Senin, 29 Juli 2024

Telur Jatuh, Korek Api, dan Bus Maut: Hari yang Terlalu Panjang

Kami sudah terbiasa menghadapi hari-hari panjang, tetapi Rabu 8 Mei lalu rasanya terlalu panjang—dan tentu saja kami tidak menyangka akan sepanjang itu.


Pagi hari Mukit mengajar selama 150 menit. Almi mengerjakan naskah-naskah terkait proses magang mahasiswa atau semacamnya. Saya mengerjakan borang akreditasi. Tetapi, kami sudah sepakat akan bertemu siang hari dan menuju Bojonegoro menghadiri pernikahan Yoga. Ini kesekian kali saya mengalami drama saat berusaha menghadiri undangan pernikahan kawan, tentu kawan yang rumahnya jauh.


Setelah berpamitan kepada orang-orang di kantor-markas akreditasi; setelah Mukit selesai mengajar; setelah Almi otw ke kampus dari rumahnya; kami bertemu di sekitar masjid kampus, sambil menunggu Bu Mila [bukan nama sebenarnya]. Kepada Bu Mila yang diantar suaminya ini, kami akan menumpang hingga Gresik. Dari Gresik suami Bu Mila akan melanjutkan pekerjaannya di kantor, dan sisa orang di mobil itu akan dioper ke mobil Pak Hendra [bukan nama sebenarnya] untuk pergi ke Bojonegoro bersama-sama.


Pak Hendra dan Bu Mila adalah dosen fakultas yang juga akan menghadiri undangan. Baik Pak Hendra maupun Bu Mila tinggal di Gresik. Karena nanti beliau berdua akan pulang ke Gresik, saat arah pulang, kami—saya, Mukit, Almi—akan meneruskan perjalanan dari Gresik ke Surabaya via bus. Jadi, rute perjalanan kami terangkai seperti ini: berangkat: Surabaya-Gresik-Bojonegoro, full tumpangan. Rute pulang: Bojonegoro-Gresik numpang. Gresik-Surabaya naik bus. Begitu skenario yang kami susun, sebelum berantakan.


***


Pekan sebelumnya, tepat tanggal 1 Mei, saya dan Mukit sudah bersiap-siap berangkat berdua ke acara akad Yoga, berikut acara resepsi di rumah pihak istri. Tetapi, kami kehabisan tiket kereta. Jadi, saya menghubungi teman-teman yang beralamat rumah di Bojonegoro dan Tuban, untuk bertanya rute bus arah rumah Yoga. Seorang teman menyarankan turun di terminal Bojonegoro dan sepertinya jarak terminal ke rumah pengantin masih cukup jauh.


“Kalau mau ke Kecamatan Kanor apa turun terminal juga?” kata saya.


“Oh, Kanor. Bisa turun di RS Sumberejo, nanti bisa minta tolong temenku buat diantar ke alamat pengantin,” begitu kata teman saya.


“Turun terminal Bojonegoro saja, nanti saya jemput dan saya antar ke alamat pernikaham,” kata teman yang lain.


Setelah saya mengucap terima kasih atas tawaran sangat hangat tersebut, saya meminta maaf tidak bisa menerima tawaran mereka, sebab saya berdua bersama Mukit. Satu motor jelas tidak cukup. Dua motor jelas akan merepotkan mereka. Wong seumpama menjemput saya seroang diri pun jelas akan merepotkan, apa lagi berdua bersama Mukit. Jadi, rute terbaik adalah naik bus dan mencari cara bagaimana cara tiba di titik koordinat pernikahan. Saya bertanya pada teman apakah ada ojek online di sekitar RS Sumberejo, dan semua teman saya sepakat menjawab tidak ada ojek online, dan tidak ada jaminan terdapat ojek offline.


Cukup merepotkan jika kami mendarat pada titik yang nihil ojek, meski tentu saja segala kesulitan menyediakan jalan keluar. Kami bisa meminta bantuan pada orang-orang sekitar. Tetapi energi kami kian menipis untuk menghadapi hal-hal seperti itu. “Kita naik motor saja, ada motor touring punya sepupu,” kata Mukit, tawaran yang menunjukkan betapa berusahanya ia datang ke pernikahan tersebut, meskipun sebenarnya ia terpaksa juga menawarkan pilihan ini.


