Senin, 29 Juli 2024

Telur Jatuh, Korek Api, dan Bus Maut: Hari yang Terlalu Panjang

Kami sudah terbiasa menghadapi hari-hari panjang, tetapi Rabu 8 Mei lalu rasanya terlalu panjang—dan tentu saja kami tidak menyangka akan sepanjang itu.


Pagi hari Mukit mengajar selama 150 menit. Almi mengerjakan naskah-naskah terkait proses magang mahasiswa atau semacamnya. Saya mengerjakan borang akreditasi. Tetapi, kami sudah sepakat akan bertemu siang hari dan menuju Bojonegoro menghadiri pernikahan Yoga. Ini kesekian kali saya mengalami drama saat berusaha menghadiri undangan pernikahan kawan, tentu kawan yang rumahnya jauh.


Setelah berpamitan kepada orang-orang di kantor-markas akreditasi; setelah Mukit selesai mengajar; setelah Almi otw ke kampus dari rumahnya; kami bertemu di sekitar masjid kampus, sambil menunggu Bu Mila [bukan nama sebenarnya]. Kepada Bu Mila yang diantar suaminya ini, kami akan menumpang hingga Gresik. Dari Gresik suami Bu Mila akan melanjutkan pekerjaannya di kantor, dan sisa orang di mobil itu akan dioper ke mobil Pak Hendra [bukan nama sebenarnya] untuk pergi ke Bojonegoro bersama-sama.


Pak Hendra dan Bu Mila adalah dosen fakultas yang juga akan menghadiri undangan. Baik Pak Hendra maupun Bu Mila tinggal di Gresik. Karena nanti beliau berdua akan pulang ke Gresik, saat arah pulang, kami—saya, Mukit, Almi—akan meneruskan perjalanan dari Gresik ke Surabaya via bus. Jadi, rute perjalanan kami terangkai seperti ini: berangkat: Surabaya-Gresik-Bojonegoro, full tumpangan. Rute pulang: Bojonegoro-Gresik numpang. Gresik-Surabaya naik bus. Begitu skenario yang kami susun, sebelum berantakan.


***


Pekan sebelumnya, tepat tanggal 1 Mei, saya dan Mukit sudah bersiap-siap berangkat berdua ke acara akad Yoga, berikut acara resepsi di rumah pihak istri. Tetapi, kami kehabisan tiket kereta. Jadi, saya menghubungi teman-teman yang beralamat rumah di Bojonegoro dan Tuban, untuk bertanya rute bus arah rumah Yoga. Seorang teman menyarankan turun di terminal Bojonegoro dan sepertinya jarak terminal ke rumah pengantin masih cukup jauh.


“Kalau mau ke Kecamatan Kanor apa turun terminal juga?” kata saya.


“Oh, Kanor. Bisa turun di RS Sumberejo, nanti bisa minta tolong temenku buat diantar ke alamat pengantin,” begitu kata teman saya.


“Turun terminal Bojonegoro saja, nanti saya jemput dan saya antar ke alamat pernikaham,” kata teman yang lain.


Setelah saya mengucap terima kasih atas tawaran sangat hangat tersebut, saya meminta maaf tidak bisa menerima tawaran mereka, sebab saya berdua bersama Mukit. Satu motor jelas tidak cukup. Dua motor jelas akan merepotkan mereka. Wong seumpama menjemput saya seroang diri pun jelas akan merepotkan, apa lagi berdua bersama Mukit. Jadi, rute terbaik adalah naik bus dan mencari cara bagaimana cara tiba di titik koordinat pernikahan. Saya bertanya pada teman apakah ada ojek online di sekitar RS Sumberejo, dan semua teman saya sepakat menjawab tidak ada ojek online, dan tidak ada jaminan terdapat ojek offline.


Cukup merepotkan jika kami mendarat pada titik yang nihil ojek, meski tentu saja segala kesulitan menyediakan jalan keluar. Kami bisa meminta bantuan pada orang-orang sekitar. Tetapi energi kami kian menipis untuk menghadapi hal-hal seperti itu. “Kita naik motor saja, ada motor touring punya sepupu,” kata Mukit, tawaran yang menunjukkan betapa berusahanya ia datang ke pernikahan tersebut, meskipun sebenarnya ia terpaksa juga menawarkan pilihan ini.


Itu opsi yang harus ditolak sebab energi di tubuh kurus ini harus dihemat sedemikian rupa. “Saya harus kejar deadline pekerjaan fakultas, Kit. Bojonegoro itu jauh, lebih jauh dari Lamongan kemarin,” kata saya. Beberapa bulan lalu kami sudah nekat motoran ke daerah Lamongan karena tidak tersedia kendaraan umum ke daerah yang kami tuju dan kami mengalami apa yang harus dialami orang yang berkendara motor malam-malam dengan jarak panjang: energi kami babak belur sambil meraba-raba pantat yang kebas. Ia sepertinya agak kapok.


Setelah tarik ulur memastikan rute bus, ketersediaan ojek, dan opsi naik motor, kami menyerah dan memilih mengerjakan deadline di hari buruh tersebut. Kami memang buruh prekariat yang tak mendapat syafaat libur di tanggal merah saat hari buruh. Mukit menemui seniornya dan memupuk keimanan bahwa segala hal akan berjalan baik-baik saja: pasti ada jalan membayar hutang kondangan tersebut.


Tawaran strategis itu datang: beberapa hari kemudian, Almi berkabar bahwa Pak Hendra bisa datang ke Bojonegoro tanggal 8 Mei di rumah pihak Yoga. Bu Mila juga bisa hadir. Itu artinya ada tumpangan mobil, dengan rute sebagaimana tersusun di atas.


