih tepat jika dikatakan saya tidak memiliki keterampilan untuk menikmati fiksi.

Karya fiksi pemenang nobel, atau semua karya bermutu terbaik, ditulis dengan mempertimbangkan perangkat-perangkat yang menjadi syarat sebuah karya dikatakan karya terbaik, misalnya: logika, arus kesadaran, polysedenton, metafora, dan puluhan perangkat lain. Tanpa secuil saja pengetahuan tentang perangkat itu, novel-novel Hemingway, Tolstoy, Camus, hanya akan menjadi bacaan yang menjemukan.

Sebagai contoh, Hemingway menulis kalimat panjang, berirama, dan lancar dibaca dalam pembukaan novelnya, Lelaki Tua dan Laut:

Ia adalah seorang lelaki tua yang memancing sendirian di Arus Teluk Meksiko dan kini sudah genap delapan puluh-empat hari lamanya ia tak berhasil menangkap seekor ikan pun. Selama empat puluh hari yang pertama ia ditemani oleh seorang laki-laki. Namun, setelah empat-puluh hari berlalu tanpa mendapat seekor ikan pun orang tua anak lelaki tersebut akhirnya mengatakan bahwa sudah jelas dan pasti lelaki tua itu adalah salao, yakni paling sial di antara yang sial, dan anak lelaki itu menuruti perintah kedua orang tuanya untuk berlayar di perahu lain yang berhasil menangkap tiga ikan besar selama minggu pertama. Anak itu merasa kasihan tatkala menyaksikan si lelaki tua itu pulang setiap hari dengan perahu kosong dan ia pun selalu turun ke tepian pantai untuk membantu lelaki tua itu memanggul gulungan tali atau kait besar dan tombak ikan dan layar yang sudah tergulung di tiang perahu. Layar itu ditambal dengan karung gandum dan bila tergulung di tiang tampak sperti bendera tanda takluk abadi.

Betapapun rasa-rasanya novel Hemingway kadang terasa sulit dipahami, bahkan di beberapa karya ia seperti tidak bercerita apa-apa, Pak Mingway, bagi saya cakap sekali membuat kalimat yang lancar di baca. Ia merevisi kalimat pembukaan di atas sebanyak 45 kali sebelum mencapai bentuk finalnya seperti sekarang.

Penulis lain, terutama yang besar dengan tradisi jurnalistik dan tidak peka terhadap irama kalimat, jika diberi kesempatan mengedit tulisan Pak Mingway besar kemungkinan akan merubahnya menjadi kalimat-kalimat pendek yang kehilangan irama dan membuat pembacaan tersendat-sendat.

Jadi, kembali kepada soal kenapa saya mulai menggilai fiksi. Selain kemahiran berbasa para penulis, menurut saya menulis fiksi bukan persoalan mudah. Maksud saya menulis dengan kualitas baik, tentu saja.

Selama ini saya belajar menulis non fiksi, terutama jurnal ilmiah dalam bidang yang saya geluti. Seorang mentor saya mengatakan, “Tulisan ilmiah tidak boleh ngawur. Harus berdasarkan data dan cermat menganalisis. Ingat harus berdasar data dan fakta. Jurnal bukan tulisan yang mudah dikerjakan seperti fiksi yang hanya mengandalkan imanjinasi.” Saya manggut-manggut setuju, dulu. Sekarang tidak.

Kendati fiksi bertolak dari imajinasi, penulis tidak boleh mengarang cerita secara ngawur. Fiksi tetap harus logis, betapapun penulis menghadirkan sosok kadal yang bisa membaca dan berhitung; seganjil apapun ceritanya, fiksi harus logis, dengan memperhatikan secara ketat, antara lain, hubungan sebab akibat dalam cerita. Ketidaklogisan, menurut para ahli, hanya menunjukkan cacat berpikir penulis.

Tunggu, apakah kadal yang dapat berbicara logis? Apakah orang yang dibakar tapi malah kedinginan logis? Tentu saja. Dalam disiplin filsafat, logis terbagi menjadi dua: logis rasional dan logis supra rasional. Jika logis rasional menuntut kesesuaian realitas dengan hukum alam, logis supra rasional menuntut kesesuaian argumen.

Jika kertas dibakar tidak hangus, itu melawan hukum alam, karena menurut hukum alam kertas adalah materi yang harus terbakar ketika dilalap api. Dengan demikian ukuran rasional hanya hukum alam. Logis supra rasional tidak demikian. Sekali lagi, ia hanya menuntut kesesuaian argumen. Karena itulah, dalam konteks fiksi, cerita harus dibangun dengan argumen untuk membuat tokoh cerita dan dunia rekaan penulis dapat meyakinkan.

Selain hal di atas, perangkat psikologi dan ilmu komunikasi menjadi pertimbangan penokohan, hingga karakter tokoh dapat meyakinkan. Anda tahu, saya yang terbiasa menulis jurnal, akan kesulitan memainkan imajinasi dengan membuat dunia rekaan yang menarik, cerita yang logis, dan karakter yang kuat.