Itu opsi yang harus ditolak sebab energi di tubuh kurus ini harus dihemat sedemikian rupa. “Saya harus kejar deadline pekerjaan fakultas, Kit. Bojonegoro itu jauh, lebih jauh dari Lamongan kemarin,” kata saya. Beberapa bulan lalu kami sudah nekat motoran ke daerah Lamongan karena tidak tersedia kendaraan umum ke daerah yang kami tuju dan kami mengalami apa yang harus dialami orang yang berkendara motor malam-malam dengan jarak panjang: energi kami babak belur sambil meraba-raba pantat yang kebas. Ia sepertinya agak kapok.


Setelah tarik ulur memastikan rute bus, ketersediaan ojek, dan opsi naik motor, kami menyerah dan memilih mengerjakan deadline di hari buruh tersebut. Kami memang buruh prekariat yang tak mendapat syafaat libur di tanggal merah saat hari buruh. Mukit menemui seniornya dan memupuk keimanan bahwa segala hal akan berjalan baik-baik saja: pasti ada jalan membayar hutang kondangan tersebut.


Tawaran strategis itu datang: beberapa hari kemudian, Almi berkabar bahwa Pak Hendra bisa datang ke Bojonegoro tanggal 8 Mei di rumah pihak Yoga. Bu Mila juga bisa hadir. Itu artinya ada tumpangan mobil, dengan rute sebagaimana tersusun di atas.


***


Pukul 13.38 kami berkumpul dan segera mengambil kuda-kuda berangkat ke Gresik. “Punya amplop, nggak?” tanya saya pada Almi dan ia menjawab sebagaimana Mukit menjawab sebelumnya: tidak ada. Lalu kami berangkat. Di mobil, Bu Mila dan Almi masih harus mengikuti rapat-rapat entah apa. Anda tahu, rapat adalah agenda yang selalu bernak-pinak dan jumlahnya akan selalu sebanyak keinginan untuk istirahat.


Waktu tergiling sekitar satu jam. Kami turun dari mobil dan menunggu Pak Hendra di satu titik koordinat, sedangkan suami Bu Mila melanjutkan perjalanan ke kantor tempat ia bekerja yang saya tidak tahu di mana. Sambil menunggu, saya berkeliling sejenak mencari toko penjual amplop dan hasilnya masih sama seperti mini market kampus yang sudah saya masuki sebelum berangkat tadi: tidak ada.


Sekitar 10 menit kemudian Pak Hendra tiba. Rombongan masuk ke mobil, dengan saya sebagai pilot di balik kemudi.


Sepanjang perjalanan, kami bertukar joke pendek-pendek sebagai pengusir jenuh. Sesekali saya menggali informasi tentang disertasi Pak Hendra, sedangkan Mukit tidak bisa banyak menimpali sebab ia duduk di baris ketiga. Penumpang putri memilih tidur.


Setelah sepakat untuk salat Ashar, akhirnya kami memilih mushalla kecil di pinggir jalan. Para rombongan turun satu-satu, sedangkan saya masih melihat apakah ada toko kelontong di sekitar. Nihil. Nah, setelah tiba di depan mushalla, ada warung kopi di sebelah selatan, ialah warung yang tampak kesulitan mencari pelanggan, yang pintunya cukup ambigu untuk ditentukan apakah warung ini buka atau tutup.


Saya mengucap salam pelan-pelan dan ternyata ibu-ibu sepuh muncul di balik kaca buram. Ia menjawab menyediakan amplop dan saya membeli lima sekaligus—saya merasa harus balas dendam.


Sekitar 30 menit kemudian kami tiba di rumah Yoga. Saya dan Mukit sepakat bahwa lebih baik kami berangkat tanggal 8 Mei karena tampak sulit mencari ojek jika kami berangkat 1 Mei. Setelah mengucap selamat kepada pengantin dan menjalani ibadah kontemporer berupa foto-foto, kami mendengarkan cerita Pak Hendra bahwa pernikahan itu selalu berisi kejutan—terutama terkait rezeki yang sering tiba-tiba muncul, kalau diusahakan tentu saja.


Itu jelas narasi penting sebab Mukit akan segera menikah. “Lha konsep ini yang saya butuhkan,” kata Mukit dengan mata berbinar. Kami saling melempar tawa khas orang-orang akrab berkumpul, terutama menertawakan nasi kuah Bu Mila dan Almi yang hilang setelah mereka tinggal beribadah foto-foto. Tamu dari Surabaya ini harus mengambil nasi dua kali.