***


Pukul 13.38 kami berkumpul dan segera mengambil kuda-kuda berangkat ke Gresik. “Punya amplop, nggak?” tanya saya pada Almi dan ia menjawab sebagaimana Mukit menjawab sebelumnya: tidak ada. Lalu kami berangkat. Di mobil, Bu Mila dan Almi masih harus mengikuti rapat-rapat entah apa. Anda tahu, rapat adalah agenda yang selalu bernak-pinak dan jumlahnya akan selalu sebanyak keinginan untuk istirahat.


Waktu tergiling sekitar satu jam. Kami turun dari mobil dan menunggu Pak Hendra di satu titik koordinat, sedangkan suami Bu Mila melanjutkan perjalanan ke kantor tempat ia bekerja yang saya tidak tahu di mana. Sambil menunggu, saya berkeliling sejenak mencari toko penjual amplop dan hasilnya masih sama seperti mini market kampus yang sudah saya masuki sebelum berangkat tadi: tidak ada.


Sekitar 10 menit kemudian Pak Hendra tiba. Rombongan masuk ke mobil, dengan saya sebagai pilot di balik kemudi.


Sepanjang perjalanan, kami bertukar joke pendek-pendek sebagai pengusir jenuh. Sesekali saya menggali informasi tentang disertasi Pak Hendra, sedangkan Mukit tidak bisa banyak menimpali sebab ia duduk di baris ketiga. Penumpang putri memilih tidur.


Setelah sepakat untuk salat Ashar, akhirnya kami memilih mushalla kecil di pinggir jalan. Para rombongan turun satu-satu, sedangkan saya masih melihat apakah ada toko kelontong di sekitar. Nihil. Nah, setelah tiba di depan mushalla, ada warung kopi di sebelah selatan, ialah warung yang tampak kesulitan mencari pelanggan, yang pintunya cukup ambigu untuk ditentukan apakah warung ini buka atau tutup.


Saya mengucap salam pelan-pelan dan ternyata ibu-ibu sepuh muncul di balik kaca buram. Ia menjawab menyediakan amplop dan saya membeli lima sekaligus—saya merasa harus balas dendam.


Sekitar 30 menit kemudian kami tiba di rumah Yoga. Saya dan Mukit sepakat bahwa lebih baik kami berangkat tanggal 8 Mei karena tampak sulit mencari ojek jika kami berangkat 1 Mei. Setelah mengucap selamat kepada pengantin dan menjalani ibadah kontemporer berupa foto-foto, kami mendengarkan cerita Pak Hendra bahwa pernikahan itu selalu berisi kejutan—terutama terkait rezeki yang sering tiba-tiba muncul, kalau diusahakan tentu saja.


Itu jelas narasi penting sebab Mukit akan segera menikah. “Lha konsep ini yang saya butuhkan,” kata Mukit dengan mata berbinar. Kami saling melempar tawa khas orang-orang akrab berkumpul, terutama menertawakan nasi kuah Bu Mila dan Almi yang hilang setelah mereka tinggal beribadah foto-foto. Tamu dari Surabaya ini harus mengambil nasi dua kali.


Kami pamit pulang sambil, sekali lagi, mengucapkan selamat dan berbagi banyak doa. Almi mengeluarkan segepok amplop titipan dosen-dosen fakultas. Saya mengeluarkan satu amplop—empat sisanya saya simpan saja sebab tidak baik menyerakan empat amplop kosong.


Suasana mobil di perjalanan pulang makin hangat dan kocak, sebab Pak Hendra berbagi cerita masa-masa PDKT ke istirnya. Juga bercerita masa-masa awal membangun rumah tangganya. Mukit yang memang akan segera menikah—tetapi ketika itu hanya saya yang tahu ia akan menikah—tidak bisa menyembunyikan hasrat responsifnya atas cerita-cerita Pak Hendra.


Hingga pukul 19.00-an itu, kami masih senang-senang tanpa menyangka akan disambut drama hingga tengah malam nanti.


***


“Kalian turun di terminal atau di halte?” tanya Pak Hendra. Kami memilih turun di halte bus Trans Jatim supaya lebih dekat ke arah Surabaya; supaya terhindar dari calo-calo terminal. Setelah mencari titik halte yang cukup dekat dengan rumah Pak Hendra, kami turun, mengambil beberapa bingkisan dari Yoga, dan tas berisi laptop berat. 


Saya menengok jam dan benda itu menujukkan waktu sekitar pukul 20.30-an. Menurut informasi, bus Trans Jatim “tutup” pukul 21.00. Masih aman. Saya berdiri di pintu halte sambil memastikan titik-titik posisi bus via apikasi ketika mendengar tawaran Mukit: “Ayo makan dulu, Kak. Kita buka bingkisan ini.” Saya menjawab oke tanpa menoleh. “Gimana Kak. Sudah deket nggak busnya? Kalau masih lama kayaknya bisa beli pentol dulu,” kata Mukit lagi.


“Belum ada yang berangkat dari terminal ke arah Surabaya,” kata saya, sambil disusul suara jeritan kecil dari Almi yang melihat telur rebus dari bingkisan itu jatuh. Almi memandang kosong ke arah tangannya sekian detik seolah tak percaya telur yang seharusnya ia nikmati itu malah jatuh di sebelah sepatu Mukit. Beberapa detik kemudian kami tertawa.


“Ayo beli pentol di seberang,” kata mereka. Saya memilih berjaga di halte sambil memantau pergerakan bus di ponsel.


Tukang penjaga jalan-pertigaan di sebelah kiri teriak-teriak tidak jelas, dalam Bahasa Jawa. Tampaknya ia memiliki kebutuhan khusus terkait suaranya. Tetapi pesannya bisa saya tangkap: pulang saja! Pulang saja! Pulang saja! Sudah tidak ada bus Trans Jatim menuju Surabaya. Saya menjawab: oke oke oke.