Belakangan saya tahu, cerita-cerita yang ditulis berdasarkan imaji-khayali—seperti cerita keong di pembukaan tulisan—adalah aliran surealis. Bagi yang tidak terbiasa dengan imajinasi aliran ini tentu terasa aneh. Tapi, karakter novel, kata Flaubert, adalah dunia tempat mengungsi setelah dunia yang sebenarnya terlalu buruk.

Saya setuju. Baru-baru ini saya menamatkan novel Agus Noor, Kisah-kisah Kecil dan Ganjil: Malam 1001 Pandemi, novel surealis liar dan nikmat sekali dibaca. Imaji penulis membawa saya seperti ikut berpetualang dalam keganjilan-keganjilan yang memikat.

Dalam tulisan genre lain, realis, saya cukup dimanjakan antara lain oleh Dan Brown dan Sydeny Sheldon. Dua penulis yang ceritanya selalu didahului dengan riset mendalam, dan ditaburi berbagai fakta-fakta menarik, dan diracik dengan tensi ketegangan tinggi.

Dalam tulisan realisme magis, yang melibatkan dunia khayal dalam cerita tentang realitas, saya menikmati betul karya Gabriel Garcia Marquez, Seratus Tahun Kesendirian, dan karya Haruki Murakami, Dunia Kafka. Pak Marquez menulis dengan perangkat literer yang memukau, menurut A.S. Laksana kekhasan Marquez adalah, ia dengan enteng menceritakan hal luar biasa, seolah terjadi sehari-hari, dan menceritakan kejadian sehari-hari dengan ekspresi itu kejadian luar biasa. Sedang Murakami, menurut saya, selalu dapat memikat dengan dialog-dialog filosofis dan jalan cerita berbelit.

Yang paling mengasyikkan, dari berbagai genre fiksi, adalah karakter tokoh. Penulis-penulis hebat yang saya kagumi seperti memiliki kemampuan cemerlang untuk menciptakan tokoh dan dunia rekaan. Para tokoh seringkali memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak dapat kita temui di dunia nyata dan mereka ditempatkan untuk menghadapi tantangan tertentu. Melalui itu pembaca menarik makna, dengan mengambil pengalaman para tokoh.

Melalui The Stranger-nya Camus, saya bisa tahu bagaimana perasaan Maeursault ketika para hakim di pengadilan memvonis hukuman mati, dengan alasan yang tidak terkait langsung dengan kasus: ia membunuh seseorang, tapi hakim meyakini ia bersalah bukan saja karena membunuh, tapi juga sebab tidak menangis saat menghadiri pemakaman ibunya. Menurut hakim manusia beradab harus menangis pada momen itu.

Melalui Lelaki Tua dan Laut-nya Hemingway, saya seperti dapat merasakan bagaimana perjuangan pak tua diseret ikan besar, ikan pertama setelah ia berpuluh hari tak mendapat ikan, dan ia harus merelakan ikannya dimakan hiu ketika perjalanan pulang. Mingway selalu menaruh ironi dengan efektif.

Saya tentu tidak ingin berada dalam kondisi sulit, unik, dan menantang yang dilalui oleh para tokoh. Dan membaca cerita membuat saya seolah punya pengalaman langsung, yang sama, dengan para tokoh tersebut. Paling banter saya hanya meniru kebiasaan Jati, tokoh dalam Aroma Karsa, yang suka menulis surat kepada orang yang ia sukai, tanpa mengirimnya: Jati menulis surat seolah-olah sedang curhat pada si wanita.

Buku-buku fiksi, belakangan ini telah membuat hari-hari menyenangkan. Fiksi memberi saya bekal, pengetahuan, dan pengalaman para tokoh untuk menghindari persoalan yang dihadapi tokoh. Atau memberi saya bekal bagaimana mengatasi kesulitan. Karena itu, George Martin mengatakan—saya kutip dari A.S. Laksana: seorang pembaca memiliki seribu kehidupan sebelum ia mati, orang yang tidak pernah membaca hanya memiliki satu kehidupan.

O, sekarang saya menyukai cerita dan sepertinya asyik sekali jika menghabiskan waktu untuk menikmati cerita-cerita: masih akan banyak perasaan meledak-ledak ketika membaca cerita bagus, yang ditulis dengan bagus. Saya tidak akan  lagi menganggap membaca kisah lelaki berbicara dengan keong sebagai buang-buang waktu.

Patriarki


Di Twitter saya pernah menulis:

Sebuah percakapan:

“Pal, apa kau pernah mikir, dampak buruk tradisi patriarki pada pria? Adakah?

“Tentu saja ada.”

“Really, what?”

“Fakta bahwa kau, sebagai pria, dituntut (bahkan diwajibkan) untuk membagiakan wanita itu ulah tradisi apa?”

“Bisa jelaskan lebih lanjut?”

***

Ada tweet menarik yang cukup relevan dengan tweet saya, dari @Soemaktor, saya kutip sebagaimana aslinya:

Stoplah jadi perempuan yang selalu bilang mau nyari laki2 yang bisa bikin bahagia. Ubahlah hidupmu, jadilah “perempuan bahagia!” agar dikejar laki-laki.

Berhentilah menjadi parasit. Musuh emansipasi bukan laki-laki tetapi mental patriarki.
-sruputkopi-

***

Feminis bermental patriarkis, ada? Banyak!