Kami pamit pulang sambil, sekali lagi, mengucapkan selamat dan berbagi banyak doa. Almi mengeluarkan segepok amplop titipan dosen-dosen fakultas. Saya mengeluarkan satu amplop—empat sisanya saya simpan saja sebab tidak baik menyerakan empat amplop kosong.


Suasana mobil di perjalanan pulang makin hangat dan kocak, sebab Pak Hendra berbagi cerita masa-masa PDKT ke istirnya. Juga bercerita masa-masa awal membangun rumah tangganya. Mukit yang memang akan segera menikah—tetapi ketika itu hanya saya yang tahu ia akan menikah—tidak bisa menyembunyikan hasrat responsifnya atas cerita-cerita Pak Hendra.


Hingga pukul 19.00-an itu, kami masih senang-senang tanpa menyangka akan disambut drama hingga tengah malam nanti.


***


“Kalian turun di terminal atau di halte?” tanya Pak Hendra. Kami memilih turun di halte bus Trans Jatim supaya lebih dekat ke arah Surabaya; supaya terhindar dari calo-calo terminal. Setelah mencari titik halte yang cukup dekat dengan rumah Pak Hendra, kami turun, mengambil beberapa bingkisan dari Yoga, dan tas berisi laptop berat. 


Saya menengok jam dan benda itu menujukkan waktu sekitar pukul 20.30-an. Menurut informasi, bus Trans Jatim “tutup” pukul 21.00. Masih aman. Saya berdiri di pintu halte sambil memastikan titik-titik posisi bus via apikasi ketika mendengar tawaran Mukit: “Ayo makan dulu, Kak. Kita buka bingkisan ini.” Saya menjawab oke tanpa menoleh. “Gimana Kak. Sudah deket nggak busnya? Kalau masih lama kayaknya bisa beli pentol dulu,” kata Mukit lagi.


“Belum ada yang berangkat dari terminal ke arah Surabaya,” kata saya, sambil disusul suara jeritan kecil dari Almi yang melihat telur rebus dari bingkisan itu jatuh. Almi memandang kosong ke arah tangannya sekian detik seolah tak percaya telur yang seharusnya ia nikmati itu malah jatuh di sebelah sepatu Mukit. Beberapa detik kemudian kami tertawa.


“Ayo beli pentol di seberang,” kata mereka. Saya memilih berjaga di halte sambil memantau pergerakan bus di ponsel.


Tukang penjaga jalan-pertigaan di sebelah kiri teriak-teriak tidak jelas, dalam Bahasa Jawa. Tampaknya ia memiliki kebutuhan khusus terkait suaranya. Tetapi pesannya bisa saya tangkap: pulang saja! Pulang saja! Pulang saja! Sudah tidak ada bus Trans Jatim menuju Surabaya. Saya menjawab: oke oke oke.


Di ponsel memang tidak ada pergerakan bus dari terminal menuju Surabaya. Mereka terpantau berjejer rapi terparkit. Sedangkan Almi dan Mukit kembali menyebrang dengan pentol hangat. “Kabar buruk,” kata Almi. “Bus ke Surabaya sudah tidak ada.”


“Oke kita nyebrang saja ke halte di depan, lalu menuju terminal Bunder. Masih ada satu bus terakhir. Nah, di terminal, pasti banyak bus ke Surabaya,” kata saya lagi. Sekitar 10 menit kami menunggu sambil menertawakan soal telur rebus dan berharap pentol hangat itu tidak mengalami nasib serupa. Mukit menyalakan rokok yang buru-buru ia matikan setelah wajah bus hijau itu datang. Bus penuh.


 


Tiba di terminal kami kebingungan menentukan tempat bus parkir yang menuju arah Surabaya. Almi bertanya pada orang sebelah dan ia menyarankan menunggu di pintu keluar. Kami berjalan sambil menenteng tas berlaptop dan bingkisan dari Yoga. “Sialan. Sudah capek, berat, rempong lagi,” kata saya. Untuk mengurangi beban itu, saya dan Mukit menyantap isi bingkisan di pinggir jalan. Kami tampak seperti orang terlantar, tetapi saya sudah terbiasa berada di terminal.


Itu berbeda dengan Almi yang merasa “trauma” berada di terminal malam-malam. Waktu sudah berlalu satu jam, artinya sudah memasuki pukul 22.00-an. Tidak ada bus lewat, kecuali bus ke arah Semarang. Kami sudah kehabisan energi setelah mengerjakan pekerjaan sehari-hari dan ditimpa hal-hal di luar skenario seperti ini. Karena tidak tampak bus ke arah Surabaya, kami memastikan lagi dengan bertanya ke orang lain—orang yang tidak tampak seperti calo.