Di ponsel memang tidak ada pergerakan bus dari terminal menuju Surabaya. Mereka terpantau berjejer rapi terparkit. Sedangkan Almi dan Mukit kembali menyebrang dengan pentol hangat. “Kabar buruk,” kata Almi. “Bus ke Surabaya sudah tidak ada.”


“Oke kita nyebrang saja ke halte di depan, lalu menuju terminal Bunder. Masih ada satu bus terakhir. Nah, di terminal, pasti banyak bus ke Surabaya,” kata saya lagi. Sekitar 10 menit kami menunggu sambil menertawakan soal telur rebus dan berharap pentol hangat itu tidak mengalami nasib serupa. Mukit menyalakan rokok yang buru-buru ia matikan setelah wajah bus hijau itu datang. Bus penuh.


 


Tiba di terminal kami kebingungan menentukan tempat bus parkir yang menuju arah Surabaya. Almi bertanya pada orang sebelah dan ia menyarankan menunggu di pintu keluar. Kami berjalan sambil menenteng tas berlaptop dan bingkisan dari Yoga. “Sialan. Sudah capek, berat, rempong lagi,” kata saya. Untuk mengurangi beban itu, saya dan Mukit menyantap isi bingkisan di pinggir jalan. Kami tampak seperti orang terlantar, tetapi saya sudah terbiasa berada di terminal.


Itu berbeda dengan Almi yang merasa “trauma” berada di terminal malam-malam. Waktu sudah berlalu satu jam, artinya sudah memasuki pukul 22.00-an. Tidak ada bus lewat, kecuali bus ke arah Semarang. Kami sudah kehabisan energi setelah mengerjakan pekerjaan sehari-hari dan ditimpa hal-hal di luar skenario seperti ini. Karena tidak tampak bus ke arah Surabaya, kami memastikan lagi dengan bertanya ke orang lain—orang yang tidak tampak seperti calo.


Kami bergeser ke ruang tunggu. Sementara Almi dan Mukit pergi ke toilet, saya mendekati OB dan bertanya di mana tempat parkir makhluk bernama bus menuju Surabaya itu. Ia menunjukkan jalan kecil di antara bus-bus yang dicuci malam-malam.


“Masuk ke jalan café itu itu, lalu menyebrang ke jalan raya. Tunggu di pinggir jalan di sisi luar terminal,” kata Mas-mas yang berasal dari Surabaya dan akan pulang nanti tengah malam. Menurut pengalamannya, bus ke arah Surabaya tidak mengenal kata libur. 24 jam nonstop.


Almi dan Mukit baru menyelesaikan hajat, saya langsung memandu mereka melewati gang-gang kecil dan café terbuka. “Beneran lewat sini?” sanggah Almi. Saya tidak menjawabnya. Kami menyebrang jalan dan mengambil posisi duduk. Persis sesuai arahan Mas OB. Mukit langsung mengeluarkan rokok dan snack untuk menyapa penjual pentol yang menawarinya tempat duduk gratis. Sayang kami sudah menggiling pentol beberapa waktu lalu. Juga makanan dari Yoga.


Setelah 30 menit lebih, akhirnya bus itu tiba-tiba muncul sambil memberi klakson. Kami agak terkejut tidak menyangka bahwa lampu dan klakson itu dari bus, sehingga kami buru-buru setengah melompat ke dalam melalui lubang pintu belakang.


Penjual pentol mengejar Mukit di muka lubang pintu bus dan mengulurkan snack yang tertinggal di tempat duduk. Saya tidak tahu apakah Mukit mengucap terima kasih atau hanya berlalu mengamankan kursi duduk. Mukit dan Almi duduk di baris belakang sisi kanan, persis di dekat lubang pintu bus. Saya katakan lubang pintu sebab bus itu tidak berpintu belakang.


Perkara pintu ini penting saya tegaskan sebab Mukit dan Almi terpaksa setengah merangkul kursi di depan mereka: ketika ngebut di tol, angin masuk tanpa halangan melalui lubang pintu, mengeluarkan gemuruh puting beliung; ketika bus menikung ke kanan, mereka terdorong ke arah kiri, persis ke lubang pintu bus yang siap mengantar mereka ke aspal jika tak berpegangan.


Sementara saya sudah mengambil posisi mati suri di kursi tengah yang terbebas dari jurang maut ala Almi dan Mukit.


Almi turun di pintu masuk Bungurasih. Saya dan Mukit turun di pemberhentian terakhir sambil berpikir siapa kiranya korban yang akan kami mintai tolong untuk menjemput di tengah malam. Saya gagal menemukan korban sementara Mukit tergeletak di mushalla. Cara dia tergeletak menunjukkan energinya sudah dibegal rangkaian peristiwa hari ini. Ia serupa pakaian kusut yang tidak tersentuh kebaikan deterjen.


“Ayo naik taksi online aja,” kata saya. Mukit menjawab ongkosnya terlalu mahal jika melihat waktu tengah malam, sementara uang cashnya sudah menipis. “Ini cuma 21 ribu lima ratus rupiah,” kata saya. Mukit langsung bangkit seolah ia baju kering baru dicuci dan tersetrika. “Ayo gas!!!” katanya.


Kami tiba di kos dan memutuskan langsung tidur. Tetapi cerita belum selesai—motor kami ketinggalan di kampus.


Di pagi hari, kami berjalan kaki menjemput motor. Mukit menuntaskan cerita semalam, tepatnya saat scene sebelum naik bus maut: penjual cilot itu adalah pembaca fiksi dan pembaca komik, dan ia mengaku bangga menjadi pembaca komik sebab di tengah kepungan HP, membaca komik terasa seperti oase. Dan Mukit mengapresiasi si Bapak.


