Selasa, 16 Juni 2020

Menipu Kawan


—Catatan untuk Anis, Rika, dan Artha

Saya senang membaca pernyataan Aristoteles tentang pertemanan, bahwa jenis pertemanan—berdasarkan motifnya—ada tiga: utilitas, kepuasan, dan keutamaan.

Utilitas adalah pertemanan yang bertujuan mengandalkan nilai kebaikan tertentu yang dapat diperoleh dari seseorang, entah dari pikiran, kemampuan, energi, dan sebagainya. Kepuasan, sebagaimana arti kepuasan, adalah pertemanan yang mengandalkan aspek kepuasan, terlepas dari apa yang kita anggap sebagai kepuasan itu. Keutamaan, adalah jenis pertemanan ketika kita melihat nilai kebaikan itu sendiri dari karakter atau perilaku seseorang. Demikian penjabaran Yasraf Amir Piliang tentang paragraf pertama di atas.

Anis, Rika, dan Artha, oh saya mengurutkan demikian untuk mendapat efek irama. Anda bisa menyusun secara berbeda dan, percayalah, anda akan kehilangan irama. Jadi Anis, Rika, dan Artha, mereka adalah kawan yang saya tidak tahu apa motif pertemanan di antara kami dan saya tidak ingin mencari tahu dan saya ingin memberi tahu bahwa saya pernah menipu mereka, dengan cara yang entah baik atau buruk.

Saya memiliki sedikit kegemaran menulis, dan saya sedikit gemar menyebarkan kebiasaan ini pada teman-teman yang juga berminat dalam dunia tulis menulis. Anda tahu, sebenarnya ini gejala yang cukup biasa pada manusia: ia gemar sekali membicarakan minatnya pada orang lain dengan tujuan mereka juga tertular minat tersebut.

Sebenarnya saya kurang tahu apakah ketiga teman itu menyimak cerita saya tentang tulis menulis. Mungkin mereka bosan dan mendengar dengan enggan. O, tunggu, sebenarnya saya jarang bercerita kepada mereka tentang dunia tulis menulis, lebih tepatnya saya memprovokasi mereka, jika boleh dikatakan demikian, dengan cara yang cukup brengsek.

Pada Anis dan Rika saya pernah berjanji untuk menulis artikel bersama dan berangkat ke Yogyakarta untuk konferensi ilmiah. Pada Artha saya pernah sesekali memprovokasi untuk menulis, ia menulis sebuah cerita saat ada di Mesir dan mengirim pada saya, untuk saya komentari. Saya katakan akan lebih mudah mengedit bersama nanti jika ia telah pulang, itu kata-kata yang belum sempat kami tunaikan.

Singkat cerita, Anis dan Rika berangkat konferensi, setelah merampungkan tulisan yang, pada banyak kesempatan, saya tanya progresnya saat proses penulisan. Kata Anis itu pertanyaan seperti kompor. Sebenarnya saya tidak berniat jadi kompor, karena menjadi tiang listrik atau patung pahlawan atau enceng gondok lebih menyenangkan. Menjadi tiang listrik berpotensi menangkap koruptor; menjadi patung pahlawan bisa sering diajak selfi para Mbakyu; menjadi enceng gondok adalah cara praktis meraih keinginan masa kecil saya: mengapung di atas air.

Di awal-awal rencana konferensi saya berjanji membantu penulisan artikel mereka, minimal bersedia membaca dan memberi sedikit sumbangan. Tapi saya harus macak sibuk hal-hal lain dan hingga mereka berangkat saya tidak berkesempatan membaca tulisan mereka. Anis dan Rika bahkan sudah tidak mengirim tulisan pada saya, saya pikir itu bagus karena mereka bisa mencari bantuan pada orang yang lebih ahli. Belakangan saya membaca tulisan mereka di prosiding.

Satu-satunya hal yang mereka tanyakan pada saya adalah dua opsi judul yang mereka tawarkan. Dan saya sedikit memberi pertimbangan untuk memilih judul berbasis riset lapangan: mereka KKN di Samarinda dan memiliki pengetahuan lapangan tentang isu yang mereka jadikan opsi judul. Sudah, hanya itu.

Saya merasa sedikit berhasil menipu Anis dan Rika untuk berangkat konferensi, hanya sedikit berhasil karena porsi yang banyak adalah niat mereka. Anda tahu, manusia menempa diri sejauh dan seberat yang mereka mau, untuk menjadi sebaik dan secakap yang mereka mau. Dengan kata lain, dalam soal pengembangan diri, adalah soal keuletan.

Dan Artha, saya merasa tidak melakukan provokasi berlebihan kepadanya, namun belakangan ia mengikuti lomba puisi dan tulisannya terpilih menjadi salah satu tulisan yang dibukukan, ia menulis bahwa itu salah satu efek dari pesan saya untuk mengisi blognya. Saya rasa pengakuan itu berlebihan karena dilihat dari sudut manapun saran itu tidak memiliki daya provokasi.

Di story WhatsApp-nya ia menyebut nama saya dan menulis: “Terima kasih, setidaknya tulisanku nyangkut di buku The Magnificient Jingle.” O, saya ingin mengucap terima kasih kembali tapi sepertinya kurang pantas. Saya merasa tidak melakukan apa-apa. Tapi, saya senang atas kabar itu. Maksud saya, senang sekali.

Kawan-kawanku, begitulah dunia tulis menulis. Saya bukan penulis dalam arti yang sebenarnya, meski begitu dunia ini telah membawa saya pada tempat-tempat yang saya tidak pernah duga sebelumnya. Saya bodoh, dan belajar menulis, dan saya mendapat banyak pengalaman yang bagi saya menyenangkan.

Saya masih belajar menulis dan banyak mempelajari teknik menulis, namun menulis masih belum menjadi urusan yang mudah, tentu saja jika itu adalah menulis dengan baik. Sebab menulis dengan buruk tidak pernah memiliki aturan, kita tinggal duduk di depan alat tulis dan melantur seperti layaknya tukang ketik. Tukang ketik bukan penulis, mereka hanya mengetik seolah-olah penulis.

Saya berharap di masa-masa berikutnya, menulis menjadi urusan yang mudah bagi kita dan siapapun yang memiliki minat di dunia tulis menulis. Penipuan iseng saya mungkin telah membuat mereka sedikit kerepotan (atau ini dugaan yang berlebihan). Tapi mendengar ucapan terima kasih dari mereka, membuat saya sedikit cengeng dan terharu.

Maaf tulisan ini agak melantur, saya ingin mengucapkan terima kasih karena telah bersabar untuk tetap menjadi seorang teman meski telah saya tipu. Kalian kawan yang teripu. Meski demikian sepertinya pertemanan kita—meminjam istilah Pak Aristo—pertemanan keutamaan.

Tapi kalian tetap kawan yang saya tipu. Ingat itu. Yang lain silakan hati-hati.