Kami bergeser ke ruang tunggu. Sementara Almi dan Mukit pergi ke toilet, saya mendekati OB dan bertanya di mana tempat parkir makhluk bernama bus menuju Surabaya itu. Ia menunjukkan jalan kecil di antara bus-bus yang dicuci malam-malam.


“Masuk ke jalan café itu itu, lalu menyebrang ke jalan raya. Tunggu di pinggir jalan di sisi luar terminal,” kata Mas-mas yang berasal dari Surabaya dan akan pulang nanti tengah malam. Menurut pengalamannya, bus ke arah Surabaya tidak mengenal kata libur. 24 jam nonstop.


Almi dan Mukit baru menyelesaikan hajat, saya langsung memandu mereka melewati gang-gang kecil dan café terbuka. “Beneran lewat sini?” sanggah Almi. Saya tidak menjawabnya. Kami menyebrang jalan dan mengambil posisi duduk. Persis sesuai arahan Mas OB. Mukit langsung mengeluarkan rokok dan snack untuk menyapa penjual pentol yang menawarinya tempat duduk gratis. Sayang kami sudah menggiling pentol beberapa waktu lalu. Juga makanan dari Yoga.


Setelah 30 menit lebih, akhirnya bus itu tiba-tiba muncul sambil memberi klakson. Kami agak terkejut tidak menyangka bahwa lampu dan klakson itu dari bus, sehingga kami buru-buru setengah melompat ke dalam melalui lubang pintu belakang.


Penjual pentol mengejar Mukit di muka lubang pintu bus dan mengulurkan snack yang tertinggal di tempat duduk. Saya tidak tahu apakah Mukit mengucap terima kasih atau hanya berlalu mengamankan kursi duduk. Mukit dan Almi duduk di baris belakang sisi kanan, persis di dekat lubang pintu bus. Saya katakan lubang pintu sebab bus itu tidak berpintu belakang.


Perkara pintu ini penting saya tegaskan sebab Mukit dan Almi terpaksa setengah merangkul kursi di depan mereka: ketika ngebut di tol, angin masuk tanpa halangan melalui lubang pintu, mengeluarkan gemuruh puting beliung; ketika bus menikung ke kanan, mereka terdorong ke arah kiri, persis ke lubang pintu bus yang siap mengantar mereka ke aspal jika tak berpegangan.


Sementara saya sudah mengambil posisi mati suri di kursi tengah yang terbebas dari jurang maut ala Almi dan Mukit.


Almi turun di pintu masuk Bungurasih. Saya dan Mukit turun di pemberhentian terakhir sambil berpikir siapa kiranya korban yang akan kami mintai tolong untuk menjemput di tengah malam. Saya gagal menemukan korban sementara Mukit tergeletak di mushalla. Cara dia tergeletak menunjukkan energinya sudah dibegal rangkaian peristiwa hari ini. Ia serupa pakaian kusut yang tidak tersentuh kebaikan deterjen.


“Ayo naik taksi online aja,” kata saya. Mukit menjawab ongkosnya terlalu mahal jika melihat waktu tengah malam, sementara uang cashnya sudah menipis. “Ini cuma 21 ribu lima ratus rupiah,” kata saya. Mukit langsung bangkit seolah ia baju kering baru dicuci dan tersetrika. “Ayo gas!!!” katanya.


Kami tiba di kos dan memutuskan langsung tidur. Tetapi cerita belum selesai—motor kami ketinggalan di kampus.


Di pagi hari, kami berjalan kaki menjemput motor. Mukit menuntaskan cerita semalam, tepatnya saat scene sebelum naik bus maut: penjual cilot itu adalah pembaca fiksi dan pembaca komik, dan ia mengaku bangga menjadi pembaca komik sebab di tengah kepungan HP, membaca komik terasa seperti oase. Dan Mukit mengapresiasi si Bapak.


“Sampean tahu,” kata Mukit, “si Bapak itu telah berbaik hati mengulur snack milik saya yang teringgal di kursinya. Sedangkan saya membawa korek si Bapak itu setelah terpinjam untuk menyulut rokok. Sumpah nggak sadar,” kata Mukit. Sialan. Sudah numpang kursi, nggak beli pentol, eh malah terbawa koreknya. Kami berhenti berjalan dan mengambil posisi rukuk untuk tertawa panjang-panjang.


Sebuah tertawa panjang setelah hari yang benar-benar panjang.