“Sampean tahu,” kata Mukit, “si Bapak itu telah berbaik hati mengulur snack milik saya yang teringgal di kursinya. Sedangkan saya membawa korek si Bapak itu setelah terpinjam untuk menyulut rokok. Sumpah nggak sadar,” kata Mukit. Sialan. Sudah numpang kursi, nggak beli pentol, eh malah terbawa koreknya. Kami berhenti berjalan dan mengambil posisi rukuk untuk tertawa panjang-panjang.


Sebuah tertawa panjang setelah hari yang benar-benar panjang.

Aftab

Butuh aftab. Benar-benar butuh aftab.

Sabtu, 08 Juni 2024

Menunggu Pak Wadir

Belakangan ini saya mendapat banyak pengalaman baru, sambil muncul buntut ketakutan baru: saya makin segan chat dosen. Ketika masih mahasiswa, sebelum mengirim chat pada dosen, saya akan berpikir panjang sebelum mengirimnya, sekarang proses berpikir itu malah makin panjang.


Sejak makin dalam menyelami dunia kampus, saya mengalami langsung tanjakan-terjal-tugas-pekerjaan dosen. Jika Anda kaprodi, Anda nyaris tidak punya waktu untuk mengerjakan hal-hal di luar kewajiban kampus selain menunaikan hajat-hajat hidup. Jika Anda kaprodi yang mayoritas mahasiswanya bermasalah, baik karena kepribadian mereka atau masalah hidup mereka, Anda tidak pernah menemukan pintu istirahat di kampus.


Karena itu, saya makin segan mengirim chat kepada dosen.


Beberapa waktu lalu, saya perlu meminta tanda tangan beberapa dosen untuk mengurus ijazah. Alih-alih menghubungi dosen bersangkutan, saya pergi ke bagian akademik, dan bertanya di mana ruangan terbaru Bu Dosen. Setelah mendapat koordinatnya, saya menunggu di depan ruangan. Proses menunggu ini saya lakukan beberapa kali sebelum akhirnya bertemu beliau.


Setelah mendapat satu tanda tangan, saya perlu tanta tangan pamungkas dari Pak Wadir, orang paling sibuk di Pascasarjana. Karena tahu setumpuk kerumitan yang harus dihadapi Pak Wadir, saya memilih untuk tidak menghubungi beliau dan langsung menunggu di depan kantor. Pertama-tama, saya akan mengonfirmasi kehadiran Pak Wadir kepada resepsionis. Jika ia menjawab bahwa Pak Wadir tidak bertugas ke luar kota, maka saya akan menunggu.


Hingga hari ini, setelah dua pekan, saya belum berkesempatan menemui Pak Wadir: kadang menguji, kadang keluar kota, kadang rapat, kadang dipanggil direktur, dan sederet kadang yang lain. Anda mungkin berpikir kenapa mempersulit diri sendiri, padahal chat dosen untuk konfirmasi itu sudah hal biasa.


Memang chat dosen adalah hal biasa. Tetapi, seperti yang sudah saya bilang, Pak Wadir termasuk salah satu orang paling sibuk di Pascasarjana. Sebagai orang yang sudah mengalami rangkaian kesibukan dosen—meski saya hanya bertugas bantu-bantu—saya benar-benar segan mengirim pesan kepadanya, sebab seringkali kesibukan dosen benar-benar tidak manusiawi.


Lagi pula, saya tiap hari pergi ke kampus. Jadi, jika Pak Wadir sedang bertugas, saya langsung kembali ke fakultas untuk mengerjakan tumpukan hal-hal yang harus dikerjakan. Jarak ruang Wadir dan fakultas cukup dekat sehingga saya cukup fleksibel mengambil jalur “ribet menunggu” seperti ini. Lain cerita jika saya berangkat dari rumah yang berjarak 180-an kilometer.


Di lain episode, saya pernah terlibat mengerjakan naskah bersama Pak Hendra [bukan nama sebenarnya]—salah satu dosen di fakultas saya. Ketika itu, Pak Hendra sedang menulis disertasi, dan saya harus melayout beberapa naskah penting. Karena satu dan dua hal, kami mengerjakan tugas ini bersama-sama. Ketika itu saya masih PP dari rumah ke kampus, sedangkan layout naskah ini perlu segera selesai, begitu juga Pak Hendra yang harus merampungkan naskahnya dalam hitungan jam, sehingga kami menginap di sebuah hotel.


Tentu saja Pak Hendra menghandel urusan pembayaran.


Jadi, satu malam itu kami menghadap laptop masing-masing. Setelah Pak Hendra selesai mengerjakan naskahnya, Pak Hendra harus mengirim naskah tersebut paling tidak pada lima dosen penguji untuk tanda tangan. Jadi, Pak Hendra mengirim satu naskah ke satu orang penguji untuk meminta tanta tangan. Setelah dosen pertama memberi tanda tangan, Pak Hendra akan meneruskan naskah itu pada dosen kedua, dan begitu terus hingga nanti dipungkasi tanta tangan Pak Direktur.


Pak Hendra adalah mahasiswa S3 semester akhir. Dan malam itu—malam Sabtu—adalah malam terakhir untuk Pak Hendra merampungkan naskah dan meminta TTD, sebagai syarat mengikuti ujian terbuka. Jika gagal, DO menjadi konsekuensi di depan mata. Singkat kata, Pak Hendra dihimpit waktu.


“Kenapa nggak kirim saja naskahnya ke semua dosen secara bersamaan. Nanti kita copy semua tanda tangannya. Simpel dan efisien,” kata saya pada Pak Hendra. Dan jawaban Pak Hendra membuat saya terdiam: “Saya merasa lancang, Mas. Lebih baik saya menghadapi konsekuensi terburuk, dari pada saya lancang ke dosen.” Saya menaruh hormat atas pernyataan ini.


