—Catatan untuk Anis, Rika, dan Artha
Saya senang membaca pernyataan
Aristoteles tentang pertemanan, bahwa jenis pertemanan—berdasarkan motifnya—ada
tiga: utilitas, kepuasan, dan keutamaan.
Utilitas adalah pertemanan yang
bertujuan mengandalkan nilai kebaikan tertentu yang dapat diperoleh dari
seseorang, entah dari pikiran, kemampuan, energi, dan sebagainya. Kepuasan,
sebagaimana arti kepuasan, adalah pertemanan yang mengandalkan aspek kepuasan,
terlepas dari apa yang kita anggap sebagai kepuasan itu. Keutamaan, adalah
jenis pertemanan ketika kita melihat nilai kebaikan itu sendiri dari karakter
atau perilaku seseorang. Demikian penjabaran Yasraf Amir Piliang tentang
paragraf pertama di atas.
Anis, Rika, dan Artha, oh saya
mengurutkan demikian untuk mendapat efek irama. Anda bisa menyusun secara
berbeda dan, percayalah, anda akan kehilangan irama. Jadi Anis, Rika, dan
Artha, mereka adalah kawan yang saya tidak tahu apa motif pertemanan di antara
kami dan saya tidak ingin mencari tahu dan saya ingin memberi tahu bahwa saya
pernah menipu mereka, dengan cara yang entah baik atau buruk.
Saya memiliki sedikit kegemaran
menulis, dan saya sedikit gemar menyebarkan kebiasaan ini pada teman-teman yang
juga berminat dalam dunia tulis menulis. Anda tahu, sebenarnya ini gejala yang
cukup biasa pada manusia: ia gemar sekali membicarakan minatnya pada orang lain
dengan tujuan mereka juga tertular minat tersebut.
Sebenarnya saya kurang tahu apakah
ketiga teman itu menyimak cerita saya tentang tulis menulis. Mungkin mereka
bosan dan mendengar dengan enggan. O, tunggu, sebenarnya saya jarang bercerita
kepada mereka tentang dunia tulis menulis, lebih tepatnya saya memprovokasi
mereka, jika boleh dikatakan demikian, dengan cara yang cukup brengsek.
Pada Anis dan Rika saya pernah
berjanji untuk menulis artikel bersama dan berangkat ke Yogyakarta untuk
konferensi ilmiah. Pada Artha saya pernah sesekali memprovokasi untuk menulis,
ia menulis sebuah cerita saat ada di Mesir dan mengirim pada saya, untuk saya
komentari. Saya katakan akan lebih mudah mengedit bersama nanti jika ia telah
pulang, itu kata-kata yang belum sempat kami tunaikan.
Singkat cerita, Anis dan Rika
berangkat konferensi, setelah merampungkan tulisan yang, pada banyak
kesempatan, saya tanya progresnya saat proses penulisan. Kata Anis itu
pertanyaan seperti kompor. Sebenarnya saya tidak berniat jadi kompor, karena
menjadi tiang listrik atau patung pahlawan atau enceng gondok lebih
menyenangkan. Menjadi tiang listrik berpotensi menangkap koruptor; menjadi
patung pahlawan bisa sering diajak selfi para Mbakyu; menjadi enceng gondok
adalah cara praktis meraih keinginan masa kecil saya: mengapung di atas air.
Di awal-awal rencana konferensi saya
berjanji membantu penulisan artikel mereka, minimal bersedia membaca dan
memberi sedikit sumbangan. Tapi saya harus macak sibuk hal-hal lain dan hingga
mereka berangkat saya tidak berkesempatan membaca tulisan mereka. Anis dan Rika
bahkan sudah tidak mengirim tulisan pada saya, saya pikir itu bagus karena
mereka bisa mencari bantuan pada orang yang lebih ahli. Belakangan saya membaca
tulisan mereka di prosiding.
Satu-satunya hal yang mereka
tanyakan pada saya adalah dua opsi judul yang mereka tawarkan. Dan saya sedikit
memberi pertimbangan untuk memilih judul berbasis riset lapangan: mereka KKN di
Samarinda dan memiliki pengetahuan lapangan tentang isu yang mereka jadikan
opsi judul. Sudah, hanya itu.
Saya merasa sedikit berhasil menipu
Anis dan Rika untuk berangkat konferensi, hanya sedikit berhasil karena porsi
yang banyak adalah niat mereka. Anda tahu, manusia menempa diri sejauh dan
seberat yang mereka mau, untuk menjadi sebaik dan secakap yang mereka mau.
Dengan kata lain, dalam soal pengembangan diri, adalah soal keuletan.
Dan Artha, saya merasa tidak
melakukan provokasi berlebihan kepadanya, namun belakangan ia mengikuti lomba
puisi dan tulisannya terpilih menjadi salah satu tulisan yang dibukukan, ia
menulis bahwa itu salah satu efek dari pesan saya untuk mengisi blognya. Saya
rasa pengakuan itu berlebihan karena dilihat dari sudut manapun saran itu tidak
memiliki daya provokasi.
Di story WhatsApp-nya ia menyebut
nama saya dan menulis: “Terima kasih, setidaknya tulisanku nyangkut di buku The
Magnificient Jingle.” O, saya ingin mengucap terima kasih kembali tapi
sepertinya kurang pantas. Saya merasa tidak melakukan apa-apa. Tapi, saya
senang atas kabar itu. Maksud saya, senang sekali.
Kawan-kawanku, begitulah dunia tulis
menulis. Saya bukan penulis dalam arti yang sebenarnya, meski begitu dunia ini
telah membawa saya pada tempat-tempat yang saya tidak pernah duga sebelumnya.
Saya bodoh, dan belajar menulis, dan saya mendapat banyak pengalaman yang bagi
saya menyenangkan.
Saya masih belajar menulis dan
banyak mempelajari teknik menulis, namun menulis masih belum menjadi urusan
yang mudah, tentu saja jika itu adalah menulis dengan baik. Sebab menulis
dengan buruk tidak pernah memiliki aturan, kita tinggal duduk di depan alat
tulis dan melantur seperti layaknya tukang ketik. Tukang ketik bukan penulis,
mereka hanya mengetik seolah-olah penulis.
Saya berharap di masa-masa
berikutnya, menulis menjadi urusan yang mudah bagi kita dan siapapun yang
memiliki minat di dunia tulis menulis. Penipuan iseng saya mungkin telah membuat mereka sedikit kerepotan (atau ini dugaan yang berlebihan). Tapi mendengar ucapan terima kasih dari mereka, membuat saya sedikit cengeng dan terharu.
Maaf tulisan ini agak melantur, saya
ingin mengucapkan terima kasih karena telah bersabar untuk tetap menjadi
seorang teman meski telah saya tipu. Kalian kawan yang teripu. Meski demikian
sepertinya pertemanan kita—meminjam istilah Pak Aristo—pertemanan keutamaan.
Tapi kalian tetap kawan yang saya
tipu. Ingat itu. Yang lain silakan hati-hati.