Kalimat itu terpatri kuat di dalam kepala saya. Bahkan pada titik akhir perjuangan hidup-mati mahasiswa doktoral, Pak Hendra masih menaruh hormat tertinggi kepada para dosennya. Apakah Anda bisa mencerna sikap Pak Hendra? Padahal, Pak Hendra juga seorang dosen di fakultas. Ia bisa saja melobi beberapa orang berpengaruh, untuk mempermudah urusan ini. Tetapi jalur prosedural masih ditempuh.


Siang hari sebelum kami chek in ke hotel, Pak Hendra masih sempat membimbing mahasiswanya yang akan segera ujian skripsi. “Padahal saya sendiri dikejar deadline, tetapi ini kewajiban saya,” kata Pak Hendra. Singkat cerita, malam itu tanda tangan gagal terkumpul, tetapi pihak akademik berhasil bertarung untuk memperjuangkan Pak Hendra pada hari berikutnya—hari Sabtu.


Sebagai dosen, Pak Hendra tahu betapa banyak tugas-tugas tidak masuk akal. Itulah kenapa Pak Hendra memilih jalur pelan. Dan, begitu pula yang saya rasakan. Di tengah kesibukan ini, saya kadang sering oleng menghadapi chat mahasiswa, meski saya tetap membalasnya.


Dan karena itu, saya memilih menunggu di depan ruangan Pak Wadir.

Balui

Apakah ini yang disebut balui?

Jumat, 02 Februari 2024

Yogyakarta Terbuat dari Obrolan Hangat, Duduk di Bawah Pohon Keraton, dan Rangkaian Kegembiraan

Setelah membeli tiket kereta menuju Yogyakarta—tiga hari setelah opname—tubuh saya seperti hendak ambruk kembali dan membuat bayangan Yogya makin buram. Jika mengikuti kondisi tubuh, tentu saja seharusnya saya memilih istirahat. “Sembuh dulu. Baru ke Yogya,” kata Rika. Menatap pesan itu, sambil merasakan kepala seperti diputar dalam mesin cuci, saya menjawab dengan rumus sebaliknya: nge-trip dulu baru sembuh.


Pesan terlalu yakin itu terpaksa saya kirim karena menurut hitungan ingatan saya, bahkan mengandalkan ingatan yang rapuh, sudah 1001 kali rencana ke Yogya batal. Jika angkanya naik menjadi 1002, maka Hafif akan hidup dengan keimanan baru bahwa rencana saya ke Yogya hanya menjadi rencaya abadi yang gagal. Kegagalannya nyaris sepasti bekantan butuh makan. Angka 1001 saya kira tidak berlebihan mengingat rencana itu ada sejak 2021, atau sejak 2019 jika mengikuti wacana di sini.


22 Januari saya pergi ke dokter untuk meminta obat. “Kalau naik kereta saya kira tidak masalah. Asal jangan telat makan. Tiap lima jam lambung sudah kosong dan harus diisi meski tidak harus nasi. Saya menjawab akan mematuhi perintah keramat itu supaya tidak terjadi hal-hal menyusahkan di perjalanan. Dokter bertanya ada acara mendesak apa di Yogya sehingga tidak bisa ditunda. Saya menjawab ada tugas dari kampus. Bohong.


Segala ketertundaan menjadi sirna ketika pukul 08.53, 22 Januari, saya berangkat ke stasiun. Saya cukup murung karena Anis tidak di Yogya untuk bertemu. Tetapi sesuatu yang harus terjadi, tetap harus terjadi. Dan begitulah yang terjadi: saya duduk di kereta selama 10 jam.  Tergantung kepala kita apakah 10 jam di kereta cukup membosankan atau sangat membosankan.


Jika naik pesawat, durasi 10 jam bisa membuat saya tiba di Jepang, atau Korea Selatan, atau Saudi Arabia. Tetapi kelas dompet saya hanya bisa mengantar ke Yogya. Selain itu, saya belum naik level untuk berurusan dengan Jepang, Korea Selatan, dan Saudi Arabia. Lain cerita soal Yogyakarta. Saya punya beberapa urusan di sana.


Jadi, apa tujuan saya ke Yogya? Pertama, menunaikan janji untuk bercakap-cakap bersama teman-teman. Kedua, ziarah makam Buya Syafii Maarif. Hajat pertama terlaksana begitu saya mendarat di Yogya pukul 20.13. Saya bertemu Rika dan kami bertukar kabar sambil merasakan kegembiraan sebagaimana wajarnya kawan lama tak berjumpa. Akhirnya sampai juga, kata saya.


Kami menuju tempat kerja Hafif, ialah sebuah cafe joglo di mana ia bertugas sebagai barista. “Semua jenis minuman di sini, aku yang bikin,” kata Rika, merawikan maqalah Hafif. Belakangan Rika sering menjadi perawi pertama ucapan-ucapan Hafif. Saya berdiri di depan dapur Pak Barista dan mengucapkan salam singkat dan mengajukan pertanyaan kabar. Ia tertawa kecil sebelum menjawab… saya lupa jawabannya. Tetapi ia tampak masih segar dan sehat.


Kami kemudian duduk bertiga, bertukar cerita singkat mengenai kondisi teman-teman di Yogya. Hafif mengirim foto kami ke Anis yang WhatsApp-nya sudah bisa dipastikan mati suri. Mata saya terasa pekat, tetapi rasa ngantuk kalah dengan perasaan gembira. Baik Rika maupun Hafif mulai merancang rangkaian perjalanan. Mereka menawarkan Malioboro dan saya menjawab belum ingin ke sana dalam waktu dekat.


“Tujuanku ke sini ya duduk-duduk seperti ini,” kata saya. Bonusnya adalah pertukaran tawa. Adalah sebuah kesia-siaan jika bertemu kawan tanpa ada tawa.


Hafif sesekali kembali bekerja dan saya lebih banyak bertukar cerita bersama Rika. Saya bertanya tentang tugas akhir yang ia susun dengan kondisi super seksama dan dalam tempo yang cukup lama. Mencermati ceruk-ceruk ceritanya, saya tahu, ia berada dalam lingkungan yang tepat. Dosennya menuntut perkembangan, kurikulumnya mendukung arah pembelajaran dan, yang terpenting, teman-temannya memberi iklim pertumbuhan. Ia tidak akan mendapat itu di Surabaya.


Lebih jauh, kami mendiskusikan sesuatu yang cukup serius ketika duduk di musholla Buya Syafii. Kami bertukar pandangan mengapa ziarah ini perlu dilakukan. Saya berusaha bercertia pada Rika bahwa kami harus merasa kehilangan sosok berintegritas seperti Buya Syafii. Meski saya bukan orang Muhammadiyah, saya selalu angkat topi mengikuti jejak Buya. Bahkan ketika pertama membaca tulisan obituari Hamid Basyaib, mata saya mengeluarkan aliran sungai kecil. Dan karena tulisan itulah sebenarnya saya merasa perlu datang ke tempat ini.


Di tempat itu pula, kami menggarisbawahi bagaimana kami seharusnya memberikan apresiasi terhadap gagasan orang lain. Bagaimanapun, kami masih seorang pejalan kaki soal penjelajahan pengetahuan. Menghindari sikap pongah adalah keharusan yang kadang kami lupakan sebab mudah sekali rasanya menganggap orang lain bodoh dengan sudut pandang yang kami miliki. Sudut pandang yang seringkali diliputi oleh bias masing-masing.


Kami mendatangi makam Buya setelah beberapa kali keliru memilih makam. Kami melangitkan doa. Saya, mungkin juga Rika, merasa kagum bukan hanya kepada integritas Buya Syafii, tetapi juga gaya hidup yang ia pilih. Jika saya bisa menulis di sekitar makamnya, saya pasti akan menulis kalimat berikut: di bawah sini terbaring guru bangsa yang menghabiskan usianya untuk kepentingan orang lain di atas kepentingan dirinya sendiri. 


Ketika keluar makam, saya masih diliputi haru dan merasa ada cangkang pengetahuan yang tumbuh: ialah merasa kerdil dan perlu meneladani sikap sederhana Ahmad Syafii Maarif. Terik matahari yang membakar tangan saya dan membuat warna kulit seketika belang menjadi harga yang pantas dan terasa murah.


Di hari ketiga itu—hari Kamis—saya merasakan terik Yogyakarta, juga es kelapa mudanya, dan bonus durian. Tentu saya harus mengatakan bahwa kebahagaiaan hari ketiga adalah lanjutan kebahagiaan hari kedua. Hari di mana Rika terpaksa mengikuti jadwal sarapan pagi saya. “Aku nggak biasa bangun pagi, dan sarapan pagi,” katanya. Kami menikmati sup ayam yang menjadi bekal energi untuk masuk ke kampus UINSUKA. Kami terpaksa bolak-balik kampus-percetakan karena salah cetak tesis dan Rika mengeluh karena kesalahan kecil ini tidak perlu terjadi jika pihak percetakan becus menggunakan kejelian.


Tetapi, yah… di dunia ini selalu ada jarak antara apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya dan siapapun yang mampu mengendalikan diri dapat hidup setenang dan sesantai burung hantu yang gemar bernyanyi sebelum menyambung hidup. Saya dan Rika bersepakat untuk bersikap santai terkait keruwetan yang tidak membuat dunia kiamat dalam waktu dekat.


Meskipun kesepakatan kami akan naik turun seperti iman.


Setelah dari UINSUKA dan berkenalan dengan Mas Aldi dan menikmati jalanan mendung Yogya kami bergeser ke Buku Akik. Saya berani mengatakan itu toko buku paling bagus yang pernah saya kunjungi. Alasannya sederhana: ia memenuhi preferensi selera saya. Sebab, nyaris semua daftar penulis buku di sana adalah penulis yang saya tahu. Dari Murakami, Chomsky, Yusi Avianto, Gabriel Garcia Marquez, dan buku resep makanan Mustikarasa.


Saya pernah ingin memiliki buku Mustikarasa, tetapi ketebalannya selalu mengintimidasi dompet saya. Resep masakan selalu menarik minat mantan koki seperti saya. Meski demikian, selera makan dan lidah saya tidak terlalu rewel. Ia mengenal dua rasa: enak, dan enak sekali. Pecel lele Mbak Tari terasa sangat enak, dan pecel lele lain terasa enak. Yogya seperti surga pecel lele.


Dalam pada itu [saya suka istilah ini], o, saya lupa tidak bertanya ke Nadia mana kuliner yang perlu saya kunjungi. Mungkin, pertanyaan itu terasa tidak penting setelah menyadari bahwa bertemu Nadia dan Gus Azuma cukup sulit. Dan hari kedua itu kami berhasil duduk melingkar bersama. Terima kasih Nadia dan Gus Azuma yang berkenan berbagi jadwal dan membahayakan diri pulang larut ketika kaca mata Gus Azuma sebagai pengemudi sangat gelap.


Karena dua hajat di atas sudah terpenuhi, keluyuran lain di Yogya hanya bersifat bonus. Saya merasa cukup santai untuk memutuskan di hari Jumat tidak pergi kemana-mana, selain bertemu Mas Diki—tetangga dekat rumah. Itu pertemuan bonus, sebenarnya, dan membuat kepala saya makin ringan. Obat sudah ditinggalkan.


Malam Sabtu, setelah makan pecel lele paling enak, saya mengajak Rika untuk berkeliling sebentar. Setelah melalui jalanan di sekitar Gramedia, saya merasakan perbedaan lampu kota Surabaya dan Yogya. Yang pertama glamor, yang kedua romatis. Ini tentu penilaian umum yang bisa salah. Sebegitu berkesan jalanan Yogya membuat saya meminta mengulangi rute awal. Kami kembali memutar untuk merekam, tetapi Rika keliru mengambil haluan.


Kami kembali memilih memutar demi sebuah video, dan berhasil kembali ke rute awal, tetapi Rika gagal merekam. Tentu saja kami memilih menertawakan kekonyolan ini dan kembali pulang. “Sumpah tadi udah aku pencet tombol yang benar,” kata Rika. Kami langsung memilih tidur. Dan saya selalu tidur nyenyak karena Hafif menyuruh saya tidur di spring bed-nya Mas Fachri. Kadang saya merasa bersalah karena tidak izin dan beberapa kali memilih tidur di bawah. Terima kasih dan maaf untuk Mas Fachri—semoga ejaan ini benar.


Hari Sabtu, karena Rika khawatir saya hanya duduk-duduk di kamar Hafif—dan memang itu yang terjadi—ia mengajak saya ke sebuah danau. Kami berkeliling dan menikmati air mancur plus ibu-ibu berjoget tiktok yang gerakannya kaku karena, mungkin, menjaga tulang mereka. Seorang murid di rumah izin tidak masuk sekolah dan pesan itu mengingatkan bahwa saya harus mengajar online.


Saya berhasil menyelesaikan tugas mengajar sambil kembali ke Joglo untuk menunggu Hafif bangun. Siang itu kami menunaikan rencana pergi ke keraton. Di jalur sekitar Malioboro, saya bertanya pada Hafif mengapa orang-orang suka berfoto di depan logo BNI. “Bukankah itu hanya bank BNI sebagaimana BNI lainnya?” tanya saya.


Kami masuk ke keraton, menikmati suasana kerajaan kuno. Setelah berkeliling barang beberapa menit, kami duduk-duduk di bawah pohon ketapang teduh. “Jompo dulu,” kata saya. Di manapun tujuannya, selama kota ini, duduk-duduk terasa seperti menu utama, dan  duduk di tengah keraton tentu berbeda dengan duduk di kamar rumah. Bagi saya Yogya seperti terbuat dari duduk-duduk sambil membincang banyak hal seolah tak ada batasan waktu. Inilah cara bersenang-senang ala Cesar Vallejo, pikir saya.


Kami mengambil potret bertiga sebelum beralih ke ruangan berikutnya, ialah ruangan berisi foto Sri Sultan. “Itu nggak mau difoto, Cak?” kata Rika sambil menunjuk lima lakon wayang. Saya menggeleng dan menjawab tidak perlu foto, sambil mengambil ponsel untuk mengambil gambar lima lakon wayang. Ini lelucon internal kami. "Nggak mau ke toilet, Cak?" tanya Hafif. Saya menggeleng sementara beberapa saat kemudian menuju toilet. 


Berkeliling di siang hari membuat kerongkongan kami kering lantas muncul bayangan es jeruk. Hafif menawarkan es cokelat dan kami sepakat bahwa es cokelat pada saat terik akan terasa enak. Setelah menikmati es cokelat terbaik di Yogya, kami melangkah ke Alun-alun Kidul untuk mencoba sebuah mitos: jika berhasil berjalan lurus melewati jalur tengah di antara dua gapura—dengan mata tertutup—hajatnya qabul.


Saya gagal. Rika gagal. Hafif berhasil. Meski demikian saya punya harapan baik di masa mendatang: dapat berkunjung ke Yogya dengan suasana pertemanan seperti ini, yang membuat hari Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu, terasa sebagai hari kegembiraan.


Malam terakhir saya tidak pergi kemana-mana, kecuali terjebak hujan di bawah jembatan besar sambil menikmati, sekali lagi, pecel lele. Sesekali malaikat mengambil potret dengan flash otomatis dari langit. Setelah hujan reda, Joglo menjadi tempat membunuh waktu, menyimpulkan kembali apa yang harus kami rencanakan di masa mendatang.  Obrolan malam itu, jika diteruskan, tidak akan berujung dan kami harus mengalah istirahat mengingat kereta pagi tidak akan memberi syafaat bagi mereka yang telat.


Untunglah saya dan Rika berhasil memasuki kereta 7 menit sebelum keberangkatan. Dan, ya, saya menuju Surabaya. Akhirnya bayangan Yogya tidak buram, tubuh saya gagal ambruk meski menanggung berat oleh-oleh kegembiraan.

1686

Catatan ini berjumlah 1686 kata, ditulis di tengah-tengah tugas fakultas yang tiba-tiba datang seperti hujan.

Selasa, 09 Januari 2024

Cerita Pendewasaan Diri: Membangun Cangkang Baru

Sakit bukan menu hidup yang kita sukai. Sekarang—sejak berbulan-bulan dan bertahun-tahun lalu, sebenarnya—penyakit menziarahi Ibu. Riwayat penyakit Ibu sepanjang masa hidup saya. Karena itu, bagi saya, Ibu adalah tentara yang selalu berada dalam medan perang, memerangi penyakit yang ada dalam tubuhnya sendiri. Kadang musuh itu ada di paru-paru, lalu pindah ke lambung, lalu pindah ke jantung.


Sepanjang November-Desember 2023, dan sekarang awal Januari 2024, penyakit itu tampaknya makin menguasai medan pertempuran. Tetapi, sebagai prajurit yang setia pada pertempuran, karena hanya itu pilihan satu-satunya, Ibu tetap bertahan. Sekarang saya bergabung dalam pertempuran itu, atau paling tidak demikian saya berharap.


Cara saya bergabung cukup sederhana, melakukan apa yang seharusnya dilakukan: kadang mencari dokter yang pas; kadang mengingatkan Ibu bahwa hal ini bagus dilakukan, dan ini perlu dilakukan, dan hal ini perlu diusir jauh-jauh; kadang menelisik perasaan Ibu yang agak keliru dalam menilai saran dokter. Dan seterusnya, dan sebagainya, dan semacamnya.


Anda tahu, mengobati orang sakit tidak hanya berhadapan dengan virus penyebab sakit, tetapi juga perilaku si orang sakit. Beberapa kali, tindakan orang sakit bertentangan dengan prinsip dasar pengobatan. Hal ini lumrah terjadi terutama bagi orang seperti Ibu yang secara psikis sudah babak belur menghadapi penyakit. Kadang ia gamang ketika obatnya tidak bereaksi, atau si Pak Dokter kurang cocok terkait satu atau dua hal. Pada kondisi seperti itu, tidak jarang ia infantil.


Terlepas dari itu semua, dalam peran saya sebagai prajurit tambahan, saya melihat tembok mental Ibu kadang sekeras batu cor, lalu tiba-tiba serapuh batang lidi. “Nyawa hanya milik Tuhan,” katanya ketika energi religiusnya membuncah. “Saat kau sakit seperti ini, kematian seolah membayangi,” katanya lagi ketika merasakan momen-momen getir. Saran dokter spesialis bahkan tak mampu mengusir perasaan muram. Bahkan tak jarang ia menganggap dokter keliru diagnosis.


Sekali lagi, melawan penyakit adalah satu hal, dan perilaku orang sakit adalah hal lain lagi. Posisi saya, dan kakak, selalu sebagai kompas ketika Ibu kehilangan arah dalam jalur pertarungannya. Dan setelah saya menyaksikan naik-turun kondisi Ibu, saya menyukai kesimpulan ini: ia melengkapi puzzle mental saya, puzzle yang selama ini memang harus muncul dari tempaan keras.


Tiap orang mungkin pernah mengalami saat-saat genting, dan tetap berkepala dingin, tenang, santai, sehingga lebih jernih dalam melihat masalah. Inilah kondisi yang belakangan berhasil saya jajaki. Di tengah merawat Ibu, saya juga harus mengerjakan naskah bersama mentor. Saya mencoba untuk membagi kepala dalam dua hal yang sama-sama perlu dikerjakan.


Secara prioritas, tentu sepatutnya saya mendahulukan kesembuhan Ibu. Tetapi, dulu ketika keluarga mentor saya opname selama satu minggu, ia masih melayani ajakan diskusi saya berjam-jam. Tentu saja saya tidak tahu bahwa keluarganya sedang opname, lantas di akhir diskusi ditutup dengan cerita, “anak saya sedang dirawat, sudah satu minggu.” Saya meminta maaf dalam cara yang paling patut, dan dibalas ucapan penenang: Tidak apa-apa, ini bagian dari etos kerja saya sebagai dosen. Semoga lancar.


Mengingat adegan di atas, saya selalu menanam secuil dendam untuk membalas kebaikan serupa. Dan waktu pembalasan yang sebenarnya tidak saya harapkan telah tiba.


Karena itu saya tetap mengerjakan sesuatu yang harus dikerjakan. Urus Ibu, menulis naskah, mengontrol sekolah di rumah, dan tentu saja mencari tambahan uang. Untungnya, selama menjalani titik episode ini, saya baik-baik saja, meski tanpa memelihara pikiran positif ala motivator, sebuah cara berpikir yang, kata Zander, “...berpura-pura semuanya baik ketika kau tahu bahwa hal itu menyebalkan.”


Itulah kenapa para permikir positif begitu menjengkelkan, katanya lagi. Kau melihat kubangan kejahatan dan mencoba berpikir positif lantas mengulang mantra afirmatif, “bukankah hal ini indah?” Orang yang suka mengumpat mungkin akan membalas singkat: indah ndasmu!


Ada tumpukan manfaat dari berpikir positif, setidaknya ketika ia dilakukan melalui prosedur yang benar. Dan poin ini tulisan tersendiri nanti. Saya hanya ingin mengatakan bahwa mengatasi busai masalah di episode ini, pikiran dan badan masih dapat bekerja optimal, tanpa hasrat sambat di X (Twitter)—sebuah tempat di mana sebagian orang menumpahkan sampah yang akan membuat kita tertular perasaan negatif.


Bagaimanapun, usia saya sudah menanjak menuju 30 tahun. Saya telah melalui miniatur kehidupan orang dewasa, baik ketika saya masih anak-anak, masa remaja, maupun sekarang: kehilangan orang tua, menggawangi organisiasi, menyelesaikan pendidikan tanpa biaya orang tua, patah hati karena wanita, dikhianati teman, menghadapi musuh… sebut semua.


Dan melihat Ibu tetap berdiri setelah riwayat pertempuran panjang ini, membuat ruang mental saya terisi oleh keping sikap bertarung: meski saya stress, banyak mengerahkan pikiran, mengeluarkan energi, semua tampak berjalan dalam rel yang seharusnya. Mau tidak mau, inilah kehidupan.


Kemarin, ketika dokter mendiskusikan hasil diagnosis penyakit Ibu, dan menyarankan langkah-langkah perawatan terbaik, muncul bayangan akan seperti apa fase pemulihan Ibu. Setelah selesai menyimak dokter, saya pergi ke ruang tunggu membuka laptop dan menelpon mentor untuk diskusi dan kami sepakat untuk melakukan perbaikan kecil naskah sehingga perlu sedikit usaha puncak dan tiba-tiba muncul pesan dari seorang kawan yang mengirim pesan pendek: aku stress.


Jika adegan ini terjadi lima tahun lalu, saya bisa meledak.

Agai

 

Kemana lagi agai menyebar?

Ketika semua tempat sudah terisi agai?